Selasa, 12 Mei 2009

Politik Elitis dan Neofeodal

Wacana publik pascapemilu 9 April 2009 bisa dikatakan lebih didominasi wacana koalisi antarparpol guna menentukan capres atau cawapres dalam pilpres yang digelar 8 Juli 2009 mendatang. Berbagai kemungkinan koalisi mengemuka pasca bercerainya Partai Demokrat yang mendukung SBY dengan Partai Golkar yang kini sudah menetapkan JK sebagai capres. Politik sebagai seni dari segala kemungkinan, seperti bunyi sebuah adagium, sedang kita saksikan hari-hari ini.Meski ada beragam kemungkinan, tujuan akhir politik tetaplah bagaimana bisa meraih kekuasaan. Menurut filsuf politik Alexander Moseley (2006), kekuasaan adalah tujuan utama tindakan politik. Kita akan melihat apakah SBY tetap keluar sebagai pemenang dalam kompetisi politik? Atau akan ada capres kuda hitam yang bisa menggusur SBY dari kursi RI 1?Memprihatinkan Namun, ada yang memprihatinkan dalam kancah perpolitikan nasional akhir-akhir ini. Setelah suara rakyat bisa mendongkrak atau mengatrol posisi partai atau caleg tertentu, kini tampak menonjol betapa praksis politik kita masih sangat bercorak elitis. Kehidupan dan masa depan bangsa seolah hanya diatur, dikelola, atau diserahkan kepada beberapa gelintir elite politik yang kebetulan parpolnya meraih suara signifikan. Parahnya lagi, fakta juga memperlihatkan terlalu bergantungnya partai politik kepada tokoh tertentu, yang jelas merupakan bentuk baru feodalisme (baca neofeodalisme). Neofeodalisme semacam ini jelas tidak bagus untuk perkembangan demokrasi dan masa depan politik nasional.Simak saja kemenangan Partai Demokrat yang jelas tidak bisa dipisahkan dari figur SBY. Mustahil Partai Demokrat mengalami kenaikan sampai 300 persen jika SBY tidak duduk sebagai ketua dewan pembinanya.Namun, bergantungnya parpol kepada tokoh itu bukan hanya terjadi pada Partai Demokrat. Simak, betapa PDIP masih amat bergantung kepada sosok Megawati, Hanura kepada Wiranto, dan Gerindra kepada Prabowo Subianto.Seorang teman Tionghoa yang "nyaleg" dan habis Rp 3 miliar juga berkisah, mekanisme suara terbanyak pun masih bisa disiasati dalam pileg 9 April silam. Suara caleg-caleg yang tidak dikehendaki maju ke Senayan bisa diberikan kepada caleg lain agar bisa lolos ke Senayan sesuai kebijakan dan ketentuan internal partai. Kalau dirunut, politik bergantung kepada tokoh itu memang punya akar dalam sejarah yang panjang. Sejak Orba, parpol-parpol mengalami pemandulan karena parpol selalu dicurigai penguasa. Kita tentu masih ingat bagaimana 10 parpol pada Pemilu 1971 harus disederhanakan (fusi) ke dalam tiga parpol.Jelas parpol yang masih amat bergantung kepada tokoh atau elite tertentu akan mengalami masalah regenerasi ke depan. Pasalnya, sangat mungkin terjadi ketika sang tokoh tiada, keberadaan dan keberlangsungan parpol juga berakhir dari panggung politik nasional.Di negara-negara maju seperti Australia, parpol modern dikelola dengan prinsip egalitarianisme sehingga kaderisasi terus dilakukan. Kebergantungan kepada figur sentral partai nyaris tidak ada. Bandingkan dengan mayoritas parpol di Indonesia yang lebih mengedepankan figur yang kuat untuk mendongkrak perolehan suara secara cepat.Birokrasi Corak elitis atau neofeodalistis itu, kalau mau dikaji, sebenarnya memang tidak hanya memonopoli kancah perpolitikan nasional atau kehidupan parpol semata. Corak demikian masih kuat mengakar di beragam bidang kehidupan kita. Simak saja di jajaran birokrasi kita, semakin tinggi jabatan seseorang, justru semakin kurang melayani publik. Hanya yang berpangkat rendah yang disuruh menemui rakyat jelata. Hanya rakyat yang tampak punya status sosial tinggi yang disambut dengan antusias. Dalam dunia pendidikan, kita pernah dibuat mengelus dada akan praktik jual beli ijazah atau gelar palsu, seperti pernah di-blow up koran ini beberapa waktu lalu. Kadang penulis mengelus dada setiap melihat pejabat tinggi, bahkan dari jajaran kepolisian, saat turun dari mobil atau ketika sedang mengadakan kunjungan kerja, masih harus dipayungi seperti seorang raja di masa silam.Parahnya lagi, dalam birokrasi yang bercorak elitis dan neofeodalis, stabilitas terwujud bukan karena sistem tersebut rasional, efisien, dan adil, tetapi lebih disebabkan oleh berbagai modus KKN yang merekatkan berbagai kelompok kepentingan di sekitarnya. Menurut Max Weber, fenomena semacam itu disebut patrimonialisme, yang setara dengan neofeodalisme. Bila praktik birokrasi masih bercorak demikian, bisa dijamin negara atau suatu bangsa akan sulit meraih kemajuan.Karena itu, di tengah beragam wacana politik yang berkembang saat ini, para elite politik kita khususnya serta segenap anak bangsa pada umumnya harus menyadari bahaya corak politik yang elitis atau neofodalis. Kita jangan memutar jarum jam ke masa silam, ketika perjalanan sebuah bangsa hanya ditentukan sebagian kecil penguasa.Wartawan senior Rosihan Anwar mengingatkan, meski pemilu digelar berkali-kali di negeri ini, jika demokrasi kita terus bercorak elitis dan neofeodal, ke depan, tidak akan ada perubahan signifikan.
*). Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia, tinggal di Perth, Australia
Sumber :jawapos.com

Tidak ada komentar: