Kamis, 29 Oktober 2009

Pemerintah Segera Keluarkan Perppu Pembebasan Lahan

JAKARTA - Benang kusut proses pembebasan lahan bakal segera terurai. Pasalnya, pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) soal pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, proses pembebasan lahan selama ini memang menghambat pengembangan infrastruktur, terutama untuk proyek jalan tol. ''Perppu nya akan segera keluar. Itu masuk dalam (program) 100 hari. Nanti Pak Boediono (Wapres, Red) yang mengumumkan,'' ujarnya di Kantor Menko Perekonomian kemarin (28/10).

Menurut Hidayat, Perppu tersebut sudah dimatangkan di internal pemerintah sebagai alternatif sebelum Rancangan Undang-undang (RUU) Pembebasan Lahan dibahas dan disahkan di DPR. ''Ini sebetulnya usulan saya sejak di Kadin,'' ujarnya.

Hidayat menyebut, gara-gara hambatan dalam pembebasan lahan tersebut, dari target pembangunan 1000 km jalan tol, yang terealisasi hanya 40-60 km. Merujuk data dari Departemen Pekerjaan Umum (PU), sejak pemerintah membangun jalan tol pada 1978 hingga 2009 atau sekitar 31 tahun, hanya 700 km tol yang berhasil dibangun. Artinya, setiap tahun rata-rata hanya terbangun 25 km tol baru.

Pada periode 2004-2009, pemerintah menargetkan 3.000 km jalan tol terbangun. Faktanya, hingga saat ini baru 1.150 km saja yang berhasil tandatangan kontrak dengan investor.

Sebelumnya, Menteri PU Djoko Kirmanto mengatakan, Perppu pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur merupakan PR (pekerjaan rumah) yang belum sempat diselesaikannya pada periode 2004 - 2009. ''Aturan yang selama ini menghambat pelaksanaan program infrastruktur, terutama pembebasan tanah, akan segera disempurnakan,'' ujar Djoko.

Salah satu sumber di Kadin menyebut, nantinya, seluruh regulasi soal tata ruang, akan ditarik langsung menjadi kewenangan Presiden. Ke depan, papar Hidayat, peruntukan lahan-lahan akan ditata kembali, untuk melestarikan hutan dan memanfaatkan lahan lainnya untuk kepentingan produktifitas, tanpa mengurangi ketentuan mengenai lingkungan. ''Nanti akan ada forest management yang benar-benar baru,'' katanya. (owi/bas/jp.com/sfl)

National Summit 2000 Undang 1.424 Stakeholders

JAKARTA - Gelaran akbar National Summit 2009 dimulai hari ini. Even yang diprakarsai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta pemerintah itu siap menampung masukan dari seluruh stakeholders atau pemangku kepentingan.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, National Summit akan dihadiri 1.424 stakeholders, mulai dari pejabat pemerintah pusat, pejabat pemerintah daerah, anggota Kadin, DPR, DPRD, korporasi, akademisi, hingga LSM. "Pemerintah akan menampung semua masukan dari peserta,'' ujarnya di Kantor Menko Perekonomian kemarin (28/10).

Menurut Hatta, gelaran National Summit yang mengambil tema "Mewujudkan Indonesia Sejahtera, Adil, dan Demokratis" itu merupakan instrumen yang akan digunakan dalam finalisasi program pemerintah, mulai program 100 hari, setahun, hingga lima tahun ke depan. "Dengan masukan yang ada, program pemerintah diharapkan bisa lebih konkret,'' katanya.

Dalam even yang akan dilaksanakan mulai 29 - 31 Oktober itu, proses diskusi akan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yakni Ekonomi, Kesejahteraan Rakyat, dan Hukum. Khusus di bidang ekonomi, sidang komisi akan terbagi dalam enam sub, yakni pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, ketahanan energi, pengembangan UMKM, revitalisasi industri dan jasa, serta transportasi.

Hatta mengatakan, misi diadakannya National Summit adalah untuk merespons keluhan banyak kalangan, terutama pengusaha, mengenai kendala kurangnya infrastruktur transportasi maupun energi di Indonesia. ''Kami ingin menampung keluhan yang ada, menganalisisnya, untuk kemudian mencari solusi atas kendala-kendala tersebut,'' jelasnya. (owi/fat/jp.com/sfl)

Wakil Menteri dan Politik Akomodasi

MASIH ada partai politik yang belum puas dengan kursi menteri yang mereka terima. Pos wakil menteri yang diwacanakan SBY juga bakal menjadi rebutan. Tampaknya, pos orang nomor dua di dapartemen itu membuat politisi berancang-ancang agar bisa mendapat jatah.

Golkar, misalnya, sudah kebelet. Bahkan, seperti yang dikatakan Priyo Budi Santoso, pihaknya sudah menyetor nama. Dan, Golkar sangat yakin mendapat jatah untuk menambah perbendaharaan kadernya di eksekutif.

Padahal, rambu-rambu untuk pos wakil menteri itu sudah terang benderang dalam UU Kementerian Negara. Wakil menteri harus dari pejabat karir titik. Kalau kita berada dalam terminologi dikotomi parpol dan karir, sudah seharusnya para politisi tahu diri untuk tidak perlu menetes air liurnya melihat pos yang bakal diadakan di sekitar enam hingga tujuh departemen itu.

Kita tidak bisa membayangkan, kalau kemudian pos wakil menteri juga menjadi bancakan partai politik. Misalnya, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat yang merupakan representatif Golkar diberi wakil dari partai lain. Bisa-bisa satu saat, bila terkait kepentingan parpol masing-masing antara menteri dan wakil menteri berbeda pendapat. Si menteri bilang "yes'', jangan-jangan wakilnya menyebut ''tidak.''

Jabatan wakil menteri ini benar-benar membuat partai politik tergoda. Apalagi, bila tugas wakil menteri sebagai operator. Posisinya yang sangat strategis bisa memberi keuntungan bagi partai politik.

Sekarang tinggal SBY sebagai pemegang hak tunggal untuk menentukan personal menteri dan wakilnya. Sebab, bisa saja SBY memberikan pintu masuk ke kader parpol dengan cara memperluas pengertian "karir" yang menjadi rambu di undang-undang itu.

Umpamanya, pengertian "karir" menjadi multitafsir. Karir adalah orang yang sedikit tidaknya: pernah bersentuhan dengan masalah departemen bersangkutan. Nah, misalnya untuk pos wakil Departemen Perdagangan, orang yang pernah menjadi pengusaha bergerak di bidang perdagangan boleh masuk. Padahal, kader parpol yang berpredikat seperti itu berjibun. Mereka pun masuk sebagai wakil menteri dengan cara baju parpolnya dilapisi mantel sebagai pengusaha tadi itu.

Kita juga berharap pos wakil menteri bukan tempat mengakomodasi kelompok tertentu. Mungkin ada grup yang tidak terakomodasi dalam kabinet lantas diberi panggung wakil menteri. Umpamanya, menjadi wadah kelompok yang merasa ikut menjadi tim sukses SBY-Boediono, namun hingga kini merasa belum mendapat dividen politik. Bisa saja kelompok ini ditampung dengan dalih kaum profesional.

Kita benar-benar berharap niat pembentukan wakil menteri itu untuk memberi dampak yang sangat positif untuk mendorong kinerja kabinet. SBY sebaiknya mengangkat orang profesional serta mempunyai kompetensi dengan tugas yang diberikan. Bukan menjadi instrumen politik akomodasi. (*/jp.com/sfl)

Dekadensi Politik Kiai

KIAI itu bukan cendekiawan yang -seperti ditamsilkan Arief Budiman-berumah di angin. Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam perihidup kiai, tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisanga, sosok kiai hadir terutama sebagai misionaris.

Dalam perkembangan kiprahnya, kiai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen -oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur, di mana kiai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkus-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari, dan sering harus mengonsolidasikan mereka untuk ''menghadapi dunia luar".

Dalam konteks ini, jelaslah bahwa kiai pada dasarnya juga pemimpin politik. Sepanjang sejarah, kiai senantiasa menjadi pengimbang (counterfailing-elite) terhadap para penguasa keraton. Catatan Sartono Kartodirdjo bahkan lebih menegaskan lagi fungsi kepemimpinan politik kiai itu: pada sekitar 600 kali pemberontakan petani melawan VOC selama abad ke-19, hampir seluruhnya diprakarsai oleh gerakan-gerakan tarekat, dimotivasi dengan seruan-seruan agama, dan dipimpin oleh kiai! Ketika komunitas di sekitar kiai mengalami tekanan dari luar, fungsi kepemimpinannya menuntut dia untuk tidak tinggal diam.

Semua analisis sosiologis dan ekonomis menyatakan bahwa di bawah rezim kapitalis modern, komunitas-komunitas lokal semakin tertekan. Politik ekonomi negara justru cenderung mempersempit ruang gerak mereka. Lebih-lebih setelah globalisasi, di mana negara itu sendiri tertekan oleh kekuatan-kekuatan raksasa global, komunitas-komunitas lokal kian lantak. Di tengah situasi ini, bukankah peran politik kiai sebagai pemimpin lokal semakin relevan? Bahkan, cukup banyak kiai masa kini yang semangat berpolitiknya tumbuh justru karena masih diliputi ''romantisme peran kepemimpinan masa lalu" itu.

Hanya, kiprah politik kiai dewasa ini memang menunjukkan tanda-tanda ''dekaden". Pengaruhnya memudar, langkah-langkahnya rombeng dan tumpul, pilihan-pilihannya ceroboh, serta sasaran-sasarannya remeh. Tak heran jika sebagian orang menjadi jemu dibuatnya, kemudian menyerukan agar kiai-kiai itu berhenti saja dari mengurusi politik. Dekadensi tersebut berakar pada sekurang-kurangnya sejumlah faktor berikut:

Pertama, wawasan politik kiai belum juga beranjak dari wacana kitab kuning. Dalam wacana kepustakaan klasik pesantren itu, kekuasaan hanya dikaitkan dengan jabatan (imaamah). Maka, yang dibicarakan hanya seputar kriteria normatif calon pejabat (imaam), tata-cara mendaulat pejabat (nashbul imaam), dan etika kepejabatan atau panduan akhlak untuk pejabat. Politik memang soal kekuasaan. Tak ada politik tanpa keterkaitan dengan kekuasaan. Masalahnya, sebagian besar kiai belum menyadari adanya wujud-wujud kekuasaan selain jabatan. Yang tampak dari kiprah politik mereka nyaris seluruhnya berkutat di seputar dukung-mendukung calon pejabat di berbagai cabang dan tingkat pemerintahan.

Kiai belum cukup memahami kekuasaan dalam wujud kekuatan kelompok penekan, dalam wujud penguasaan sumber daya-sumber daya ekonomi, alam, dan manusia, dalam wujud jaringan kepentingan, dan sebagainya. Memahami saja belum, apalagi memainkannya secara kreatif.

Kedua, gerusan peradaban global telah meruntuhkan batas-batas komunitas independen yang menjadi keratonnya kiai pada masa lalu. Kini, praktis kerajaan kiai hanya sebatas pagar batas pesantrennya. Intensitas pergulatannya dengan masyarakat di luar pagar itu berkurang. Kalaupun masih ada ikatan khusus dengan kelompok-kelompok tertentu, posisi-pusat kiai lebih berwatak selebritas ketimbang kepemimpinan langsung. Dengan sendirinya, penghayatan kiai terhadap kepentingan komunitas lokal pun berkurang.

''Kepentingan sempit" dari lembaga pondok pesantren miliknya sendiri semakin mendominasi motivasi politik kiai. Kalaupun ada agitasi tentang kepentingan yang luas, tema dan argumennya malah bersifat abstrak seperti: membela agama, antikomunis, antiliberal, anti-Ahmadiyah, antiporno, dan sebagainya. Kepentingan riil komunitas lokal terlewati. Celakanya, gagasan-gagasan abstrak yang akhir-akhir ini digemari sejumlah kiai itu -walaupun mungkin populer di media massa- justru oleh rakyat banyak tak dirasakan relevansinya dengan masalah-masalah nyata kehidupan mereka. Kiprah politik kiai pun kian teralienasi dari lingkungannya.

Ketiga, kemiskinan yang merajalela dan kehidupan ekonomi yang semakin sulit telah merontokkan nilai luhur dan ideologi dari daftar motivasi politik rakyat. Masa depan yang terasa gelap membuat mereka tak acuh kepada kepentingan jangka panjang. Barangsiapa memberikan sedikit kenyamanan untuk hari ini -bukan janji besok, apalagi masa depan yang jauh-kepadanyalah mereka berpihak.

Bahkan, agama itu sendiri kian tersingkir dari pusat pergulatan hidup mereka. Jangan-jangan, merebaknya minat terhadap agama dewasa ini bukan demi agama itu sendiri. Yang terasa justru kesan bahwa masyarakat memburu agama seperti orang sakit mencari pengobatan alternatif: jalan pintas untuk keluar dari kesulitan. Sambutan antusias terhadap seruan bersedekah tidak didorong oleh rasa keagamaan dan solidaritas sosial yang menguat, tapi oleh motivasi untuk memperoleh ganjaran rezeki yang berlipat dari yang telah dikeluarkan. Kiai dihayati sebagai dukun, politik uang diterima dengan riang-gembira.

Jelas bahwa yang menjadi masalah bukan keterlibatan kiai dalam politik, tapi kualitasnya. Menyerah dan menarik diri dari politik justru berarti putus asa. Tantangan kiai adalah bagaimana memperkaya wawasan, memperdalam intensitas keterlibatan terhadap kepentingan-kepentingan kaum lemah, serta mengasah kreativitas dan keterampilan dalam memberdayakan dan memanfaatkan instrumen-instrumen politik yang lebih beragam.

*) Yahya C. Staquf, Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang

(jp.com)

Menutup Rapat Pintu Pungli

VISI Kabinet Indonesia Bersatu II untuk mewujudkan pemerintah yang bersih, transparan, dan akuntable dapat dimulai dari sektor layanan publik. Konkretnya adalah menutup celah yang berpotensi menimbulkan pungli seperti layanan sertifikasi tanah oleh BPN, penyitaan STNK/SIM karena tilang oleh polantas, pengurusan surat izin usaha/SIUP oleh Disperindag, dan pengurusan KTP/kartu kependudukan oleh catatan sipil.

Dari meja layanan publik itu memungkinkan terjadinya praktik kolusi antara petugas dan masyarakat pemohon. Ujung-ujungnya, muncul pungli yang tidak masuk ke kas negara. Alangkah elegannya jika semua layanan publik yang memerlukan biaya distandardisasi dengan menyetor langsung melalui bank, seperti yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Depkeu dalam hal perpajakan. Dengan demikian, good governance bukan sekadar moto dan wacana.

Hepi Cahyadi, Raya Juanda, Sidoarjo

PDIP Resmi Motori Angket Keluarnya Dana Talangan untuk Century

JAKARTA - Wacana hak angket Century di DPR mulai mengkristal menjadi realitas. DPP PDIP secara resmi telah menginstruksi Fraksi PDIP di DPR untuk mengajukan hak investigasi (angket) kasus keluarnya dana talangan Rp 6,7 triliun untuk bank yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara tersebut.

Dinamika di Senayan itu bakal menjadi tekanan pertama parlemen untuk pemerintah SBY-Boediono. Bila hak angket tersebut menjadi kenyataan, Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani bisa jadi bolak-balik ke Senayan. Sebab, merekalah pejabat pemegang otoritas pencairan dana bail out tersebut. Saat itu Boediono menjadi gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani juga menjabat Menkeu.

"Kami berharap fraksi-fraksi lain di DPR bisa juga mendukung hak angket yang akan digunakan FPDIP," kata Sekjen DPP PDIP Pramono Anung di Kantor DPP PDIP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, kemarin (28/10). Seiring dengan itu, lanjut pria yang akrab dipanggil Pram tersebut, di internal FPDIP dibentuk tim pencari fakta mengenai pengucuran dana talangan Century.

Pram menuturkan, PDIP sengaja memilih penggunaan hak angket agar publik bisa memahami persoalan Bank Century yang sebenarnya. Sebab, kasus itu menyangkut dana talangan yang cukup besar. Terlebih, DPR hanya menyetujui seperlima dari total anggaran yang akhirnya dikucurkan ke bank bermasalah itu.

"Dari dana pengeluaran yang jauh melampaui persetujuan DPR, jelas sekali ada yang perlu dipertanyakan," tegas wakil ketua DPR tersebut.

Pram menambahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang melakukan audit investigatif terhadap Bank Century. Itu merupakan rekomendasi Komisi XI DPR periode 2004-2009. Meski begitu, menurut Pram, pangajuan hak angket bisa berjalan tanpa harus menunggu BPK menyelesaikan audit.

"Berjalan secara paralel saja. Nanti, kami juga menggunakan data (hasil audit, Red) BPK sebagai penguatan. Tapi, proses politik harus tetap berjalan," ungkap dia. Pram menyebut telah menginstruksi Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo untuk melobi fraksi lain di DPR.

FPPP memilih menahan diri. Mereka memprioritaskan mendesak BPK menuntaskan audit investigatif itu. "Kami minta November ini sudah selesai dan hasilnya segera diserahkan ke DPR," ucap Ketua FPPP Hasrul Azwar. Kalau dalam proses selanjutnya diperlukan hak angket, imbuh dia, FPPP tidak keberatan.

Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Anas Urbaningrum juga mengatakan masih menunggu hasil audit BPK. Dia berharap fraksi lain bisa menghormati rekomendasi resmi DPR periode lalu tersebut. Setelah semuanya jelas, baru FPD menentukan sikap. "Yang kami tolak adalah politisasi hukum," tegas Anas. (pri/tof/jp.com/sfl)

Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Menkes Batal Digelar

JAKARTA - Gesekan di parlemen mulai muncul. Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih batal digelar. Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning menuding Ketua DPR Marzukki Alie yang menjadi penyebab pembatalan itu.

Ditengarai batal itu tak lepas dari pergelutan antara istana dan oposisi. Ribka yang berasal dari PDIP ingin melakukan klarifikasi terhadap Menkes baru terkait isu Namru, laboratorium milik AS. Sementara itu, Marzuki yang berasal dari Partai Demokrat ''memproteksi'' Menkes baru.

''Pembatalan ini dari ketua DPR, ini aneh,'' kata Ribka Tjiptaning saat dihubungi kemarin (28/10). Kabar pembatalan itu datang dari Sekretariat Jenderal DPR pada Selasa malam (27/10). Pihak Sekretariat melalui telepon menyatakan meminta agar rapat dengar pendapat itu dibatalkan.

''Padahal, rapat kami itu hanya mengagendakan klarifikasi. Bukan memarahi,'' sindir Ribka. Dia menyatakan, pemanggilan Menkes itu sudah melalui prosedur. Dalam hal ini, komisi IX sudah menghubungi Wakil Ketua DPR Marwoto Mitrohardjono. Dialah yang bertugas menghubungkan DPR dengan menteri. ''Semua prosedur sudah dilakukan. Saya menjadi ketua komisi itu bukan hanya sekarang,'' lanjut dia.

Dia menilai, ada upaya dari ketua DPR untuk melindungi Menkes. Apalagi, saat terpilihnya Endang dinilai kontroversial di mata publik. Yang lebih aneh lagi, Endang juga menyatakan tidak bisa hadir atas alasan rapat internal. ''Namun, tadi Menteri Kesehatan Endang malah mengunjungi pameran rumah sakit swasta,'' ujarnya, lantas tertawa.

Ribka menilai, ada arogansi yang dilakukan ketua DPR atas pembatalan itu. Sebab, ini baru tahap awal untuk melakukan komunikasi antara komisi IX baru dan Menkes yang juga baru.

''Mungkin pola pikirnya masih seperti Sekjen (Demokrat). Padahal, kalau menjadi ketua DPR, kan mengatur saja,'' ujarnya. Dia khawatir bahwa preseden itu bisa terjadi pada pemanggilan menteri selanjutnya.

Pernyataan itu dibantah Ketua DPR Marzuki Alie. Secara terpisah, Marzuki menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak melarang pertemuan antara komisi dan menteri-menteri. ''Pemanggilan itu harus dengan perencanaan dan inventarisasi masalah yang baik. Tidak dadakan karena memanggil menteri harus ada hasilnya. (Pemanggilan) itu hasilnya apa,'' ujar Marzuki.

Marzuki menilai, selama ini pemanggilan menteri oleh komisi lebih untuk marah-marah, mencaci, dan menghujat. DPR memosisikan sebagai pengkritik sehingga tidak ada hasil substansial dari pertemuan tersebut. ''DPR bukan lembaga penghujat. Semua harus dalam konteks dan perencanaan yang jelas,'' kata Marzuki.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mendukung Marzuki. Dia menjelaskan, lalu lintas semua agenda di DPR harus melalui mekanisme rapat badan musyawarah (bamus). Rapat bamus itu mencerminkan perwakilan semua fraksi. Dalam kondisi tertentu dapat digelar rapat pimpinan DPR dan pimpinan fraksi sebagai pengganti bamus.

Begitu bamus sudah menyepakati, masing-masing komisi dipersilakan menjalankan agendanya. Persoalannya, ungkap Priyo, agenda Raker Komisi IX DPR dengan Menkes itu belum dibahas di rapat bamus. ''Bamus baru akan merapatkannya besok (hari ini, Red). Jadi, ketua DPR tidak salah dalam konteks ini,'' ujarnya.

Pandangan yang berbeda disampaikan Wakil Ketua DPR Pramono Anung. Menurut dia, kewenangan untuk mengundang mitra kerja di eksekutif dipegang para wakil ketua DPR. Sudah ada pembagian wilayah kerja. Komisi IX merupakan salah satu domain Wakil Ketua DPR Marwoto Mitrohardjono. ''Pak Marwoto secara resmi memang sudah menulis surat. Memang belum ada pembicaraan pada tingkat pimpinan. Tapi, mungkin menterinya masih baru dan belum siap sehingga memerlukan waktu untuk diundur,'' bebernya.

Mewakili Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily S. Sulistiyowati menjelaskan bahwa penundaan itu dilakukan karena Menkes Endang memiliki agenda lain. Dia membantah bahwa ada hal-hal lain yang menjadi penyebab batalnya rencana hearing tersebut. ''Tidak ada alasan lain, agenda dengan DPR hanya di-reschedule karena Ibu (Endang, Red) ada rapat yang nggak bisa ditinggalkan,'' ujar Lily.

Dia pun membantah bahwa Menkes takut untuk menghadapi media dan wakil rakyat. Saat ini, kata dia, Endang sedang fokus pada program-program utama dan masih akan membenahi kondisi internal di Depkes yang perlu ditingkatkan. ''Itu saja, tidak ada alasan lain,'' katanya. (bay/pri/jp.com/sfl)

Kenaikkan Gaji Pejabat Direalisasikan Mulai Januari 2010

JAKARTA - Kontroversi seputar rencana kenaikan gaji pejabat negara tak membuat pemerintah berubah ke­putusan. Bahkan, rencana itu siap di­realisasikan mulai Januari 2010. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran untuk re­munerasi pejabat negara sudah masuk pos belanja pegawai.

Pejabat yang dimaksud ialah presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI, jaksa agung, gubernur, bupati, ketua DPR/DPD, ketua MPR, anggota DPR, DPRD, termasuk hakim. ''Sistem ini sudah siap berdasarkan anggaran. Jika kebijakan politiknya sudah disetujui, ini bisa mulai 1 Ja­nuari 2010,'' ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Departemen Ke­uangan kemarin (28/10).

Menurut Sri Mulyani, selama ini penetapan remunerasi pejabat negara menggunakan payung hukum berupa UU Nomor 12 Tahun 1980

Namun, lanjut dia, undang-un­dang itu tidak sesuai dengan kon­disi sekarang karena tak me­ngatur remunerasi lembaga negara baru seperti DPD, Mahkamah Konstitusi, maupun Komisi Yudisial. ''Ini membuat tidak adanya keseragaman dalam pem­berian gaji dan tunjangan pejabat negara,'' katanya.

Untuk merespons perkem­ba­ngan tersebut, kata Sri Mulyani, sejak 2005, presiden sudah menginstruksi Menkeu dan menteri pendayagunaan aparatur negara (Men PAN) menyusun suatu kebijakan yang utuh dan komprehensif agar tercapai suatu sistem remunerasi pejabat negara yang adil dan tepat.

Menurut dia, dasar hukum pe­ng­aturan remunerasi pejabat negara yang berlaku saat ini ter­sebar dalam lebih dari 35 peraturan perundangan dalam bentuk peraturan pemerintah, keppres, perpres, keputusan menteri keuangan, dan SK Sekjen kementerian/lembaga. Akibatnya, tidak ada konsistensi dalam penetapannya. ''Jadi, jika ada peraturan pemerintah yang baru, 35 peraturan itu akan dicabut supaya tidak tumpang tindih,'' terangnya.

Lalu, berapakah kenaikan gaji atau remunerasi yang akan dinikmati para pejabat nanti? Sri Mulyani mengatakan, besaran yang dimasukkan dalam program remunerasi belum bisa disampaikan. ''Yang jelas sudah masuk APBN 2010. Aplikasinya akan disesuaikan, tapi belum bisa saya sampaikan karena PP-nya belum dibuat,'' ujarnya.

Sri Mulyani justru memaparkan kebijakan belanja pegawai dalam lima tahun terakhir yang mengutamakan perbaikan gaji PNS, TNI-Polri, dan pensiunan serta veteran. Terutama kelompok penghasilan terendah (golongan I dan II).

Misalnya, PNS golongan IA yang pada 2004 memperoleh penghasilan Rp 674.050 naik menjadi Rp 1.892.220 pada 2010. Tamtama/bintara dari Rp 1.271.600 menjadi Rp 2.505.180 atau naik dua kali lipat. Tunjangan veteran juga naik dari Rp 526.000 menjadi Rp 1.260.000. ''Sementara itu, gaji presiden dan menteri tidak naik,'' sebutnya.

Menurut Sri Mulyani, berdasar hasil evaluasi, secara rata-rata uang tunai yang diterima pejabat negara relatif rendah. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan dengan gaji pejabat di negara-negara lain. Bahkan, lanjut dia, selama 8 tahun besaran gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas menteri di Indonesia tidak pernah berubah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan menambahkan, dalam reformasi birokrasi, pemerintah mengutamakan bidang penataan kelembagaan atau bagaimana membuat struktur organisasi sesuai kondisi yang ada.

''Kami harus segera menyiapkan peraturan perundang-undangan. Antara lain, dalam waktu dekat harus ada undang-undang kepegawaian atau aparatur negara. Kalau sudah ada, ini akan sangat membantu dalam hal penetapan remunerasi,'' jelasnya.

Menurut Sri Mulyani, remunerasi pejabat negara yang berlaku saat ini terdiri atas tiga komponen. Pertama, gaji pokok atau salary. Kedua, tunjangan atau allowance yang terdiri atas tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, uang sidang, tunjangan komunikasi intensif, dan lain-lain yang bervariasi pada setiap lembaga negara.

Ketiga, fasilitas atau benefit yang terdiri atas kendaraan dinas, rumah jabatan, kesehatan, listrik dan tele­pon, sopir pribadi, operasional harian, bantuan BBM, pengawalan dan pelayanan pimpinan, dan lain-lain yang bervariasi pada setiap lembaga negara.

Sri Mulyani menyebutkan, jika diperhitungkan hanya dalam bentuk uang tunai, secara rata-rata penghasilan (gaji dan tunjangan) pejabat negara relatif rendah. ''Karena itu, banyak pejabat negara yang mendapatkan tambahan tunjangan dari masing-masing lembaga berdasar kebijakan internal atau surat Sekjen masing-masing,'' terangnya.

Sebagai gambaran, sejak 5 tahun lalu hingga kini, gaji presiden RI sebesar Rp 62,74 juta per bulan. Itu terdiri atas gaji pokok Rp 30,24 juta dan tunjangan jabatan Rp 32,50 juta. Gaji wakil presiden RI sebesar Rp 42,16 juta per bulan, yang terdiri atas gaji pokok Rp 20,16 juta dan tun­jangan jabatan Rp 22,00 juta. Gaji menteri dan pejabat setingkat menteri Rp 18,648 juta per bulan, yang terdiri atas gaji pokok Rp 5,04 juta dan tunjangan jabatan Rp 13,608 juta.

Jika dibandingkan dengan gaji eksekutif lain, misalnya jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia, gaji eksekutif RI memang jauh lebih rendah. Sebagai gambaran, saat ini anggota Dewan Gubernur BI, termasuk Boediono saat menjabat sebagai gubernur BI, menerima tidak kurang dari Rp 200 juta per bulan.

Demikian juga para eksekutif di BUMN-BUMN besar. Ambil contoh, Sofyan Basyir, Dirut BRI, mengantongi gaji Rp 167 juta per bulan. Itu gaji tertinggi bila dibandingkan dengan bos perusahaan pelat merah yang lain. Selain gaji, Sofyan mendapatkan tantiem sekitar Rp 6,036 miliar sehingga total penerimaan Sofyan sepanjang 2009 adalah Rp 8,04 miliar atau Rp 670 juta per bulan.

Kecemburuan Sosial

Meski pemerintah menyatakan memiliki alasan logis untuk me­naikkan gaji para pejabat negara, ketiadaan standardisasi antara remunerasi dan kinerja tetap memantik kontroversi.

Direktur Direktur Pelaksana Lembaga Studi Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, langkah pemerintah untuk menaikkan gaji pejabat belum pas karena pemerintah sendiri belum memiliki parameter yang jelas untuk menjelaskan alasan ke­naikan gaji. ''Jika tetap dilakukan, ini sama saja dengan menyulut sumbu kecemburuan sosial di masyarakat,'' ujarnya ketika dihubungi tadi malam.

Menurut Ichsanuddin, kenaikan gaji pejabat negara harus didahului dengan beberapa parameter. Pertama, apakah layanan publik sudah membaik dan apakah ada jaminan pemerintah bahwa jika gaji pejabat negara dinaikkan, peningkatan pelayanan publik akan pararel.

Kedua, harus ada standar jenjang karir dan penilaian kinerja yang mencerminkan profesionalisme. ''Lihat saja, hingga kini, iklim birokrasi kita masih diwarnai dengan budaya jilat-menjilat. Jadi, tidak ada performance appraisal (penilain kinerja, Red) yang jelas,'' katanya. Jika jaminan tersebut tidak bisa diberikan dan dijelaskan secara gamblang kepada masyarakat, yang muncul kemudian adalah ketidakpuasan publik. ''Dengan demikian, opini publik akan terbentuk bahwa kenaikan gaji hanyalah wujud sikap keserakahan pejabat,'' tegasnya.

Terkait pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang menyebutkan gaji pejabat RI lebih rendah daripada negara-negara lain, Ichsanuddin mengatakan itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Dia menyebutkan, saat ini rasio total belanja pegawai di Indonesia memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Dalam APBN 2010, alokasi belanja pegawai Rp 160,31 triliun atau sekitar 15 persen dari total porsi belanja pemerintah Rp 1.047,66 triliun. ''Kalau di negara lain, porsi belanja pegawai memang bisa lebih dari 17 persen,'' sebutnya.

Meski demikian, lanjut dia, kondisi di Indonesia dan di negara-negara lain juga berbeda. ''Di negara lain, yang namanya korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN, sudah relatif bersih. Lha di Indonesia, KKN para pejabat masih merajalela. Kalau KKN merajalela, artinya masih banyak pejabat yang mengomersialkan jabatan. Jadi, kondisinya berbeda jauh, tidak bisa begitu saja dibandingkan,'' tuturnya.

Ichsanuddin juga menyoroti rencana penggantian mobil dinas menteri dari Toyota All New Camry menjadi Toyota Crown Majesta seharga lebih dari Rp 1,3 miliar. Menurut dia, pergantian mobil dinas itu juga akan memicu pergantian mobil dinas para gubernur yang secara level setingkat dengan menteri, termasuk para pejabat di DPRD.

Dengan begitu, lanjut Ichsanuddin, para pejabat hanya akan mempertontonkan kemewahan kepada rakyat yang hingga kini belum mendapatkan kesejahteraan. ''Jadi, kesimpulannya, sepanjang para pejabat negeri ini belum bisa memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat, tidak ada ruang bagi mereka untuk seenaknya menaikkan gaji,'' katanya. (owi/iro/jp.com/sfl)Rata Penuh)

Rabu, 28 Oktober 2009

Indonesia Masih Jadi Incaran Investor Singapura

JAKARTA - Indonesia masih menjadi incaran investor-investor asing, terutama dari negara tetangga seperti Singapura. Dalam rangka menjalin kerjasama yang lebih erat, kemarin sebanyak 25 pengusaha Singapura mengunjungi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Ketua Kadin Indonesia Komite Singapura, Iwan D. Hanafi, mengatakan, delegasi pengusaha dari Singapura tersebut berkomitmen untuk meningkatkan perdagangan antara kedua negara. Mereka memberikan kesempatan bagi pengusaha Indonesia untuk memperluas jaringan bisnisnya di Singapura. "Ini dalam rangka untuk memperluas networking dan kita juga mengadakan business gathering untuk membicarakan beberapa hal," ujarnya.

Dalam pertemuan itu, kata Iwan, keduanya mengungkapkan beberapa potensi bisnis di negaranya masing-masing. Bahkan sejumlah hal berpotensi untuk ditindaklanjuti. Setelah Jakarta, rombongan itu sepakat untuk melanjutkan kunjungan bisnisnya ke beberapa kota lain yakni Surabaya dan Balikpapan. "Di dua kota itu juga akan diadakan bisnis meeting dengan pelaku usaha di sana," ungkapnya.

Dengan adanya kunjungan bisnis itu, Iwan berharap segera terjadi kesepakatan dan deal-deal bisnis baru antara pengusaha Singapura dan Indonesia. Bukan hanya yang sudah exsisting, tetapi juga investasi baru. "Memang sebagian dari mereka sudah exsisting dan memiliki bisnis tertentu di Indonesia, kita harapkan mereka tertarik untuk meningkatkan volumenya," lanjutnya.

Ketua Delegasi Bisnis Singapura ke Indonesia, Lui Sin Leng mengungkapkan, sudah banyak investasi pengusaha Singapura di Indonesia. Namun begitu, menurut dia, masih banyak sektor-sektor usaha lain yang masih sangat potensial untuk digarap dan memiliki peluang yang menjanjikan. Oleh karena itu, pihaknya melakukan kunjungan bisnis untuk mencari peluang itu. "Kami tertantang untuk meningkatkan investasi di Indonesia dalam beberapa sektor strategis seperti migas dan property," tegasnya.

Bertahun-tahun Indonesia mengalami minus neraca perdagangan atas Singapura. Tahun lalu, perdagangan kedua negara masih minus USD 8,9 juta bagi Indonesia. (wir/kim/jp.com/sfl)

Pemerintah Siapkan Strategi untuk Meninjau Sistem Subsidi BBM 70 Persen Subsidi Tak Tepat Sasaran

JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini dibayangi pergerakan liar harga minyak. Ditambah dengan faktor subsidi BBM yang kurang tepat sasaran, beban berat pun harus ditanggung APBN.

Ketua Panitia Anggaran DPR (terpilih) Harry Azhar Aziz mengatakan, untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak, pemerintah harus mulai menyiapkan strategi untuk meninjau kembali sistem subsidi BBM. ''Selama ini kan kurang tepat sasaran. Dengan strategi yang tepat, diharap bisa mengurangi beban APBN,'' ujarnya kemarin (27/10).

Merujuk data Bappenas, kata Harry, 70 persen subsidi BBM justru dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu. Hal itu tidak bisa dihindari karena sistem subsidi BBM masih menggunakan sistem terbuka. ''Data Bappenas itu masih harus diklarifikasi, namun harus diakui bahwa mayoritas yang memanfaatkan subsidi adalah kalangan menengah ke atas,'' katanya.

Dalam APBN 2010, alokasi subsidi BBM, LPG, dan BBN ditetapkan sebesar Rp 68,7 triliun. Jika sistem subsidi BBM masih seperti saat ini dan harga minyak terus melonjak naik, maka subsidi BBM terancam membengkak.

Untuk itu, lanjut Harry, metode subsidi tertutup seperti sistem smart card bisa menjadi pertimbangan. Rencana tersebut pernah digodog pemerintah pada 2008, namun mentah karena terbentur alasan pendanaan dan politis menjelang Pemilu. ''Inilah yang harus dipikirkan Menteri ESDM yang baru,'' terangnya.

Pengamat Ekonomi Dradjad H. Wibowo mengatakan, pengalihan subsidi BBM dari subsidi barang ke subsidi orang, memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan subsidi listrik. ''Subsidi listrik lebih mudah diarahkan kepada orang tertentu karena identifikasi konsumennya jauh lebih mudah,'' ujarnya.

Selain itu, proses pengalihan subsidi juga memerlukan perbaikan infrastruktur berupa pemutakhiran data. Sebab, selama ini masalah identifikasi konsumen tidak disentuh. ''Jadi, mumpung harga minyak dunia belum naik, sebaiknya kebijakan BBM diarahkan ke masalah ini. Termasuk registrasi penduduk dan teknologinya,'' katanya.

Saat ini, harga minyak memang cenderung bergerak makin liar. Data menunjukkan, harga minyak dunia merangkak naik sejak pertengahan Februari lalu dari USD 35 per barel hingga mencapai rekor harga tertinggi sepanjang delapan bulan terakhir di level USD 73,23 pada 30 Juni. Namun, harga sempat melorot ke USD 58 per barel pada akhir pekan ke dua bulan Juli, sebelum akhirnya perlahan naik lagi. Dalam perdagangan di Nymex kemarin, harga kembali menyentuh USD 78,77 per barel. (owi/kim/jp.com/sfl)

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa

ETNIS Tionghoa sebagai bagian integral bangsa ini ikut terlibat dalam beragam dinamika Indonesia. Termasuk saat peristiwa historis Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu para pemuda dari berbagai suku atau etnis mencetuskan sumpah yang sangat monumental. Sumpah yang merupakan "resolusi" kongres pemuda kedua (1928) itu adalah tekad bersama semua unsur pemuda di Nusantara untuk bersatu tanah air, bersatu bangsa, dan bersatu bahasa: Indonesia! Para pemuda itu sudah memiliki visi menghargai keragaman dan masing-masing memandang satu sama lain dalam posisi setara atau sederajat.

Lalu di mana peran etnis Tionghoa? Itu antara lain terbukti dengan dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan. Di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Peran yang cukup signifikan boleh jadi terletak pada peran etnis ini untuk ikut berkomitmen mendukung isi Sumpah Pemuda butir ketiga "kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia", etnis Tionghoa juga punya sumbangan cukup lumayan.

***

Menurut bukti sejarah, dalam hal bahasa, kontribusi etnis ini memang tidak kecil. Sekadar diketahui, semula etnis Tionghoa, di Jawa khususnya, lebih suka berbahasa Jawa. Namun, sebuah keputusan yang diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870) akhirnya memutuskan sistem pas (passenstelsel) yang praktis memisahkan orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, etnis ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan golongan atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat golongan atas, termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan juga mendorong mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa Melayu yang didirikan pemerintah kolonial sejak 1854.

Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti Soerat Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang Soerabaja (1860). Di awal abad ke-20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, dan Sin Po. Harian Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia Nederlandsch atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata "inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti harian lain. Kemudian untuk membalas "budi" sebagian besar penerbitan pers Indonesia mengganti kata "China" dengan kata "Tionghoa".

Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut kemudian berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

***

Nah, yang perlu digarisbawahi, jika peran etnis Tionghoa ditampilkan dalam tulisan ini, sebenarnya bukan bermaksud menonjolkan peran etnis ini sendiri dalam mendukung Sumpah Pemuda. Peran etnis Tionghoa mungkin sama saja atau bahkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan para pemuda dari Jawa, Batak, atau Betawi, dan sebagainya. Peran etnis Tionghoa "terpaksa" disinggung di sini sekadar untuk menyegarkan ingatan, karena kadang masih terdengar penilaian etnis Tionghoa sama sekali tidak peduli dengan masalah-masalah kebangsaan atau etnis Tionghoa malah merusak bahasa Indonesia.

Kalau kita kembali ke semangat Sumpah Pemuda, penilaian minor yang mengecilkan peran etnis tertentu seperti disebutkan di atas hanya kontraproduktif bagi bangsa ini. Karena itu, semangat 1928 rasanya masih sangat relevan gaungnya untuk kita. Pasalnya, pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku dan agama sudah berani membangun tekad kebersamaan. Yang penting bagi mereka adalah semangat bersama untuk mewujudkan impian akan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat bernama Indonesia.

Dan sebuah Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap komponennya memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai keragaman, pluralisme, atau perbedaan. Entah seberapa besar atau kecil sumbangannya bagi Indonesia, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Yang jauh lebih penting adalah solidaritas dan menjauhi semangat kesukuan atau semangat menonjolkan suku, etnis atau kelompok sendiri. Untuk itu, jangan gara-gara soal menteri saja, sampai mau bercerai dari NKRI.

Kini sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka. Semangat Sumpah Pemuda masih belum basi, terlebih untuk menjaga dan merawat Indonesia yang kini menghadapi 1001 persoalan, terlebih tantangan globalisasi, terorisme, dan korupsi. Kita yakin bila semua suku atau etnis atau elemen apa pun dari bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, mungkin kita akan bisa meraih mimpi yang lebih besar, yakni Indonesia yang berkesetaraan dan berkeadilan, bukan almarhum Indonesia yang rusak karena tercerai berai berbagai ambisi primordialisme.

*) Mustofa Liem, PhD , Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan

(jp.com)

Agenda Antikorupsi SBY Jilid II

PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pelantikan mendapat pujian dari banyak kalangan. Pada awal pidato SBY mengatakan esensi program pemerintahan lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan, "Prosperity, Democracy and Justice." Untuk mencapai hal tersebut, tak lupa SBY memasukkan agenda pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi sepertinya masih menjadi kata kunci yang ditunggu-tunggu masyarakat. Bagaimana tidak, sampai saat ini, Indonesia masih termasuk dalam jajaran negara-negara terkorup di dunia dan Asia. Setidaknya menurut survei Transparency International (TI), Indonesia masih berada di urutan ke-126 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,6. Walaupun IPK-nya naik dari tahun sebelumnya, hal itu tidak cukup mengangkat posisi Indonesia untuk bisa keluar dari daftar negara-negara terkorup.

Agar komitmen antikorupsi tidak sekadar ucapan belaka, sebaiknya Presiden SBY segera membuktikannya dengan program-program konkret. Salah satunya membenahi institusi penegak hukum.

Benahi Kejaksaan

Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim politik dapat dilihat dari kinerja penegak hukum yang ada di bawahnya secara struktural, khususnya institusi kejaksaan. Kejaksaan adalah perpanjangan tangan presiden untuk penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. UU Kejaksaan dengan tegas menyatakan bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penuntutan. Penetapan susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan juga merupakan kewenangan presiden. Karena itu, kondisi kejaksaan mencerminkan kinerja penegakan hukum pemerintah.

Beberapa survei publik menyatakan bahwa institusi kejaksaan merupakan sektor penegakan hukum yang mesti direformasi. Sebagaimana hasil penelitian Partnership for Governance Reform (2007) yang menyatakan bahwa kejaksaan bersama-sama dengan pengadilan dan kepolisian merupakan lembaga dengan intensitas korupsi tertinggi. Kemudian, dalam Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Suap 2008 yang dirilis TI disebutkan bahwa seluruh kelompok responden (tokoh masyarakat, pelaku bisnis, dan pejabat publik) menyatakan bahwa institusi penegak hukum merupakan prioritas sektor yang harus dibersihkan dari perilaku koruptif.

Selain citra buruk, kejaksaan dinilai sering melakukan blunder kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Di antaranya tren penetapan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus-kasus korupsi. SP3 ini jelas bermasalah karena alasan SP3 selama ini adalah bukan merupakan kasus pidana, tidak ada kerugian negara, dan kekurangan alat bukti. Alasan tersebut tentu tidak bisa diterima karena proses penentuan peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan seharusnya sudah melewati proses internal kejaksaan, bahkan untuk kasus besar harus diputuskan Jaksa Agung. Status tersangka menandakan bahwa telah ditemukan bukti awal yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, jika masih di-SP3 berarti ada masalah mendasar pada proses pengambilan keputusan di internal kejaksaan dan justru patut dikhawatirkan menjadi ranah "mafia peradilan".

Kejaksaan juga bermasalah terkait uang pengganti kerugian negara. Catatan audit BPK per Desember 2007 melaporkan bahwa dana Rp 7,72 triliun belum diselesaikan/belum disetor ke kas negara. ICW pernah mempermasalahkan ketidakjelasan pengelolaan dana tersebut. Namun, upaya itu berujung pada penetapan tersangka pada dua aktivis ICW karena dianggap telah mencemarkan nama baik Kejagung. Selain itu, kejaksaan lemah dalam menindaklanjuti hasil temuan BPK. Dari 266 temuan BPK pada 2008, 200 (75,19%) di antaranya belum ditindaklanjuti. Tingkat kepatuhan sangat rendah, yakni hanya 24,81 persen.

Karut-marut kondisi kejaksaan tersebut harus segera dibenahi. Salah satu cara yang patut dipertimbangkan oleh Presiden SBY adalah melakukan penyegaran di tubuh Kejagung dengan mengganti Jaksa Agung saat ini beserta jajaran pimpinan lain Kejagung. Penggantian ini perlu dilakukan atas pertimbangan dua hal. Pertama, kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak menunjukkan pencapaian yang signifikan dalam hal penegakan hukum antikorupsi. Alih-alih memperbaiki kinerja, kejaksaan malah semakin terperosok dalam citra yang semakin memburuk. Kedua, unsur pimpinan Kejagung saat ini telah kehilangan kepercayaan publik. Beragam peristiwa kontroversial dan kebijakan yang tidak populis telah mengikis rasa kepercayaan publik terhadap pimpinan Kejagung. Mereka telah kehilangan dukungan moral sehingga cukup sulit diharapkan mampu mengangkat citra dan kinerja dalam rentang waktu kepeminpinan SBY jilid II. Karena itu, penggantian Jaksa Agung dan jajaran pimpinan Kejagung lain perlu dilakukan demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi SBY jilid II.

Perkuat KPK

Tak kunjung membaiknya kinerja kejaksaan dalam pemberantasan korupsi menyebabkan tidak adanya pilihan lain selain memperkuat KPK. Kinerja yang ditunjukkan KPK selama ini telah menghadirkan kepercayaan publik, baik dalam negeri maupun internasional, bahwa Indonesia serius memberantas korupsi. KPK tercatat telah berhasil menyeret sejumlah pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, anggota legislatif dan pejabat publik lain serta pengusaha swasta yang melakukan korupsi. Melalui kewenangan penindakan dan pengawasan jalannya pemerintahan, KPK telah berperan dalam mendorong terjadinya reformasi birokrasi di tubuh institusi pelayanan publik. KPK juga tercatat telah mampu menghadirkan tradisi tertib hukum para pejabat tinggi negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif melalui mekanisme pelaporan harta kekayaan negara.

Setidaknya, catatan-catatan posisitf tersebut harus senantiasa dijaga dan diperkuat. Presiden SBY harus memastikan bahwa KPK tidak dilemahkan. Berbagai upaya terkini untuk melemahkan independensi dan kewenangan KPK harus segera dihentikan. Dukungan politik presiden mestinya diberikan agar KPK menjadi institusi yang kuat, stabil, dan efektif yang selaras dengan amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Jika pemerintah gagal melindungi KPK, hal itu akan menggagalkan semua upaya menghapus korupsi dan berdampak kepada kredibilitas politik dan ekonomi.

*) Oce Madril , Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, Master Student Law and Governance Program, Nagoya University, Jepang

(jp.com)

Indonesia dalam Pusaran G-20 dan ASEAN

KEINGINAN ASEAN berperan dalam perundingan G-20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand pekan lalu merupakan salah satu langkah maju dalam proses integrasi ekonomi ASEAN. Terbukanya akses dan peluang kerja sama dengan 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan semakin diakuinya peran regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi global. Dalam proses ini, Indonesia memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya negara ASEAN di G-20 dan memiliki posisi strategis sebagai ''penyambung" kepentingan ASEAN dan G-20.

Kekhawatiran negara-negara ASEAN atas kemungkinan Indonesia mengabaikan ASEAN dan lebih fokus ke G-20 sesungguhnya menunjukkan kekhawatiran negara-negara ASEAN bahwa mereka tidak dapat ikut ''ambil bagian" dalam keuntungan yang dimiliki Indonesia ini. Hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya yang harus dikhawatirkan saat ini bukanlah jika Indonesia meninggalkan ASEAN, tapi jika Indonesia ''menggiring" negara-negara ASEAN untuk menganaktirikan sendiri kerja sama ekonomi mereka.

Tidak dapat dimungkiri bahwa keuntungan ekonomi yang ditawarkan G-20 jauh lebih besar daripada yang ditawarkan ASEAN. Jika dibandingkan dengan G-20 yang mencakup 80% total perdagangan dunia dan memiliki 67% penduduk dunia, ASEAN bisa dikatakan hanya merupakan ''anak bawang" dalam ekonomi dunia. Jika harus memilih, rasanya, seluruh negara ASEAN pun akan memilih mencari akses masuk ke organisasi ini kendati harus ''sedikit" mengorbankan kepentingan bersama ASEAN. ASEAN sendiri sejak pertama membentuk integrasi ekonomi terbukti belum mampu meningkatkan peran ekonomi mereka secara signifikan di kancah internasional dan bahkan justru memiliki kecenderungan mengedepankan kepentingan masing-masing negara secara individu dan bukan secara kolektif.

Integrasi Setengah Hati

Dalam ekonomi internasional, penghilangan hambatan dagang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya guna meningkatkan output global. Perdagangan bebas (seharusnya) memungkinkan para konsumen dan produsen memperoleh barang serta jasa dengan harga yang lebih murah sehingga kesejahteraan dapat lebih ditingkatkan. Sayang, hal itu tidak tampak dalam kerja sama ekonomi ASEAN. Kendati telah ada kesepakatan mengenai pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1992, efek penghapusan hambatan tarif terhadap arus perdagangan antarnegara ASEAN belumlah tampak.

Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang menjadi landasan perdagangan bebas ASEAN pun belum terbukti mampu meningkatkan perdagangan antara sesama negara anggotanya (intra-ASEAN trade). Meski telah ada peningkatan intra-ASEAN trade pasca pemberlakuan AFTA, peningkatannya masih jauh jika dibandingkan dengan peningkatan perdagangan dengan non-anggota ASEAN (extra-ASEAN trade).

Data dari ASEAN Affairs pada 2009 menunjukkan bahwa intra-ASEAN trade hanya mencakup kurang lebih 20-30% dari keseluruhan perdagangan ASEAN (kecuali untuk Myanmar) atau dengan kata lain, sekitar 70-80% dari perdagangan negara ASEAN dilakukan dengan negara non-ASEAN. Angka ini sangatlah rendah jika dibandingkan dengan persentase intra-trade blok ekonomi lain semisal Uni Eropa yang intra-trade-nya mencapai lebih dari 60% ataupun North America Free Trade Area (NAFTA) yang mencapai 50%.

Salah satu penyebab rendahnya intra-ASEAN trade adalah beberapa negara anggota juga mengajukan permohonan penundaan penghapusan tarif untuk komoditas tertentu, seperti Malaysia yang mengajukan penundaan penghapusan tarif untuk komoditas otomotifnya karena dirasa belum sanggup mengikuti perdagangan bebas. Beberapa tindakan yang dilakukan negara-negara ASEAN itu memunculkan kesan bahwa sesungguhnya integrasi ekonomi ASEAN adalah integrasi ''setengah hati", di mana keinginan politik dan loyalitas negara-negara anggotanya untuk berintegrasi sebenarnya sangatlah minim.

Terbukanya akses ke G-20 seharusnya disikapi dengan lebih bijak oleh negara anggota ASEAN. Tidak dapat dimungkiri bahwa kerja sama ASEAN dan G-20 akan menjadi prospek yang baik untuk negara anggotanya secara individu karena membuka akses negara mereka ke pasar global.

Namun di satu sisi, harus dipertimbangkan juga beberapa hal. Konsekuensi terbesar kerja sama ASEAN dan G-20 adalah akan semakin terabaikannya proses integrasi ekonomi ASEAN, mengingat banyak anggota G-20 yang merupakan mitra dagang utama negara-negara ASEAN. Dengan peluang kerja sama yang semakin terbuka lebar, sangat besar kemungkinan bahwa banyak negara ASEAN yang akan memilih lebih mengintensifkan kerja sama dagang dengan mitra dagang utamanya melalui kerja sama ASEAN-G20 daripada memperbaiki mekanisme kerja sama intra-ASEAN. Di satu sisi, tidak mungkin bagi negara-negara ASEAN untuk mengorbankan kerja sama ASEAN karena memiliki makna politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi negara anggotanya. Dengan berbagai hambatan teknis dan politis yang sudah ada, "godaan" dalam bentuk G-20 tentu akan menjadi batu sandungan berat bagi integrasi ekonomi negara-negara ASEAN.

Posisi Strategis Indonesia

Dengan posisi yang sedemikian penting dalam penentuan arah kebijakan integrasi ekonomi ASEAN, sudah seharusnya Indonesia lebih berhati-hati dalam bertindak. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Indonesia tidak akan "meninggalkan" ASEAN hendaknya diikuti dengan tindakan nyata. Dengan posisi tawar (bargaining power) yang bagus di ASEAN, Indonesia seharusnya dapat menjadi pelopor dan penggerak utama untuk penguatan kerja sama ekonomi ASEAN. ASEAN sendiri memiliki peran politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi Indonesia sehingga sangat disayangkan jika kerja sama ekonomi yang menjadi salah satu landasan pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) tidak berjalan secara maksimal. Indonesia saat ini ibarat "berada di dua tempat sekaligus" sehingga memungkinkan bagi kita untuk mengatur dan mengontrol dengan tepat posisi serta pergerakan ASEAN dalam skema kerja sama ASEAN-G20. Dengan keuntungan ini, seharusnya Indonesia bisa mengambil inisiatif utama untuk perubahan dan perbaikan mekanisme kerja AFTA saat ini.

*) P.M. Erza Killian, staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya, Malang, dan alumnus University of Queensland, Australia
(jp.com)

APBN Buka Peluang Kenaikan Gaji Pejabat

JAKARTA - Anggaran negara masih mungkin untuk menaikkan gaji presiden, menteri, dan pejabat tinggi negara lainnya. Namun, peluang itu tetap harus dibahas secara matang di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Keuangan.

"Iya (memungkinkan),'' kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat ditanya apakah anggaran negara memungkinkan untuk kenaikan gaji pejabat. Ungkapan Hatta itu dinyatakan di sela rapat koordinasi di Istana Wapres, Jakarta, kemarin (25/10).

Hatta mengatakan, Menkeu telah mengantisipasi anggaran kenaikan gaji tersebut pada 2010. "Tetapi, untuk eksekusinya, kan tentu banyak pertimbangan yang harus dilakukan oleh Men PAN mengenai kaitan dengan struktur tadi, presiden sampai ke bawah. Kita berharap gapnya tidak terlalu jauh,'' jelasnya.

Menurut Hatta, gaji presiden saat ini kecil sekali. "Tapi kalau bilang gaji menteri naik, kan orang marah," kata Hatta. Dia menegaskan, struktur gaji yang sedang digodok oleh Men PAN dan Reformasi Birokrasi bukan hanya menteri, namun juga pejabat negara lainnya.

Berdasar Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 mengenai Pokok-Pokok Kepegawaian, yang termasuk dalam kategori pejabat negara adalah presiden dan wakil presiden, kepala daerah beserta wakilnya, hakim pengadilan, para ketua DPR, serta para menteri. Pro-kontra kenaikan gaji menteri terus bergulir di kalangan politisi.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menganggap usul tersebut logis. Asalkan, diimbangi target pertumbuhan ekonomi dan target kinerja kabinet yang juga tinggi. ''Misalnya, pemerintah punya target pertumbuhan ekonomi delapan persen, saya kira kenaikan gaji itu logis,'' kata Sekjen PKS Anis Matta di Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, kemarin.

Menurut Anis, polemik itu mencuat karena pemerintah belum menjelaskan target kinerjanya tersebut. Padahal, kenaikan gaji merupakan konsekuensi dari adanya peningkatan kinerja. ''Kenaikan gaji itu bagian dari reward. Sekarang yang dijelaskan baru kenaikan gaji, kinerjanya belum. Jadi, agak susah menilai,'' ujar wakil ketua DPR itu.

Anis menegaskan, pada prinsipnya, kenaikan gaji bukan sesuatu yang tabu. Faktor inflasi setiap tahun juga bisa menjadi pertimbangan perlunya kenaikan gaji itu. ''Bila inflasi 10 persen, artinya nilai uang ikut berkurang,'' katanya.

Terlebih lagi, imbuh dia, Indonesia tidak sedang berada dalam krisis ekonomi yang parah. Meski memang masih banyak masalah ekonomi yang harus ditangani pemerintah. ''Jadi, (usul kenaikan gaji menteri, Red) tidak bisa disalahkan juga. Asalkan target kinerjanya dijelaskan,'' ujar Anis.

Pengamat politik dari UI Andrinof A. Chaniago mengatakan, arti ''gaji kecil'' untuk ukuran gaji menteri jelas sangat relatif. Tapi, menurut Andrinof, kalau dilihat dari kebutuhan keluarga, gaji riil yang diterima menteri setiap bulan masih cukup besar. ''Usul kenaikan gaji menteri saat ini jelas bukan karena gaji itu kurang banyak,'' katanya. Munculnya usul tersebut, jelas dia, lebih didasarkan pada kecemburuan terhadap besaran gaji para pejabat eselon I yang merangkap sebagai komisaris BUMN.(pri/sof/agm/jp.com/sfl)

Pro Kontra di DPR Warnai Penggodokan Gaji untuk Menteri

JAKARTA - Penggodokan gaji baru untuk para menteri menjadi isu panas di DPR. Pro kontra pun terus bergulir. Edhie Baskoro Yudhoyono, putra SBY yang duduk di komisi I, ikut angkat suara menanggapi rencana kenaikan bayaran anggota kabinet itu. Inilah komentar pertama anggota Fraksi Partai Demokrat tersebut.

Ibas -panggilan akrab Edhie Baskoro Yudhoyono- menjelaskan, pemerintah masih me-review perlu tidaknya kenaikan gaji untuk pejabat-pejabat negara. Dia berharap persoalan itu tidak sampai menimbulkan gap antara pemerintah dan rakyat.

''Kita harus melihat secara klir. Apakah benar-benar ini sudah sangat diperlukan,'' kata Ibas yang lolos ke Senayan lewat dapil Jatim VII itu di gedung DPR kemarin.

Putra kedua SBY tersebut mengatakan, bila ada dana yang disiapkan untuk kenaikan gaji, seharusnya dilihat sebagai poin perbaikan juga. Dalam hal ini, perbaikan kesejahteraan para pimpinan dan pejabat negara. ''(Yang penting, Red) tidak melukai dan tidak mengurangi rencana ke depan untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat,'' tandasnya.

Bila Ibas terkesan memilih jalan tengah, Ketua DPR Marzuki Alie yang juga berasal dari Partai Demokrat justru memberikan dukungan penuh atas rencana kenaikan gaji menteri. Dia beralasan sudah lima tahun tidak ada penyesuaian terhadap gaji para pembantu presiden di kabinet tersebut. Karena itu, tidak ada masalah kalau gaji menteri sekarang dinaikkan.

''Ekonomi saja sudah tumbuh, inflasi jalan terus, masak gaji nggak boleh naik -naik,'' kata Marzuki di gedung DPR kemarin (26/11). Sekjen DPP Partai Demokrat itu membandingkannya dengan pegawai negeri sipil (PNS). ''PNS saja kalau gajinya nggak naik-naik bisa marah. Ini karena (menteri, Red) jumlahnya sedikit nggak bisa ngamuk,'' katanya, lantas tertawa.

Marzuki berpandangan, kenaikan gaji menteri harus dipisahkan dari persoalan kinerja. Dia menyebut kenaikan gaji kali ini lebih berdasarkan asas kepantasan dan kepatutan. Dengan diberi renumerasi yang baik, para menteri akan lebih terfokus dan bekerja keras mememenuhi kontrak kinerjanya.

''Makanya, biar klir dulu, jangan dulu suuzon (berprasangka negatif, Red). Berpikir positif, pejabat negara perlu tampilan baik kalau dilihat orang dan hidupnya layak biar bisa bekerja dengan baik juga,'' kata Marzuki. Dia berharap semua pihak menunggu perhitungan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan. ''Dulu berapa, sekarang jadinya berapa, pantas nggak,'' tandasnya.

Suara berbeda datang dari Wakil Ketua DPR Pramono Anung. Pram yang juga Sekjen PDIP itu menyayangkan berkembangnya polemik kenaikan gaji menteri. Sebab, para menteri belum menunjukkan kinerjanya. Selain itu, kondisi masyarakat dan ekonomi negara sedang dalam proses recovery sehingga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Pram yang juga Sekjen DPP PDIP tersebut memastikan, Fraksi PDIP di DPR akan menolak kalau kenaikan gaji menteri itu nekat dilakukan sekarang. ''Ini suatu langkah awal pemerintahan yang betul-betul kontraproduktif,'' katanya.

Dia juga mengingatkan adanya tantangan ekonomi yang tidak ringan seiring dengan tren harga minyak dunia yang merangkak naik. Pram menyebut sekarang saja sudah melampaui 15-18 USD/barel dari asumsi di APBN sekitar 60-63 USD/barel.

''Kalau tahun depan tembus 90-100 USD/barel, kenaikan gaji ini akan menjadi beban bagi APBN,'' tegasnya. Penegasan Pram itu sekaligus membantah asumsi pemerintah yang melihat adanya peluang dalam APBN untuk menaikkan gaji pejabat, seperti presiden, menteri, dan pejabat tinggi lainnya. (pri/bay/tof/jp.com/sfl)

Politisi Perempuan Anggota DPR Rentan Tergoda Tawaran Suap

JAKARTA - Praktik gratifikasi tak hanya menjadi monopoli politikus pria. Kaum perempuan yang menjadi anggota DPR tetap rentan untuk tergoda menerima tawaran suap. Politisi perempuan itu bisa menjadi korban sekaligus pelaku dalam tindak pidana korupsi.

"Perempuan perlu hati-hati agar tidak tergoda untuk melakukan korupsi. Perempuan juga rentan," kata Todung Mulya Lubis, ketua Transparency International Indonesia (TII), dalam diskusi Program Partisipasi Politik Perempuan yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) di Jakarta kemarin (27/10).

Todung mengatakan, ada 18 modus korupsi di daerah dan modus-modus lain di lingkungan politik. Yang kerap menyeret politisi adalah menerima gratifikasi. Gratifikasi itu diterima secara individu maupun berjamaah. "Setelah duduk di DPR, jangan terbuai untuk menerima gratifikasi," ujar Todung. Gratifikasi itulah yang membuat banyak politikus terseret dalam kasus korupsi. Menurut dia, politisi perempuan harus bisa menolak segala bentuk gratifikasi dan tindakan yang mengarah pada korupsi.

Todung mencatat, pernah ada politisi perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. "Hal pertama yang harus dilakukan adalah jangan tergoda," ujar dia. Todung yakin, perempuan bisa menghindari korupsi. Contohnya, dalam pemberian kredit Grameen Bank di Bangladesh, perempuan lebih patuh mengembalikan kredit.

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyatakan, fakta di DPR membuktikan bahwa bukan tidak mungkin seorang anggota menerima gratifikasi. Yang dimaksud adalah kebiasaan pihak lain memberikan amplop kepada anggota DPR. "Sekarang tinggal niatnya. Kalau nggak diterima, akan dimarahi. Nah, seperti itu lebih baik diberikan kepada konstituen," kata Eva.

Menurut Eva, ukuran sebagai politisi ditentukan apakah dia berpengaruh atau tidak. Dalam hal pembuatan paket undang-undang, politisi perempuan harus memiliki porsi lebih. Mereka harus proaktif dalam debat dan diskusi. Efeknya memang negatif, yaitu adanya intimidasi. "Itu memang tidak mudah. Namun, sejak awal harus memiliki niat untuk mengeluarkan output dan bekerja efektif," pesannya. (bay/agm/sfl)

SBY-Boediono Lanjutkan Rencana Menaikan Gaji Menteri

JAKARTA - Kritik dari sebagian publik tidak membuat pemerintah SBY-Boediono mundur untuk menaikkan gaji petinggi negeri ini. Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal mengungkapkan, presiden telah menetapkan kerangka kebijakan yang tepat dan adil mengenai kenaikan gaji pejabat, termasuk presiden dan menteri.

Presiden juga telah memerintahkan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Menteri Keuangan untuk menjelaskan rencana kenaikan gaji pejabat ini. ''Untuk lima tahun ke depan, agar hal (kenaikan gaji, Red) ini ditetapkan dalam kerangka kebijakan yang tepat dan adil. Jangan sifatnya parsial atau situasional, dan dilakukan dengan kaidah tata kelola pemerintahan yang baik,'' jelas Dino di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin (27/10).

Dalam lima tahun terakhir, gaji presiden, wakil presiden, dan menteri tidak pernah naik. Kata Dino, menurut presiden itu suatu hal yang langka dalam tata kelola pemerintahan kalau diukur secara internasional. ''Biasanya selalu ada penyesuaian,'' kata pria yang sementara menggantikan posisi Andi Mallarangeng sebagai jubir itu.

Di sisi lain,. dalam lima tahun terakhir, kata dia, presiden juga telah menginstruksikan agar kenaikan gaji dilakukan terhadap pegawai negeri dan pejabat negara menengah ke bawah. ''Ini Inpres yang sangat jelas dan sistematis dari presiden,'' katanya.

Sebelumnya Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, anggaran negara masih memungkinkan untuk menaikkan gaji presiden, menteri, dan pejabat tinggi negara lain. Hatta mengatakan, Menkeu sudah mengantisipasi anggaran kenaikan gaji pejabat itu 2010.

Menkominfo Tifatul Sembiring mengatakan, kenaikan gaji menteri baru sebatas wacana. Persoalan itu sengaja dikaji pemerintah karena sudah lima tahun lebih belum ada peningkatan gaji menteri. ''Tentu kita lihat juga anggaran (APBN, Red) kita,'' katanya.

Mantan presiden PKS itu menyebut ada kemungkinan kenaikan gaji menteri diumumkan bersama dengan kenaikan gaji PNS. ''Bukan hanya pejabat, PNS perlu naik gaji (juga, Red),'' ujar Tifatul.

Sekjen Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan menilai kenaikan gaji menteri beserta gaji presiden dipastikan bakal mengorbankan anggaran untuk orang miskin. ''Kami menolak keras karena ini menyalahi prinsip pengelolaan keuangan negara yang harus memenuhi rasa keadilan dan kepatutan,'' kata Yuna. Dia merujuk kepada pasal 3 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Menurut Yuna, skenario kenaikan gaji pejabat ini sebenarnya bisa dilacak dari kebijakan APBN 2010. Agar tidak menimbulkan protes dari jajaran birokrasi, Presiden SBY mulai menaikkan gaji PNS 15 persen pada 2009 dan 5 persen pada 2010.

Sejauh ini perubahan tersebut terbukti mengorbankan anggaran belanja yang bersentuhan langsung dengan rakyat miskin. Contohnya, pada APBN 2010, belanja pegawai telah menggeser dominasi belanja subsidi pemerintah pusat. Dalam hal ini, belanja pegawai meningkat sampai 21 persen (Rp 28 triliun).

''Sebaliknya, subsidi berkurang 10 persen atau Rp 15,6 triliun dan belanja bantuan sosial berkurang 11 persen atau mencapai Rp 8,7 triliun,'' jelasnya.

Menurutnya, berbagai fasilitas negara yang diterima para menteri sebenarnya lebih dari cukup. Mulai mobil dan rumah dinas, dana taktis operasional Rp 100-150 juta per bulan, dana pensiun, sampai fasilitas VVIP setiap hari. (sof/pri/tof/jp.com/sfl)

Selasa, 27 Oktober 2009

Falsafah pemimpin

Jumat, 23/10/2009 09:26 WIB A. M. Lilik Agung

Falsafah pemimpin

oleh : A. M. Lilik Agung
Trainer dan Pembicara Publik. Mitra Pengelola High Leap Consulting


Ada empat hukum tidak tertulis manakala pemilik perusahaan bermaksud menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada orang lain. Terlebih lagi apabila perusahaan bersangkutan disebut perusahaan keluarga.

Hukum pertama, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada anggota keluarga paling dekat. Bisa kepada anaknya, saudara sekandung atau saudara sekandung dari pasangannya. Bila hukum pertama tidak bisa terpenuhi, hukum kedua berlaku, yaitu kepada orang-orang kepercayaan yang masih dalam ikatan keluarga.

Jika hukum kedua ini dilanggar, maka hukum ketiga menjadi alternatif. Pemimpin perusahaan akan dicari dari orang-orang yang satu suku atau satu almamater atau satu golongan dengan pemilik.

Manakala hukum ketiga juga tak terpenuhi, senjata pamungkas paling akhir biasanya hukum keempat, yaitu orang yang satu agama (kepercayaan) dengannya. Karena berkawan akrab dalam satu kelompok agama (kepercayaan), sang pemilik merasa aman, nyaman, dan percaya dengan orang bersangkutan.

Namun, dalam bisnis sering muncul paradoks yang sering tidak dapat ditemukan dalam referensi-referensi ilmiah. Paradoks ini yang terjadi antara Hermes Thamrin dan Djatmiko Wardoyo.

Khalayak tahu bahwa Hermes Thamrin merupakan wirausaha yang dibesarkan dari lapangan (street smart) dan kemudian mengembangkan jaringan ritel telekomunikasi bernama Global Teleshop. Ketika gerai Global Teleshop masih berjumlah puluhan dan hanya tersebar di kota-kota besar, Hermes Thamrin membuat keputusan yang mungkin paling dramatis dalam hidupnya; mengangkat CEO baru.

Tidak tanggung-tanggung CEO baru tersebut orang muda berumur tiga puluhan tahun dan memiliki kriteria yang berseberangan dengan empat hukum suksesi kepemimpinan perusahaan keluarga. CEO itu bernama Djatmiko Wardoyo.

Sebagai CEO, Djatmiko Wardoyo sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Hermes Thamrin. Pun dilihat dari sudut suku dan agama, Djatmiko Wardoyo berbeda dengan Hermes Thamrin.

Djatmiko Wardoyo terlahir sebagai suku Jawa, dibesarkan di Yogyakarta, dan seorang muslim yang taat. Sementara Hermes Thamrin bersuku China kelahiran Sumatra dan penganut Katolik nan khusyuk. Hampir semua gerai Global Teleshop ketika pembukaan perdana selalu diawali dengan Misa yang dipersembahkan oleh Pastor Katolik.

Nilai tambah

Dengan segala latar belakang berbeda ini justru memberi nilai tambah bagi kedua orang ini untuk membesarkan Global Teleshop. Sekarang, belum genap 10 tahun Djatmiko Wardoyo memimpin Global Teleshop, terjadi pertumbuhan signifikan perusahaan.

Jumlah gerai Global Teleshop sudah mencari ratusan dan tersebar pada hampir semua kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Bisnisnya pun berbiak merambah sektor media cetak, jaringan perhotelan, dan agrobisnis.

Menelisik kesuksesan Djatmiko Wardoyo dalam menjawab tantangan sang pemilik sekaligus membesarkan Global Teleshop Group, ternyata beliau memiliki tiga falsafah yang justru diperoleh dari renungan seorang rahib Buddha.

Kata sang rahib, orang bisa mencapai kesuksesan paripurna manakala mampu menjawab tiga pertanyaan sederhana. Pertanyaan pertama, "Kapan waktu terbaik bagi Anda?"

Bagi mayoritas orang, jawaban menyoal waktu terbaik biasanya saat pagi atau malam hari. Waktu ketika terjadi keheningan sehingga orang bisa berefleksi. Namun, tidak menutup jawaban pada siang, sore atau petang hari dengan berbagai alasannya. Ternyata jawaban sang rahib sesederhana pertanyaannya: waktu terbaik adalah saat ini juga.

Hal ini yang juga dipercayai oleh Djatmiko Wardoyo. Karena waktu sekarang adalah waktu terbaik, maka seluruh potensi yang ada pada dirinya akan dikerahkan untuk bekerja optimal. Djatmiko Wardoyo berusaha memberikan yang terbaik untuk perusahaan, karyawan, pelanggan, dan seluruh pemangku kepentingan yang berhubungan dengan Global Teleshop Group.

Idiom bernama 'buang-buang waktu,' tidak ada dalam kamusnya. Justru yang ada adalah mengoptimalkan pemakaian waktu untuk hasil yang juga optimal.

Pertanyaan kedua, "Siapa orang yang paling penting bagi Anda?" Bisa dimaklumi apabila jawabannya adalah kedua orangtua, pemimpin besar negara, pemimpin bisnis dunia, atau orang-orang terkenal lainnya.

Justru sang rahib memberikan jawaban nan sederhana: orang paling penting adalah orang yang sekarang bersama dengan Anda. Tak peduli orang itu atasan Anda, bawahan Anda, kolega Anda, konsumen Anda, pasangan Anda, sopir Anda, pembantu Anda. Ketika dia sedang bersama dengan Anda, dialah orang yang paling penting bagi Anda.

Memaknai filosofi ini, Djatmiko Wardoyo berusaha selalu respek terhadap orang yang sedang berhadapan dengannya, tidak peduli jabatan dan kedudukannya. Hukum sebab akibat akan berlaku dalam konteks ini.

Ketika kita respek terhadap orang lain, dapat dipastikan orang tersebut akan respek terhadap kita. Akibat lebih jauh karena saling menghormati, orang bersangkutan akan memberikan diri terbaiknya bagi kita. Inilah budaya yang dilakukan Djatmiko Wardoyo terhadap orang yang sedang berada dengannya; orang paling penting.

Pertanyaan ketiga, "Pekerjaan apa yang paling baik bagi Anda?" Tak salah apabila pekerjaan yang sesuai dengan aturan serta tidak melanggar norma dan etika, pekerjaan tersebut baik adanya. Namun, menurut sang rahib, melayani merupakan pekerjaan paling baik.

Pada Global Teleshop, pelayanan terbaik kepada konsumen tidak sekadar retorika nan miskin tindakan. Bisa dikatakan dibandingkan dengan jaringan toko pesaing, Global Teleshop mematok harga lebih mahal.

Namun, mengapa tetap saja banyak konsumen datang ke Global Teleshop dan jaringannya saban waktu bertambah? Tak salah, pelayanan terbaik merupakan kredo yang ditawarkan kepada konsumen.

Pelayanan terbaik tidak datang dari petugas front liner semata. Namun, merupakan rangkaian panjang yang dimulai dari pucuk pemimpinnya. Djatmiko Wardoyo telah memulai dengan brilian.

Akibatnya orang-orang yang berada di bawahnya dari level direktur hingga pada petugas toko yang berhadapan langsung dengan konsumen, tetap memberi pelayanan terbaik. Apa pun kejadiannya.

Sekarang, pada usia kurang dari 40 tahun, tampak kemampuan kepemimpinan Djatmiko Wardoyo semakin matang. Jika pepatah menyebut langkah besar dimulai pada usia 40 tahun, ke depan kita akan menyaksikan langkah raksasa Djatmiko Wardoyo dalam memimpin Global Teleshop Group.

Atau tidak menutup kemungkinan kiprah Djatmiko Wardoyo menjadi salah satu pemimpin pada sebuah organisasi pemerintah sebagai bentuk pengabdian untuk negeri yang dia cintai: Indonesia.

'Wakil menteri bukan untuk akomodasi politik'

JAKARTA (Antara): Pengamat politik dari Charta Politika Bima Arya Sugiarto mengatakan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat tiga wakil menteri adalah untuk membantu tugas-tugas menteri yang sangat berat bukan karena akomodasi politik.

"Beberapa menteri tugas dan tantangannya ke depan sangat berat sehingga membutuhkan bantuan wakil menteri," kata Bima Arya Sugiarto di Jakarta, hari ini.

Dia menambahkan tugas dan dan tantangan menteri yang sangat berat meliputi menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri perhubungan. Karena itu, Bima memperkirakan tiga pos menteri tersebut yang akan mendapat pendamping wakil menteri.

Menteri Luar Negeri, lanjutnya, harus menghadapi diplomasi dengan dunia internasional dan lebih sering berada di luar negeri, sehingga membutuhkan wakil yang harus lebih banyak berada di dalam negeri untuk menyelesaikan tugas-tugas di departemen.

Kemudian Menteri Dalam Negeri, katanya, akan menghadapi tugas berat, yakni mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di seluruh Tanah Air dan menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang Pemilu, sehingga membutuhkan wakil menteri yang bisa mendampingi menteri untuk menyelesaikan semua tugas dan tantangannya.

Menteri lainnya, adalah Menteri Perhubungan yang memiliki tugas dan tantangan mengelola empat jenis perhubungan, yakni darat, laut, udara, dan kereta api. Seluruh jenis perhubungan tersebut, katanya, berhubungan langsung dengan masyarakat baik domestik maupun luar negeri yang harus dikelola secara baik, sehingga membutuhkan wakil menteri.

"Dengan tugas dan tantangan yang berat, tiga menteri tersebut membutuhkan wakil menteri untuk mengurangi beban tugasnya," kata Bima.

Menurut dia, pengangkatan wakil menteri ini diatur dalam UU No 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara sehingga tidak menyalahi aturan.

Ketika ditanya apakah rencana pengangkatan tiga wakil menteri ini untuk mengakomodasi kader dari PDI Perjuangan yang sampai saat ini belum menyatakan sikap secara tegas, menurut dia, bukan akomodasi politik.

Untuk posisi wakil menteri dibutuhkan figur profesional yang memiliki kompetensi, kapabilitas, dan pengalaman, sehingga kecil kemungkinan posisi tersebut diisi politisi dari partai politik.

Dia memperkirakan Presiden Yudhoyono saat ini sudah tidak lagi menunggu sikap PDI Perjuangan untuk berkoalisi.

Ketika ditanya, siapa kira-kira yang layak menduduki jabatan wakil menteri, doktor ilmu politik lulusan Australia (The Australian National University) itu, menyebutkan beberapa nama yang dinilainya cukup layak seperti Chatib Basri, Raden Pardede, dan Anggito Abimanyu.(yn)


'Posisi wakil menteri tidak diperlukan'



PADANG (Antara): Pakar politik dari Universitas Andalas Padang Prof Damsar mengatakan posisi wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II tidak diperlukan.

"Sepanjang pengalaman dalam tata negara, jabatan wakil diidentikkan dengan ban serep. Konsekuensinya, pejabatnya hanyalah cantelan," kata Damsar di Padang, hari ini.

Ketua Program Studi Administrasi Negara FISIP Unand itu menilai penunjukan wakil menteri justru akan menimbulkan konflik kepentingan karena fungsi dan tugasnya tidak jelas dan menambah anggaran.

"Pada akhirnya wakil menteri tidak akan berfungsi dengan baik, karena itu jabatan ini tidak perlu," kata mantan Dekan FISIP Unand itu.

Damsar merunut jabatan wakil kepala dinas, wakil bupati/walikota/wakil gubernur yang hanya menjadi ban serep di Indonesia.

"Mereka menjadi ban serep ketika ban kempes. Dalam kenyataannya, justru menimbulkan banyak konflik dalam lembaga. Bila wakil menteri dibentuk, dia cenderung akan berkonflik dengan menteri, berkoalisi dengan irjen, dan dirjen," ujarnya.

Damsar menilai keputusan mengangkat wakil menteri menunjukkan pemerintahan yang cenderung bagi-bagi kekuasaan dan kompromistis.

"Hal ini terlihat pada susunan kabinet yang selain mengakomodasi orang-orang partai politik, juga memberi tempat pada tim sukses," katanya.

Secara umum, dia menilai susunan Kabinet Indonesia Bersatu II merupakan kabinet kompromis.

"Walau begitu, kabinet ini tidak bisa langsung dinilai tidak profesional. Kita tunggu dulu dalam masa 100 hari kerja. Baru kemudian kita lakukan evaluasi bersama," paparnya.

Kabinet SBY-Boediono direncanakan akan memiliki wakil menteri. SBY akan menetapkan beberapa wakil menteri untuk mendampingi menteri-menteri yang dinilai memiliki tugas berat dan membutuhkan wakil menteri.

"Penetapan wakil menteri ini sesuai dengan amanah undang-undang No 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara," katanya, pada saat pelantikan menteri, pekan ini.

Wakil menteri dibentuk untuk membantu menteri yang memiliki tugas-tugas yang berat. Dari informasi yang diterima, wakil menteri yang akan ditunjuk yakni menteri bidang politik, dan wakil menteri bidang hukum.(yn)

Mensos akan merevitalisasi program sosial

JAKARTA (Antara): Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Al-Jufri akan merevitalisasi program-program penanganan masalah sosial yang selama ini sudah dijalankan.


"Penekanannya pada penanganan anak dan lansia terlantar serta komunitas adat terpencil. Program-program untuk penanganan masalah ini akan diperkuat," katanya sebelum membuka pameran Kesetiakawanan Sosial Nasional di Balai Sidang Jakarta, siang ini.

Dia juga akan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Departemen Sosial, termasuk para pekerja sosial dan relawan, supaya mereka bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

"Relawan saat ini sudah ada, Taruna Siaga Bencana atau Tagana juga ada. Jumlahnya akan ditambah. Semangat kerelawanan juga akan terus ditingkatkan supaya mereka punya komitmen kuat untuk melayani masyarakat," tuturnya.

Selanjutnya, Salim Segaf mengatakan pihaknya akan mengupayakan peningkatan alokasi anggaran untuk penanganan masalah sosial yang hingga kini masih minim.

Dia juga akan memperkuat jejaring kerja sama antarinstansi yang menangani program penanggulangan kemiskinan serta lembaga dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang sosial.

Pelibatan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha dalam berbagai program penanganan masalah sosial yang dijalankan, kata dia, akan mempercepat pencapaian target pembangunan kesejahteraan sosial.

"Dan pada masa-masa ini tentu kami akan ikut terlibat dalam penanganan pascabencana di Sumatra Barat. Lusa saya akan ke sana untuk meninjau," demikian Salim Segaf Al-Jufri.(yn/antara/bisnis.com/s)

KPK: Konflik kepentingan pintu masuk korupsi

SURABAYA (bisnis.com): Dalam mengoptimalkan upaya pencegahan korupsi, KPK mengajak penyelenggara negara dan BUMD/BUMN untuk menangani konflik kepentingan.


Dia mengungkapkan konflik kepentingan adalah pintu masuk terjadinya korupsi. Konflik kepentingan adalah situasi di mana penyelenggara negara yang berkuasa dan berwenang lantas memiliki kepentingan pribadi dalam penggunaan wewenang yang sekaligus mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusya.

"Sejumlah kasus korupsi yang kami tangani banyak bermula dari konflik kepentingan," ungkap Wakil Ketua KPK Moch Jasin dalam jumpa pers di Ballroom Mercure Grand Mirama Hotel Surabaya siang ini.

Menurutnya, unsur konflik kepentingan tersebut berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara. Sejauh ini, menurut Jasin, belum ada ketentuan dan aturan mengenai konflik kepentingan. Misalnya masalah penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi, seolah sudah menjadi hal yang wajar di masyarakat.
Karena itu, Jasin berharap legislatif bisa membuat aturan dan regulasi mengenai konflik kepentingan tersebut serta sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya. "Regulasi bisa berbentuk Peraturan Pemerintah atau nempel suatu pasal dalam UU," pungkasnya.

(Denza Perdana Kurnia Putra/tw/bisnis.com/s)


!0.000 MW tahap II berpotensi molor HPT penjualan panas bumi US$0,097 per kWh

JAKARTA: Proyek 10.000 megawatt (MW) tahap II berpotensi terlambat penyelesaiannya setelah pemerintah memutuskan untuk memperbesar porsi penggunaan energi panas bumi, tetapi tidak diiringi dengan kapastian cadangan bahan bakar itu.


Di sisi lain, dalam rangka menggenjot penggunaan panas bumi, harga patokan tertinggi (HPT) penjualan listrik panas bumi telah ditetapkan sebesar US$0,097 per kWh, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usulan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) US$0,076 per kWh.

Dirut PLN Fahmi Mochtar menilai pemerintah sebaiknya terlibat dalam kegiatan eksplorasi sumur panas bumi, sehingga cadangan panas bumi bisa diketahui dengan pasti dan layak ditenderkan kepada investor.

"Persoalan yang harus dipertimbangkan adalah mengenai pengeboran panas bumi yang belum pasti tingkat keberhasilannya. Ini menjadi tanggung jawab siapa? Karena setiap pengeboran sumur baru, belum tentu berhasil, dan itu bisa berulang-ulang terjadi," ujarnya kemarin.

Ketidakpastian keberhasilan pengeboran panas bumi itu, tuturnya, akan berpengaruh pada tingkat biaya yang harus dikeluarkan.

"PLTP itu kebanyakan IPP [independent power producer/pengembang swasta]. Sebelum mereka produksi, kita sudah ada kesepakatan harga. Kalau ternyata risiko eksplorasi itu ditanggung mereka, efeknya harga bisa jadi lebih tinggi dan pengerjaan lebih lamban."

Fahmi menjelaskan berdasarkan draf peraturan presiden yang diajukan untuk program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap II, kapasitas pembangkit berbasis panas bumi sebesar 3.600 MW atau lebih rendah 1.100 MW dari proposal pertama sebesar 4.700 MW.

"Tetapi ini sudah pasti semua cadangannya. Oleh karena itu, kami mengusulkan pemerintah sebaiknya membentuk badan khusus dengan tugas melakukan eksplorasi untuk memastikan cadangan itu."

Sementara itu, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM J. Purwono mengatakan sejauh ini pihaknya belum berencana melakukan perubahan total terhadap draf perpres, yang dinilainya telah mengakomodasi pengutamaan panas bumi.

Dengan porsi 40%, tuturnya, keberadaan PLTP dalam program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 tahap II sudah cukup signifikan.

"Kalaupun ada perubahan, mungkin satu atau dua pembangkit saja yang akan dikonversi. Penghapusan penggunaan batu bara untuk pembangkit tidak bisa dilakukan sekaligus. Mesti pelan-pelan," paparnya.

Bersamaan dengan digenjotnya penggunaan energi panas bumi, pemerintah juga telah menetapkan HPT penjualan listrik panas bumi US$0,097 per kWh. Padahal, PLN hanya mengusulkan penetapan HPT penjualan listrik itu tidak lebih dari US$0,076 per kWh.

Menurut Purwono, departemen telah menetapkan besaran HPT penjualan listrik panas bumi itu sebagai patokan harga tertinggi dalam setiap tender.

Usulan ke Menko

"Kami [Departemen ESDM] sudah menyerahkannya sebagai usulan kepada Menko Perekonomian [M. Hatta Rajasa] untuk selanjutnya diteruskan kepada Sekretaris Kabinet dan ditetapkan dalam bentuk keputusan presiden."

Dia mengakui dampak ketetapan itu akan memperbesar subsidi kepada PLN. Namun, lanjutnya, besaran subsidi yang diberikan pemerintah itu akan ditetapkan berdasarkan hitungan selisih rata-rata total biaya PLN untuk seluruh pembangkit panas bumi terhadap besaran tarif dasar listrik (TDL).

Ketua Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) Surya Dharma mengatakan asosiasi itu sangat mendukung usulan pemerintah soal HPT panas bumi.

Alasannya, investasi pembangkit listrik panas bumi membutuhkan biaya yang cukup besar dibandingkan dengan pembangkit lainnya.

Dari Malang, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Muhadjir Effendi juga menyambut positif rencana pemerintah menggenjot penggunaan energi panas bumi. "Program itu bagus sekali, tetapi investasi tidak kecil sehingga tidak mungkin didanai dari APBN," ujarnya.

Namun, dia menyarankan pemerintah sebaiknya juga mengembangkan proyek pembangkit listrik mikro yang berbasis energi alternatif, seperti gas metana dan air. "Proyek itu selain ramah lingkungan juga tidak membutuhkan investasi yang besar." (k24/12/rudi ariffianto /bisnis.com/s)

Semangat mewirausahakan BUMN Meneg BUMN berhadapan dengan kenyataan beragamnya kondisi BUMN

Berbeda dengan pengangkatan Menteri Kesehatan yang sarat kontroversi, baik sebelum maupun pascapelantikan Endang Rahayu Sedyaningnish, penunjukan Menteri Negara BUMN Mustafa Abukabar relatif steril dari pemberitaan publik.

Kematangan berorganisasi sejak usia muda, pengalaman panjang di jalur birokrasi hingga mengantarkannya sebagai Penjabat Gubernur Aceh, dan posisinya sebagai eksekutif puncak BUMN, merupakan modal dasar untuk mendapatkan tingkat penerimaan publik (accessibility) lebih baik. Nyaris tanpa sentimen negatif diberikan kepadanya meskipun kinerja BUMN yang lebih baik masih harus dibuktikan dalam beberapa hari mendatang.

Keberadaan profesional sebagai Menteri Negara BUMN memang menjadi dambaan publik. Publik khawatir kalau BUMN dikendalikan fungsionaris partai, aset besar yang ada di dalamnya digunakan untuk kepentingan politik tertentu yang tidak terkait kemaslahatan orang banyak.

Besarnya biaya politik di Indonesia pascareformasi membuat kerisauan massal terhadap keberadaan aset negara. Fakta empirik menunjukkan makin banyaknya politisi dan penyelenggara terjerat masalah penyalahgunaan wewenang dan korupsi.

Sebagai profesional, Mustafa Abubakar tentu sangat paham liku-liku dimaksud, sehingga di pundaknyalah upaya peningkatan daya saing BUMN secara terprogram dan terstruktur harus diagendakannya secara objektif dan realistis. Tentu dalam aplikasinya harus tetap memperhatikan kesantunan berpolitik sehingga dapat berjalan lebih mulus.

Masalahnya, pada era legislative heavy seperti sekarang, tidak ada satu pun kebijakan penyelenggaraan negara luput dari pengawasan parlemen. Dengan kata lain, bagaimanapun baik dan jempolnya program, kalau tidak dapat dikomunikasikan secara lugas dan santun dengan parlemen, pastilah menimbulkan interpretasi beragam dan benturan kepentingan.

Kalaupun tidak, jalan menuju tujuan dan sasaran minimal terhambat. Program kerja ramah politik menjadi instrumen penting.

Secara internal, Mustafa Abubakar berhadapan dengan kenyataan beragamnya kondisi BUMN, mulai dari kelas gajah dengan aset besar hingga teri beromzet kecil yang nyaris terlupakan.

Salah satu petunjuk besar-kecilnya peran BUMN tadi adalah isu menyangkut penggantian manajemen atau direksi yang selalu menjadi sorotan publik dari berbagai penjuru. Belakangan faktor internal tadi ditambah kecenderungan menguatnya bargaining position serikat pekerja.

Dalam banyak kasus, serikat pekerja potensial menjadi kelompok penekan (pressure group). Begitu diketahui kalau manajemen BUMN lemah dalam membaca tanda-tanda zaman, upaya apa pun yang dilakukan untuk membawa kebangkitan dan kejayaan korporasi bakal menemui sandungan.

Demikian pula, meskipun kewenangan mengangkat direksi sepenuhnya berada di kementerian negara selaku kuasa pemegang saham, masuknya orang luar ke dalam jajaran BUMN yang diskenariokan mampu mengakselerasi kinerja, sering pada awalnya menimbulkan benturan dengan serikat pekerja.

Publik sering salah duga. BUMN diidentikkan dengan kultur feodal, sulit merespons perubahan, prosedur berbelit-belit, karier pegawai tidak jelas, terjebak formalitas semu, sarang KKN, tidak transparan, dan sejumlah atribut negatif lain berkonotasi menyesatkan.

Orang lupa bahwa saat badai krisis finansial menghantam Indonesia dan ditandai banyaknya perusahaan swasta terjebak utang-utang berkepanjangan dan bahkan sebagian di antaranya pailit, BUMN tampil dengan perkasa.

Selamat dari krisis

Sikap lamban BUMN dalam beberapa hal justru membuatnya selamat dari prahara krisis. Bahwa untuk meningkatkan kinerja dan menjadikannya korporasi berkelas dunia melalui restrukturisasi, re-engineering, dan rekonstruksi peran sejalan berubahnya tuntutan publik, tentu semua pihak tidak menolaknya.

Orang-orang luar yang paham perilaku organisasi (organizational behavior) BUMN, terutama kalangan akademisi, melihat bahwa dalam BUMN sendiri terdapat banyak orang berkualifikasi profesional dan capable.

Kompetensi leadership dan manajerialnya pun tidak kalah dengan pengusaha swasta. Pendidikan formal pekerja BUMN juga tak terlalu jelek amat. Di samping pelatihan intensif dengan melibatkan sejumlah institusi kompeten, tidak sedikit di antara mereka mendapatkan kesempatan studi lanjut di negeri-negeri kapitalis dan sekolah bisnis terkemuka dunia yang melahirkan banyak eksekutif andal.

Persoalannya, mengapa mereka tidak dapat berbuat banyak ketika berada di lingkungan internal? Dari sejumlah inventarisasi, ternyata kondisi internal lah yang kurang mendukung, sementara mereka tidak mampu tampil sebagai pengambil insiatif dalam menggerakkan kemajuan.

Prosedur lamban sengaja dibiarkan karena mereka tidak ingin menyalahi aturan. Beda pendapat dalam pengambilan keputusan kurang berkembang lantaran dipersepsikan secara salah sebagai bibit konflik yang menyulitkan aplikasi dan eksekusinya di lapangan.

Tidak mengherankan kalau akhirnya sejumlah keputusan manajerial diambil secara musyawarah. Pendelegasiannya ke bawah demikian rigid dan berjenjang, sering tidak terjadi integrasi antara yang diharapkan manajemen dan bawahan di lapangan.

Orang-orang muda beridealisme tinggi mengeluh dan frustrasi setelah sejumlah ide dilontarkan tidak mendapat respons positif, sementara kalangan lebih senior melihat anak-anak muda kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dan daya juangnya payah.

Lebih runyam lagi karena penetapan jajaran komisaris dan direksi lebih banyak ditentukan pertimbangan politik dibandingkan dengan profesionalisme. Tidak ada masalah karena pengangkatan tersebut murni kewenangan pemerintah selaku pemegang saham BUMN, tetapi ketika yang diberi amanah pada posisi tersebut tidak tepat, akuntabilitasnya pun dipertanyakan.

Gurauan tentang kinerja manajemen tidak kompeten di kalangan pekerja menguras energi yang sebenarnya dapat ditransmisikan ke kinerja unggul untuk menghadapi kompetitor.

BUMN dan perusahaan swasta pada dasarnya hanyalah beda dalam konteks kepemilikan sahan. Saham swasta dimiliki perorangan atau banyak orang, sedangkan BUMN dimiliki negara.

Persoalan lain terkait tata kelola, peningkatan kinerja, seleksi pekerja dan jajaran manajemen, serta sasaran yang harus dicapai pada dasarnya tidaklah terlalu signifikan berbeda. Hanya saja semangat wirausaha (entrepreneurship) swasta lebih menonjol dibanding BUMN.

Ini semua terkait besarnya rasa bangga dan memiliki terhadap perusahaan yang jauh lebih baik. Karena itu yang harus dilakukan Mustafa Abubakar dan para petinggi BUMN di bawahnya adalah mengagendakan transformasi, antara lain dengan mengusung semangat kewirausahaan ke dalam BUMN. Selamat bekerja Pak Mustafa Abubakar.

Oleh Adig Suwandi

Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI (Persero)

Selamatkan Bumi dengan ganggang Solusi murah dengan hasil bahan baker

JAKARTA: Para ahli dari berbagai disiplin ilmu bersatu mengembangkan teknologi pengembangbiakan ganggang laut sebagai penyerap gas rumah kaca sekaligus penghasil bahan bakar.


Upaya ini dilakukan karena untuk masa mendatang, dunia harus berhadapan dengan naik turunnya harga minyak. Ganggang dipilih karena terbukti, tanaman kecil penuh lemak ini mampu tumbuh dengan cepat.

Para ahli mengatakan, sungguh menggugah minat saat mengetahui bahwa tanaman itu memiliki kemampuan luar biasa melahap karbon dioksida, gas rumah kaca, dan pada saat yang sama hidup dengan bahagia di bermacam tempat yang tak diperlukan tanaman pangan.

Ganggang menyukai rawa yang dipenuhi nyamuk, misalnya, kolam kotor, dan bahkan air limbah. Meski tak seorang pun pernah menemukan cara untuk menghasilkan secara massal bahan bakar murah dari ganggang, kegiatan tersebut mulai berjalan, demikian laporan kantor berita Prancis, AFP.

Banyak laboratoriun universitas dan perusahaan di seluruh Amerika Serikat terlibat. Selama musim panas, mega-perusahaan pertama bergabung, ketika ExxonMobil menyatakan perusahaan tersebut akan menenggelamkan US$600 juta di dalam penelitian mengenai ganggang melalui kemitraan dengan satu perusahaan bioteknologi California.

Jika penelitian itu berjalan baik, para ilmuwan mengatakan mereka akhirnya menemukan cara dengan biaya murah untuk mengubah minyak organik dari kolam ganggang jadi bahan bakar untuk mobil, truk, dan jet.

"Saya kira itu sangat realistis. Saya kira itu takkan memerlukan waktu sampai 20 tahun. Itu akan memakan waktu beberapa tahun," kata insinyur kimia George Philippidis, Direktur Penelitian Terapan di Florida International University di Miami.

Salah satu faktor yang memicu antusiasme ialah nafsu besar ganggang akan karbon dioksida -produk sampingan pembakaran bahan bakar fosil.

Menurut dia, pihaknya dapat membuat hubungan dengan saluran pembuangan industri pembuat pencemaran untuk menangkapnya dan membuatnya jadi makanan ganggang dan mencegah CO2 memberi sumbangan bagi perubahan iklim lebih lanjut.

Perusahaan California Sapphire Energy sudah melakukan perjalanan lintas-alam dengan menggunakan bahan bakar dari ganggang.

Perjalanan tersebut, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, menyulut berita besar bertajuk Coast to Coast on Slime.

Satu perusahaan lain California sedang meneliti upaya penggemukan ikan dengan menggunakan ganggang dan kemudian memproses ikan itu jadi minyak.

"Di mana ganggang sangat berlimpah di situ lah terdapat lahan subur untuk pengembangbiakan. Itu ada di mana saja dan Anda tak perlu repot. Bumi telah merencanakannya," kata Roy Swiger, ahli genetika molekular dan direktur divisi lembaga nirlaba Midwest Research Institute (MRI) di Florida.

MRI mulai mempelajari ganggang sebagai sumber energi 3 tahun lalu. Swiger memperingatkan bahwa bahan bakar ganggang belum siap dimanfaatkan. Sekalipun ganggang tumbuh tak terkendali, saat ini dibutuhkan US$100 untuk membuat satu galon bahan bakar ganggang -bukan penghematan.

Kesulitan

Kesulitannya ialah membuat biaya turun, dan produksi naik. Untuk melakukan itu, para ilmuwan harus menemukan cara mengeringkan ganggang dan menyuling minyak organik, sehingga memungkinkan energi disimpan.

Swiger mengatakan tak masuk akal mengeluarkan US$5 untuk listrik guna mengoperasikan satu sentrifugal untuk mengeringkan ganggang, yang pada gilirannya hanya akan menghasilkan bahan bakar bernilai US$1.

Jika penelitian berjalan lancar, Swiger berpendapat akan diperlukan waktu 5 tahun untuk menurunkan biaya produksi jadi US$40 per galon.

Namun, membawa sekalipun hanya sedikit minyak ke pasar energi -ethanol telah menambah saham 4,0%, misalnya - dapat mengalihkan campuran energi.

"4% Tidak banyak, tetapi tetap saja ke mana pun anda memandang di sana ada pemompaan. Jadi 4% dari jumlah yang luar biasa besarnya sangat banyak," ujar Swiger.

Sebagian kelompok yang memulai lebih optimistis. Paul Woods, pemimpin pelaksana Algenol Biofuels, yang berpusat di Florida, mengatakan perusahaannya akan mengalahkan yang lain di pasar.

Dia telah mematenkan satu teknologi bagi ethanol "berkeringat" dari ganggang, tetapi mengeringkannya lebih dulu.

"Kita melihat diri sebagai cara yang sangat murah untuk menambah [pasokan energi], dan makin murah ethanol yang kita miliki, makin banyak kita menang dalam upaya memiliki kemandirian dari bahan bakar asing," kata Woods.

Woods mengumumkan, kemitraan dengan Dow Chemical pada Juli untuk membangun pabrik demonstrasi dan berharap dapat melancarkan produksi komersial paling lambat pada 2011.

Banyak ahli tak memandang bahan bakar ganggang untuk sepenuhnya menggantikan bahan bakar fosil dan sebagian ahli telah menjadi curiga.

Gagasan untuk memanen ganggang buat bahan bakar telah beredar selama beberapa dasawarsa, kata mereka. Namun, tak seorang pun mampu membuatnya layak secara finansial.

ANTARA