Jumat, 13 Februari 2009

Kombinasi cause marketing & CSR

Ada dua terminologi menarik yang digunakan oleh para pakar dan praktisi seputar kegiatan sosial dan prinsip-prinsip nilai utama perusahaan. Cause marketing dan corporate social responsibility (CSR). Walaupun dua hal ini berbeda, dalam kesehariannya, masih banyak yang mencampur-adukkan arti dan tujuannya.
Cause marketing atau cause-related marketing adalah sebuah strategi pemasaran yang dipilih demi pencapaian penjualan dengan cara mengomunikasikan kepada target audience-nya bahwa sebagian dari hasil penjualan akan didonasikan kepada sebuah kegiatan sosial tertentu.
Biasanya, dengan daya tarik tersebut, penjualan meningkat, bukan saja dari konsumen yang membeli lebih banyak, melainkan juga pengalihan merek (switching) dari brand pesaing. Cause marketing lebih pendek horison waktunya.
CSR lebih mengarah kepada strategi korporasi, di mana sebuah perusahaan mencanangkan kepeduliannya terhadap kegiatan sosial dan lingkungannya, dengan mempertimbangkan pembangunan image jangka panjang.
Target audience dari sebuah kegiatan CSR tidak selalu merupakan target audience dari merek-merek yang dimiliki oleh perusahaan. Keberhasilan program CSR tidak diukur dari peningkatan penjualan jangka pendek. Namun, lebih kepada bagaimana perubahan persepsi stakeholders terhadap perusahaan ke arah yang lebih positif dan berkelanjutan.
Perusahaan sering menggabungkan kedua konsep ini dalam satu kali kesempatan. Misalnya saja, dengan cara menyatakan kepedulian sosialnya terhadap komunitas tertentu dan betapa produknya telah berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan.
Namun, dalam komunikasi ke target pasar, kepedulian sosial ini dikaitkan dengan iklan besar-besaran. Di satu sisi, perusahaan tereskspos kepeduliannya kepada masalah sosial, tetapi di sisi lain, dengan cara komunikasi yang berlebihan, membuat orang berpikir bahwa tidak ada unsur 'ketulusan' dalam kegiatan tersebut.
Stakeholders kemudian berpikir, bahwa ini hanyalah trik-trik untuk memenangkan persaingan belaka. Dalam jangka pendek, mungkin tujuan cause marketing-nya tercapai, penjualan meningkat. Namun, dalam jangka panjang, unsur CSR-nya tidak sempurna, karena ada pengaruh kurang baik terhadap merek produk.
Apakah kedua kegiatan ini tidak bisa dilakukan secara simultan? Jawabannya bisa, dan sudah dikerjakan oleh banyak perusahaan, yang umumnya pendirinya adalah seorang yang visionary. The Body Shop yang didirikan oleh Anita Roddick adalah salah satunya.
'Gloss for a Cause' adalah sebuah program dari The Body Shop yang akan mendonasikan 75% dari profit penjualan produk lip gloss-nya pada sebuah kegiatan yang dinamai the "Face-to-Face Program".
Kegiatan sosial ini intinya adalah menolong wanita yang membutuhkan bedak kosmetik atau rekonstruksi akibat mengalami deformasi fisik, korban kekerasan dalam rumah tangga. Yang menarik, pesan itu dicantumkan dalam kemasan lip gloss yang dijualnya dengan kata-kata "Setop kekerasan di rumah".
Kegiatan amal
Di samping kegiatan cause marketing, The Body Shop secara global dan rutin juga banyak mendukung kegiatan amal yang target audience-nya sama sekali bukan pemakai produknya, melainkan lebih merupakan bentuk kepedulian sosialnya terhadap kehidupan komunitas yang lebih baik dan lingkungan yang lebih terpelihara.
Ini merupakan bentuk atau ungkapan dari CSR dari perusahaan tersebut.
Di Indonesia, contoh kegiatan CSR dari The Body Shop di Indonesia bisa dilihat di www.komnasperempuan.or.id yang baru saja menyelenggarakan kompetisi "The Body Shop Foundation Grant 2009". Dana senilai 5000-6000 pound sterling ini ditujukan untuk berbagai organisasi di Indonesia agar mendukung gerakan di tiga aspek penting yaitu: proteksi keluarga, penurunan kemiskinan, dan kelanggengan lingkungan hidup.
Secara umum, ada lima hal yang menjadi prinsip nilai-nilai yang dicanangkan oleh The Body Shop sebagai values atau nilai perusahaan:
Anti melakukan tes terhadap binatang untuk kosmetiknya.
Memberikan dukungan pada pemasok bahan dasar natural produk dengan bertransaksi secara adil.
Menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri konsumen pengguna produk The Body Shop.
Terlibat dalam pemberdayaan komunitas terutama yang lemah.
Aktif dalam kegiatan proteksi lingkungan hidup.
Dari kelima nilai perusahaan inilah sebenarnya kunci utama dari keberhasilan The Body Shop membangun citra brand-nya. Kuncinya adalah 'ketulusan' dalam kegiatan sosialnya.
Yang unik dari cara pemasaran The Body Shop adalah minimalnya dana untuk iklan. Kekuatan dari pengembangan merek bertumpu dari kekuatan display dan promosi yang menarik di tokonya, positive word of mouth communication (WOM) dan kegiatan-kegiatan kehumasan.
Kegiatan-kegiatan internal dan eksternal perusahaan di bidang humaniora selalu menjadi sumber tulisan yang tidak ada habisnya di kalangan media massa.
Pada umumnya perusahaan kosmetik terbebani dengan biaya tinggi karena kontrak dengan model yang tersohor, biaya tinggi karena tempat pemasangan iklan di media yang sangat premium dan juga biaya produksi iklan dan kreatif yang sangat menjulang.
Ini adalah cara-cara tradisional untuk menjual sebuah mimpi, mimpi menjadi cantik, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan mimpi selalu harus tampak glamor, flashy, dan bergengsi.
Pandangan pendiri The Body Shop yaitu Anita Roddick cukup radikal, yaitu lepas dari pandangan yang bersifat umum atau mainstream. Beliau justru melihat manfaat yang lebih besar untuk umat dengan mengalihkan biaya-biaya tinggi dari kegiatan menjual mimpi dengan iklan. Pesan yang disampaikan lebih membumi karena menyentuh aspek-aspek natural dan sosial.
Pelajaran yang dapat dipetik dari The Body Shop adalah membuat sebuah perencanaan CSR dan cause marketing yang terpadu di perusahaan. Perusahaan jangan mementingkan kegiatan sosial yang berdampak jangka pendek, karena kombi-na-si dengan CSR dengan target audience yang lebih luas akan mendorong transformasi dari image brand ke tingkat yang lebih punya makna. (oleh : Amalia E. MaulanaBrand Consultant & Ethnographer).

Atribut kepemimpinan

Mentari pagi mulai menyeruak menerangi kawasan Puncak, Jawa Barat, di sebuah tempat pelatihan nan sejuk. Segerombol karyawan berdiri takzim dengan tangan kanan menyilang di dada. Lalu dimulailah ritual yang setiap pagi selalu digelorakan oleh karyawan tersebut.
Menyebut nama perusahaan, meneriakkan nilai-nilai luhur perusahaan dan diakhiri dengan yel bersama. Saya yang bukan bagian dari perusahaan dan menjadi fasilitator pelatihan, terkesima oleh semangat mereka ketika menggelorakan nilai-nilai perusahaan.
Mereka tidak sekadar menjalankan rutinitas, tetapi juga menjiwai terhadap apa yang diucapkan. Itulah yang dilakukan setiap pagi oleh seluruh karyawan dari anak perusahaan Kalbe Group.
Menyebut nama Kalbe Group maka tidak bisa melepaskan diri dari merek-merek terkemuka, seperti Promag, Extra Joss, Mixagrip, Woods, Komix, Prenagen, dan Puyer Bintang Toejoeh.
Produk keluaran Kalbe Group dapat dengan mudah ditemukan dari Sabang sampai Merauke dan sekarang melanglang buana menelusuri Asean, Asia Tengah, dan Asia Timur.
Teringat nama Kalbe Group tentu akan teringat pada sosok bersahaja dengan kinerja luar biasa; Doktor Boenjamin Setiawan, Ph.D. Dengan panggilan akrab Dokter Boen, pria sepuh ini berhasil mengawal Kalbe Group sebagai perusahaan farmasi terbesar di seantero Asia Tenggara. Sebuah pencapaian yang layak untuk diapresiasi.
Empat atribut
Dimulai dari garasi pada 1966 dan sekarang beroperasi di sembilan kantor internasional, Kalbe Group sudah menunjukkan reputasi tinggi tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.
Pencapaian besar ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pemimpin yang memiliki jiwa besar. Sebagai penerima Lifetime Achievement Entrepreneur of the Year 2005 dari Ernst & Young, Dokter Boen memang pantas disebut pemimpin besar.
Hal pokok selanjutnya adalah pelajaran apa yang bisa dipetik dari kepemimpinan Dokter Boen?
Tiga pemikir manajemen dan human capital terkemuka bernama Dave Ulrich, Zack Zenger, dan Norm Smallwood dalam kajiannya di Harvard Business Review dengan tajuk Results-Based Leadership menyebut bahwa pemimpin dengan hasil optimal selalu mengedepankan empat atribut, yaitu: Set Direction, Demonstrate Personal Character, Mobilize Individual Commitment, dan Engender Organizational Capability. Kajian ini tepat untuk meneropong kepemimpinan Dokter Boen.
Atribut pertama, set direction. Berbicara tentang tiga hal utama; visi, konsumen dan masa depan. Ketika mulai mendirikan Kalbe Group, ada beban psikologis dari dalam diri Dokter Boen. Beban itu tak lain gelar Doktor dari University of Cali-fornia, AS.
Bagi banyak pihak dengan gelar Doktor merupakan 'penurunan derajat' apabila memulai bisnis kecil dari garasi. Namun tidak untuk Dokter Boen. Kejelasan visi dan orientasi pada masa depan akhirnya berhasil mengalahkan beban psikologis tersebut.
Bagi Dokter Boen menjadi pengusaha yang mampu membuka lapangan kerja bagi ribuan orang tidak kalah mulia dibanding dengan profesi ketika menjadi dosen yang bervisi mencerdaskan banyak orang.
Atribut kedua, demonstrate personal character. Atribut ini menyoal tentang kebiasaan, integritas, kepercayaan, dan berpikir analitis. Inti dari atribut kedua ini tak lain hukum paling primitif kepemimpinan yang masih tetap berlaku sampai detik ini, yaitu contoh peran.
Kebiasaan, integritas dan kepercayaan tidak bisa dilakukan dari balik meja. Semua dimulai dan diakhiri dalam perilaku sehari-hari pemimpin yang akan diamati dan ditiru konstituennya.
Ritual pagi dari karyawan anak usaha Kalbe Group dalam menggelorakan nilai-nilai perusahaan hanya sebatas rutinitas tanpa makna apabila tidak ada contoh dari para pemimpinnya.
Namun demikian para pemimpin itu tidak akan menjalankan nilai-nilai perusahaan dalam perilaku sehari-hari manakala tidak melihat contoh dari pemimpin tertingginya.
Sadar menyoal contoh peran ini, maka untuk melaksanakan salah satu dari enam nilai utama Kalbe Group yaitu inovasi, Dokter Boen benar-benar berkutat di laboratorium untuk selalu menciptakan produk baru.
Dari tangan Dokter Boen dan tentu dukungan tim, selalu lahir produk fenomenal Kalbe Group yang menjadi pilihan utama konsumen, seperti pada Extra Joss.
Atribut ketiga, mobilize individual commitment.
Berbicara tentang pemberdayaan, berbagi kekuasaan (wewenang) dan pendelegasian merupakan inti dari atribut ketiga ini. Tujuannya menumbuhkan individu yang memiliki komitmen kuat dan bertanggung jawab penuh.
Sekarang Kalbe Group dipimpin oleh generasi dengan usia relatif muda. Dokter Boen lebih berperan sebagai mentor dan pelatih untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin baru di Kalbe Group.
Dokter Boen bertanggung jawab menjaga spirit dan visi besar Kalbe Group. Estafet kepemimpinan yang mulus ini tak lain karena sedari awal dokter Boen sudah memberdayakan dan memberi pendelegasian kepada orang-orang yang memiliki komitmen penuh pada profesinya.
Alhasil ketika dokter Boen tidak lagi menjadi CEO, para penerusnya sudah siap untuk menjalankan kemudi membawa Kalbe Group menuju kejayaan.
Atribut keempat, engender organizational capability. Kecerdasan pemimpin untuk meningkatkan kapabilitas organisasi merupakan hal yang tidak terbantahkan.
Ketika organisasi mulai bertumbuh dalam berbagai dimensi (aset, keuntungan, SDM, infrastruktur) diperlukan ketangguhan dalam membangun kesolidan tim dan mengelola perubahan.
Dua hal inilah membangun tim dan mengelola perubahan merupakan inti dari atribut keempat.
Kalbe Group sekarang menaungi puluhan perusahaan dengan lebih dari 7.000 karyawan. Dibutuhkan seni tersendiri agar organisasi dapat berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.
Di sinilah letak kepiawaian dokter Boen dalam mengelola organisasi Kalbe Group. Berbagai teknologi yang diusung, sistem manajemen kontemporer yang dianut dan infrastruktur perusahaan terbarukan semua itu hanya dapat beroperasi dengan optimal di tangan pemimpin yang memiliki atribut set direction, demonstrate personal character, dan mobilize individual mommitment.
Hal demikian ditemukan dalam sosok bersahaja penuh kharisma; Doktor Boenjamin Setiawan, Ph.D. (oleh : A. M. Lilik AgungMitra Pengelola High Leap Consulting0.

Republik facebook

Ide tulisan ini datang dari posting-an mas Enda Nasution, seorang blogger, di note facebook (FB) bebera-pa waktu lalu. Dalam posting-nya waktu itu Mas Enda menampilkan data bahwa pengguna FB sudah mau menerobos angka 1 juta (total pengguna FB saat ini sekitar 160 juta).
Dalam posting Mas Enda per 27 Januari, member FB sudah mencapai 968.481 mengungguli jumlah member situs jejaring sosial tersebut di dari Malaysia dan Singapura.
Saya coba cek di situs allfacebook.com, memang per hari ini angkanya sudah lewat 1 juta, di mana pertumbuhan fantastis itu praktis terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir.
Dari posting itu saya langsung tergelitik. Saya mengamati pertumbuhan keanggotaan facebook yang fantastis itu sebagian besar disebabkan oleh adanya efek viral atau word of mouth dari member satu ke prospek member berikutnya. Pasti Anda tidak pernah mendapati facebook pasang iklan di Bisnis Indonesia atau RCTI.
Ambil contoh apa yang saya alami. Saya masuk facebook belum genap setahun. Tapi dalam waktu yang pendek itu saya mendapati sekian banyak pengalaman yang powerful: saya bisa bercengkerama dengan teman-teman anytime, anywhre, 24 jam; saya menemukan teman-teman SMP-SMA yang sudah 15-20 tahun tidak pernah ketemu lagi; atau saya bisa berdiskusi intens dengan rekan di seluruh dunia mengenai topik-topik pemasaran yang lagi hot.
Pengalaman-pengalaman yang exciting itu saya ceritakan ke teman-teman kantor, klien, atau tetangga melalui e-mail, milis, atau ngomong langsung. Hasilnya, seperti saya, mereka pun kepincut dengan facebook, dan kemudian buru-buru buka account di situs jejaring sosial tersebut.
Dalam CROWD: "Marketing Becomes Horizontal" saya merumuskan fenomena itu dengan rumus sederhana E = wMC2, dimana E = energi marketing yang dahsyat; wM = word of mouth; C2 = Customer community, yaitu offline x online).
Jadi, energi dahsyat yang menghasilkan pertumbuhan member facebook di atas terjadi karena adanya komunitas solid yang terbangun, yang kemudian diikuti adanya promosi dari mulut ke mulut antarsesama member dan dari member ke prospect member. Menariknya, "salesman" utama yang ada di komunitas itu para "facebook evangelist".
Setiap kesempatan
Saya adalah salah satu "facebook evange-list", karena di mana pun dan di kesempatan apa pun saya selalu katakan: "Hai teman-temanku, bikinlah account facebook!!!".
Minggu lalu, misalnya, saya bicara di depan 600 orang peserta seminar buku New Wave Marketing/CROWD di Makassar. Di situ Facebook saya bedah habis-habisan; saya juga cerita bagaimana Barack Obama bisa menang pemilu karena facebook; atau bagaimana Ayat-Ayat Cinta bisa box office karena facebook.
Saya yakin setidaknya setengah dari peserta itu berpikir untuk membuka account facebook. Kenapa? Karena menurut survei ACNielsen, rekomendasi pelanggan kini menempati posisi pertama sebagai alat pemasaran yang paling ampuh mengalahkan TV, radio, dan surat kabar.
Kenapa? Karena menurut riset tersebut: "91% customers likely to buy on recommendation". Inilah kekuatan word of mouth dan customer evangelist.
Dalam CROWD, lebih lanjut saya menulis bahwa penyebaran word of mouth di dalam komunitas memiliki kekuatan "network effect" mengikuti teori Group-Forming Network, dikenal sebagai "Reed's Law" (ditemukan oleh Prof. David Reed dari MIT ). Mengacu ke teori ini saya memperkirakan pertumbuhan member FB ini akan melesat secara eksponensial, mengikuti deret ukur seiring dengan bertambahnya member yang masuk.
Artinya apa? Kalau jumlah member facebook mampu menerobos angka 1 juta bulan ini, maka tidak sampai tahun depan mungkin jumlah member facebook akan menembus angka 10 juta; dan mungkin tak sampai 2 tahun lagi jumlah member facebook akan mencapai 100 juta.
Saya pun kemudian bermimpi. Saya bayangkan 2 tahun lagi member facebook sudah mencapai 100 juta. Maka saya kira facebook sudah layak dijadikan republik, sebut saja: "Republik facebook". Namanya republik, tentu ada presidennya, ada menterinya, ada DPR-nya. Saya mau tuh ikutan "pemilu", maju jadi capres facebook.
Kalau jadi capres "Republik Indonesia" mah saya nggak berani, takut dikritik Bu Mega main yo-yo. Tapi kalau jadi capres facebook, siapa takut!!! Di samping itu jadi "president republik facebook" pasti enak. Nggak pusing, nggak stres. Soalnya pasti nggak ada korupsi, nggak ada mutilasi, nggak ada banjir, nggak ada macet. Adanya cuma satu: Cinta. (oleh : YuswohadyMarkPlus Institute of Marketing).