Kamis, 14 Mei 2009

WOC-CTI Manado untuk Siapa?

Oleh: Em. Lukman HakimSekretaris Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan dosen Universitas Wiraraja (Unija) Madura --- World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) yang bertajuk Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change digelar 11-15 Mei 2009 dengan dua agenda utama. Pertama, menuntaskan perencanaan Coral Triangle Initiative (CTI) dan penandatanganan Manado Ocean Declaration (MOD). CTI berfokus pada bentang laut, perikanan, daerah perlindungan laut, perubahan iklim, dan mengurangi jenis biota laut yang terancam punah dari daftar Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam Internasional (IUCN). Kedua, MOD yang diharapkan dapat mengikat para anggotanya secara hukum (legally binding). Sayang, Amerika Serikat dan Australia tak menyepakati atau menentang hal itu pada pertemuan di Papua Nugini, Maret 2009. Agenda lain yang dititipkan Indonesia adalah penetapan Bunaken sebagai Marine Mega Biodiversity oleh UNEP.Forum kelautan internasional tersebut melibatkan negara-negara anggota CT-6 plus Amerika Serikat dan Australia, termasuk lembaga-lembaga negara seperti DKP RI, NOAA, USAID, US Fish and Wildlife Services; lembaga multilateral seperti GEF, Bank Dunia, ADB, PBB (UNESCO, FAO, IOTC), serta LSM konservasi, yakni WWF, TNC, dan CI. Dilihat dari susunan agenda yang akan dibahas, amat diragukan bahwa WOC bakal menghasilkan keputusan yang melindungi hak-hak nelayan tradisional dan keselamatan laut. Oleh karena itu, Aliansi Manado bersama ratusan nelayan menggelar Zona Kebebasan dan Demokrasi di Pantai Malalayang, Manado, Sulut. Mereka memperingatkan dan mendesak WOC-CTI agar tidak menghasilkan keputusan yang menggusur nelayan serta menenggelamkan keadilan iklim. Yang Terlupakan Masalah fundamental kelautan yang terlupakan adalah komersialisasi kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi laut telah mengerutkan wilayah kelola nelayan dan melahirkan konflik di banyak tempat. Penambahan kawasan konservasi masal yang mengejar kuantitas bukan jawabannya.Tanpa memedulikan fakta di atas, negara-negara anggota CTI mengajak negara maupun lembaga-lembaga bilateral dan multilateral mendukung konservasi. Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam Konvensi Biodiversitas Ke-8 (COP-CBD VIII), 20-31 Maret 2006, di Curitiba, Brazil, guna menetapkan 10 juta hektare kawasan konservasi laut pada 2010 dan 20 juta hektare pada 2020. Semangat konservasi laut itu berlanjut dengan proposal pemerintah RI berjudul The Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security pada pertemuan pemimpin APEC di Sidney, September 2007, tiga bulan menjelang COP-13 UNFCCC di Bali.Pada November 2007, CTI merangkul tiga negosiasi multilateral di APEC, BIMP EAGA, dan ASEAN. CTI disebutkan sejalan dengan prioritas negara dan regional seperti UNFCCC, UNCBD, dan UNCCD sebagai usaha mencapai MDGs (Millenium Development Goals 7 dan 8).Penetapan kawasan konservasi yang mengejar kuantitas akan menambah daftar panjang konflik nelayan dengan kawasan konservasi. Setidaknya, ini telah terjadi di Taman Nasional Komodo Nusa Tenggara Timur, TN Taka Bonerate Sulawesi Selatan, TN Togean Sulawesi Tengah, TN Bunaken Sulawesi Utara, dan TN Wakatobi Sulawesi Tenggara. Sementara itu, hal lain yang patut diwaspadai adalah pertemuan-pertemuan bilateral antarnegara dalam WOC-CTI. Indonesia akan menggelar pertemuan bilateral dengan Jerman dan juga Amerika Serikat. Indonesia semestinya mendesak dua negara tersebut menghentikan dukungan terhadap industri ekstraktif yang membuang limbahnya dan merusak laut di Indonesia. Negara-negara industri harus segera menghentikan pembuangan limbah tambang ke laut Asia Pasifik.Lembaga pendana Jerman adalah salah satu pendukung utama pendanaan pembangunan yang menempatkan industri ekstraktif sewenang-wenang dengan laut kita. Dua tambang emas Amerika Serikat saja, Newmont dan PT Freeport, membuang 340 ribu ton tailing setiap hari. Nelayan sekitar mengeluhkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan cumi sejak kedua perusahaan tambang itu membuang limbahnya ke laut. Demikian pula halnya dengan buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, dan Indramayu, Jawa Barat. Eksplorasi minyak dan gas (migas) menggunakan dinamit yang diledakkan dalam laut Teluk Balikpapan telah berakibat pada kematian masal ikan dan hancurnya terumbu karang di perairan tersebut.WOC-CTI seharusnya menjawab krisis kelautan dan perikanan negara-negara yang sebagian besar rakyatnya bergantung kepada laut dan pesisir, dan akan mendapat imbas paling besar dampak perubahan iklim. Bersama Zona Kebebasan dan Demokrasi, Aliansi Manado mendesak pemerintah Indonesia untuk mengajak dan memimpin masyarakat dunia menghentikan praktik-praktik kejahatan perikanan, pencemaran laut, dan pentingnya memenuhi hak-hak tradisional nelayan. Dengan demikian, upaya negosiasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim bisa diharapkan mengarah kepada upaya keadilan iklim.Segitiga Karang Wilayah Coral Triangle (CT) berbentuk segitiga kaya sumber daya alam seluas 75 ribu km2 melintasi enam negara: Malaysia, Indonesia, Filipina, Kepulauan Solomon, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kawasan itu mengandung lebih dari 600 spesies terumbu karang atau 53 persen terumbu karang dunia serta 3 ribu spesies ikan yang dipagari hutan mangrove terluas di dunia, tempat pemijahan tuna terbesar di dunia. Perputaran ekonomi kawasan tersebut menghasilkan keuntungan USD 2,3 miliar per tahun.Dampak perubahan iklim menjadi ancaman baru bagi kawasan itu, yang mengakibatkan: pemutihan karang (coral bleaching), pengasaman (ocean acidification), dan naiknya permukaan air laut (sea level rise). Kawasan terumbu karang serta kegiatan perikanan secara umum akan terancam, yang selanjutnya berimbas terhadap komunitas nelayan dan pesisir, termasuk kepariwisataan yang bergantung kepada sumber daya laut.Karena itu, tak lazim bila CTI absen mengagendakan pemecahan masalah kerusakan lingkungan akibat industri tambang dan migas, perluasan reklamasi pantai, dan ekspansi industri pertambakan udang yang sarat perusakan ekosistem pesisir. Penyelenggara juga alpa membicarakan penghentian dan pemberian sanksi terhadap praktik perikanan ilegal. Tapi, lubang paling besar ajang internasional ini adalah kosongnya kesepakatan mendesak tentang perlindungan dan pengakuan terhadap perairan serta hak-hak nelayan tradisional. Itu disebabkan sumber pendanaan yang tersedia tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan utama tersebut, yang berarti tidak sejalan pula dengan rencana aksi atau plan of action (POA) CTI. (*)Em. Lukman Hakim, dosen Universitas Wiraraja (Unija) Madura dan peneliti pada Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Jakarta

Tidak ada komentar: