Ada dua terminologi menarik yang digunakan oleh para pakar dan praktisi seputar kegiatan sosial dan prinsip-prinsip nilai utama perusahaan. Cause marketing dan corporate social responsibility (CSR). Walaupun dua hal ini berbeda, dalam kesehariannya, masih banyak yang mencampur-adukkan arti dan tujuannya.
Cause marketing atau cause-related marketing adalah sebuah strategi pemasaran yang dipilih demi pencapaian penjualan dengan cara mengomunikasikan kepada target audience-nya bahwa sebagian dari hasil penjualan akan didonasikan kepada sebuah kegiatan sosial tertentu.
Biasanya, dengan daya tarik tersebut, penjualan meningkat, bukan saja dari konsumen yang membeli lebih banyak, melainkan juga pengalihan merek (switching) dari brand pesaing. Cause marketing lebih pendek horison waktunya.
CSR lebih mengarah kepada strategi korporasi, di mana sebuah perusahaan mencanangkan kepeduliannya terhadap kegiatan sosial dan lingkungannya, dengan mempertimbangkan pembangunan image jangka panjang.
Target audience dari sebuah kegiatan CSR tidak selalu merupakan target audience dari merek-merek yang dimiliki oleh perusahaan. Keberhasilan program CSR tidak diukur dari peningkatan penjualan jangka pendek. Namun, lebih kepada bagaimana perubahan persepsi stakeholders terhadap perusahaan ke arah yang lebih positif dan berkelanjutan.
Perusahaan sering menggabungkan kedua konsep ini dalam satu kali kesempatan. Misalnya saja, dengan cara menyatakan kepedulian sosialnya terhadap komunitas tertentu dan betapa produknya telah berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan.
Namun, dalam komunikasi ke target pasar, kepedulian sosial ini dikaitkan dengan iklan besar-besaran. Di satu sisi, perusahaan tereskspos kepeduliannya kepada masalah sosial, tetapi di sisi lain, dengan cara komunikasi yang berlebihan, membuat orang berpikir bahwa tidak ada unsur 'ketulusan' dalam kegiatan tersebut.
Stakeholders kemudian berpikir, bahwa ini hanyalah trik-trik untuk memenangkan persaingan belaka. Dalam jangka pendek, mungkin tujuan cause marketing-nya tercapai, penjualan meningkat. Namun, dalam jangka panjang, unsur CSR-nya tidak sempurna, karena ada pengaruh kurang baik terhadap merek produk.
Apakah kedua kegiatan ini tidak bisa dilakukan secara simultan? Jawabannya bisa, dan sudah dikerjakan oleh banyak perusahaan, yang umumnya pendirinya adalah seorang yang visionary. The Body Shop yang didirikan oleh Anita Roddick adalah salah satunya.
'Gloss for a Cause' adalah sebuah program dari The Body Shop yang akan mendonasikan 75% dari profit penjualan produk lip gloss-nya pada sebuah kegiatan yang dinamai the "Face-to-Face Program".
Kegiatan sosial ini intinya adalah menolong wanita yang membutuhkan bedak kosmetik atau rekonstruksi akibat mengalami deformasi fisik, korban kekerasan dalam rumah tangga. Yang menarik, pesan itu dicantumkan dalam kemasan lip gloss yang dijualnya dengan kata-kata "Setop kekerasan di rumah".
Kegiatan amal
Di samping kegiatan cause marketing, The Body Shop secara global dan rutin juga banyak mendukung kegiatan amal yang target audience-nya sama sekali bukan pemakai produknya, melainkan lebih merupakan bentuk kepedulian sosialnya terhadap kehidupan komunitas yang lebih baik dan lingkungan yang lebih terpelihara.
Ini merupakan bentuk atau ungkapan dari CSR dari perusahaan tersebut.
Di Indonesia, contoh kegiatan CSR dari The Body Shop di Indonesia bisa dilihat di www.komnasperempuan.or.id yang baru saja menyelenggarakan kompetisi "The Body Shop Foundation Grant 2009". Dana senilai 5000-6000 pound sterling ini ditujukan untuk berbagai organisasi di Indonesia agar mendukung gerakan di tiga aspek penting yaitu: proteksi keluarga, penurunan kemiskinan, dan kelanggengan lingkungan hidup.
Secara umum, ada lima hal yang menjadi prinsip nilai-nilai yang dicanangkan oleh The Body Shop sebagai values atau nilai perusahaan:
Anti melakukan tes terhadap binatang untuk kosmetiknya.
Memberikan dukungan pada pemasok bahan dasar natural produk dengan bertransaksi secara adil.
Menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri konsumen pengguna produk The Body Shop.
Terlibat dalam pemberdayaan komunitas terutama yang lemah.
Aktif dalam kegiatan proteksi lingkungan hidup.
Dari kelima nilai perusahaan inilah sebenarnya kunci utama dari keberhasilan The Body Shop membangun citra brand-nya. Kuncinya adalah 'ketulusan' dalam kegiatan sosialnya.
Yang unik dari cara pemasaran The Body Shop adalah minimalnya dana untuk iklan. Kekuatan dari pengembangan merek bertumpu dari kekuatan display dan promosi yang menarik di tokonya, positive word of mouth communication (WOM) dan kegiatan-kegiatan kehumasan.
Kegiatan-kegiatan internal dan eksternal perusahaan di bidang humaniora selalu menjadi sumber tulisan yang tidak ada habisnya di kalangan media massa.
Pada umumnya perusahaan kosmetik terbebani dengan biaya tinggi karena kontrak dengan model yang tersohor, biaya tinggi karena tempat pemasangan iklan di media yang sangat premium dan juga biaya produksi iklan dan kreatif yang sangat menjulang.
Ini adalah cara-cara tradisional untuk menjual sebuah mimpi, mimpi menjadi cantik, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan mimpi selalu harus tampak glamor, flashy, dan bergengsi.
Pandangan pendiri The Body Shop yaitu Anita Roddick cukup radikal, yaitu lepas dari pandangan yang bersifat umum atau mainstream. Beliau justru melihat manfaat yang lebih besar untuk umat dengan mengalihkan biaya-biaya tinggi dari kegiatan menjual mimpi dengan iklan. Pesan yang disampaikan lebih membumi karena menyentuh aspek-aspek natural dan sosial.
Pelajaran yang dapat dipetik dari The Body Shop adalah membuat sebuah perencanaan CSR dan cause marketing yang terpadu di perusahaan. Perusahaan jangan mementingkan kegiatan sosial yang berdampak jangka pendek, karena kombi-na-si dengan CSR dengan target audience yang lebih luas akan mendorong transformasi dari image brand ke tingkat yang lebih punya makna. (oleh : Amalia E. MaulanaBrand Consultant & Ethnographer).
Cause marketing atau cause-related marketing adalah sebuah strategi pemasaran yang dipilih demi pencapaian penjualan dengan cara mengomunikasikan kepada target audience-nya bahwa sebagian dari hasil penjualan akan didonasikan kepada sebuah kegiatan sosial tertentu.
Biasanya, dengan daya tarik tersebut, penjualan meningkat, bukan saja dari konsumen yang membeli lebih banyak, melainkan juga pengalihan merek (switching) dari brand pesaing. Cause marketing lebih pendek horison waktunya.
CSR lebih mengarah kepada strategi korporasi, di mana sebuah perusahaan mencanangkan kepeduliannya terhadap kegiatan sosial dan lingkungannya, dengan mempertimbangkan pembangunan image jangka panjang.
Target audience dari sebuah kegiatan CSR tidak selalu merupakan target audience dari merek-merek yang dimiliki oleh perusahaan. Keberhasilan program CSR tidak diukur dari peningkatan penjualan jangka pendek. Namun, lebih kepada bagaimana perubahan persepsi stakeholders terhadap perusahaan ke arah yang lebih positif dan berkelanjutan.
Perusahaan sering menggabungkan kedua konsep ini dalam satu kali kesempatan. Misalnya saja, dengan cara menyatakan kepedulian sosialnya terhadap komunitas tertentu dan betapa produknya telah berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan.
Namun, dalam komunikasi ke target pasar, kepedulian sosial ini dikaitkan dengan iklan besar-besaran. Di satu sisi, perusahaan tereskspos kepeduliannya kepada masalah sosial, tetapi di sisi lain, dengan cara komunikasi yang berlebihan, membuat orang berpikir bahwa tidak ada unsur 'ketulusan' dalam kegiatan tersebut.
Stakeholders kemudian berpikir, bahwa ini hanyalah trik-trik untuk memenangkan persaingan belaka. Dalam jangka pendek, mungkin tujuan cause marketing-nya tercapai, penjualan meningkat. Namun, dalam jangka panjang, unsur CSR-nya tidak sempurna, karena ada pengaruh kurang baik terhadap merek produk.
Apakah kedua kegiatan ini tidak bisa dilakukan secara simultan? Jawabannya bisa, dan sudah dikerjakan oleh banyak perusahaan, yang umumnya pendirinya adalah seorang yang visionary. The Body Shop yang didirikan oleh Anita Roddick adalah salah satunya.
'Gloss for a Cause' adalah sebuah program dari The Body Shop yang akan mendonasikan 75% dari profit penjualan produk lip gloss-nya pada sebuah kegiatan yang dinamai the "Face-to-Face Program".
Kegiatan sosial ini intinya adalah menolong wanita yang membutuhkan bedak kosmetik atau rekonstruksi akibat mengalami deformasi fisik, korban kekerasan dalam rumah tangga. Yang menarik, pesan itu dicantumkan dalam kemasan lip gloss yang dijualnya dengan kata-kata "Setop kekerasan di rumah".
Kegiatan amal
Di samping kegiatan cause marketing, The Body Shop secara global dan rutin juga banyak mendukung kegiatan amal yang target audience-nya sama sekali bukan pemakai produknya, melainkan lebih merupakan bentuk kepedulian sosialnya terhadap kehidupan komunitas yang lebih baik dan lingkungan yang lebih terpelihara.
Ini merupakan bentuk atau ungkapan dari CSR dari perusahaan tersebut.
Di Indonesia, contoh kegiatan CSR dari The Body Shop di Indonesia bisa dilihat di www.komnasperempuan.or.id yang baru saja menyelenggarakan kompetisi "The Body Shop Foundation Grant 2009". Dana senilai 5000-6000 pound sterling ini ditujukan untuk berbagai organisasi di Indonesia agar mendukung gerakan di tiga aspek penting yaitu: proteksi keluarga, penurunan kemiskinan, dan kelanggengan lingkungan hidup.
Secara umum, ada lima hal yang menjadi prinsip nilai-nilai yang dicanangkan oleh The Body Shop sebagai values atau nilai perusahaan:
Anti melakukan tes terhadap binatang untuk kosmetiknya.
Memberikan dukungan pada pemasok bahan dasar natural produk dengan bertransaksi secara adil.
Menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri konsumen pengguna produk The Body Shop.
Terlibat dalam pemberdayaan komunitas terutama yang lemah.
Aktif dalam kegiatan proteksi lingkungan hidup.
Dari kelima nilai perusahaan inilah sebenarnya kunci utama dari keberhasilan The Body Shop membangun citra brand-nya. Kuncinya adalah 'ketulusan' dalam kegiatan sosialnya.
Yang unik dari cara pemasaran The Body Shop adalah minimalnya dana untuk iklan. Kekuatan dari pengembangan merek bertumpu dari kekuatan display dan promosi yang menarik di tokonya, positive word of mouth communication (WOM) dan kegiatan-kegiatan kehumasan.
Kegiatan-kegiatan internal dan eksternal perusahaan di bidang humaniora selalu menjadi sumber tulisan yang tidak ada habisnya di kalangan media massa.
Pada umumnya perusahaan kosmetik terbebani dengan biaya tinggi karena kontrak dengan model yang tersohor, biaya tinggi karena tempat pemasangan iklan di media yang sangat premium dan juga biaya produksi iklan dan kreatif yang sangat menjulang.
Ini adalah cara-cara tradisional untuk menjual sebuah mimpi, mimpi menjadi cantik, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan mimpi selalu harus tampak glamor, flashy, dan bergengsi.
Pandangan pendiri The Body Shop yaitu Anita Roddick cukup radikal, yaitu lepas dari pandangan yang bersifat umum atau mainstream. Beliau justru melihat manfaat yang lebih besar untuk umat dengan mengalihkan biaya-biaya tinggi dari kegiatan menjual mimpi dengan iklan. Pesan yang disampaikan lebih membumi karena menyentuh aspek-aspek natural dan sosial.
Pelajaran yang dapat dipetik dari The Body Shop adalah membuat sebuah perencanaan CSR dan cause marketing yang terpadu di perusahaan. Perusahaan jangan mementingkan kegiatan sosial yang berdampak jangka pendek, karena kombi-na-si dengan CSR dengan target audience yang lebih luas akan mendorong transformasi dari image brand ke tingkat yang lebih punya makna. (oleh : Amalia E. MaulanaBrand Consultant & Ethnographer).