Jumat, 06 Februari 2009

UJI UU PEMILU. HAPUS PEMBREDELAN MEDIA MASSA

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Selasa (3/2), di ruang sidang pleno MK. Pemohon perkara ini antara lain Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Himpunan Pengusaha Muda Indoneia (HIPMI), dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) yang diwakili oleh ketuanya. Mereka menilai, Pasal 74 UU PT yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TSL) telah merugikan perekonomian mereka.
Sidang ketiga ini mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, serta Ahli dari Pemohon antara lain, Ahli Hukum Perusahaan/Hukum Bisnis Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Direktur Program CSR Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyanti, serta Maria Dian Nurani.
Menurut Hikmahanto, berdasarkan definisi UU PT, TSL atau yang sering disebut Coorporate Social Responsibility (CSR) bukan suatu kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada PT, namun sebagai komitmen dari PT itu sendiri. “TSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya,” kata Hikmahanto.
Lanjut Hikmahanto, pelaksanaan CSR tidak seharusnya hanya pada badan hukum berbentuk PT, namun semua badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor tertentu yang mendapat pengaturan oleh UU sektor tertentu. “Ini untuk menjamin keadilan,” tandasnya.
Sedangkan, Maria Nindita dalam penjelasannya mengatakan CSR ialah konsep di mana perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan berdasar prinsip sukarela, dan kegiatan bisnis serta interaksi dengan para pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan. “Ini sudah dijalankan di negara-negara eropa,” terangnya.
Arti dari CSR, menurut Nindita, ialah bagaimana keseluruhan operasi perusahaan, yakni fungsi bisnis utama (core business functions), dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan para pemangku kepentingan serta masyarakat pada umumnya.
Sementara itu, Maria Dian Nurani memandang standarisasi CSR melalui ISO 26000 di mana tanggung jawab perusahaan akan berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku etis dan transparan yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mengikutsertakan harapan stakeholder, sesuai hukum yang berlaku, dan konsisten dengan perilaku norma internasional, “serta terinteraksi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dalam relasinya,” papar Maria.
Sidang selanjutnya akan dilaksanakan 18 Februari 2009. (Prana Patrayoga Adiputra)

CSR ADALAH KOMITMEN PENGUSAHA


Selasa , 03 Pebruari 2009 14:31:04
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Selasa (3/2), di ruang sidang pleno MK. Pemohon perkara ini antara lain Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Himpunan Pengusaha Muda Indoneia (HIPMI), dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) yang diwakili oleh ketuanya. Mereka menilai, Pasal 74 UU PT yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TSL) telah merugikan perekonomian mereka.
Sidang ketiga ini mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, serta Ahli dari Pemohon antara lain, Ahli Hukum Perusahaan/Hukum Bisnis Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Direktur Program CSR Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyanti, serta Maria Dian Nurani.
Menurut Hikmahanto, berdasarkan definisi UU PT, TSL atau yang sering disebut Coorporate Social Responsibility (CSR) bukan suatu kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada PT, namun sebagai komitmen dari PT itu sendiri. “TSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya,” kata Hikmahanto.
Lanjut Hikmahanto, pelaksanaan CSR tidak seharusnya hanya pada badan hukum berbentuk PT, namun semua badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor tertentu yang mendapat pengaturan oleh UU sektor tertentu. “Ini untuk menjamin keadilan,” tandasnya.
Sedangkan, Maria Nindita dalam penjelasannya mengatakan CSR ialah konsep di mana perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan berdasar prinsip sukarela, dan kegiatan bisnis serta interaksi dengan para pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan. “Ini sudah dijalankan di negara-negara eropa,” terangnya.
Arti dari CSR, menurut Nindita, ialah bagaimana keseluruhan operasi perusahaan, yakni fungsi bisnis utama (core business functions), dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan para pemangku kepentingan serta masyarakat pada umumnya.
Sementara itu, Maria Dian Nurani memandang standarisasi CSR melalui ISO 26000 di mana tanggung jawab perusahaan akan berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku etis dan transparan yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mengikutsertakan harapan stakeholder, sesuai hukum yang berlaku, dan konsisten dengan perilaku norma internasional, “serta terinteraksi di seluruh organisasi dan dipraktekkan dalam relasinya,” papar Maria.
Sidang selanjutnya akan dilaksanakan 18 Februari 2009. (Prana Patrayoga Adiputra)
Foto: Dok. Humas MK/Yogi Dj

Kamis, 05 Februari 2009

Memegang prinsip dasar investasi

Jumat, 06/02/2009 10:34 WIB
Sejarah ekonomi akan mencatat dekade pertama abad ini sebagai periode yang penuh dengan kontradiksi. Pada paruh pertama dekade 2000-an, lingkungan bisnis tampak begitu menjanjikan. Optimisme melanda semua pelaku pasar. Banyak aset berisiko dan produk keuangan inovatif diciptakan dan ditawarkan dalam berbagai kemasan derivatif yang menarik.
Inilah yang dimaksud dengan mortgage-backed securities (MBS) atau asset-backed securities (ABS). Tidak terkecuali dengan produk-produk derivatif yang bersumber dari kredit perumahan kelas dua. Ironisnya, yang membeli MBS dan ABS ini bukan hanya bank melainkan juga perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan investasi, dan investor individual, baik yang ada di AS maupun di luar AS.
Ketika bunga the Fed hanya 1% p.a. (dan bunga subprime mortgage sekitar 1,5%-2% di atasnya) sekitar tahun 2004 dan sebelumnya, semua pihak senang. Hampir tidak ada debitor yang gagal sehingga investor dalam produk-produk derivatif di atas juga tidak mengalami kerugian.
Keadaan mulai berubah ketika bunga the Fed dinaikkan sebanyak 17 kali berturut-turut, masing-masing 25 basis poin, hingga menyentuh angka 5,25% pada Juli 2006. Tingkat bunga ini bertahan hingga September 2007, sebelum mulai diturunkan sampai tinggal 0%-0,25% pada Desember 2008 lalu akibat mewabahnya kasus subprime mortgage mulai pertengahan 2007 lalu.
Sejak saat itu, harga produk derivatif yang berbasis realestat dan KPR turun drastis. Imbas dari macetnya kredit perumahan ini adalah semua perusahaan yang memegang produk derivatif MBS dan ABS dalam portofolionya mesti menanggung kerugian besar.
Harga saham-saham perusahaan ini ikut terjun bebas karena rendahnya harga pasar dari portofolio aset yang dimilikinya. Repotnya, anjloknya sekuritas berbasis subprime mortgage ini juga diikuti turunnya harga sebagian besar komoditas akibat lesunya pasar dan menurunnya permintaan global.
Parahnya lagi, melalui interkoneksi antarlembaga keuangan yang semakin terintegrasi, krisis keuangan yang berawal dari AS dan sejumlah negara Eropa ini dengan cepat menyebar ke pelosok dunia lainnya. Seluruh bursa saham mengalami kejatuhan sehingga kapitalisasi pasar global terpangkas 47,6% dari US$60,9 triliun pada 2007 menjadi US$31,9 triliun akhir tahun lalu. BEI juga tidak luput. Jika pada akhir 2007, total kapitalisasi pasar di BEI sebesar Rp1.988 triliun, akhir tahun lalu nilainya menyusut tinggal Rp1.029 triliun.
Dua prinsip dasar
Walaupun kondisi pasar modal begitu terpuruknya, investor mestinya menyadari kalau prinsip dasar berinvestasi dalam semua aset, baik riil (tanah, rumah, properti, emas, dan usaha) maupun finansial (saham dan obligasi) adalah sama yaitu buy low and sell high dan buy what you know and know what you buy.
Mereka yang membeli ABS dan MBS sangat mungkin gagal menerapkan prinsip kedua. Ini persis dengan yang pernah dituliskan Warren Buffet, "The fact that people will be full of greed, fear, or folly is predictable. The sequence is not predictable."
Prinsip-prinsip ini bersifat universal dan tidak lekang oleh waktu. Yang dilakukan investor cerdas sesungguhnya juga mencari aset yang nilainya (value) lebih besar daripada harganya (price). Definisi sederhananya, harga adalah sesuatu yang kita bayarkan, sedangkan nilai adalah sesuatu yang kita peroleh.
Masalahnya, tidak seperti harga yang ada di depan kita, nilai aset itu unobservable. Tidak ada formula pasti untuk ini. Kita hanya dapat mengestimasinya.
Warren Buffet bahkan mengatakan kalau kita harus memahami sebuah bisnis untuk dapat mengestimasi nilai sahamnya.
Menurut dia, sebagian dari ilmu menilai sebuah perusahaan adalah seni. Karena adanya faktor ini dan masalah asumsi tingkat diskonto dan pertumbuhan yang digunakan, semua metode yang diajarkan di buku teks tidak dapat sepenuhnya diandalkan.
Selain itu, sama seperti harga, nilai juga dapat berubah jika terjadi perubahan drastis sentimen investor atau persepsi pasar. Namun, nilai aset keuangan mestinya tidak sevolatil harganya yang dapat berubah dari menit ke menit.
Soal investasi, kita juga perlu mendengarkan ajaran Buffet yang lain, yaitu "Make the market your servant, not your guide. The market, like the Lord, helps those who help themselves. The market is there only as a reference point to see if anybody is offering to do something foolish. The dumbest reason in the world to buy a stock is because it's going up and to sell a stock because it's going down."
Obligasi global RI
Kembali ke prinsip pertama, konsep nilai versus harga. Akal sehat mengatakan kalau kondisi perekonomian kita saat ini dan 1998 sungguh jauh berbeda. Jika 10 tahun lalu inflasi mencapai 77% dengan GDP anjlok -13% dan depresiasi rupiah yang sangat dalam, tahun ini inflasi hanya sekitar 6%, sementara GDP tumbuh positif 4,5%. Hanya depresiasi rupiah yang cukup mengkhawatirkan tetapi ini juga dialami banyak mata uang lain terhadap dolar AS.
Memahami kondisi makroekonomi yang relatif masih berwarna biru ini, mestinya tidak ada kekhawatiran berlebihan dengan kondisi keuangan negara kita. Kenyataannya, fakta berbicara lain. Obligasi global RI dalam dolar AS diperdagangkan dengan harga sangat miring. Obligasi IND02 dengan kupon 7,25% p.a. yang jatuh tempo tahun 2015 sempat diperdagangkan pada harga 88,1 bulan lalu atau dengan yield lebih dari 9%.
Demikian juga IND03 yang jatuh tempo 2016 ditawarkan dengan yield bersih 9,6% p.a. minggu lalu. Bandingkan yield sebesar itu dengan bunga deposito dolar AS yang bersihnya hanya 3% p.a. Inilah contoh nilai sekuritas yang lebih tinggi daripada harganya. Menyikapi ini, banyak investor cerdas melakukan pembelian kedua obligasi itu sehingga yield pun turun. Sayangnya, Anda memerlukan dana minimum US$50.000 - US$100.000 untuk dapat membelinya. (oleh : Budi FrensidyStaf pengajar FEUI dan penulis buku).

Visi, energi yang tak pernah mati

Jumat, 06/02/2009 10:37 WIB
William Middleton Sime berusia 37 tahun ketika dia menyimpulkan bisnis impor ekspor dan perkebunan kopi yang digelutinya di Singapura sudah tidak bisa diharapkan lagi, alias gagal. Pelancong dan petualang dari Skotlandia itu hijrah ke Malaya bagian utara. Di sana dia berhasil meyakinkan Henry Darby, seorang bankir kaya asal Inggris, untuk bersekutu dalam bisnis perkebunan karet.
Darby setuju memodali usaha itu dan mereka mendirikan Sime, Darby & Co., Ltd. pada tahun 1910 untuk mengelola kebun karet di Malaka seluas 550 acre (222,5 hektare). Itulah cikal bakal Sime Darby Berhad, yang kini menjad konglomerat terbesar di Malaysia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.
Dalam orbitnya, kini ada lebih dari 270 perusahaan yang beroperasi di 23 negara. Cakupan bisnisnya sangat luas, dari perkebunan karet dan kelapa sawit, pabrik ban, distribusi kendaraan bermotor, sampai jasa wisata dan lapangan golf. Semua bisnis itu tumbuh dengan empat nilai korporat yang bersumber dari filosofi hidup Sime-Darby, yaitu Hormat dan Tanggung jawab, Keunggulan, Kewirausahaan dan Integritas.
Kali ini, saya tidak ingin mengulas keempat nilai tersebut, yang pada hakikatnya merupakan suara hati universal manusia. Saya ingin mengajak pembaca memetik pelajaran dari bagaimana persekutuan itu tercipta dan tumbuh semakin kuat dan semakin kuat.
Jelas bahwa inisiatif persekutuan itu muncul dari Sime yang baru melewati kegagalan. Dia melihat peluang sewaktu karet alami baru diperkenalkan di Malaya dari Brasil.
Dia dan banyak pengusaha lain, tahu bahwa iklim hutan belantara Malaysia serupa dengan di Brasil, dan karena itu karet pasti mudah ditanam di sana.
Ada peluang, tetapi juga ada tantangan (pesaing), dan Sime terus melangkah karena dia memiliki visi. Visi itu tidak hanya meyakinkan dirinya, tetapi juga orang yang menjadi mitranya.
Begitu banyak orang terperangkap dalam kubangan rutinitas sehari-hari, yang membuat mereka frustrasi. Atau, terjerat dalam keputusasaan dan mengutuki nasib buruk. Mereka merasa telah bekerja keras, tetapi sebenarnya "tidak ke mana-mana", karena tidak memiliki tujuan jelas. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana menghabiskan hari-hari dengan bekerja atau melaksanakan tugas-tugas saja.
Dengan visi, seperti yang dialami Sime, orang mampu keluar dari kungkungan nasib untuk melihat dunia yang sungguh luas. Melihat betapa begitu banyak aktivitas yang dapat dilakukan agar segala hal menjadi lebih baik. Namun, sering orang enggan melakukannya. Memikirkannya saja tidak mau, apalagi melakukan tindakan nyata.
Keengganan semacam itu sesungguhnya adalah manifestasi dari ketakutan yang tersimpan di lubuk hati terhadap bermacam-macam bayangan risiko. Semakin dituruti, ketakutan itu akan membuat orang kian nyaman dalam diam (comfort zone), atau tidak bergerak menuju penyempurnaan. Selebihnya, dia menunggu nasib baik.
Suara hati
Orang yang demikian itu sesungguhnya adalah orang yang telah menutup suara hati untuk bisa bangkit dan maju, suara yang ada di dasar hati mereka sendiri. Suara hati tidak akan pernah mati. Ia adalah energi dan karunia dari Sang Ilahi.
Jika hanya disimpan di dasar hati, suara hati tersebut akan "berteriak". Semakin ditahan, akan semakin sakit dadanya.
Dorongan energi untuk bangkit itu akan terus mencari jalan keluarnya. Siapa pun yang mencoba merintanginya, niscaya tidak akan pernah sanggup menahannya, karena ia adalah wujud eksistensi suara Tuhan.
Apabila terus ditahan di dada, ia akan berubah menjadi dorongan yang mendesak hati. Bila masih ditahan juga, maka ia akan mendesak jantung. Masih ditahan lagi, maka ia akan mengubah raut wajah sang empunya menjadi pahit dan getir.
Oleh karena itu, lakukanlah langkah pembaruan yang sangat menentukan dan membuat hidup Anda menjadi berbeda. Tentukanlah peran apa yang terbaik bagi Anda, baik di lingkungan keluarga, kantor, perusahaan maupun di instansi Anda. Sebagai sopir, tukang cuci piring, pemuka masyarakat, manajer atau apa saja yang penting, jangan hanya membidik, tidak pernah menarik pelatuk. Tarik busur dengan kuat, lepaskan anak panah yang tertahan hingga melesat jauh tinggi.
Bill Gates, yang memulai usaha dari sebuah garasi di bawah rumahnya dan kemudian menjadi orang terkaya di planet bumi, menggambarkan betapa dahsyatnya visi. "Jika Anda punya sebuah visi yang jelas, Anda bahkan akan lupa sarapan Anda," katanya.
Bagaimana menghidupkan visi itu dalam pikiran Anda. Cobalah pikirkan hal-hal apa saja yang belum sempat Anda lakukan, yang dapat Anda kerjakan sekarang, dan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ambillah buku harian, tulislah jadwal pekerjaan esok hari setiap kali waktu senja tiba. Evaluasikan hasilnya pada keesokannya lagi. Buat kembali rencana kerja pada sore hari, dan demikian seterusnya.
Ini akan menjadi reaksi fusi atau efek berantai yang memiliki kekuatan dahsyat, mirip kekuatan bom atom. Ini telah dibuktikan oleh Charles Schwab ketika diminta memberikan jasa konsultasi di sebuah pabrik baja yang sedang krisis. Tiga bulan setelah ditangani Schwab, perusahaan baja itu kembali tumbuh dengan sehat.
Yang dilakukannya sederhana. Dia tidak membiarkan seluruh manajer serta staf di sana terjebak dalam rutinitas pekerjaan. Setiap manajer, supervisor, dan staf diwajibkan selalu membuat rencana kerja untuk esok hari, dan pada pagi harinya rencana kerja tersebut dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Ketika senja tiba, setiap orang mengevaluasi kembali apa yang telah dikerjakan serta apa-apa yang belum dilakukan. Sore itu juga, mereka membuat kembali rencana kerja untuk keesokan hari, dan begitu seterusnya. Hasilnya sungguh mengejutkan, pabrik baja tersebut sempat tercatat menjadi salah satu pabrik baja terbesar di Amerika Serikat. oleh : Ary Ginanjar AgustianPendiri dan Pemimpin ESQ Leadership Center Penemu ESQ Model).

Memahami ekuitas pelanggan

Jumat, 06/02/2009 10:40 WIB

Membicarakan teknologi sebagai pendukung fungsi pemasaran memang sangat menarik dan menantang. Proses asimilasi teknologi ke dalam fungsi pemasaran sedang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, terutama para praktisi.
Kita sepakat bahwa pemasaran membutuhkan teknologi untuk menjawab tantangan dinamika bisnis. Banyak yang bisa ditawarkan dari penggabungan dua unsur tersebut dari mulai segmentasi sampai perhitungan untung rugi program loyalitas.
Di industri perbankan, teknologi telah menjadi keunggulan bersaing. Para pemain industri berlomba-lomba untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi untuk semakin mempermudah dan memuaskan nasabah.
Dalam industri perbankan, teknologi akan berasimilasi dengan customer data management, contact channel management, dan enterprise-wide management.
Bagi pemain besar industri perbankan, asimilasi yang paling nyata adalah contact channel management. Dalam hal ini para pemain berusaha untuk menggarap channel dengan sangat serius seperti ATM, iBanking, SMS Banking, pembukaan kantor cabang, PDA, kios, telepon.
Seluruh layanan ini masih bersifat transaksi. Artinya, mereka tidak memiliki hubungan yang besifat relationship. Enterprise-wide management akan berhubungan dengan front office dan back office.
Asimilasi paling menarik adalah bagaimana memanfaatkan customer data management untuk mengubah hubungan yang bersifat transactional menjadi relational. Di sini, kita sudah membicarakan ekuitas pelanggan. Semakin besar ekuitas pelanggan semakin memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Manfaat pengetahuan ekuitas pelanggan memberikan cara baru untuk berkompetisi. Ekuitas pelanggan menjadi panduan para pemasar untuk mengetahui apakah program loyalitas memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Ekuitas menjadi sangat penting karena berdasarkan kajian terbaru menunjukkan bahwa kontribusi konsumen pada masa lalu tidak selamanya mencerminkan manfaat untuk perusahaan pada masa datang. Jadi, dibutuhkan sebuah pengukuran yang dapat mengukur secara objektif keuntungan dari tiap konsumen untuk perusahaan.
Customer lifetime value (CLV) diusulkan sebagai sebuah pengukuran baru untuk menghitung kontribusi tiap konsumen terhadap profitabilitas perusahaan pada masa datang. Pengukuran ini jarang digunakan oleh perusahaan karena kurangnya bukti empiris terhadap dampak peningkatan pendapatan dan profitabilitas perusahaan.
Perhatikan konsumen
Beberapa perusahaan fokus pada peningkatan pendapatan melalui penambahan jumlah konsumen. Walapun konsumen baru hanya melakukan pembelian sekali.
Mengadopsi cara seperti ini bukanlah strategi yang optimal. Perusahaan seharusnya fokus pada pengidentifikasian seberapa banyak konsumen akan berkontribusi untuk profitabilitas perusahaan pada masa datang. Ini adalah fokus dari CLV.
Misalkan di divisi kartu kredit, perusahaan memungkinkan untuk mendapatkan data tentang kontribusi margin setiap nasabah. Katakanlah kontribusi margin seorang nasabah Rp2.500.000 per tahun, biaya retensi Rp1.000.000 per tahun, retention rate 50% (program loyalitas selama 2 tahun) jumlah transaksi per tahun 30 kali, dengan discount rate 15% maka kita bisa mendapatkan CLV si nasabah Rp2.990.752 untuk tahun berikutnya. Jadi, perusahaan akan mendapatkan peningkatan kontribusi margin dari nasabah untuk tahun berikutnya menjadi Rp2.990.752.
Bayangkan kalau kita mengubah strategi segmentasi kita berdasarkan ekuitas pelanggan maka kita mampu merencanakan bujet untuk program loyalitas dengan lebih baik dan terarah.
Ketika kita merubah strategi segmentasi maka kita akan memberikan program loyalitas yang tidak bersifat mass tapi persifat individu. Bisa jadi antara satu segmen dan segmen lainnya akan memiliki program loyalitas yang berbeda bergantung pada kontribusi tiap nasabah ke perusahaan.
Dengan kata lain, CLV membantu perusahaan untuk memperlakukan konsumen secara berbeda berdasarkan kontribusinya. Setidaknya ada dua hal kenapa CLV menjadi penting dan relevan, yaitu:
Perhitungan CLV membantu perusahaan untuk mengetahui berapa banyak perusahaan dapat berinvestasi untuk meretensi konsumen sehingga dapat mencapai ROI yang positif.
Ketika perusahaan dapat mengalkulasi CLV kosumennya, ini dapat mengoptimalkan mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tingkat return yang maksimum. Kerangka CLV juga sebagai dasar untuk menyeleksi konsumen, menjual produk atau jasa baru ke konsumen, dan menentukan strategi komunikasi spesifik untuk konsumen.
Namun demikian, ketika kita ingin menerapkan CLV di tiap divisi maka akan mengalami kesulitan. Misalkan, bagaimana menghitung kontribusi nasabah prioritas kepada perusahaan sementara produk proiritas adalah dana.
Kadang memang menjadi kebingungan bagi para product owner priority banking bagaimana seharusnya merancang program retensi yang tepat. Solusinya adalah adanya agregasi seorang nasabah di level korporasi dan tentu membutuhkan diskusi lintas fungsi sehingga permasalahan ini bisa dipecahkan. (oleh : R. PradopoHead of Marketing Knowledge Frontier Consulting Group).

Rabu, 04 Februari 2009

Mudahnya '-gate' dan '-isasi' dikreasi!

Rabu, 04/02/2009 09:24 WIB
Setidaknya di Indonesia pernah terjadi dua kasus besar, yang sebutannya berkaitan dengan 'gate', yakni 'Buloggate' dan 'Bruneigate'. Dalam bahasa Indonesia 'gate' tidak dapat dianggap imbuhan, maka sebut saja bentuk itu sebagai bentuk 'gate'. Kalau tidak salah, kasus besar yang pertama melibatkan Yayasan Yanatera Bulog, dan yang kedua berkaitan dengan bantuan dana Sultan Brunei di era pemerintahan Gus Dur. Di luar negeri kasus besar serupa pernah terjadi di Amerika Serikat, yakni pada masa pemerintahan Richard Nixon pada era 70-an. Nah, baik 'gate' di Indonesia maupun Amerika Serikat, sepertinya sama-sama menyebabkan goncangnya kursi kepresidenan.
Lalu, apa sesungguhnya maksud 'gate' dalam bahasa Indonesia? Tidak dapat saya temukan penjelasannya hingga kini! Setidaknya, dalam kamus besar bahasa yang saya buka-buka, saya tidak menemukan 'gate' itu. Atau, mungkinkah saya salah melihat? Semoga tidak! Akan tetapi, dalam 'Webster's New World College Dictionary' edisi revisi 1996, saya menemukan maksud lema 'gate' yang sejalan dengan hal di atas. Bentuk 'gate' itu digunakan dalam kombinasi, menjadi 'watergate'. Lema 'gate' dalam kamus itu dimaknai sebagai, 'a scandal characterized by charges of corruption or illegal acts carried out, usually in a covert manner, by people with power or influence.'
Nah, dengan tidak sepenuhnya mengacu pada makna 'gate' seperti disebutkan di depan, sebutan-sebutan yang bernada skandal dengan imbuhan semu 'gate' lalu hadir bermunculan dalam wujud bermacam-macam. Dengan mudah orang menyebut kasus asusila yang muncul dalam bentuk VCD atau DVD, atau mungkin dalam bentuk film porno di ponsel-ponsel akhir-akhir ini, yang terjadi di Bandung dengan sebutan Bandunggate. Kasus serupa juga bisa terjadi di wilayah-wilayah lain. Maka lalu muncul istilah 'Jogjagate', 'Sologate', 'Pasuruhangate', 'Semaranggate', 'Malanggate', atau sebutan-sebutan lainnya. Jadi, memang kemudian terjadi penyempitan makna atau disimilasi dari maksud aslinya.
Penyempitan makna demikian itu terus saja terjadi sebagai wujud nyata dinamika bahasa Indonesia. Sebagai misal, kasus yang menyangkut pelanggaran disiplin karyawan di sebuah kantor lantaran ulahnya yang tidak profesional dengan mengelem lubang kunci pintu direktur, maka lalu muncullah bentuk disimilatif 'Altecogate'. Kasus yang melibatkan pemakaian mesin presensi karyawan di kantor tertentu, yang akhirnya menyebabkan karyawan yang bersangkutan dikenai sanksi, memunculkan 'presensigate'. Bentuk yang terakhir ini juga jelas sekali berhakikat disimilatif. Pendek kata, 'gate-gate' yang lain juga dengan sangat mudah dpat dimunculkan. Memang serasa demikian mudah membuat bentuk disimilatif bahasa Indonesia dengan imbuhan semu '-gate'.
Akan tetapi, sudah lama pula sebenarnya bentuk '-isasi' menggejala dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pembentukan kata bahasa Indonesia dengan '-isasi' dengan bentuk variannya '-nisasi', juga sepertinya sangat mudah dilakukan. Semestinya, akhiran atau sufiks '-isasi' dalam bahasa Indonesia itu digunakan untuk mewadahi kata-kata asing tertentu yang diserap secara langsung. Bentuk asing 'standardization', misalnya saja, diserap menjadi 'standardisasi'. Sepertinya, imbuhan '-isasi' itu identik dengan '-ization' dalam bahasa Inggris. Lihatlah pula bentuk 'demonstration' yang juga diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'demonstrasi'. Jadi, imbuhan asing '-ation' itu, dalam bahasa Indonesia bisa bermanifestasi menjadi '-asi'.
Nah, kehadiran bentuk-bentuk serapan asing yang sepertinya mudah sekali dilakukan, sederhana sekali dibuat, dan gampang sekali diucapkan itulah yang kemudian berimbas pada bentuk-bentuk yang berhakikat 'pseudo' atau 'quasi'. Mari kita lihat, misalnya saja, 'listrikisasi' dan 'koranisasi' atau 'aspalisasi'. Akhir-akhir ini, ketika masa awal-awal persiapan pemilu tiba, muncul pula bentuk-bentuk quasi, seperti 'stikerisasi', 'merahisasi', 'golkarisasi', 'bantengisasi', 'gerindranisasi', 'hanuranisasi', 'bantengisasi'. Mungkin sebentar lagi akan muncul bentuk-bentuk 'quasi' yang lain seperti 'sultanisasi', 'prabowonisasi', 'wirantonisasi', 'meganisasi', 'sutiyosonisasi' dan seterusnya.
Bentuk-bentuk quasi yang disebutkan di atas semuanya tidak ada yang sejalan dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Akan tetapi, bentuk-bentuk disimilatif yang berhakikat 'pseudo' atau 'quasi' itu serasa enak dan pas digunakan. Bentuk kebahasaan yang enak digunakan, sekalipun tidak sejalan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku, lazimnya juga tetap banyak digunakan oleh masyarakat bahasa itu. Fakta kebahasaan yang demikian ini sepertinya menegaskan pernyataan saya di sebuah media massa beberapa saat silam, yakni bahwa untuk memaknai tuturan memang tidaklah mudah dalam masyarakat yang berhakikat multilingual. Bentuk-bentuk yang merupakan modifikasi kaidah kebahasaan seperti disebutkan di depan, serasa mudah sekali dibuat dan digunakan banyak orang.
Tentu terhadap fakta kebahasaan demikian ini, pihak-pihak yang berotoritas dalam bidang bahasa, dan juga para ahli bahasa, harus bekerja keras memikirkan bagaimana seharusnya bentuk-bentuk kebahasaan yang gampang muncul ini harus secara tepat disikapi.
(Oleh: R. Kunjana Rahardi Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Konsultan bahasa media massa di Jakarta).

Senin, 02 Februari 2009

Berhentilah mencari uang!

Membaca judul di atas Anda pasti bertanya-tanya apakah saya tidak salah tulis. Mungkin juga Anda menyangka saya sekadar mencuri perhatian Anda dengan menggunakan kalimat yang bombastis.
Mengapa kita harus berhenti mencari uang? Apakah kita tidak butuh uang? Mana ada orang di dunia ini yang tidak membutuhkan uang?
Padahal saya menyatakan kalimat di atas dengan penuh kesungguhan. Kita sudah terlalu lama mencari uang dan ternyata uang yang kita kumpulkan selalu tidak cukup. Kita senantiasa bersaing dengan biaya dan inflasi.
Demi mendapatkan uang kita bekerja keras serta mengorbankan waktu dan kesehatan kita. Demi mendapatkan uang banyak orang yang bertahan dalam pekerjaan yang membosankan, yang merendahkan harga dirinya, yang tidak sesuai dengan keahlian dan minatnya, yang tidak membuatnya menjadi orang yang lebih pandai. Bagaimana bisa pandai kalau apa yang kita lakukan selalu hal yang sama terus selama bertahun-tahun?
Orang-orang yang bekerja karena uang memang harus membayar pendapatan mereka yang tidak seberapa itu dengan kerja keras, yang membuat mereka lelah lahir dan batin. Namun, bukankah ini sudah merupakan konsekuensi yang harus diterima? Bukankah di dunia ini tidak ada makan siang gratis? Bukankah segala kenikmatan yang kita dapatkan harus kita bayar dengan harga yang mahal juga?
Itulah hukum alam yang berlaku di mana saja, kapan saja dan untuk siapa saja. Jadi tak ada jalan lain bagi Anda kecuali menerimanya. Itulah yang disebut dengan konsekuensi.
Supaya menjadi lebih jelas, marilah saya gambarkan modelnya sebagai berikut:
Model 1: Cobalah Anda perhatikan model di bagan. Mengapa kita bekerja? Kita bekerja untuk mendapatkan uang. Kita ingin membiayai kehidupan kita. Kita menginginkan uang karena mendambakan kenikmatan hidup.
Karena kita harus membayar kenikmatan tersebut dengan harga mahal: Anda harus bekerja keras, harus melayani atasan serta mendengarkan keluhan dan kritikan pelanggan. Ini tentu sulit dan tidak mudah. Anda harus berkorban, termasuk korban perasaan. Ini semua demi mendapatkan uang.
Itulah yang dimaksud dengan konsekuensi. Konsekuensi selalu melahirkan perasaan tidak nyaman. Ini ibarat seorang pemuda yang berminat pada seorang gadis dan sedang melakukan pendekatan. Yang dia inginkan tentu saja hanyalah si gadis. Namun, konsekuensinya, dia harus mendekati keluarga si gadis. Dia harus bisa mengambil hati orang tua si gadis, saudara-saudaranya, bahkan mungkin juga kakek dan neneknya.
Jadi apa pun ceritanya, dalam sebuah konsekuensi selalu ada perasaan terpaksa, sekecil apa pun. Konsekuensi adalah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan kenikmatan. Karena itu, selama kita menempatkan pekerjaan sebagai konsekuensi untuk mendapatkan uang, maka bekerja tidak akan pernah memberikan kebahagiaan yang sejati.
Lantas bagaimana seharusnya? Bukankah semua orang melakukan hal seperti ini? Apakah ada cara lain yang lebih baik? Sebelum saya menjelaskannya kepada Anda, ada baiknya Anda menyadari bahwa sesuatu yang dilakukan kebanyakan orang bukanlah berarti itu sesuatu yang benar.
Kebahagiaan
Bagaimana bisa dibilang benar kalau banyak orang yang tetap bertahan di tempat kerjanya-walaupun mendapatkan penghasilan yang pas-pasan dan sering dimarahi atasannya-semata-mata karena ingin mendapatkan uang? Bukankah tujuan hidup kita adalah mencapai kebahagiaan, bukannya sekadar mendapatkan uang?
Agar bisa bahagia kita harus merevisi total pandangan kita terhadap pekerjaan. Kita harus melakukan revolusi paradigma. Saya kira hanya dengan cara inilah kita dapat berbahagia dan menikmati pekerjaan kita. Untuk lebih jelasnya saya gambarkan modelnya sebagai berikut:
Model 2: Coba Anda renungkan model di bagan. Di sini tujuan kita bekerja semata-mata untuk melayani orang lain. Melayani orang lain bukanlah sebuah konsekuensi. Ia adalah tujuan, bahkan satu-satunya tujuan kita bekerja. Bekerja seharusnya merupakan pengejawantahan dari seluruh kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Bekerja sesungguhnya merupakan misi hidup kita di dunia yaitu membantu orang lain, membuat orang lain sukses dan bahagia. Bekerja merupakan upaya kita untuk meneruskan cinta Tuhan dengan cara melayani sesama manusia.
Dalam paradigma kedua ini kita telah melakukan perubahan mendasar yaitu memindahkan tujuan bekerja dari berfokus pada diri sendiri (yaitu mencari uang) ke berfokus pada orang lain (yaitu untuk melayani). Ini perubahan yang sungguh luar biasa, sebuah revolusi yang sangat mendasar dan sungguh tidak mudah.
Sebuah pertanyaan besar mungkin sedang menggelayuti diri Anda. Mengapa kita harus melayani orang lain? Bukankah tujuan bekerja adalah melayani diri kita sendiri? Anda salah. Kita bekerja memang untuk melayani orang lain. Inilah hukum alam yang sejati. Siapa pun yang melanggar hukum alam ini akan hancur dibuatnya.
Kalau tidak percaya, coba lakukan hal-hal berikut ini: abaikan atasan dan pelanggan Anda, layani mereka seadanya saja, lupakan inisiatif, kreativitas, dan inovasi. Lalu lihatlah apa yang terjadi? Apakah Anda akan beroleh sukses dan kebahagiaan?
Sekarang gantilah pendekatan Anda. Lupakan kebutuhan Anda sendiri. Carilah apa yang penting bagi pelanggan dan penuhilah hal itu. Layanilah mereka dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa dan raga Anda. Kerahkan segala daya dan upaya yang kita miliki. Anda akan mendapatkan kesetiaan. Anda akan memiliki hidup yang penuh makna. Anda akan merasa berharga. Anda akan bahagia.
Lantas bagaimana dengan uang? Jangan khawatir. Ketika tidak memikirkan uang, uang akan datang ke hadapan dengan sendirinya. Saya berani menjamin hal ini untuk Anda. Saya bahkan sudah membuktikannya sendiri. (oleh : Arvan PradiansyahManaging Director ILM).

Mencari program CSR perusahaan

Terus terang tulisan ini terkait dengan penunjukan penulis sebagai The Ambassador of The Leprosy Mission International to Indonesia, dengan mengajak dunia usaha Indonesia untuk mengalokasikan kegiatan CSR-nya untuk berkontribusi dalam pemberantasan penyakit lepra.
Pada 25 Januari lalu adalah hari Lepra sedunia dan Indonesia adalah negara dengan jumlah penderita lepra nomor tiga terbanyak di dunia, setelah India dan Brasil. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae, yang lazim berkembang di kawasan yang taraf hidup serta tingkat kesadaran kesehatan masyarakat penghuninya masih rendah.
Situasi ini diperparah dengan pengucilan dan perlakuan diskriminatif terhadap penderita lepra sehingga mereka gagal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perlakuan buruk terhadap penderita lepra memiliki sejarah panjang. Dalam kondisi ini, dunia usaha berpeluang untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya, yakni membantu pemberantasan penyakit lepra serta pemberdayaan penderitanya.
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) telah tercantum dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Beberapa manfaat yang diperoleh perusahaan dengan melakukan kegiatan CSR di antaranya, mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan, meminimalkan dampak buruk akibat krisis, meningkatkan keterlibatan dan kebanggaan karyawan, mempererat hubungan dengan para stakeholder, meningkatnya penjualan, dan tentu saja meningkatkan reputasi perusahaan. Dengan begitu kegiatan CSR harus dipastikan berjalan efektif agar manfaat tersebut dapat dipetik oleh perusahaan.
Bibit CSR pada awalnya bersemi dari motif filantropik perusahaan, yang acap bersifat spontanitas dan belum terkelola dengan baik. Adanya dorongan eksternal berupa tuntutan masyarakat, agar perusahaan lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya mengakibatkan aktivitas CSR semakin penting.
Makna CSR pun makin meluas, bukan sekadar tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar dan hanya bersifat filantropik, melainkan juga meluas ke seluruh planet bumi, dan harus dikelola dengan sasaran yang jelas dan perencanaan yang baik di tengah-tengah masyarakat dunia yang semakin kritis.
Tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan secara spontan, tetapi harus bersifat strategis. Strategis acap diartikan 'dekat' dengan bidang kegiatan perusahaan. Seperti Lifebouy yang mengampanyekan gerakan cuci tangan dengan sabun, atau Aqua yang membangun fasilitas air bersih.
Lantas, untuk kegiatan pemberantasan Lepra dan pemberdayaan penderitanya bidang bisnis apa saja yang terkait? Banyak bidang yang terkait, misalnya, farmasi (ethical maupun OTC), yang berkaitan dengan kebersihan, perawatan kesehatan, properti (terkait dengan sanitasi). Untuk pemberdayaan, misalnya, dengan menerima karyawan eks penderita lepra, sektor manufaktur dan sektor jasa dapat menampungnya.
Membangun strategi
Seperti halnya pelaksanaan aktivitas tanggung jawab sosial lainnya, dalam usaha ikut membantu pemberantasan penyakit lepra perusahaan harus mengidentifikasi stakeholder yang bakal terkena dampak dari pelaksanaan sebuah aktivitas CSR. Dalam masalah pemberantasan penyakit lepra dan pemberdayaan penderita lepra, yang paling berkepentingan tentu saja penderita dan komunitas sekitarnya.
Berikutnya adalah membangun strategi, yang menjadi roadmap bagi pelaksanaan aktivitas pemberantasan penyakit lepra. Meski di Indonesia terdapat beberapa daerah yang rentan atau bahkan telah dijangkiti lepra, tetapi perusahaan dapat menentukan jangkauan aktivitas yang dijalankan sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya.
Dalam strategi ini juga disusun secara spesifik rencana-rencana aktivitas dalam rangka pemberantasan lepra. Di antaranya adalah membangun program komunikasi yang intensif seputar penyakit lepra, seperti usaha pencegahan dan pengobatannya demi meluruskan kekeliruan persepsi serta mitos yang selama ini beredar.
Usaha lainnya dapat berupa penyediaan multi drug therapy (MDT) bagi para penderita lepra secara gratis terutama ke daerah-daerah yang rentan terhadap penyakit lepra. Berikutnya adalah memberikan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penderita dan bekas penderita lepra, terutama yang mengalami cacat fisik, demi pemberdayaan agar mereka dapat hidup mandiri. Bila memungkinkan, perusahaan dapat memberikan pekerjaan terhadap bekas penderita lepra sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Dalam partisipasinya membantu pemberantasan penyakit lepra, perusahaan hendaknya tidak hanya berorientasi jangka pendek, tetapi juga jangka panjang yang tujuan akhirnya adalah pemberdayaan, dalam arti penderita lepra mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi dengan kekuatan sendiri.
Program bantuan bagi pemberantasan lepra dan pemberdayaan penderitanya tentu saja tidak akan efektif tanpa dukungan dan komitmen karyawan, terutama mereka yang langsung terlibat di dalamnya. Selain itu, perusahaan juga perlu membangun sebuah sistem di mana berbagai macam keluhan, saran, tanggapan, dan informasi dari para stakeholder yang terlibat dalam usaha membantu pemberantasan penyakit lepra dapat ditampung dan ditindaklanjuti.
Perusahaan juga harus menetapkan sasaran yang sifatnya spesifik (misalnya, daerah geografis penderita lepra yang ditangani), terukur (seperti jumlah MDT yang didistribusikan ataupun jumlah penderita yang berhasil disembuhkan tanpa mengalami cacat fisik), dapat dicapai, andal, serta berada dalam rentang waktu tertentu. Harus pula ditetapkan critical success factor (CSF), yaitu variabel yang harus dimiliki sehingga menjamin strategi yang telah ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Partisipasi perusahaan dalam membantu usaha pemberantasan penyakit lepra melalui perencanaan yang matang akan sangat bermanfaat dalam mengangkat reputasi serta bagi terwujudnya Indonesia yang bebas lepra. (oleh : A. B. SusantoManaging Partner The Jakarta Consulting Group).

Energi pemimpin

Senja beranjak malam. Seperti biasa, di sepanjang jalan Jakarta terjebak kemacetan nan akut. Secangkir Espresso berteman dengan sepotong pastry di sebuah kedai kopi merupakan sebuah oase tersendiri.
Seperti juga senja itu saya bertemu dengan mantan CEO sebuah bank untuk sebuah perbincangan lantaran lama tidak bersua. Seperti biasa perbincangan melebar ke mana-mana, menyasar dunia keuangan, sektor riil, ekonomi lokal hingga kehidupan spiritual. Entah mengapa tiba-tiba saja mantan CEO bank tersebut bercerita tentang sosok 'gurunya'.
Dengan penuh antusias 'si murid' bertutur tentang sepak terjang 'gurunya' dalam mendidik anak buahnya. Dengan gaya yang keras, tegas tetapi sangat elegan dan cerdas, sang guru alhasil mampu melahirkan pemimpin-pemimpin brilian yang sekarang menduduki jabatan tinggi di berbagai lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Sang guru berhasil melewati tantangan utama ketika dirinya menjadi pemimpin, yaitu menghasilkan pemimpin-pemimpin lainnya. Ya, sang guru tak lain adalah Robby Djohan.
Robby Djohan telah menjadi legenda hidup menyoal kepemimpinan bisnis di Tanah Air. Sepak terjang Robby Djohan ketika di Citibank, membesarkan Bank Niaga, memimpin proses merger empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri, hingga menakhodai Garuda Indonesia meninggalkan catatan emas yang layak untuk tetap terus dikenang.
Dengan segala 'kekerasan' dan ketegasan dalam dirinya, Robby Djohan menjelma menjadi coach (mentor) brilian kepemimpinan yang susah dicari tandingannya di negeri ini. Para anak didiknya pada masa lalu yang sekarang memimpin berbagai bank mengindikasikan bagaimana kebrilianan beliau sebagai mentor. Pertanyaan berikut adalah, mengapa Robby Djohan sukses menjadi pemimpin?
Formula 4E
Menyebut pemimpin bisnis maka menjadi sebuah keharusan apabila mengedepankan nama Jack Welch. Sebagai mantan CEO General Electric dan CEO terbaik sepanjang massa pada abad 20, rekam jejak Jack Welch telah menginspirasi ribuan pemimpin di seluruh pelosok bumi.
Pun demikian menyoroti kepemimpinan Robby Djohan menarik apabila menggunakan formula kepemimpinan kreasi Jack Welch. Oleh Jack Welch ketika seseorang menjadi pemimpin, maka dalam dirinya harus memiliki dan menjalani 4 E, yaitu: Energy, Energize, Execution dan Edge.
Formula E pertama berjejuluk Energy. Tak lain merupakan sosok diri pemimpin yang selalu bersemangat, penuh gelora hasrat, dan memiliki energi berlimpah. Penampilan fisik alhasil menjadi faktor penting agar sang pemimpin disebut berenergi.
Mengapa penampilan fisik menjadi tidak terbantahkan? Tak lain karena setiap gerak dari pemimpin selalu diamati oleh para konstituennya. Cara pemimpin berjalan, gaya pemimpin berbicara, bahasa tubuh ketika bersua dengan kolega ataupun anak buahnya, merupakan pancaran dari energi yang dimiliki.
Melihat sosok besar Robby Djohan dengan gaya intonasi suara bariton dan penampilan selalu segar menunjukkan bahwa Robby Djohan berenergi. Aura energi yang dimilikinya alhasil membawa kharisma sekaligus wibawanya yang begitu besar. Energi yang dimiliki menandakan bahwa Robby Djohan memang pantas menjadi pemimpin.
Formula E kedua bernama Energize. Mengapa pemimpin perlu memiliki energi menggelegar? Tak lain energi yang ada padanya akan memengaruhi lingkungan sekitarnya, terutama energi para konsituennya.
Syahdan manakala sang pemimpin datang ke kantor pada pagi hari dengan penampilan penuh percaya diri, motivasi optimal, dan pancaran mata penuh optimistis, maka dapat dipastikan sehari itu suasana kantor akan menjadi lebih semarak dan motivasi anak buah terkerek tinggi.
Pun apabila terjadi kebalikan di mana pemimpin datang ke kantor nirenergi dan wajah kusam tanpa gairah. Dapat dipastikan suasana kerja kantor bersangkutan selama sehari akan muram dengan produktivitas minimal.
Robby Djohan dalam melakukan energize ini dapat dikatakan nyaris sempurna. Rapat-rapat yang kadang diselingi dengan bentakan-bentakan khas Robby Djohan karena dikeluarkan dari hati tulus untuk kebaikan anak buah kemudian menjadi ritual yang justru dinantikan anak buah.
Energi positif dalam diri Robby Djohan menular kepada anak buahnya yang berujung pada produktivitas. Robby Djohan menjelma menjadi pelatih dan teman terbaik bagi anak buahnya.
Formula ketiga disebut Execution. Oleh konsultan paling masyhur saat ini Ram Charan, eksekusi merupakan praktik nyata dari kredibilitas dan integritas yang dimiliki pemimpin. Tanpa disiplin eksekusi maka seluruh atribut kepemimpinan yang melekat kepada sang pemimpin terasa hampa.
Seluruh kecerdasan dan kemampuan dalam memformulasikan visi, melakukan perencanaan dan pengorganisasian menjadi macet. Bahkan energi yang ada dalam dirinya hanya semacam tontonan yang menarik untuk dinikmati tetapi kosong dalam hasil akhirnya.
Menyoal eksekusi, Robby Djohan merupakan pakar yang dibilang langka di Tanah Air. Proses merger dari empat bank besar pemerintah, yaitu Bapindo, Bank Exim, BBD dan BDN dengan segala karakteristik yang dimiliki menjadi Bank Mandiri hanya bisa dilakukan oleh seorang eksekutor brilian.
Walaupun dalam proses merger ini terjadi berbagai gesekan, tetapi dunia bisnis Tanah Air mengakui kepiawaian Robby Djohan. Terlebih sekarang menyaksikan Bank Mandiri semakin bertumbuh melalui tangan dingin Agus Martowardoyo yang tak lain bekas anak buahnya pada masa lalu.
Formula keempat dinamai Edge. Inti dari formula ini adalah pemimpin memiliki keunggulan kompetitif guna memenangkan persaingan. Ada banyak keunggulan kompetitif yang dimiliki Robby Djohan dalam menjalankan kepemimpinan bisnisnya di mana pun beliau berkarya.
Salah satu keunggulan kompetitif ini tak lain adalah etika berbisnis. Benar, seluruh energy, energize dan execution yang ada dalam diri Robby Djohan dibungkus oleh etika nan ketat. Bukan sebuah kebetulan manakala pada hari tuanya Robby Djohan tetap selalu menjadi rujukan para pemimpin bisnis untuk mendapat kebijaksanaan (wisdom) darinya. Tak lain karena etika yang selalu dijunjung tinggi Robby Djohan dalam berkarya. (oleh : A.M. Lilik AgungTrainer dan Pembicara Publik).

Mengelola risiko

Berinvestasi saat ini bukan lagi masalah mengenai menghasilkan uang, melainkan bagaimana mengelola uang dalam situasi baik ataupun buruk. Ketidakpastian atas hasil inilah yang membuat investor harus mampu mengelola risiko investasinya. Yang menarik adalah bahwa risiko mempunyai arah pembalikan dan selalu bekerja pada dua sisi yang berbeda.
Pertama, risiko menyebabkan situasi mencapai titik terendah dari suatu kondisi buruk, maka setelahnya keadaan akan berbalik berangsur-angsur menjadi baik. Kedua, tidak semua pihak merugi karena terjadinya suatu risiko, bahkan ada pihak yang beruntung karenanya. Ini menerangkan kenapa suatu investasi menurun kinerjanya, sementara yang lain justru naik. Risiko kalau begitu tidak seluruhnya buruk, dan sesungguhnya diinginkan atau tidak risiko tetap ada.
Dalam banyak hal, risiko seperti air bagi tumbuhan. Terlalu sedikit tumbuhan tak bisa hidup, terlalu banyak bisa menenggelamkan. Ada beberapa jenis risiko yang mesti kita pahami, yakni risiko sistematik (systematic risk), risiko tidak sistematik (unsystematic risk), dan risiko pribadi investor. Masing-masing memberikan kontribusi yang sama pentingnya terhadap kinerja portofolio investasi.
Risiko sistematik
Risiko sistematis merupakan risiko yang disebabkan oleh berbagai faktor makro yang memengaruhi semua perusahaan dan industri secara umum, seperti kondisi negara, nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga, situasi politik, permintaan/penawaran pasar.
Risiko sistematis lebih susah untuk dihindari karena berkaitan dengan kondisi pasar secara keseluruhan. Contohnya, jika kondisi ekonomi negara memburuk, harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terjadilah inflasi tinggi yang memaksa pemerintah menaikkan suku bunga dan nilai tukar rupiah pun anjlok.
Perdagangan di pasar modal dan bursa berjangka pun akan mengalami tekanan jual, akibatnya IHSG turun. Dalam kondisi seperti ini hampir seluruh instrumen investasi seperti saham, obligasi, reksa dana, unitlink, bahkan properti akan mengalami penurunan. Tak urung Anda yang berinvestasi langsung ke sektor riil atau memiliki bisnis pribadi, juga merasakan dampaknya.
Namun, tidak semua pihak merugi, sebab dalam kondisi suku bunga tinggi nasabah tabungan dan depositolah yang panen duit. Begitu juga jika Anda perhatikan harga emas, atau mereka yang menyimpan dolar. Komoditas yang mereka simpan harganya malah naik saat kondisi ekonomi bergejolak.
Untuk meminimalisasi risiko sistematik Anda bisa menjalankan strategi lindung nilai. Contoh paling sederhana adalah dengan memegang investasi alternatif berupa aset keras seperti emas, tanah bahkan uang dolar. Jadi bagilah porsi alokasi ke dalam instrumen finansial dan juga ke dalam investasi alternatif tadi secara proporsional.
Tidak sistematik
Risiko tidak sistematis merupakan risiko yang disebabkan oleh faktor mikro yang terdapat pada perusahaan atau industri tertentu dan tidak terkait dengan risiko pasar secara keseluruhan, seperti perubahan struktur permodalan, aktiva, kondisi lingkungan kerja, penurunan tingkat penjualan, kemampuan manajemen dan lain-lain, sehingga dapat memengaruhi harga saham perusahaan yang bersangkutan atau menyebabkan gagal bayar (credit/default risk) yaitu ketidakmampuan perusahaan membayar kewajiban pembayaran bunga atau pokok utangnya (obligasi).
Pengaruhnya hanya terbatas pada perusahaan atau industri tersebut. Sebagai investor, unsystematic risk dapat kita hindari dengan melakukan diversifikasi dengan strategi alokasi aset. Yaitu membagi penempatan alokasi dana ke dalam beberapa instrumen investasi dari kelas aset yang berbeda.
Jika Anda ingin lebih optimal, Anda bisa mengadaptasi gaya manajer investasi dalam mengelola reksa dana. Mereka membeli instrumen investasi dari kelas aset yang sama (saham atau obligasi) tetapi dari emiten yang berbeda.
Misalnya, menyebar penempatan saham dari 5-10 emiten yang berbeda berdasarkan kategori industrinya. Secara sederhana saya menyebutnya realokasi aset, sebab dilakukan setelah alokasi aset. Dengan diversifikasi, alokasi aset, dan realokasi aset, kita bisa meminimalisasikan risiko yang muncul dari suatu aset tertentu.
Risiko pribadi
Dalam kaitannya dengan investasi tiap orang memiliki perilaku dan respons berbeda terhadap risiko. Baik Anda berinvestasi ke saham, obligasi, properti, maupun reksa dana.
Pertimbangkanlah tingkat toleransi Anda terhadap kemungkinan kehilangan uang akibat investasi pada masing-masing kategori investasi tersebut dan bagaimana perasaaan Anda mengenai hal itu. Inilah profil risiko pribadi investor. Intinya menerangkan siapakah Anda dalam berinvestasi. Apakah termasuk tipe konservatif, moderat atau agresif.
Yang harus diketahui juga adalah bahwa profil risiko investasi seseorang tidak statis, tetapi cenderung berubah sesuai dengan siklus hidup di mana dia berada, kondisi keuangan atau hal lain yang sifatnya personal.
da beberapa variabel yang membentuk profil risiko seseorang, antara lain (a) usia. Orang muda biasanya agresif, sementara mendekati pensiun cenderung konservatif ; (b) Pengalaman & pengetahuan dalam berinvestasi. Makin banyak pengalaman berinvestasi makin luas wawasan pengetahuannya, investor cenderung makin agresif ; (c) Jangka waktu atau time horison. Biasanya ini berhubungan dengan tujuan investasinya dan kapan tujuan itu ingin dicapai. Makin pendek jangka waktu investasi, investor cenderung konservatif (e) Kemampuan menabung / jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Makin besar penghasilan bersih dan nilai kekayaan bersihnya, investor makin punya banyak pilihan dalam berinvestasi dan bisa lebih agresif.
Dengan memahami profil risiko pribadi, investor dapat menyusun kebijakan investasi pribadi (investment policy statement), sehingga dapat memiliki perspektif yang lebih baik terhadap unsystematic risk serta systematic risk. Selanjutnya diharapkan pengelolaan risiko investasi dapat berjalan optimal. (Mike R. Sutikno)