Jumat, 20 November 2009

Dirut PLN Siap Dilengserkan

JAKARTA - Krisis listrik yang mendera wilayah Jawa dan Bali dalam beberapa pekan terakhir mulai menghembuskan kabar pergantian pucuk pimpinan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kabar itu semakin kuat tadi malam ketika Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar menyatakan siap jika harus lengser dari jabatannya menyusul terjadinya krisis listrik akhir-akhir ini.

Sebetulnya, saat wawancara setelah rapat koordinasi menteri tim ekonomi dengan dirut BUMN yang terkait bidang energi sekitar pukul 21.30 tadi malam, wartawan tidak ada yang menanyakan tentang isu pergantian dirut PLN. Namun, ketika wartawan menanyakan hasil rapat koordinasi mengenai pasokan gas untuk pembangkit listrik PLN, Fahmi malah memancing isu tersebut dengan ucapan seakan-akan dirinya tidak akan lama lagi berada di perusahaan listrik BUMN tersebut. "Ya mungkin bulan depan sudah tidak perlu wawancara lagi," ungkapnya dengan wajah pasrah.Jawaban itu kontan mengundang penasaran para pemburu berita. Saat ditanyai keseriusannya mundur, Fahmi kembali menjawab namun kali ini dengan santai. "Ya enggak tahu, saya pun tahunya dari koran," ucapnya singkat.

Diburu lagi dengan pertanyaan apakah sudah ada pembicaraan dengan Menteri BUMN Mustafa Abubakar terkait pergantian posisi dirut PLN, wajah Fahmi mulai terlihat serius. ''Saya sih ikut saja. Kita namanya pemegang amanah. Saya hanya memegang amanah saja,'' katanya kali ini dengan mimik serius. Ketika ditanya mengenai rapat koordinasi yang berjalan lama apakah karena juga membicarakan pergantian direksi PLN, Fahmi enggan menjawab. ''Hmm, ngomong yang lain aja ya,'' ujarnya lantas tersenyum sambil berlalu.

Rapat koordinasi soal energi kemarin memang terbilang lebih lama dari biasanya. Dimulai pukul 10.00 pagi, rapat kemudian sempat diskors sekitar pukul 13.00 karena Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menneg BUMN Mustafa Abubakar, dan Menteri ESDM Darwin Z. Saleh harus ke Istana Negara untuk mengikuti sidang kabinet hingga sekitar pukul 16.00. Namun, rapat di kantor Menko Perekonomian tetap berlanjut dengan peserta direksi PLN, Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J. Purwono, dan Dirjen Migas Evita H. Legowo.

Usai sidang kabinet, Hatta kembali memimpin rapat hingga berakhir sekitar pukul 21.15. Dicegat saat hendak meninggalkan Kantor Menko Perekonomian, Hatta hanya menyebut bahwa rapat koordinasi dilakukan untuk membahas skema pasokan gas untuk pembangkit listrik milik PLN dan upaya-upaya lain untuk mengatasi krisis listrik. ''Tapi, lebih banyak membahas soal pasokan gas,'' ujarnya.

Ketika ditanya terkait isu rencana pergantian direksi PLN karena dinilai gagal mengatasi krisis listrik, Hatta juga enggan menjawab. Mantan Mensesneg itu hanya melempar senyum dan langsung memasuki mobil dinas Toyota Camry bernopol RI 12.

Sebelumnya, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar mengatakan bahwa jajaran direksi PLN akan terkena sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat atau bahkan penurunan pangkat jika tak bisa menyelesaikan krisis listrik tepat waktu. "Nanti kita akan terus pantau kinerja mereka sampai akhir tahun ini," ujar Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar, saat melakukan sidak di Gardu Induk Cawang pekan lalu. (owi/kim/jp.com)

Dana Asing Tetap Mengalir

JAKARTA - Membanjirnya dana asing tampaknya tak akan bisa dibendung. Pasalnya, pemerintah merasa belum perlu membatasi masuknya dana asing ke pasar modal dan Surat Utang Negara (SUN).

''Pemerintah tidak akan melakukan pembatasan atas kepemilikan asing di instrumen saham maupun SUN,'' kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan Anggito Abimanyu saat ditemui di Kantor Menkeu Perekonomian kemarin (19/11). Artinya, memang belum ada kebijakan fiskal apa pun untuk mengurangi masuknya hot money.

Direktur Surat Berharga Negara Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu Bhimantara Widyajala menambahkan, saat ini komposisi kepemilikan SUN oleh asing masih pada level yang wajar, yakni sekitar Rp 103,3 triliun atau 17,8 persen dari total obligasi negara yang diterbitkan sebesar Rp 579,59 triliun. ''Dulu saja kita bahkan pernah punya kepemilikan asing sampai 20 persen. Jadi kalau sekarang itu masih sekitar 17,8 persen, maka kita tidak ada level batasan (kepemilikan SUN oleh asing),'' katanya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh para pengamat. Ekonom Suistainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H. Wibowo mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu memperketat regulasi di pasar modal dan pasar keuangan untuk mengendalikan aliran hot money. '' Semua langkah untuk mengendalikan hot money layak untuk dijajaki dan diterapkan (oleh pemerintah dan Bank Indonesia),'' tegasnya.

Senada dengan Dradjad, Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Tony Prasetyantono menilai, memang sudah seharusnya porsi kepemilikan saham dan obligasi oleh asing di pasar domestik dicermati. Pasalnya, jumlah yang terlalu besar berisiko mengurangi persepsi positif Indonesia di mata investor asing. ''Menurut saya, membatasi SBI masih jauh lebih baik dan acceptable dibandingkan capital control. Kita kan tidak mau konyol biaya moneter BI bengkak tahun depan gara-gara banjir dana asing di SBI,'' katanya.

Meski demikian, BI harus hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan aliran dana asing. Artinya, BI perlu mengkaji secara seksama mengenai batasan kepemilikan asing yang bisa ditoleransi pasar. ''Ini penting agar tidak terlampau mengganggu persepsi pasar terhadap Indonesia,'' terangnya. (owi/bas/jp.com)

Kamis, 19 November 2009

Menguji Keampuhan Tim Delapan

SETELAH dua minggu melakukan verifikasi fakta dan proses hukum terhadap kasus yang menimpa dua petinggi KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, tim verifikasi fakta dan proses hukum bentukan presiden yang lebih populer dengan sebutan Tim Delapan secara resmi menyerahkan laporan final berikut rekomendasinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (17/11).

Anggota Tim Delapan Anies Baswedan menjelaskan, laporan setebal 26 halaman tersebut setidaknya memuat tiga intisari permasalahan. Yang pertama, Tim Delapan menyimpulkan bahwa kasus yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah tidak layak untuk diteruskan ke meja hijau.

Kesimpulan kedua adalah pentingnya dilakukan reformasi di lingkungan kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kesimpulan terakhir adalah membongkar habis para mafia peradilan atau makelar kasus yang selama ini tak pernah tersentuh.

Tentu langkah bijak sang kepala negara sangat dibutuhkan dalam mengurai permasalahan yang sedang melilit bangsa ini. Persoalan yang dihadapi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang belakangan telah berkembang dan menjalar menjadi persoalan antarlembaga pendekar hukum sangat banyak menyita energi bangsa ini. Hampir semua program dan agenda pemerintah kali ini tertimbun oleh tingginya gunung es perseteruan KPK versus Polri.

Sistem Hukum

Dalam negara yang menganut sistem civil law atau Eropa continental seperti Indonesia, penanganan setiap perkara atau persoalan hukum bisa dipastikan mengedepankan prinsip adanya kepastian hukum. Selanjutnya, dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut, dasar pijakannya selalu mengarah pada ketentuan hukum formal. Baik peradilan sebagai benteng terakhir pencarian keadilan maupun lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang akan mendasarkan setiap tindakannya pada hukum tertulis. Ketentuan undang-undang seolah menjadi satu-satunya jawaban atas setiap rentetan persoalan yang hendak diselesaikan.

Bila ternyata terdapat oknum yang berusaha keluar dari rel tersebut, reaksi yang akan timbul adalah lahirnya polemik baru berupa kontroversi di kalangan publik.

Sementara itu, dalam negara yang menganut sistem common law atau anglo saxon, penanganan perkara justru sangat kontras dengan sistem dan pola yang diterapkan dalam sistem civil law. Dalam sistem anglo saxon, katentuan dalam perundang-undangan bukanlah harga mati dalam memutus setiap persoalan yang muncul. Artinya, sangat terbuka peluang untuk keluar dari sistem dalam mengambil setiap keputusan.

Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat tujuan utama proses peradilan adalah adanya keadilan sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai. Dalam sistem tersebut, peradilan lebih menitikberatkan pada kekuatan hukum materiil jika dibandingkan dengan formal. Di sinilah kemudian dikenal istilah atau sistem juri untuk memberi pandangan dan pertimbangan dalam memutus setiap persoalan hukum.

Dalam dinamika berikutnya, di berbagai negara yang menerapkan sistem anglo saxon, istilah yurisprudensi menjadi bahasa yang teramat populer dalam dunia peradilan. Tidak jarang ditemukan dalam memutus suatu perkara hukum, para hakim lebih banyak berpedoman pada yurisprudensi (pendapat para hakim sebelumnya terhadap perkara yang sama) jika dibandingkan dengan pada ketentuan hukum formal.

Di sinilah kebebasan hakim dalam menimbang rasa keadilan yang hendak diputusnya menjadi amat terasa. Tangan mereka benar-benar menjadi perpanjangan tangan Yang Mahakuasa dalam memberi keadilan bagi yang sedang mencarinya. Sedangkan, ketentuan hukum formal tidak jarang diabaikan karena memang disadari betul bahwa kepastian hukum bukanlah segalanya. Kepastian hukum hanyalah suatu jalan menuju terciptanya keadilan.

Kondisi Riil

Apa yang hendak penulis sampaikan dengan uraian singkat di atas adalah bahwa itulah kondisi riil yang saat ini dihadapi bangsa kita. Ketika kepolisian dan kejaksaan ngotot untuk terus menindaklanjuti proses hukum terhadap dua petinggi KPK nonaktif yang telah diyakni oleh banyak pihak (termasuk Tim Delapan) sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK, hal itu cukup membuktikan bahwa baik kepolisian maupun kejaksaan, tampaknya, berpegang pada prinsip rechtstaat. Dua lembaga itu, tampaknya, lebih mengedepankan prinsip kepastian hukum dan mengedepankan penerapan hukum formal sebagaimana yang dianut oleh berbagai negara dengan sistem civil law.

Sementara itu, Tim Delapan yang dibentuk Presiden SBY untuk mencari akar persoalan dan menemukan solusi kasus tersebut justru memandangnya dari sisi yang berbeda. Prinsip rule of law yang sering ditemukan di negara-negara anglo saxon dengan mengedepankan implementasi hukum materiil lebih mendominasi alur pikiran anggota Tim Dlapan, termasuk masyarakat yang menjadi facebooker untuk KPK.

Lantas, bagaimanakah Presiden SBY menyikapi problematika penegakan hukum kali ini? Akankah sang kepala negara menjadikan rekomendasi Tim Delapan sebagai bahan pertimbangan atau justru hanya mengarsipkannya?

Atau, jangan-jangan presiden justru lebih merapatkan telinga dengan suara-suara dari pakar ketatanegaraan negeri ini. Apalagi isu menjadikan abolisi sebagai senjata pemungkas presiden dalam mengubur perkara itu sudah mulai menggelinding.

Kalau hal itu yang terjadi, rekomenasi Tim Delapan tidak akan seampuh kapasitas para personelnya. Meski demikian, tentu menjadi harapan kita bersama agar kepala negara dapat mengambil langkah bijak. Menyelamatkan institusi kepolisian dan kejaksaan dari rasa kebencian yang mendalam di kalangan publik serta di sisi lain mengakomodasi jerih payah Tim Delapan.

*) Janpatar Simamora SH, dosen Fakultas Hukum UHN, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UGM Jogjakarta

Menguji Keampuhan Tim Delapan

SETELAH dua minggu melakukan verifikasi fakta dan proses hukum terhadap kasus yang menimpa dua petinggi KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, tim verifikasi fakta dan proses hukum bentukan presiden yang lebih populer dengan sebutan Tim Delapan secara resmi menyerahkan laporan final berikut rekomendasinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (17/11).

Anggota Tim Delapan Anies Baswedan menjelaskan, laporan setebal 26 halaman tersebut setidaknya memuat tiga intisari permasalahan. Yang pertama, Tim Delapan menyimpulkan bahwa kasus yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah tidak layak untuk diteruskan ke meja hijau.

Kesimpulan kedua adalah pentingnya dilakukan reformasi di lingkungan kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kesimpulan terakhir adalah membongkar habis para mafia peradilan atau makelar kasus yang selama ini tak pernah tersentuh.

Tentu langkah bijak sang kepala negara sangat dibutuhkan dalam mengurai permasalahan yang sedang melilit bangsa ini. Persoalan yang dihadapi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang belakangan telah berkembang dan menjalar menjadi persoalan antarlembaga pendekar hukum sangat banyak menyita energi bangsa ini. Hampir semua program dan agenda pemerintah kali ini tertimbun oleh tingginya gunung es perseteruan KPK versus Polri.

Sistem Hukum

Dalam negara yang menganut sistem civil law atau Eropa continental seperti Indonesia, penanganan setiap perkara atau persoalan hukum bisa dipastikan mengedepankan prinsip adanya kepastian hukum. Selanjutnya, dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut, dasar pijakannya selalu mengarah pada ketentuan hukum formal. Baik peradilan sebagai benteng terakhir pencarian keadilan maupun lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang akan mendasarkan setiap tindakannya pada hukum tertulis. Ketentuan undang-undang seolah menjadi satu-satunya jawaban atas setiap rentetan persoalan yang hendak diselesaikan.

Bila ternyata terdapat oknum yang berusaha keluar dari rel tersebut, reaksi yang akan timbul adalah lahirnya polemik baru berupa kontroversi di kalangan publik.

Sementara itu, dalam negara yang menganut sistem common law atau anglo saxon, penanganan perkara justru sangat kontras dengan sistem dan pola yang diterapkan dalam sistem civil law. Dalam sistem anglo saxon, katentuan dalam perundang-undangan bukanlah harga mati dalam memutus setiap persoalan yang muncul. Artinya, sangat terbuka peluang untuk keluar dari sistem dalam mengambil setiap keputusan.

Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat tujuan utama proses peradilan adalah adanya keadilan sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai. Dalam sistem tersebut, peradilan lebih menitikberatkan pada kekuatan hukum materiil jika dibandingkan dengan formal. Di sinilah kemudian dikenal istilah atau sistem juri untuk memberi pandangan dan pertimbangan dalam memutus setiap persoalan hukum.

Dalam dinamika berikutnya, di berbagai negara yang menerapkan sistem anglo saxon, istilah yurisprudensi menjadi bahasa yang teramat populer dalam dunia peradilan. Tidak jarang ditemukan dalam memutus suatu perkara hukum, para hakim lebih banyak berpedoman pada yurisprudensi (pendapat para hakim sebelumnya terhadap perkara yang sama) jika dibandingkan dengan pada ketentuan hukum formal.

Di sinilah kebebasan hakim dalam menimbang rasa keadilan yang hendak diputusnya menjadi amat terasa. Tangan mereka benar-benar menjadi perpanjangan tangan Yang Mahakuasa dalam memberi keadilan bagi yang sedang mencarinya. Sedangkan, ketentuan hukum formal tidak jarang diabaikan karena memang disadari betul bahwa kepastian hukum bukanlah segalanya. Kepastian hukum hanyalah suatu jalan menuju terciptanya keadilan.

Kondisi Riil

Apa yang hendak penulis sampaikan dengan uraian singkat di atas adalah bahwa itulah kondisi riil yang saat ini dihadapi bangsa kita. Ketika kepolisian dan kejaksaan ngotot untuk terus menindaklanjuti proses hukum terhadap dua petinggi KPK nonaktif yang telah diyakni oleh banyak pihak (termasuk Tim Delapan) sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK, hal itu cukup membuktikan bahwa baik kepolisian maupun kejaksaan, tampaknya, berpegang pada prinsip rechtstaat. Dua lembaga itu, tampaknya, lebih mengedepankan prinsip kepastian hukum dan mengedepankan penerapan hukum formal sebagaimana yang dianut oleh berbagai negara dengan sistem civil law.

Sementara itu, Tim Delapan yang dibentuk Presiden SBY untuk mencari akar persoalan dan menemukan solusi kasus tersebut justru memandangnya dari sisi yang berbeda. Prinsip rule of law yang sering ditemukan di negara-negara anglo saxon dengan mengedepankan implementasi hukum materiil lebih mendominasi alur pikiran anggota Tim Dlapan, termasuk masyarakat yang menjadi facebooker untuk KPK.

Lantas, bagaimanakah Presiden SBY menyikapi problematika penegakan hukum kali ini? Akankah sang kepala negara menjadikan rekomendasi Tim Delapan sebagai bahan pertimbangan atau justru hanya mengarsipkannya?

Atau, jangan-jangan presiden justru lebih merapatkan telinga dengan suara-suara dari pakar ketatanegaraan negeri ini. Apalagi isu menjadikan abolisi sebagai senjata pemungkas presiden dalam mengubur perkara itu sudah mulai menggelinding.

Kalau hal itu yang terjadi, rekomenasi Tim Delapan tidak akan seampuh kapasitas para personelnya. Meski demikian, tentu menjadi harapan kita bersama agar kepala negara dapat mengambil langkah bijak. Menyelamatkan institusi kepolisian dan kejaksaan dari rasa kebencian yang mendalam di kalangan publik serta di sisi lain mengakomodasi jerih payah Tim Delapan.

*) Janpatar Simamora SH, dosen Fakultas Hukum UHN, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UGM Jogjakarta

Menguji Loyalitas Wakil Rakyat

BERGULIRNYA hak angket Bank Century di DPR menjadi tekanan bagi pemerintahan SBY-Boediono. Dalam perkembangan di gedung parlemen, pendukung angket itu menjadi bola salju. Semakin menggelinding semakin besar gumpalannya.

Para pendukung terus membengkak. Yang membubuhkan tanda tangan bukan hanya fraksi yang tidak bergabung di pemerintah: Fraksi PDIP, Fraksi Hanura, dan Fraksi Gerindra. Kecuali Fraksi Partai Demokrat, semua fraksi yang menjadi mitra koalisi juga sudah ada anggota yang meneken tanda dukungan untuk angket itu.

Memang, anggota FPKS, FPPP, FPAN, FPKB, dan FPG yang membubuhkan tandan tangan atas nama individu. Bukan suara fraksi karena fraksi mereka belum bersikap.

Melihat perkembangan ini, bukan tidak mungkin hak angket itu akan lolos bila dilakukan lewat voting dalam paripurna mendatang. Saat ini saja pendukung sudah mencapai lebih dari 200 orang.

Gejolak di Senayan tersebut sekaligus untuk menguji loyalitas para anggota DPR. Apakah mereka yang bergabung dengan koalisi akan loyal dengan sikap pemerintah? Sikap pemerintah tecermin dengan pandangan Demokrat yang tak akan menghadang angket di paripurna.

Wajar bila pemerintah ingin menggembosi karena akan sangat berbahaya. SBY dan Demokrat tentu tidak mau apabila kasus tersebut berbelok menjadi masalah politik pelik. Mereka pasti tidak ingin Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani menjadi sasaran. Sebab, hampir pasti kedua petinggi itu dimintai kesaksiannya karena merekalah pemegang otoritas saat dana talangan Rp 6,7 triliun mengalir ke Century. Aliran dana itulah yang menjadi fokus angket nanti.

Kini loyalitas anggota DPR benar-benar diuji. Terutama para anggota koalisi. Apakah mereka loyal kepada SBY-Boediono yang telah memberikan kursi menteri untuk partainya. Misalnya, apakah Wakil Ketua DPR Anis Matta yang telah meneken angket harus berubah haluan mendukung Demokrat? Apakah Anis akan mengikuti kemauan SBY-Boediono yang telah memberikan empat kursi menteri untuk PKS. Ataukah, Anis akan loyal kepada sikapnya sebagai wakil rakyat yang telah memilih untuk menyidik kasus Century?

Senayan kini benar-benar menjadi panggung pertarungan para politisi itu. Rakyat tentu tak ingin pertarungan tersebut berakhir antiklimaks, seperti angket yang lain. Jangan sampai pengajuan angket itu berakhir dengan kompensasi politik atau hanya menjadi tawar-menawar para elite politik.

Masih ingat pansus kenaikan harga BBM yang dulu sangat didukung rakyat, tapi hasilnya tak pernah terdengar begitu para politisi sibuk berbicara koalisi dan bagi kekuasaan menjelang pemilu lalu. Apakah angket Century ini juga akan redup? (*)

Menyoal Usul Abolisi

OPSI penyelesaian elegan berupa pemberian abolisi kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang digulirkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. menarik untuk dicermati. Menurut Mahfud, abolisi merupakan solusi kompromistis dalam penyelesaian kasus Bibit-Chandra dengan tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan Polri serta Kejaksaan Agung. Dengan abolisi, kehormatan kepolisian tetap terjaga karena masih dapat melakukan penyidikan terhadap Bibit-Chandra. Hanya, pemeriksaan lebih lanjut atas kasus tersebut dengan segala akibat hukumnya dihentikan oleh presiden selaku kepala negara karena telah memberikan ''ampunan''.

Sebagai solusi kompromistis, tentu pemberian abolisi seharusnya tidak hanya mengakomodasi kepentingan Polri dan Kejaksaan Agung semata. Tetapi, juga kepentingan orang yang berkaitan secara langsung dengan kasus tersebut, yaitu Bibit-Chandra. Berkaitan dengan hal itu, pertanyaan yang relevan adalah untungkah Bibit-Chandra dengan pemberian abolisi sebagai upaya penyelesaian kasus mereka?

Rugikan Bibit-Chandra

Abolisi adalah suatu tindakan yang meniadakan atau menghapus. Bukan saja hal yang bertalian dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat-akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim atau vonis. Abolisi berkaitan dengan semboyan Romawi ''Deletio, oblivio vel extinctio accusationis" yang berarti meniadakan, melupakan, dan menghapuskan soal tuduhan. Sehingga termasuk proses ante sententiam, yaitu sebelum putusan hakim dibacakan.

Berdasar Pasal 14 UUD 1945, pihak yang berhak memberikan abolisi adalah presiden RI dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan yang menjadi pertimbangan utama adalah demi kepentingan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh putusan pengadilan.

Sekalipun pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra didasarkan kepada Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, itu tidak berarti abolisi merupakan penyelesaian hukum. Abolisi merupakan penyelesaian politis dalam penyelesaian perkara yang dibenarkan oleh hukum (konstitusi) RI, selain grasi, amnesti, dan rehabilitasi. Penyelesaian suatu perkara dikatakan sebagai penyelesaian hukum bila perkara tersebut telah diperiksa dan diputus lembaga peradilan sebagai cermin organ yudisial.

Selintas, pemberian abolisi juga memberikan keuntungan bagi Bibit-Chandra. Tanpa adanya pemeriksaan dan putusan pengadilan, perkara yang dihadapi ditiadakan oleh presiden dengan segala akibat hukumnya. Bibit-Chandra tanpa bersusah-payah untuk membuktikan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang disangkakan oleh penyidik (Polri) kepadanya, perkara sudah dianggap selesai.

Namun, kalau dicermati secara dalam, pemberian abolisi itu sebenarnya kurang menguntungkan bagi Bibit-Chandra, khususnya menyangkut citra diri. Stigma bahwa orang yang diberi abolisi oleh presiden RI (termasuk grasi dan amnesti) adalah orang yang memang telah melakukan perbuatan hukum yang disangkakan.

Keuntungan atas pemberian abolisi kepada Bibit-Chandra tersebut jelas sangat dirasakan oleh Polri dan Kejaksaan Agung yang memang selama ini getol memeriksa Bibit-Chandra. Kehormatan dan kewibawaan kedua lembaga itu akan tetap terjaga karena pemeriksaan atas perkara tersebut tetap dilanjutkan. Mereka terpaksa tidak meneruskan pemeriksaan karena perkara telah dianulir oleh presiden sebagai kepala negara melalui pemberian abolisi.

Penyelesaian Hukum

Sebagai negara yang ingin menegakkan supremasi hukum, penyelesaian kasus Bibit-Chandra hendaknya tetap dilakukan dalam koridor hukum (legal frame). Sekalipun tidak bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku, pemberian abolisi bukan merupakan penyelesaian hukum karena tidak diputus lembaga peradilan.

Opsi lain yang lebih rasional untuk dilakukan presiden adalah memberikan stimulasi kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk melaksanakan rekomendasi Tim 8. Kalau kenyataannya Tim 8 merekomendasikan bahwa kasus Bibit-Chandra tidak layak diteruskan karena tidak cukup bukti, maka kepolisian harus punya keberanian menghentikan pemeriksaan perkara melalui penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

Opsi penyelesaian hukum berikutnya adalah penerbitan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2). Merujuk Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP, jaksa agung berwenang menghentikan penuntutan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana karena tidak cukup bukti. Prosedur itu pernah diterapkan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh yang menghentikan penuntutan terhadap Soeharto, tapi dengan alasan faktor kesehatan.

Opsi tersebut, tampaknya, lebih memungkinkan untuk dilakukan daripada penerbitan SP3 oleh kepolisian. Dari proses komunikasi antara Polri dan Kejaksaan Agung selama ini, yang antara lain mengembalikan berkas BAP kepada penyidik untuk disempurnakan, menyiratkan bahwa Kejaksaan Agung tidak begitu saja menerima pemberkasan oleh penyidik. Ini berarti bahwa ganjalan psikologis institusional yang dihadapi Kejaksaan Agung untuk menghentikan pemeriksaan kasus Bibit-Chandra lebih ringan daripada Polri.

Selain penerbitan SKP2, Kejaksaan Agung sebenarnya masih punya kewenangan lain yang bisa ditempuh, yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 35 huruf C UU No.2004 tentang Kejaksaan RI tersebut merupakan aktualisasi asas oportunitas.

Kalaupun kedua opsi penyelesaian hukum tersebut tidak ditempuh, baik oleh Polri maupun Kejaksaan Agung, maka opsi terakhir adalah pemeriksaan di pengadilan. Ada sisi baiknya kalau kasus Bibit-Chandra diperiksa di sidang pengadilan. Transparansi atas penyelesaian kasus itu lebih tampak. Masyarakat luas bisa mengikuti jalannya persidangan. Selain itu, kepastian hukum lebih dijamin daripada opsi lainnya, terlebih pemberian abolisi. (*)

*). Dr Taufiqurrahman SH , MHum, Pjs Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya

Heboh Kiamat 2012


FILM tentang hari kiamat dengan judul 2012 tengah menjadi buah bibir di seluruh dunia. Seperti dikutip dari Associated Press, di pekan pertamanya, film buatan Sony Pictures itu meraih USD 225 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun (Jawa Pos, 17 November 2009).

Film itu konon didasarkan sistem kalender suku Maya. Menurut kalender itu, 1992-2012 akan menjadi tahun-tahun pemurnian total planet bumi hingga akhirnya peradaban manusia benar-benar berakhir pada 21 Desember 2012.

Film 2012 berangkat dari buku Mystery of 2012: Predictions, Prophecies & Possibilities yang disusun Gregg Braden. Buku yang terdiri atas 25 tulisan ilmiah, wawancara, serta eksplorasi sejumlah peneliti ini mencoba menginterpretasikan siklus besar kalender suku Maya menjadi sebuah penemuan baru. Braden mengeksplorasi bahwa pada 2012 akan terjadi pembalikan kutub magnetik bumi yang bisa mengakibatkan badai hebat. Dia menarik kesimpulan itu berdasarkan teori kuantum yang memang menjadi kompetensinya.

Dalam filmnya, 2012 berkisah tentang seorang tokoh ilmuwan muda Adrian Helmsley dalam film itu (diperankan aktor Chiwetel Ejiofor) menemukan fakta bahwa matahari akan meledak dan inti bumi akan mencapai suhu yang paling panas. Akibatnya, perlahan tapi pasti, di 2012 nanti, bumi akan retak, jalan-jalan akan terbelah, gempa dahsyat bakal mengguncang, dan puncaknya, tsunami raksasa akan meluluhlantakkan bumi.

Pengharaman MUI Malang

Menarik bahwa film itu kabarnya diharamkan oleh Majelis Ulama Malang. Sebab, film 2012 dinilai meresahkan masyarakat terkait datangnya hari kiamat pada 2012. Ketua MUI Kabupaten Malang KH Mahmud Zubaidi mengatakan, pengharaman ini sebagai respons terhadap isi cerita film tersebut yang terlalu jauh menceritakan waktu datangnya kiamat pada 2012.

Sementara itu, Ketua MUI Jabar KH Hafidz Utsman mengaku prihatin dengan mencuatnya kontroversi mengenai film 2012. Menurut dia, tidak ada yang perlu diributkan dari film ini karena seperti karya seni komersial lain, 2012 bukanlah mengedepankan fakta, melainkan fiksi belaka.

Memang kita seharusnya tidak perlu berpolemik tentang film 2012. Kita harus belajar menyikapi segala sesuatu seperti ajaran Gus Dur saja: "Gitu aja kok repot!" Dengan adanya fatwa haram seperti yang dikeluarkan MUI Kabupaten Malang, secara langsung atau tidak hal itu justru mendongkrak film 2012. Niatnya mengimbau orang agar tidak menonton, tapi masyarakat justru makin penasaran mau menonton. Apalagi, ideologi di balik film itu bukanlah ideologi agama, tetapi kapitalisme yang berprinsip mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Dalam hemat penulis, film yang mengingatkan orang akan adanya hari akhir atau hari kiamat, seperti Deep Impact atau The Day After Tomorrow serta 2012 selalu mengandung hikmah. Atau, selalu ada pesan yang bisa kita kaitkan dengan kehidupan kita hari-hari ini.

Film 2012 pertama-tama tentu saja menjawab rasa ingin tahu kita bahwa kiamat itu seperti apa, meskipun kita tidak setuju dengan harinya yang sudah ditetapkan, yakni 21 Desember 2012. Bahkan, Apolinaro Chile Pixtun, tetua Indian dari suku Maya asal Guatemala, sudah menyatakan, berita bahwa menurut kalender Maya kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012 adalah tidak benar. Agama suku Maya juga menyebutkan tidak tahu kapan sebenarnya hari kiamat akan tiba.

Tak Bisa Diprediksi

Menarik juga bahwa dalam eskatologi agama-agama samawi seperti Islam atau Kristen, hari H kiamat juga tidak diketahui. Meski demikian, kepercayaan akan adanya hari akhir termasuk menjadi doktrin agama. Bagi setap muslim, informasi tentang kiamat bisa dibaca dalam Surah Al-Qiyamah.

Kata Al-Qiyamah (hari kiamat) diambil dari perkataan Al-Qiyamah yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat yang terdiri atas 40 ayat, termasuk golongan surah Makkiyah, berisi kepastian terjadinya hari kiamat dan huru-hara yang terjadi seiring kiamat. Surah Al-Qiyamah juga berisi celaan Allah SWT kepada orang-orang musyrik yang lebih mencintai dunia dan meninggalkan akhirat dan keadaan manusia di waktu sakaratul maut.

Dalam sejarah, manusia memang selalu mencoba membuat prediksi kapan terjadinya kiamat. Anehnya, ketika tebakan itu salah, kebinasaan atau mautlah yang menjemput mereka. Misalnya, Sekte Ranting Daud di Waco, Texas, yang dipimpin David Koresh yang meramal kiamat pada 19 April 1993. Pada tanggal itu, David dan 84 pengikutnya justru melakukan bunuh diri masal.

Melihat prediksi-prediksi tentang kiamat yang selalu keliru, penulis ingat pada pendapat Rais Aam PB NU KH M.A. Sahal Mahfudz bahwa kiamat pasti tiba, tapi tak perlu orang mendustakannya.

Mungkin paling bijak bila film 2012 direspons dengan perubahan paradigma hidup yang salah karena adanya keyakinan pada hari akhir. Inilah momentum tepat untuk bertobat. Semisal bertobat dari korupsi yang telah membusukkan bangsa ini.

Melihat maraknya korupsi, rasanya tepat sabda Rasulullah saw, "Akan datang pada manusia suatu saat di mana seseorang tidak peduli dari mana hartanya didapat, apakah dari yang halal atau yang haram." (HR Ahmad dan Bukhari). Dan, kalau manusia tidak bisa membedakan hartanya halal atau haram, ini tanda-tanda kiamat mendekat, setidaknya kiamat kecil atau saatnya kita semua harus berhadapan dengan maut. (*)

*). Made Ayu Nita T.D. (Ay Yauwk Nio), pernah kuliah perbandingan agama di Edinburgh University,UK

Menjaga Tradisi Mulia di NU

DALAM tradisi NU jabatan Rais Aam Syuriah PB NU adalah posisi sentral dan sakral. Hanya kiai atau ulama yang punya maqam tinggi: faqih, zuhud, punya muru'ah, derajat dan akhlak mulya, yang pantas menduduki posisi rais aam.

Karena itu, mudah dipahami jika para kiai NU umumnya menolak dicalonkan sebagai rais aam. Mereka selain "tahu diri" dan merasa "tak pantas", juga karena faktor watak kultural NU, yaitu rasa tawaddlu' (rendah hati) yang tinggi. Sepanjang sejarah NU belum pernah ada kiai yang mencalonkan diri sebagai kandidat rais aam.

Semula pimpinan puncak Syuriah NU dinamakan rais akbar yang dijabat pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Namun, ketika Kiai Hasyim Asy'ari wafat, generasi kiai berikutnya merasa tak pantas menduduki posisi rais akbar. Alasannya, tak ada kiai sekaliber Mbah Hasyim, baik dari segi ilmu, karisma, muru'ah, kezuhudan, maupun derajat dan akhlaknya. Para kiai akhirnya sepakat mendegradasi atau menurunkan posisi pimpinan puncak Syuriah menjadi rais aam -dan itu terjadi hingga sekarang. Jabatan rais akbar -dengan demikian- hanya terjadi sekali dalam sejarah NU, yaitu saat dijabat Mbah Hasyim Asy'ari.

Peristiwa ini kemudian menjadi tradisi dalam suksesi kepimpinan syuriah. Artinya, suksesi kepemimpinan syuriah identik dengan rasa tawaddlu' dan bersih dari ambisi. Sejarah mencatat bahwa figur yang menduduki posisi rais aam selalu identik dengan "kiai tak bersedia" dan bahkan "tak pernah bermimpi" -apalagi ambisi- untuk menjadi Rrais aam. Kalau mereka kemudian terpilih, itu semata karena dipaksa para kiai dan muktamirin.

Umumnya, mereka terpilih sebagai rais aam selain karena faqih dan zuhud, juga punya akhlak mulia dan muru'ah tinggi. Jadi, mereka terpilih sebagai rais aam bukan karena maju sendiri sebagai kandidat, apalagi menggalang dukungan ke cabang-cabang. Mereka terpilih karena didorong -bahkan dipaksa- oleh kiai-kiai lain dan para muktamirin.

***

Ketika Muktamar Ke-27 NU di Situbondo 1984, sebenarnya yang paling punya peluang menjadi rais aam adalah KHR As'ad Syamsul Arifin. Sebab, saat itu Kiai As'ad, selain punya otoritas tinggi, juga didaulat sebagai komandan Ahlul halli wal-aqdi, lembaga yang diberi mandat penuh untuk menentukan rais aam dan ketua umum Tanfidziyah PB NU. Bahkan, koran-koran saat itu menulis bahwa Kiai As'ad kandidat terkuat rais aam. Namun, Kiai As'ad tak punya ambisi. Kiai As'ad selain sangat tawaddlu' juga sangat menghormati gurunya, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad bersama enam kiai lain yang duduk dalam tim Ahlul halli wal-aqdi malah memilih KH Ahmad Shidiq sebagai rais aam.

Tradisi mulia ini tidak hanya terjadi pada Rais Aam PB NU, tapi juga rais syuriah di tingkat wilayah dan seterusnya. Kita bisa menyimak kasus KH Mahrus Ali (almarhum) dari Pesantren Lirboyo. Saat itu KH Imron Hamzah (almarhum) -atas kesepakatan kiai-kiai- sowan ke Lirboyo minta kesediaan Kiai Mahrus Ali menjadi Rais Syuriah PW NU Jawa Timur. Namun, seperti bisa ditebak Kiai Mahrus menolak keras dengan berbagai alasan.

Kiai Imron tak putus asa. Beberapa hari kemudian Kiai Imron sowan lagi ke Lirboyo. Apa yang terjadi? Begitu mendengar Kiai Imron datang lagi, Kiai Mahrus langsung sakit dan mencret-mencret. Bahkan, istri Kiai Mahrus mohon kepada Kiai Imron agar tak datang lagi ke Lirboyo. Sebab, setiap mendengar Kiai Imron sowan ke Lirboyo, Kiai Mahrus langsung jatuh sakit. Artinya, saking tak bersedianya menjabat rais syuriah, Kiai Mahrus sampai trauma mendengar Kiai Imron. Namun, Kiai Mahrus tak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta Konrferwil NU Jatim memberi amanah untuk duduk sebagai Rais Syuriah PW NU Jatim.

Alhasil, posisi rais aam identik dengan "kiai tak bersedia". Dan, memang sikap tawaddlu' dan tidak ambisi inilah tradisi dan watak atau jati diri NU yang asli. Karena itu, kalau dalam Muktamar NU di Makassar ada tokoh NU yang berambisi dan menggalang dukungan untuk memilih dirinya jadi rais aam, berati dia bukan saja telah melanggar tradisi dan merusak jati diri NU, tapi juga telah terjadi "tragedi budaya" dalam NU. Paling tidak, telah terjadi pergeseran tata nilai luar biasa dalam NU. Padahal, tradisi syuriah inilah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan NU.

Sejarah juga mencatat bahwa kiai-kiai yang menjabat rais aam tak pernah bermasalah dalam kepemimpinannya, terutama secara moral. Kalau mereka terlibat konflik, umumnya bukan karena faktor kepentingan pribadi, tapi akibat doktrin keagamaan yang berbeda dengan kelompok lain.

Jadi, semua rais aam belum pernah cacat secara moral. Dan, itu terjadi mulai Rais Akbar Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari sampai Rais Aam PB NU KH Ahmad Sahal Mahfudz.

Memang tingkat akhlak, muru'ah, karisma, dan kezuhudannya jelas jauh berbeda pada masing-masing rais aam. Apalagi, jika dibandingkan dengan Mbah Hasyim. Bahkan, ada kritik terhadap Kiai Sahal sebagai rais aam karena dianggap tak tegas dalam menggunakan otoritasnya sebagai rais aam untuk mengontrol tanfidziyah. Tapi, secara moralitas dan muru'ah hingga sekarang Kiai Sahal tetap terjaga dan tak pernah tercela.

Terjaganya akhlak dan muru'ah para rais aam itu tak lepas dari proses terpilihnya mereka yang bersih dari vested interest. Mereka memahami jabatan rais aam itu sebagai amanah, bukan dalam arti jabatan sekuler yang mendatangkan prestise sosial, material, dan politik. Mereka bersedia menjadi rais aam atau memimpin NU semata karena niat ibadah, bukan karena syahwat politik yang meledak-ledak. Wallahua'lam bisshawab.(*)

*). M. Mas'ud Adnan, Dirut Harian Bangsa, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng.