Senin, 12 April 2010

5 Level kepemimpinan sejati

Kamis, 01/04/2010
Oleh: Anthony Dio Martin
Sebuah perusahaan di Jepang, sedang merugi besar. Saham perusahaan juga anjlok karena perusahaan sparepart otomotif ini, terpeleset di bisnis properti.
Tanpa pengalaman, SDM yang andal serta ditimpa krisis dunia, perusahaan ini nyaris rontok. Saham perusahaan anjlok dan karyawan yang marah serta menyalahkan pimpinannya.
Akhirnya, pertemuan pimpinan dan karyawan dilakukan. Karyawan siap menye­rang, menjatuhkan si pemimpin mereka.
Saat si pimpinan masuk, tidak ada sambutan tepuk tangan dan penghormatan. Ketika diberikan kesempatan untuk bicara, si pimpin­an serta-merta berlutut ke lantai, membungkukkan badannya dalam-dalam dan berkata, "Saudara-saudara sekeluarga di perusahaan ini. Saya minta maaf. Saya sungguh ingin minta maaf. Saya mengambil keputusan salah yang menyebabkan saham perusahaan kita anjlok."
Namun, lanjutnya, jika diizinkan, saya akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk membangun kejayaan perusahaan kita kembali, saya bersedia membayar ongkosnya dengan kerja keras saya.
Serentak, semua karyawan tertunduk, ikut membungkuk dalam-dalam dan banyak di antaranya yang menangis!
Kisah di atas mirip de­ngan kisah yang diceritakan Martin L. Johnson dalam Chicken Soup for the Soul at Work, tentang CEO Pioneer Hi-Bred International, karena membeli Norand, sebuah usaha IT, mereka akhirnya justru rugi besar.
Hal yang tak pernah terlupakan bagi karyawannya, adalah tatkala, dengan rendah hati, Tom Urban, CEO-nya meminta maaf de­ngan tulus serta mengambil tanggung jawab atas kesalahannya. Itulah contoh-contoh kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.
Pertanyaan paling pokok di sini adalah, bagaimana kita bisa sampai ke level kepemimpin­an yang bisa menginspirasi banyak orang?
John C. Maxwell, membagi kepemimpinan menjadi lima level yang harus dilewati. Menurutnya, jika kepemimpinan itu diibaratkan seperti anak tangga, terdapat lima tangga utama yang harus dilewati oleh para pemimpin­an di dalam organisasi.
Cobalah Anda evaluasi dan refleksikan, bagaimanakah posisi kepemimpinan Anda dan orang-orang di sekitar Anda, dan yang paling penting, coba perhatikan sampai di level manakah kepemimpinan Anda saat ini?
Level pertama, adalah level posisi (position). Inilah level kepemimpinan yang paling rendah. Pada dasarnya, orang mengikuti Anda karena 'kebetulan' mereka tidak punya pilihan sebab Andalah yang dipercaya untuk memegang posisi tersebut.
Pada level ini, otoritas seorang pemimpin hanya terbatas di posisi ini. Bawahan merasa hanya perlu berinteraksi sekadar untuk mendapatkan tanda tangan dan persetujuan.
Namun, di level ini, banyak bawahan tidak merasa dimiliki oleh atasannya, sehingga tak heran di belakang mereka sering mengata-ngatai bos mereka ini.
Saya pernah mendapatkan sebuah e-mail, dari seorang peserta pelatihan yang berkisah tentang bos-nya, "Pak, saya di perusahaan konsultan. Pimpinan saya diangkat karena jualannya bagus dan sangat pandai negosiasi."
Namun, lanjutnya, kami tidak pernah respek karena dia sendiri nggak pernah menganggap kami. Ia maju sendiri dan marah kalau dari kami ada yang kontak dengan pimpinan. Semua harus lewat dia. Di kantor, ia memiliki kami tetapi hati kami tidak bersama dia.
Pada kenyataannya, ada banyak pemimpin yang bertahun-tahun di posisi ini, tetapi tetap tidak pernah naik ke level berikutnya.
Nah, pada level kedua, adalah level di mana telah terjadi hubungan dan kesediaan (permission). Di sinilah orang mulai mengikuti bukan karena 'harus' tetapi karena mereka 'ingin'.
Di level inilah, pengaruh Anda sebagai pimpin­an mulai kelihatan. Sebenarnya, ketika memasuki level ini, sudah terjadi kontak batin serta mulai ada chemistry antara orang yang dipim­pin dengan yang memimpin.
Proses interaksi mulai terjadi dan hubungan pun mulai terbangun. Hanya saja, jika seorang pemimpin terlalu lama di tangga ini, bisa jadi ia menjadi sangat populer di mata bawahannya, hubungan baik tetapi hasil dan output-nya bisa kurang memuaskan. Itulah sebabnya seorang pemimpin tidak boleh terlalu lama di tangga ini.
Tangga kedua ini sebenarnya mengingatkan kita pada Edward Liddy, mantan Chairman dan CEO AIG, yang reputasinya anjlok setelah ia membagikan bonus besar kepada karyawannya.
Di mata karyawan mungkin saja tindakan itu dianggap populer, tetapi secara bisnis langkah ini tentu saja tidak strategis. Untuk selamat saja, AIG konon harus menerima dana bailout dari pemerintah AS sebesar US$84 miliar.
Berikutnya, level ketiga dari kepemimpinan adalah level menghasilkan (production). Kalau level kedua banyak berbicara mengenai pandang­an tentang Anda di mata karyawan level ketiga ini mulai berbicara mengenai pandangan Anda di mata manajemen.
Masalahnya, di sinilah orang mulai melihat bagaimana output team yang Anda hasilkan, setelah Anda mulai memimpin suatu tim. Jika seorang pemimpin sudah berhasil sampai di level ini, selain terdapat kontak batin yang baik antara pemimpin dan anak buahnya, juga terdapat hasil yang bisa dibanggakan.
Mengembangkan dan menginspirasi
Kemudian, level berikutnya adalah level pengembangan orang (people development). Di sinilah, seorang pemimpin tahu bahwa ia tidak bisa menjadi sukses sendirian, atau hanya dirinya yang mampu sementara anak buahnya bergantung adanya.
Dalam level inilah, maka seorang pemimpin mulai banyak meluangkan waktunya untuk melakukan proses coaching dan counseling ataupun mentoring untuk mendidik orang-orang di bawahnya agar mampu.
Sayangnya, banyak pemimpin yang terlambat sekali tiba di level ini. Baru-baru ini, dalam acara makan malam dengan seorang CEO yang sudah tua, dia mengatakan, "Pak Anthony. Saya agak terlambat menyiapkan orang-orang untuk menggantikan saya. Sekarang, saya sudah sakit-sakitan. Saya mulai membagikan semua ilmu yang saya miliki untuk orang-orang yang diproyeksikan akan memimpin bisnis ini di masa depan. Saya tidak tahu, apakah waktu saya masih akan mencukupi untuk itu"
Akhirnya, di ujung level kepemimpinan, terdapatlah level kepemimpinan yang tertinggi yang kita sebut sebagai level kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.
Hebatnya kepemimpinan model ini setelah pemimpin tersebut tidak ada, ataupun telah lama meninggalkan dunia ini, semangat dan nilai kepemimpinannya masih dapat dirasakan.
Di sinilah, seorang pemimpin dapat menginspirasi seseorang dengan nilai serta filosofi hidup yang dimilikinya. Seperti kisah kita di awal tulisan ini, seorang pemimpin di level ini mulai menginspirasi melalui karakter, nilai dan perbuatan yang tidak diucapkannya. Namun, orang pada akhirnya akan melihatnya.
Menurut Maxwell, tidak banyak pemimpin yang bisa sampai di level kepemimpin­an ini. Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh kepemimpinan yang termasuk di kategori ini.
Boleh saja, ada orang yang membencinya hingga akhirnya ia ditembak mati. Namun, nilai dan filosofi hidupnya justru tetap tumbuh dan berkembang, jauh hari setelah dia meninggal. Itulah contoh kepemimpinan di level terting­gi ini.
Dengan memahami kelima level kepemimpin­an tersebut, ada beberapa pertanyaan yang akan saya tinggalkan sebagai pekerjaan rumah bagi Anda yang membaca tulisan ini: kira-kira sampai di level manakah kepemimpinan Anda saat ini?
Bagaimanakah pandangan tentang Anda di mata karyawan? Bagaimana caranya supaya kepemimpinan Anda bisa naik kelas ke level berikutnya? Lakukan sesuatu untuk membuat kepemimpinan Anda bermakna! (sumber: bisnis.com)

Kealpaan organisasi

Senin, 12/04/2010
Oleh: A. B. Susanto
Saat ini kesadaran tentang penting­nya peran pengetahuan demi tercapainya peningkatan efisiensi, kinerja, dan daya saing perusahaan semakin meningkat.
Pengetahuan yang dimiliki perusahaan dihimpun dari penga­laman, kapabilitas yang melekat pada diri karyawan, pembelajaran, dan arus informasi dari luar yang deras mengalir. Namun, ada kalanya pengetahuan-pengetahuan yang telah terhimpun tersebut hilang, disengaja dan tidak.
Hal inilah yang diistilahkan oleh Martin dan Philip sebagai kealpaan organisasi atau organization forgetting.
Kealpaan organisasi dapat berdampak bagi kiner­ja dan daya saing organisasi, baik positif maupun negatif. Kealpaan organisasi, dapat dilakukan secara sengaja (intentional) guna membuang pengetahuan dan rutinitas organisasi sehingga memberi jalan bagi hadirnya pengetahuan dan rutinitas baru yang lebih bernilai.
Tugas-tugas, aturan, nilai-nilai, dan strategi tertentu perlu ditinggalkan sebelum pengetahuan baru diraih. Namun, kealpaan juga dapat terjadi dalam bentuk merosotnya pengetahuan organi­sasi yang tidak disengaja (accidental) dan tidak diinginkan. Kealpaan jenis inilah yang berdampak buruk bagi organi­sasi.
Menurut De Holan, Philips, dan Lawrence, alpanya pengetahuan dapat diakibatkan oleh empat hal, yakni rusaknya kesadaran (memory) organisasi akan pengalaman masa lampau, kegagalan pengu­a­saan pengetahuan, meninggalkan pembelajaran (unlearning), dan menghindari kebiasaan buruk. Keempatnya bergantung kepada disengaja atau tidak hilangnya pengetahuan dan juga apakah pengetahuan tersebut baru diraih atau telah tertanam sejak lama.
Kesadaran organisasi adalah informasi yang disimpan berdasarkan sejarah organisasi yang berpengaruh bagi penafsiran peristiwa masa kini dan masa depan dari aneka peristiwa dan keputusan manajerial. Perusahaan sering kali mengabaikan atau tidak mengoptimalkan pengetahuan dan kebijaksanaan yang sebenarnya telah lama bersemayam.
Hal ini berakibat lenyapnya kebijaksanaan, konsep, praktik-praktik organisasi, dan nilai-nilai yang berharga. Tidak jarang, perusahaan harus menanggung biaya sangat mahal karenanya. Karyawan-karyawan terbaik meninggalkan organisasi, hubungan kerja merenggang, dan dokumen-dokumen penting tak terurus.
Pada gilirannya, kinerja merosot dan daya saing melemah. Untuk mengatasinya, perusahaan harus pandai-pandai mengidentifikasi tempat bersemayamnya pengetahuan-pengetahuan yang bernilai, yang letaknya sering kali tersembunyi, tidak dinyatakan secara jelas, dan tidak resmi. Jenis pengetahuan seperti inilah yang dikenal dengan istilah tacit knowledge.
Kemudian, perusahaan juga harus pandai memelihara pengetahuan tersebut, terutama bila pemanfaatannya dilakukan secara tidak menentu.
Perusahaan juga kerap lalai menyebarluas­kan pengetahuan pada seluruh karyawan, sehingga lenyap saat ada karyawan yang pergi akibat absennya mekanisme untuk alih pengetahuan.
Untuk mencegahnya, pengetahuan yang dimi­liki individu harus diserap dan diinstitusionalisasi sehingga perusahaan tidak bergantung kepada figur-figur tertentu. Hal ini sangat penting terutama untuk pengetahuan yang bersifat tacit knowledge.
Proses pembelajaran
Dalam proses penguasaan pengetahuan, pertama-tama setiap pengetahuan yang dimiliki perusahaan harus dijadikan eksplisit, untuk kemudian dikomunikasikan kepada karyawan sehingga tertanam dalam pikiran mereka.
Guna mengeksplisitkan tacit knowledge, dapat digunakan model SECI (Socialization, Externalization, Combination, and Internalization) yang diperkenalkan oleh Nonaka dan dan Takeuchi. Dalam tahap sosialisa­si (Socialization), tacit knowledge dibagikan melalui komunikasi tatap muka atau berbagi pengalaman. Contohnya adalah kegiatan magang.
Dalam eksternalisasi (externalization), peng­alihan tacit knowledge menjadi explicit knowledge dilakukan melalui pengembangan konsep dan model. Dalam tahap ini tacit knowledge dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Dalam tahap kombinasi (combination), pengetahuan dikumpulkan ke dalam satu kesatu­an yang lebih luas. Pada tahap ini, pengetahuan juga dianalisis dan diorganisasi. Internalisasi (internalization) dalam hal ini berarti mema­hami explicit knowledge. Terjadi tatkala explicit knowledge ditransformasikan menjadi tacit knowledge dan menjadi bagian dari informasi dasar individu.
Meninggalkan pembelajaran (unlearning) dapat dibenarkan bila dilakukan demi menying­kirkan hal-hal yang telah mapan tetapi menjadi penghalang terwujudnya daya saing dan kinerja unggul.
Meninggalkan pembelajaran dapat dilakukan dengan memutus rutinitas, meng­ubah struktur dan mengelola budaya sede­mikian rupa sehingga pengetahuan yang telah mengakar dengan dalam akhirnya tercera­but.
Tantangan yang dihadapi adalah kemungkin­an munculnya resistensi akibat rutinitas, struktur, dan budaya yang telah dalam mengakar sehingga perubahan enggan dilakukan. Meninggalkan pembelajaran juga dapat meng­akibatkan terganggunya kegiatan-kegiatan strategis perusahaan.
Menghadapi situasi ini, perusahaan dapat melakukan langkah-langkah yang lebih mendasar, seperti divestasi, menutup departemen atau divisi tertentu, dan restrukturisasi.
Perusahaan tidak boleh melupakan keberhasilan dan kegagalan yang pernah diraih. Perusahaan juga harus waspada saat berniat membangun kolaborasi dan/atau kemitraan mengingat sang mitra boleh jadi dapat menularkan rutinitas, ide-ide, praktik, dan nilai-nilai yang tidak menguntungkan.
Jadi, menyampingkan pengetahuan yang telah usang dan menggantinya dengan pengetahuan baru yang lebih berharga, serta menjaga dan mengembangkan pengetahuan yang tepat akan mendorong kemajuan perusahaan dalam jangka panjang. (sumber : bisnis.com).

Hukum memberi

Senin, 12/04/2010
Oleh: Anthony Dio Martin
Alkisah, seekor babi sedang bersungut-sungut dan komplain tentang hidupnya kepada seekor sapi. Dia jengkel karena manusia tidak pernah menghargai hidupnya. Bahkan, namanya sendiri sering kali dipakai untuk memaki.
"Bayangkan, aku dipotong. Lantas hampir semua tubuhku dimakan. Aku dijadikan sosis. Kakiku saja, ada yang mau memakannya," kata si babi dengan marahnya.
Namun, kenapa aku tidak pernah dihargai? lanjutnya. Bahkan, dianggap najis. Bandingkan aku dengan dirimu yang lebih dihargai. Di beberapa tempat kamu dianggap suci.
Si sapi, dengan penuh pengertian, menjawab omongan si babi itu, "Babi temanku. Mungkin perbedaannya adalah kamu memberikannya setelah kamu mati, tetapi aku memberikan semuanya kepada manusia, ketika aku masih hidup!"
Pembaca, kita melihat, banyak orang yang ingin disanjung dan dipuji. Namun, mereka sendiri ternyata pelit sekali untuk memberi. Akibatnya, apa yang terjadi? Mereka pun ternyata jarang dihargai.
Realitanya, ada sebuah aturan prinsip kekal yang disebut law of giving (hukum memberi), yaitu penghargaan yang kita terima berkorelasi positif dengan pemberian yang kita berikan seumur hidup kita.
Perhatikanlah orang-orang terbesar sepanjang sejarah. Para nabi dan orang suci yang mem­punyai umat yang banyak. Salah satu alasannya karena mereka banyak memberi selama hidupnya.
Bahkan, beberapa di antaranya sungguh mengorbankan dirinya, ada yang melakukan perjalanan begitu jauhnya dengan cara keluar dari comfort zone, ada yang menyangkal kehidupan begitu enak yang bisa mereka nikmati, demi orang lain.
Itulah sebabnya, mereka dikenang sepanjang masa. Sebenarnya, bukan hanya dalam hal spiritual, dalam hal kehidupan sehari-hari pun, kita mengenal orang yang dikenang, dihargai karena apa yang mereka beri sepanjang hidup mereka.
Di salah satu kampung teman saya, terdapat sebuah makam yang hingga sekarang masih dikunjungi. Konon, makam itu adalah makam seorang kaya yang paling murah hati.
Pada waktu banyak pengungsian terjadi karena suatu bencana. Si orang kaya ini menyediakan gudang dan rumahnya untuk dijadikan sebagai tempat penampungan.
Dia pun mengeluarkan banyak uang demi para pengungsi. Dia tidak berhitung-hitung. Maka itu, ketika dia meninggal, bahkan lama setelah meninggal pun, banyak orang yang berdatangan dan menaruh hormat kepadanya.
Hukum memberi yang pertama, kurang lebih berbunyi "Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai". Maka, sebagai konsekuensinya, jika kita tidak pernah memberi kita pun tidak akan pernah menuai apa pun.
Ketika di SMP dulu, saya teringat seorang rekan saya yang sempat begitu iri ketika dia tidak pernah mendapatkan kartu ucapan ulang tahun atau kartu hari raya. Dia membandingkan dirinya dengan temannya.
Maka, kepadanya dia dinasihati. "Temannya yang lain yang sering mendapatkan kartu ucapan karena dia murah hati dan sering kali mengajari rekannya yang lain. Sementara, kamu sendiri sangat pelit berbagi ilmu" Tak heran, dia menjadi jarang diberi karena dia pun jarang memberi.
Hukum memberi yang kedua berbunyi, "Ketika kita memberi. Kita akan mendapatkan balasannya. Mungkin akan langsung kita terima, mungkin juga diterima dalam beberapa generasi yang akan datang, tetapi kemuliaan kita terletak pada ketidakinginan kita untuk mengharapkannya".
Bicara tentang hukum ini, pernahkah Anda baca kisah tentang seorang ibu yang mem­be­ri­kan sebotol susu kepada seorang anak kecil yang kelaparan. Kelak, ternyata ketika ibu ini su­dah tua, dan harus dioperasi, ternyata dia di­to­long oleh seorang dokter muda yang mem­bayari semua ongkos operasinya yang mahal.
Saat, si ibu ini mau membayar, si suster memberinya sebuah surat dari si dokter yang berbunyi, "Semua biaya obat ibu, sudah dibayar lunas dengan segelas susu". Ternyata, si dokter ini adalah bocah yang dulu pernah dibantunya dengan segelas susu.
Sama sekali tidak terbayangkan bahwa kelak si anak gembel yang ditolongnya akan menjadi seorang dokter terkemuka. Itulah nilai dari balasan yang kita terima. Sama sekali kita tidak pernah menduga, pemberian yang kita terima akan kembali dalam bentuk apa.
Namun, lebih baik kita tak mengharapkannya. Toh si ibu itu pun tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menerima balasan apa pun pada kemudian harinya. Justru apa yang diberikannya, ternyata kembali dalam bentuk suprised yang luar biasa.
Hukum memberi yang keempat berbunyi, "Nilai pemberian sebenarnya diukur dari dua hal yakni ketulusan serta nilai pemberian itu sendiri bagi diri kita sendiri". Ada seorang jutawan yang memberikan berjuta-juta uangnya untuk membantu.
Namun, nilai uang itu sebenarnya tak mencapai 1% dari kekayaannya. Maka, sebenarnya nilai pemberiannya itu tidak seberapa dibandingkan dengan seorang pengemis yang rela memberikan uangnya untuk membantu pengemis lain yang mendapat kecelakaan.
Padahal, dia sendiri membutuhkan uangnya. Namun, dia tahu rekannya yang kecelakaan lebih membutuhkan. Di sinilah nilai pemberian menjadi relatif. Pemberian pun diukur dari ketulusan hati orang yang memberikannya.
Bicara soal ini, saya teringat tatkala Bob Geldof dan Midge Ure, pada 1984 mengumpulkan dana melalui album lagu untuk anak-anak yang kelaparan di Ethiopia. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan berjuta-juta poundsterling untuk usahanya.
Atas usahanya, Midge Ure dan Geldof pernah berujar, "Kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya hanya tergerak mengoordinasi para artis untuk menyanyi. Seharusnya yang mendapatkan nama adalah para artis yang mau datang capai-capai untuk menyanyi.”
Kepada merekalah, lanjutnya, seharusnya kita berterima kasih. Mereka bisa saja memberikan uangnya, tetapi bukan itu yang terpenting. Namun, waktu dan pengorbanan mereka itulah yang paling berharga, yang mesti kita hargai!"
Kalimat Bob Geldof cukup beralasan, karena bahkan Boy George, si penyanyi yang sebenarnya masih kecapaian, rela datang terbang dengan Concorde dari New York hanya untuk terlibat dalam proyek sosial mereka.
Sulitnya melakukan
Berbicara mengenai keempat hukum memberi ini saya pun teringat dengan pepatah, "Mereka yang selalu memberi tanpa mengharapkan apa pun, adalah orang yang pantas mendapatkan cinta. Pada akhirnya, mereka pun akan mendapatkannya".
Kalimat ini sebenarnya diucapkan oleh Bunda Teresa dari Kolkata yang pernah mendapatkan Nobel atas usahanya menolong para miskin. Singkatnya, hukum ini berbicara mengenai filosofi memberi di mana kita justru menjadi orang yang layak menerima karena hidup kita banyak memberi.
Paradoksnya, semakin kita berusaha menahan, mengambil dan berusaha menjaga apapun apa yang kita miliki, maka kita akan lebih banyak kehilangan. Saya sendiri pernah membaca kisah seorang gelandangan yang begitu pelit dalam hidupnya, yang ketika digeledah setelah dia meninggal, ternyata dia punya uang beratus-ratus dolar yang tidak pernah digunakannya.
Pertanyaannya: apa yang kini dia bisa guna­kan dengan uangnya itu? Toh tahukah Anda apa yang akhirnya pemerintah lakukan dengan uang tersebut? Uang itu akhirnya diambil oleh ne­gara untuk membantu gelandangan seperti dirinya.
Akhirnya, tulisan tentang hukum memberi ini tampaknya lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Seperti dikatakan oleh seorang penulis spiritual, "Keinginan daging kita adalah menjadi serakah dan mengumpulkan. Jauh lebih mudah menghidupi logika mengumpulkan bagi kita sendiri daripada memberi bagi orang lain. Namun, mari kita berusaha menjadi berkat bagi orang lain karena hidup kita sebenarnya sudah menerima banyak berkat." (sumber : bisnis.com)

Cara jitu menciptakan kekayaan

Senin, 12/04/2010
Oleh: Mike R. Sutikno
Carlos Slim Helu, namanya mungkin masih asing di telinga Anda. Pria Meksiko berusia 70 tahun ini telah memiliki nilai kekayaan bersih sebesar US$53,5 miliar, dan ini membuatnya berada di daftar teratas orang kaya di dunia pada 2010 versi majalah Forbes.
Pemulihan ekonomi global membuat kepemilikan sahamnya di beberapa perusahaan komunikasi termasuk America Movil, meroket. Mematahkan supremasi Bill Gates di urutan ke dua (US$53 miliar) dengan Microsoft dan Warren Buffet di urutan tiga (US$ 47 miliar) dengan Berkshire Hathaway.
Generasi yang lebih muda, Sergey Brin dengan Google-nya mengumpulkan US$17,5 miliar usianya baru 36 tahun, menempati posisi 24 dalam daftar Forbes.
Apakah 100 orang terkaya di dunia melakukan perencanaan keuangan untuk mencapai kekayaannya? Dalam kesehariannya orang-orang kaya tidak berbeda dengan orang-orang biasa. Hanya saja mereka melakukan apa yang orang biasa lakukan dengan cara yang luar biasa, terutama perencanaan keuangan mereka.
Karakter orang kaya
Apakah kekayaan adalah sesuatu yang menurut Anda hanya bisa dicapai oleh orang yang sudah kaya saja? Atau sebaliknya Anda yakin bahwa orang biasa juga bisa memiliki kekayaan?
Orang kaya tidak berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Hanya saja mereka melakukan apa yang dilakukan orang-orang biasa dengan cara yang luar biasa. Anda dapat dengan segera mengenali perbedaan mereka dari apa yang mereka bicarakan.
Orang biasa sering mengeluhkan peristiwa yang mereka tidak punya kendali atasnya dan menyalahkan orang lain atas kemalangan mereka. Orang kaya memiliki kendali atas pikiran dan perasaan mereka yang tecermin dari sikap dan perilakunya, sedemikian rupa, sehingga memengaruhi lingkungan mereka. Uang mengikuti ke mana karakter luar biasa ini pergi.
Kekayaan memiliki arti, interpretasi dan konotasi yang berbeda untuk tiap orang. Mulai dari bagaimana mengatur pengeluaran sehari-hari agar tidak melebihi gaji, mempersiapkan masa pensiun, sampai bisnis miliaran dolar.
Pada akhirnya kekayaan secara keuangan harus bisa dibuktikan oleh akumulasi aset dalam jumlah melimpah. Namun, jika segala sesuatu berawal dari tiada menjadi ada, itu juga berlaku untuk kekayaan dan cara terbaik untuk memulainya adalah memenuhi pikiran-pikiran dengan perencanaan keuangan, sedemikian rupa sehingga menggerakkan Anda menuju realitas keuangan yang diinginkan.
Kekayaan dan perencanaan
Untuk mengetahui bagaimana menciptakan kekayaan, Anda harus memahami hubungan antara penciptaan kekayaan dan perencanaan keuangan. Siapa pun yang ingin membeli rumah, menyekolahkan anak, mempersiapkan pensiun, atau mencapai tujuan keuangan lainnya, sedang mengakumulasi kekayaan.
Jangan mengira bahwa akumulasi kekayaan merupakan semata-mata kegiatan investasi, tetapi sesungguhnya adalah perencanaan keuangan. Penciptaan kekayaan terjadi karena proses pengelolaan harta, utang, dan pemasukan.
Secara garis besar perencanaan keuangan dibagi dalam tiga tahapan. Pertama, Anda harus mengidentifikasi berbagai macam kebutuhan dan keinginan yang membutuhkan sejumlah uang.
Kedua, sesuaikan kebutuhan dan keinginan tersebut menjadi tujuan keuangan dan tentukan berapa dana yang dibutuhkan untuk masing-masing tujuan keuangan. Ketiga, mengalokasikan sejumlah dana baik secara rutin dari waktu ke waktu atau sekali saja sekaligus di depan sehingga tercapai sejumlah besar dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan keuangan tersebut pada waktu yang ditetapkan.
Aktivitas perencanaan keuangan akan melibatkan berbagai aspek dari keuangan Anda seperti menabung untuk dana pendidikan anak, menabung untuk dana pensiun, berinvestasi, perpajakan, juga perwarisan. Ini adalah proses yang berkelanjutan terhadap pembuatan, pelaksanaan, dan pengevaluasian dari rencana keuangan Anda.
Mengapa membutuhkan perencanaan keuangan untuk mengakumulasi kekayaan? Pertama, keseimbangan dalam hidup. Perencanaan keuangan akan membantu Anda mencapai kekayaan tanpa harus mengorbankan gaya hidup saat ini secara drastis. Misalnya, jika keputusan membeli rumah impian Anda diambil tanpa pikir panjang, Anda kemungkinan besar akan mengambil kredit rumah yang terlalu besar.
Penghasilan Anda bisa habis hanya untuk membayar cicilan rumah saja belum lagi biaya pemeliharaannya. Akibatnya tidak saja Anda kesulitan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, bahkan tidak bisa menabung untuk mencapai tujuan keuangan lainnya. Padahal Anda tidak perlu ”bunuh diri” begitu jika berpatokan pada prinsip keseimbangan hidup dalam perencanaan keuangan.
Kedua, efisiensi dan efektifitas penggunaan uang. Dengan memiliki perencanaan keuangan, Anda akan mengarahkan uang tepat kepada tujuan–tujuan keuangan. Anda mengalokasikan baik harta, utang, penghasilan, dan pengeluaran sesuai dengan tempat dan porsinya masing-masing secara sistematis.
Dengan perhitungan yang yang lebih akurat, Anda semakin mampu membuat prioritas, mendapatkan lebih banyak dari uang yang dibelanjakan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu. Misalnya, terjadi inflasi 8% per tahun, akibatnya nilai dari Rp100 juta anda akan tergerus menjadi Rp46,319 juta pada 2020.
Anda perlu merencanakan investasi agar Rp100 juta tetap bertumbuh lebih tinggi dari inflasi dan dengan perencanaan pajak Anda lebih dapat mengendalikan biaya-biaya investasi tersebut sambil tetap menjaga momentum pertumbuhan dana.
Ketiga, bantalan pengaman atau upaya berjaga-jaga. Dengan minimnya fasilitas jaminan sosial di negara kita, Anda memerlukan rencana tindakan pengamanan untuk menghadapi kondisi darurat seperti PHK dan masa pensiun.
Misalnya, Anda sudah menetapkan dan sedang menjalankan sebuah rencana pensiun. Namun, sebelum mencapai usia pensiun, Anda didiagnosis menderita suatu penyakit kritis yang kemungkinan akan semakin parah karena usia tua dan tidak bisa ditanggung oleh asuransi kesehatan. Anda harus mengkaji ulang rencana pensiun dan memperhitungkan kembali dana kesehatan hari tua yang dibutuhkan terkait dengan penyakit tersebut. (Sumber : Bisnis.Com).