Sabtu, 07 November 2009

Saatnya Lawan Koruptor

Negara ini telah mengalami kerusakan parah sejak Orde Baru berkuasa. Lembaga penegak hukum rusak karena sistem pemerintahan Orde Baru menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan. Lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman, menjadi sarang praktik korupsi dan rekayasa hukum. Hanya, di era Orde Baru, praktik kotor sebagaimana yang menimpa Bibit-Chandra saat ini tidak tersentuh media. Kini generasi penerus praktik mafioso sepertinya masih kuat di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Rekayasa hukum dilakukan demi melayani kepentingan kekuasaan dan mengumpulkan pundi-pundi kemakmuran. Hal itu seharusnya mendorong kembali tampilnya gerakan mahasiswa dan rakyat untuk menegakkan keadilan serta memberantas korupsi. Nurul Himawan, mahasiswa Jurusan Sosiologi UNS

Negara ''Dikanibal'' Markus

KASUS yang belakangan ini masih menyengat negeri, khususnya dunia peradilan sehubungan dengan pengungkapan rekaman KPK, tidak hanya terletak pada dugaan kriminalisasi terhadap KPK. Namun, juga bermainnya aktor di luar peradilan yang seolah-olah sukses memosisikan dirinya sebagai ''peradilan'' itu. Orang luar yang dianggap ''berjasa'' membuat dunia peradilan tak berdaya tersebut, salah satunya, diberi nama ''markus''.Kawan yang sudah lama bekerja atau menahbiskan profesinya sebagai ''makelar kasus'' (markus) menyebutkan, 90 persen aparat penegak hukum di Indonesia telah dikuasai markus. Mereka tidak akan bisa berlaku objektif dalam menangani kasus hukum karena kinerjanya telah dipengaruhi sepak terjang markus.Benarkah tuduhan bahwa komunitas penegak hukum kita telah dikuasai atau menjalani profesinya dalam ''ketiak'' markus? Apa memang sangat besar dampak yang harus ditanggung oleh bangsa ini manakala markus berhasil memengaruhi atau menghegemoni aparat penegak hukum? ***Memang, belum ada hasil penelitian yang menyebutkan secara terbuka bahwa 90 persen markus berhasil menguasai dan jauh lebih berdaulat daripada aparat penegak hukum. Tapi, setidaknya beberapa kasus yang mencuat belakangan ini mengindikasikan dahsyatnya pengaruh markus dalam mewarnai atau mengobok-obok citra peradilan di Indonesia.Untuk sampai pada konklusi menyalahkan atau memosisikan markus sebagai ''terpidana'' yang membuat karut-marutnya dunia peradilan, ada beberapa temuan yang bisa dilihat. Yakni, polling oleh berbagai lembaga survei atau lembaga pemantauan mengenai citra dunia peradilan, di samping membaca praktik-praktik penanganan kasus di lingkungan peradilan. Sebagai sampel pembenar misalnya, awal 2007, Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil survei terhadap institusi peradilan dan lembaga pelayanan publik lainnya. Hasilnya mengejutkan banyak pihak. Yakni, 100 persen inisiatif suap di lembaga peradilan justru berasal dari pejabat atau pegawai peradilan. Kemudian, pada 2008, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia. PERC menempatkan peradilan Indonesia pada posisi terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26 (Madril, JP, 27 Oktober 2009).Temuan itu setidaknya bisa dijadikan acuan bahwa dunia peradilan yang diposisikan sebagai lembaga terkorup tidaklah lepas dari pengaruh atau ''jasa'' para markus. Pendapat Fauzan Hadad (2008) pun demikian. Sudah lama dunia peradilan berada dalam cengkeraman pengaruh makelar-makelar yang pandai memanfaatkan kelemahan aparat penegak hukum. Kalaupun ada aparat yang terlihat berintegritas moral tinggi, mereka mencoba mencari celah atau kelemahan yang bisa digunakan untuk melemahkan atau menjinakkan atau mengamputasi. Kalaupun sulit mencari kelemahannya, mereka mencoba bekerja sama dengan aparat untuk menjauhkan atau menyingkirkannya dari kemungkinan menangani kasusnya.Tulisan itu setidaknya bisa dijadikan tolok ukur bahwa upaya pelemahan lembaga peradilan dari peran sakralnya dalam menegakkan hukum tidak hanya dilakukan orang luar yang mengintervensi. Tapi, bisa pula dilakukan oleh elemen peradilan sendiri yang mentalitasnya sudah terkooptasi atau berhasil ''dinajisi'' oleh kekuatan eksternal semacam markus. Tragisnya lagi, tidak sedikit pula ditemukan elemen penegak hukum yang senang dan bangga berhasil dikalahkan oleh markus atau dijadikan ''piaraan'' elite ekonomi semacam konglomerat hitam yang dengan kekuatan modal dan lawyer yang dimilikinya mampu memanjakan dirinya. Elemen penegak hukum demikian akhirnya kehilangan kecerdasan etika atau gagal menjalankan misi profesionalismenya karena dilindas keuntungan besar yang diperoleh.''Kedaulatan markus'' itu sudah lama, khususnya sejak Orde Baru, telah memasuki pori-pori peradilan. Tak ada peradilan di negeri ini yang steril dari kepintaran serta kelicikan markus. Hukum tak bisa dijadikan alat menembak orang yang sebenarnya dalam sisi pembuktian sudah lengkap karena peran markus yang bisa mengalahkan atau mengimpotensikan idealisme norma-norma hukum.Ada markus yang tidak bergelar, namun berdasi. Di samping itu, tidak sedikit yang bergelar sarjana, magister, bahkan doktor. Mereka bisa berada di balik dinding peradilan (menemui polisi, jaksa, dan hakim) untuk bernegosiasi atas kasus yang sedang ditangani atau melibatkan kliennya atau orang lain yang menurutnya bisa dikalkulasi menguntungkan. ***Ulah markus di zona peradilan tersebut mengakibatkan buruknya citra negara hukum. Identitas rechstaat ini tak ubahnya secara das sollen hanya menjadi identitas yang manis di atas kertas. Sementara dalam realitasnya (das sein), jati diri negara hukum telah terkoyak atau ''terkanibal'' sangat parah layaknya serpihan yang termakan dengan cara sadistis.Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam ''De Legibus'' menyatakan, hukum merupakan akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kalau manusia itu mengenal hukum, dalam dirinya mempunyai rambu-rambu yang menentukan opsi dari perbuatan yang merugikan dan menghancurkan ataukah memberdayakan dan mencerahkan. Kalau negara itu sudah menggunakan hukum sebagai rule of game setiap warga bangsa dengan idiom negara hukum, seharusnya siapa pun orang yang hidup di negara itu, apalagi elemen penegak hukumnya, wajib menegakkan dan menjaga kedaulatannya. Sayangnya, elemen penegak hukum kita tergelincir menjatuhkan opsi yang salah dengan menempatkan hukum bukan sebagai wujud akal tertinggi. Tapi, sebagai alat untuk ''mengadali'' (mengakali) objektivitas, keadilan, kejujuran, serta kebenaran hukum.Elemen penegak hukum yang sedang sesat jalan atau menyelingkuhi amanatnya itu bahkan lebih senang bisa menempatkan markus sebagai sumber pendapatan tak resminya, namun jumlahnya sangat besar. Mereka bisa berkolaborasi dengan markus untuk mempermainkan atau membengkokkan hukum, kalau perlu sampai ke ranah kematiannya. (*)*). Abdul Wahid, dekan fakultas hukum dan pengajar program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang; penulis buku ''Republik Kaum Tikus''

Parpol Lukai Hati Rakyat

SUNGGUH aneh tapi nyata. Di tengah gemuruh amarah rakyat atas ketidakadilan dalam penegakan hukum di negeri ini, partai politik justru diam seribu bahasa. Dewan Perwakilan Rakyat juga tertib tutup mulut. Saking sepinya, sampai-sampai Adnan Buyung Nasution sebagai ketua tim pencari fakta (TPF) mempertanyakan suara parpol.Mungkin suara partai secara resmi telah dimandatkan kepada Komisi III DPR lewat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kapolri dan jajarannya Kamis malam lalu (5/11). Kalaulah itu yang dipahami oleh partai politik, tentu rakyat patut kecewa. Sebab, anggota Komisi III justru mempertanyakan, kenapa Kapolri menangguhkan penahanan Bibit S. Riyanto-Chandra M. Hamzah? Itu adalah pertanyaan lucu. Itu mirip pertanyaan orang yang mengigau. Bukankah DPR dan parpol sudah mendengarkan pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi? Bukankah mereka punya mata dan punya telinga, bagaimana sebenarnya aspirasi yang bergejolak di masyarakat?Dalam dengar pendapat tersebut, Komisi III sebenarnya lebih pantas disebut sebagai institusi resmi yang memberikan energi baru dan melindungi orang-orang yang diduga terlibat penyuapan atau pemerasan daripada menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi. Kenapa para politikus yang duduk di DPR tidak berani berbicara dengan gagah dan penuh wibawa bahwa kasus cicak v buaya dengan segala pernik-perniknya harus dijadikan instrumen untuk melakukan reformasi lembaga penegak hukum secara mendasar? Semua yang terlibat, siapa pun, dan apa pun jabatannya -apakah anggota Polri, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekali pun yang terbukti- harus ditindak tegas. Kenapa tidak ada imbauan, apalagi tuntutan agar Kapolri tegas dan berani memecat segera anak buahnya yang diindikasi terlibat? Kenapa pula dialog-dialog yang terjadi hanya bersifat normatif dan dijawab secara normatif pula? DPR Konservatif Mengapa DPR kita tidak berani berpikir secara progresif? Mengapa kalah progresif dengan Mahkamah Konstitusi (MK)? Mengapa di tengah perubahan berarti di tubuh MK, justru lembaga yang mestinya progresif kini malah menjadi konservatif?Di negara-negara yang mengikuti pola penegakan hukum progresif, terutama di bidang pemberantasan korupsi, pejabat negara -baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif- akan mengundurkan diri bila terindikasi kuat terlibat penyelewengan atau melakukan tindak pidana. Itu yang kini berkembang di Jepang, Hongkong, Tiongkok, dan lain-lain.Hal tersebut berbeda dengan di Indonesia, pejabat yang sudah ditelanjangi secara publik dan dibuktikan dengan sebuah rekaman secara jelas masih dibela-bela. Kenapa tidak diminta mundur secara permanen? Bukankah mereka sudah menyakiti hati nurani rakyat? Kalau sudah tidak lagi dipandang baik oleh masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, kenapa Kapolri tidak diminta secara arif dan bijaksana agar bisa memahami aspirasi rakyat. Istilah Ketua MK Mahfud M.D., "Janganlah menentang arus besar suara rakyat." Kalau masyarakat sudah tidak menyenangi lagi sebagai pihak yang dilayani, kenapa masih tetap jadi pelayannya? Kenapa tidak mengundurkan diri saja? Pertanyaan-pertanyaan di atas biasanya dijawab secara normatif bahwa sistem hukum kita tidak mengikuti pola seperti itu. Belum ada alat bukti yang kuat serta putusan tetap dan lain-lain. Karena tidak ada progresivitas dalam penegakan hukum, reformasi penegakan hukum hanya berputar-putar tanpa akhir. Kasus per kasus yang menimpa aparat penegak hukum tidak mampu dijadikan kesadaran baru untuk mereformasi sistem penegakan hukum di negeri ini. Anggodo di Parlemen Ketika rekaman penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diputar di Mahkamah Konstitusi, semua yang mendengar tercengang. Di dalam rekaman itu, terlihat dengan jelas betapa ampuhnya seorang yang bernama Anggodo Widjojo. Pengusaha dari Surabaya itu benar-benar memiliki daya linuwih untuk mengatur semua pejabat tinggi di bidang penegakan hukum. Konon, hal itu bisa terjadi karena kedermawanan Anggodo Widjojo dalam membantu para penegak hukum ketika masih di level bawah. Bahkan mungkin, ketika promosi kenaikan jabatan, mereka tidak terlepas dari peran seorang Anggodo.Bila di kepolisian dan kejaksaan ada orang ampuh bernama Anggodo, jangan-jangan di kalangan lembaga legislatif juga ada Anggodo-Anggodo yang lain? Atau bahkan di semua level kekuasaan ada Anggodo-Anggodo yang memiliki daya linuwih tersebut. Pertanyaan itu muncul karena terinspirasi pernyataan Qomaruddin Hidayat, salah seorang anggota TPF. Dia mengungkapkan bahwa bandit telah menguasai instrumen negara. Jangan-jangan memang benar, semua level kekuasaan di negeri ini sudah dikendalikan oleh para bandit. Kemungkinan adanya Anggodo-Anggodo di parlemen dan parpol sebenarnya bukan hal yang mustahil. Apalagi di era sistem pemilu legislatif yang padat modal (kapitalis). Siapa saja yang ingin karir politiknya naik pasti membutuhkan modal besar. Dari mana modal besar itu didapat? Partai politik, tentu tidak. Dengan demikian, pemilik modal yang memiliki kedermawanan seperti Anggodo akan sangat dibutuhkan di kalangan politikus. Seandainya orang-orang seperti itu mau bermain dalam segala proses politik, mereka adalah bagian penting dari agen yang akan memiliki power kuat untuk memengaruhi segala kebijakan politik.Di sisi lain, membisunya partai politik dan tolerannya sikap para legislator di Senayan semakin menunjukkan bahwa betapa efektifnya koalisi besar yang digalang pemerintahan SBY. Semua bisa terskenario secara rapi. Suara dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelum Pemilu 2009 selalu nyaring -dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolri Kamis malam itu- menjadi tidak terdengar lagi. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar di bawah standar sehingga tidak menggigit. Itu merupakan perkembangan demokrasi yang sangat memprihatinkan.Berangkat dari fakta tersebut, kini rakyat tinggal sendirian. DPR yang dipilih oleh rakyat dan mengaku akan mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat ternyata tidak selaras dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Janji-janji yang belum lama diucapkan dan dijual sebagai modal politik kini nyaris habis tak terdengar. Karena itu, rakyat harus bersatu untuk bersama-sama secara terus-menerus menekan pemerintah dan parlemen.*). Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Program 100 Hari, Apa Yang Baru ?

DI tengah kegaduhan pemberitaan perseteruan KPK versus Polri dan Kejaksaan Agung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis program 100 hari pemerintahan Kamis (5/11). Presiden menetapkan 45 program aksi yang akan dilaksanakan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Di antara jumlah itu, 15 program merupakan program pilihan atau prioritas. Tanpa ada maksud menyepelekan pentingnya penyelesaian masalah penegakan hukum yang melibatkan pimpinan KPK, masyarakat sebagai sasaran kebijakan seharusnya menyimak program 100 hari pemerintah. Apalagi, setelah dicermati dan dibandingkan dengan program yang dicanangkan pemerintah-pemerintah sebelumnya, 45 program aksi dan 15 program pilihan tersebut secara umum tidak ada yang baru. Perbedaan hanya terlihat pada urutan prioritas dan penekanan pada sektor-sektor. Misalnya, pada program 100 hari KIB II kali ini, presiden menekankan pada penyelesaian mafia hukum; di bidang ekonomi, antara lain, ditekankan soal pembangunan sektor kelistrikan, infrastruktur, dan revitalisasi pabrik pupuk dan gula; serta di bidang kesra penekanannya, antara lain, pada reformasi kesehatan dan pendidikan.Dengan demikian, apa yang dipaparkan presiden dua hari lalu selama 30 menit itu sebenarnya program lama yang tidak diimplementasikan secara optimal oleh kabinet-kabinet sebelumnya. Contohnya, pemberantasan mafia hukum yang dijadikan prioritas pertama. Program itu, selain sering diusung pemerintahan sebelumnya, dengan mudah muncul dugaan ditekankan karena kuatnya sorotan publik terkait dugaan kriminalisasi terhadap petinggi KPK sebulan terakhir.Demikian halnya dengan pembangunan sektor kelistrikan. Pada pemerintahan sebelumnya, Presiden SBY telah mencanangkan proyek pembangunan PLTU 10.000 MW. Namun, realisasi dari proyek itu selalu molor oleh aneka sebab, mulai masalah pendanaan hingga permintaan investor adanya jaminan pemerintah. Dari contoh-contoh itu, dengan mudah kita simpulkan bahwa semua program yang dirumuskan pemerintah pada hakikatnya baik. Hanya, yang perlu dikawal dan diawasi terus-menerus adalah implementasi di lapangan. Karena itu, program 100 hari harus disosialisasikan secara terbuka kepada publik, khususnya mengenai matriks tahap-tahap target yang diharapkan dapat dicapai. Jangan sampai program yang disusun di sebuah forum prestisius National Summit oleh 1.124 pemangku kepentingan (stakeholders) dari birokrat, akademisi, dan pengusaha terbaik negeri ini hanya indah di atas kertas. Para menteri dan jajarannya harus siap dengan penjabaran yang memadai di level teknis. Hal itu sekaligus kesempatan kita untuk menilai apakah anggota kabinet yang dipilih SBY awal bulan lalu benar-benar orang yang mumpuni menjalankan tugas atau orang yang dipilih hanya untuk memenuhi tuntutan politik akomodasi. (*) (jp.com)

''People Power" dari Facebookers

keputusan polisi menangguhkan penahanan Bibit-Chandra bukan semata-mata disebabkan adanya pemutaran rekaman sadapan telepon Anggodo di Mahkamah Konstitusi, tetapi karena sebelumnya sudah didorong oleh desakan rakyat lewat berbagai ruang publik. Inilah people power yang berpotensi mengambrukkan kekuasaan. People power itu bisa berupa deretan unjuk rasa di berbagai kota, opini rakyat lewat media, dan yang tak bisa diremehkan adalah penggalangan sikap Facebookers yang melebihi jumlah 500.000.Diam-diam, Facebookers ikut menggairahkan ruang publik. Seperti dikemukakan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik itu akhirnya memberikan peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan. Facebookers menjunjung kekuasaan komunikatif. Maksudnya, satu kekuasaan yang terkonstruksi dari jaringan-jaringan komunikasi masyarakat sipil. Jaringan itu bisa dilihat lewat media, misalnya, internet. Jika lebih berperan, tentulah kekuasaan komunikatif tersebut punya kekuatan untuk mengarahkan keputusan-keputusan pemerintah. Termasuk di sini ketika lahir keputusan menangguhkan penahanan dua pimpinan nonaktif KPK. Jangan kaget jika Facebookers juga berlatih demokrasi deliberatif, yakni kondisi di mana legitimitas hukum tercapai karena terbangun dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Dalam kata lain, jika perundangan lahir karena terpengaruh diskursus-diskursus yang terjadi di masyarakat, maka terbentuklah demokrasi deliberatif. Jadi, sekarang jangan remehkan kekuatan maya. Ada seorang Facebooker menulis, ''Dunia maya tak lagi jadi kekuatan gaib. Gerakannya riil. Jejaring sosial berubah jadi jejaring politik. Kaum Facebooker mengubah konstalasi nasional. Bergembiralah wahai Facebookers!"Ada alasan untuk bergembira, begitu tulis Facebooker itu, dukungan luar biasa dari Facebookers membuat kasus-kasus itu mendapat perhatian sampai di tingkat nasional. Selain kasus (baca: skandal) Bibit-Chandra, ada kasus Prita. Advokasi dan dukungan Facebookers membuat Prita dibebaskan.Maka, benar kata Holtz-Bacha bahwa diskusi internet, walau itu masih mentah sebagai rumor politik, menjadi elemen penting dalam alam demokrasi. Apalagi jika saluran-saluran resmi terkesan mandul atau dimandulkan. Ini persis kondisi Indonesia saat skandal Bibit-Chandra menyeruak ketenangan masyarakat.Alternatif DPR Silakan simak, adakah anggota DPR yang mempersoalkan penahanan Bibit-Chandra? Semestinya, justru anggota DPR yang paling menyuarakan ketidakadilan itu, tetapi para wakil rakyat yang terhormat justru menikmati kenyamanan mereka setelah gaji dipastikan naik awal tahun depan.Sungguh, DPR kita belum akil balig. DPR tanpa keakilbaligan tak mampu membendung tindakan monologis pemerintah. Pada akhirnya, rakyat adalah the other bagi para anggota DPR. Celakalah negara yang punya DPR semacam itu. DPR yang jauh dari keakilbaligan tentu merugikan masyarakat saat kebijakan publik diluncurkan. Setidaknya, kekuasaan komunikatif menjadi melemah. Jika merujuk kepada pemikiran Habermas, semestinya di DPR terdapat kekuatan-kekuatan demokratis yang saling berkomunikasi dan berwacana untuk meraih cita-cita hidup bersama. Bagi Habermas, aktivitas berkomunikasi dan berwacana itulah hakikat politik. Berpolitik bukan melulu memperebutkan kekuasaan.Politik ala Habermas itu tak akan terwujud jika masing-masing orang tak mau membebaskan dari kesempitan diri yang kekanak-kanakan. Merujuk kepada Immanuel Kant, politik semacam itu mensyaratkan akil balig atau dalam setiap upaya menunjukkan kemauan menuju keakilbaligan. Pada ruang publik, misalnya, keakilbaligan itu bisa dilihat dari seberapa jauh kebebasan publik diterapkan. Ukuran kebebasan publik adalah kemampuan pribadi tidak lagi berpikir ''aku", tetapi sudah lebih luas dengan memikirkan ''kami atau kita". DPR adalah satu wujud ruang publik, dan sekarang bisa diukur seberapa sering mereka berpikir ''kami atau kita"?Kian jelas, skandal Bibit-Chandra lebih memosisikan anggota DPR kepada ''aku" ketimbang ''kita". Yang terutama ''aku" harus makmur dulu, baru memikirkan ''kita". Barangkali benak mereka sudah teracuni asumsi bahwa tanpa kemakmuran diri, sulit memikirkan kemakmuran orang banyak!Tentu saja yang menjadi pertanyaan pertama atas keironian DPR itu adalah adakah manfaatnya bagi rakyat? Bagaimanapun, mereka dipilih rakyat demi perbaikan nasib rakyat kebanyakan, bukan nasib segelintir rakyat atau anggota DPR itu sendiri. Ingkari Kedaulatan Rakyat Kenyataannya, anggota DPR cenderung mengingkari kedaulatan rakyat. Hakikat kedaulatan rakyat adalah memberikan mandat kepada politisi untuk menjabat dan memenuhi kewajiban mereka sebagai wakil rakyat. Semestinya mereka bertanggung jawab kepada rakyat yang diwujudkan dengan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendiri atau kelompok. Meminjam istilah Soekarno, para anggota DPR seharusnya berperan sebagai ''penyambung lidah rakyat''.''Penyambung lidah rakyat'' merupakan proyeksi Soekarno. Proyeksi itu muncul dari perasaan dan tugasnya sebagai pemimpin. Dia berperasaan dirinya sebagai rakyat sekaligus dimiliki rakyat. Keterkaitannya justru berbalik, lantaran dia dimiliki rakyat, maka tak ada perbedaan keduanya. Soekarno yang pemimpin hakikatnya juga seperti rakyat kebanyakan. Sebagai pemimpin, Soekarno bertugas mengartikulasikan sesuatu yang justru tidak bisa diartikulasikan oleh rakyat. Kata Soekarno, rakyat adalah saudara-saudaraku yang lidahnya tidak bisa berbicara bagi mereka sendiri. Atas dasar itu, dirinya bertugas merumuskan ide-ide rakyat, mengkristalisasi, dan memadatkannya.Tampaknya, fungsi ''penyambung lidah rakyat" DPR itu akan diisi Facebookers. Awas, Facebookers siap membantai perilaku penguasa yang menyimpang. Kalau saja kasus Bank Century, misalnya, terus didiamkan, mungkin saja Facebookers yang bakal meributkan. Mereka sekarang sudah punya kekuatan, mereka kini menjelma menjadi people power. (*) *) Toto Suparto , peneliti di Puskab Jogjakarta

Drama Mafia Peradilan

RAKYAT Indonesia saat ini sedang menyaksikan drama hukum yang begitu menghebohkan. Cicak dan buaya sedang menunjukkan eksistensi masing-masing. Yang mengejutkan, di balik itu, ternyata ada mafia peradilan yang sangat lihai membuat skenario. Kini proses hukum terkait dengan masalah tersebut masih berlangsung. Kita sebagai masyarakat wajib mengawasi dan mengontrol itu agar tetap berjalan sesuai dengan kaidah hukum. Di pihak lain, Presiden SBY juga telah menbentuk tim pencari fakta (TPF). Kita pun wajib menghormati hasil yang nanti direkomendasikan TPF.PUJI WAHYONO , wahyono_p@yahoo.com

Makna Gerakan Rakyat untuk KPK

MINGGU-minggu ini, kita disuguhi berita yang sangat cepat tentang penahanan dua Wakil Ketua (non-aktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri. Sejumlah tokoh, mulai mantan Presiden Abdurrahman Wahid, mahasiswa, LSM, hingga organisasi kemasyaratan, mendukung KPK. Intinya, KPK tidak surut langkah untuk memberantas korupsi di negeri ini. Mereka pun memberikan dukungan moril kepada Bibit-Chandra atas nasib yang sedang menimpanya.Aksi dan gerakan massa yang turun ke jalan serta gerakan sejuta tanda tangan untuk menolak kriminalisasi KPK, tampaknya, merupakan puncak kekecewaan publik atas sikap Presiden SBY. Seperti diungkap dalam konferensi pers bahwa SBY tidak akan turut campur proses hukum dan tidak memiliki kepentingan untuk mengobok-obok KPK.Apa inti dari gerakan sejuta tanda tangan dan gerakan massa yang akhir-akhir ini kembali ke jalanan? Apa yang sesungguhnya mereka inginkan? Akankah gerakan tersebut menjadi embiro lahirnya people power di Indonesia?Ketidakpuasan Politik Kebijakan SBY yang terkesan ingin ''bersih'', berpangku tangan atas persoalan KPK, menjadi salah satu pemicu lahirnya aksi-aksi jalanan. Demikian juga, para politisi di Senayan seakan-akan ''diam'' atas isu cecak versus buaya, suatu ibarat tentang perseteruan Polri-KPK, yang kian hari kian panas.Maraknya gerakan jalanan dapat dikatakan sebagai indikasi adanya kekhawatiran para aktivis yang selama ini mengawal prinsip-prinsip good and clean governance. Para pegiat dan pemerhati masalah itu berdasar pengalaman memahami bahwa pintu utama mengawal pemerintahan yang bersih dan baik hanya ada pada KPK. Hal itu yang juga menjadi alasan kuat mengapa mereka terus bersuara lantang atas cara dan strategi yang dilakukan pemerintah dan Polri dalam kasus Bibit-Chanda. Suara mereka, melalui orasi dan demonstrasi, serta tanda tangan publik pada gerakan sejuta tanda tangan untuk solidaritas Bibit-Chandra, dapat dianggap sebagai refleksi ketidakpuasan mereka atas sikap dan tindakan Presiden SBY yang terkesan ''diam''.Pada saat isu kriminalisasi KPK sudah meluas, mulai jaringan Facebook (facebooker) hingga demonstrasi jalanan, Presiden SBY membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIKFPH). Mengapa tidak dari awal? Mengapa hingga menunggu aksi-aksi jalanan itu terjadi? Apakah kehadiran tim itu dikhususnya sebagai instrumen pemerintah untuk meredam gejolak ketidakpuasaan massa yang terus menggelembung mendukung Bibit-Chandra. Ataukah ada skenario lain dari TIKFPH yang telah dibentuk Presiden SBY? Berbagai spekulasi dan pertanyaan dapat saja kita ajukan di atas kanvas politik Indonesia yang semakin abu-abu. Namun, kita pun harus sabar menunggu apakah hasil dari TIKFPH itu memperkukuh proses hukum yang sedang dijalankan Mabes Polri ataukah sebaliknya? Bukankah sudah ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang pernah dilapori oleh pengacara Bibit-Chandra agar melakukan kajian atas kebijakan Polri dan mengambil sikap atas kasus Susno Duadji? Tetapi, mengapa semua itu kandas, seakan-akan Susno Duadji begitu sakti, tidak dapat disentuh hukum.Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang beredar di publik atas kasus yang menimpa Bibit-Chandra. Pada saat mereka berada dalam situasi politik yang demikian, salah satu langkah yang dapat dilakukan ialah mengalang solidaritas dan dukungan. Solidaritas itu dapat dimaknai dua hal. Pertama, sebagai bentuk protes kepada pemerintahan SBY yang baru saja dilantik. Kedua, berharap dari pola dukungan itu akan muncul kebijakan politik yang lebih responsif dan adanya harapan bagi penegakan hukum dalam kasus Bibit-Chandra.Politik Kontestasi Dari berbagai berita yang tergambar pada kasus Bibit-Chandra (KPK) dengan Polri tersebut, pemerintah sebenarnya telah menerapkan politik kontestasi. Dalam istilah yang lebih kasar, itu dapat disebut sebagai politik belah bambu, satu pihak diinjak dan pihak lain diangkat.Gejala politik kontestasi itu bisa dilihat dari cara-cara Presiden SBY menyelesaikan perkara kelembagaan yang menyangkut KPK maupun yang berkaitan dengan sumbu-sumbu kekuatan politik di negeri ini. Lihat saja bagaimana proses koalisi berjalan dan harus mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintahan.Ciri lain dari politik kontestasi (politik untuk saling mempertarungkan) adalah tiadanya lembaga penengah ketika lembaga-lembaga negara bertikai. Jika sejak awal masalah perseteruan KPK dengan Mabes Polri dapat dilerai, tentu kondisinya tidak serumyam saat ini.Dari segi agenda kebijakan, upaya membentuk TIKFPH - meski relatif terlambat- diharapkan dapat menjadi ''pelerai'' perseteruan Polri-KPK yang seakan-akan tidak berujung. Namun, apa pun hasil dari kerja TIKFPH -jika dianggap ''menguntungkan'' kepolisian- justru akan menjadi preseden buruk bagi cita-cita rakyat untuk memperoleh keadilan di negeri ini.Selain preseden buruk, nama-nama anggota TIKFPH juga dipertaruhkan karena dua hal. Pertama, kasus Bibit-Chandra bukanlah semata-mata kasus hukum, melainkan lebih tepat disebut sebagai kasus politisasi hukum. Karena itu, jika TIKFPH mendasari cara kerjanya pada aspek prosedural hukum semata, tidak tertutup kemungkinan hasilnya akan berpola win-win solution. Gejala win-win solution sudah tampak dengan akan digantinya Susno Duadji yang selama ini dianggap ''kebal hukum''. Kedua, kita juga harus sabar menunggu, kira-kira ke mana langkah TIKFPH berpihak atas masalah tersebut. Tentu jawabannya ada pada satu atau dua minggu kemudian. Jika hasilnya dianggap tidak win-win solution, tentu bisa saja akan menambah benang kusut pada pertarungan Polri-KPK di kemudian hari dan dapat pula berdampak kepada ketidakpercayaan publik atas janji-janji pemerintah untuk memberantas korupsi. (*)*). Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI Jakarta

Jumat, 06 November 2009

2010, Momentum akselerasi ekonomi Sektor riil harus menjadi prioritas pembangunan

Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah terbentuk dan dilantik untuk masa bakti 2009-2014. Hal ini merupakan kali kedua bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pelantikan kabinet.


Bagi masyarakat, meskipun momen ini merupakan momen rutin yang bisa dilihat sekurangnya sekali dalam 5 tahun, ini tetap saja dianggap sebagai sesuatu yang penting dan tak jarang masyarakat meninggalkan aktivitas rutin hanya untuk melihat prosesi pelantikan tersebut.

Ketika masyarakat menyaksikan televisi tentang pengumuman jajaran menteri di kabinet yang telah dilantik, biasanya tersirat harapan kepada mereka akan terciptanya perubahan yang lebih baik pada masa mendatang, khususnya dalam bidang ekonomi.

Meskipun kondisi ekonomi saat ini sudah cukup baik, harapan masyarakat tersebut wajar sebagai perwujudan meningkatnya edukasi dan dinamisasi publik. Harapan lebih dalam biasanya datang dari kelompok masyarakat sektor informal seperti buruh, nelayan, petani, dan pedagang kecil.

Untuk memenuhi harapan masyarakat tersebut, dalam mendesain kebijakan dibutuhkan adanya paradigma pemikiran yang lebih luas (out of the box) yang disertai inovasi dan terobosan baru (new breakthrough) serta lebih dari sekadar penciptaan kebijakan yang normatif dan standar saja.

Hal ini penting agar efektivitas dan efisiensi dalam penciptaan kebijakan senantiasa terjaga. Secara konsep, untuk mewujudkan hal tersebut bisa dilakukan melalui proses akselerasi dalam penciptaan ataupun pelaksanaan suatu kebijakan.

Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, misalnya. Dalam periode 2005-2008, tingkat ekspansi ekonomi Indonesia sudah cukup tinggi berkisar 5,5%-6,3%. Di tengah kontraksi ekonomi dunia saat ini, Indonesia bahkan mencatatkan diri sebagai satu di antara sedikit negara yang masih mampu tumbuh positif.

Namun, ternyata hal ini belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan mendasar yang ada karena tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih relatif tinggi.

Data menunjukkan, hingga awal 2009, tingkat pengangguran terbuka mencapai 8,14% pada Februari 2009 dan angka kemiskinan sebesar 14,15% pada Maret 2009, atau sedikit lebih tinggi dari target 2009.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah mengupayakan akselerasi ekonomi melalui target penciptaan pertumbuhan ekonomi di atas 7% dalam periode hingga 5 tahun mendatang. Ini bertujuan agar tingkat pengangguran turun menjadi 5%-6% dan kemiskinan berkisar 8%-10%.

Momentum akselerasi


Untuk menjalankan proses akselerasi secara tepat dibutuhkan momentum agar terjadi daya dukung dalam pelaksanaan akselerasi tersebut. Perlu dicatat, 2010 sebenarnya merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk menjalankan akselerasi pembangunan ekonomi.

Ada lima faktor yang mendasari pemikiran ini. Pertama, krisis ekonomi global diperkirakan mulai pulih pada 2010. Banyak analis dan lembaga internasional memproyeksikan bahwa ekonomi dunia kembali berekspansi tahun depan.

Publikasi World Economic Outlook (WEO) bulan Oktober 2009 misalnya, memperkirakan PDB global bergerak pada level 3,1% pada tahun depan. Ini berarti permintaan dunia kembali meningkat ketika ekonomi global sudah pulih dan pada gilirannya menciptakan banyak manfaat bagi Indonesia khususnya terkait industri pengolahan (manufaktur).

Kita tahu industri manufaktur merupakan salah satu industri penopang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tiga tahun terakhir, sumbangan industri manufaktur terhadap ekonomi nasional mencapai masing-masing 27,5%, 27,1%, dan 27,9%.

Kedua, dari sisi kebijakan, tema pembangunan 2010 adalah pemulihan ekonomi nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat. Ini berarti prioritas kebijakan ekonomi 2010 pada dasarnya diarahkan untuk pengembangan sektor riil melalui pengucuran stimulus ekonomi ataupun program subsidi untuk masyarakat kurang mampu yang bermuara pada pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi.

Bentuk-bentuk prioritas kebijakan yang akan dijalankan berupa kelanjutan program stimulus fiskal, revitalisasi industri, peningkatan pembangunan infrastruktur, dan perbaikan program subsidi.

Selain itu, pada 2010 juga akan dilanjutkan program ekonomi yang terbukti mampu memberikan daya dukung terhadap kemampuan ekonomi dasar masyarakat seperti bantuan operasional sekolah (BOS), PNPM Mandiri, Program Keluarga Harapan, Jamkesmas, Askeskin, dan berbagai program subsidi lainnya.

Pendek kata, prioritas pembangunan ekonomi pada 2010 adalah sektor riil yang sangat relevan dengan upaya akselerasi.

Ketiga, secara politis pelaksanaan Pemilu 2009 secara aman, damai, dan demokratis telah meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia, khususnya dari kacamata pelaksanaan demokratisasi dan stabilitas politik yang semakin terjaga.

Kedua, hal ini merupakan faktor nonfinansial yang sering dijadikan pertimbangan pemilik modal untuk berinvestasi. Ini berarti pada 2010 potensi Indonesia menjadi negara tujuan investasi terbuka lebar dan pada gilirannya hal ini memberi daya dukung terhadap pembangunan ekonomi.

Keempat, meskipun tidak 100% orang baru, boleh dibilang energi yang ada dalam susunan kabinet yang baru dilantik merupakan energi yang 100% baru dan siap bekerja lebih keras lagi dalam periode 5 tahun mendatang.

Adanya energi baru sudah pasti menciptakan daya akselerasi tinggi dalam penciptaan kebijakan dan memberikan semangat baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat.

Kelima, adanya keberlangsungan prioritas pembangunan antara pemerintah sebelumnya dan pemerintah 5 tahun mendatang. Hal ini penting untuk menjaga konsistensi pelaksanaan prioritas program pembangunan sekaligus mempercepat upaya pencapaian pembangunan ekonomi.

Semakin cepat pembangunan ekonomi dilaksanakan tentu berdampak positif terhadap upaya pencapaian akselerasi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, bisa disimpulkan akselerasi ekonomi dibutuhkan sebagai upaya meningkatkan efektivitas dalam pencapaian berbagai target dalam pembangunan ekonomi seperti angka kemiskinan dan pengangguran.

Berdasarkan faktor yang ada, 2010 merupakan momentum yang tepat untuk memulai akselerasi ekonomi.

Sebagai bangsa yang besar, kita patut mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada anggota kabinet yang telah mengakhiri masa baktinya. Sementara itu, kabinet yang segera akan bekerja, kita ucapkan selamat datang dan selamat berakselerasi.

Oleh Andie Megantara
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan

UU No. 30/2009 dan penghapusan subsidi BBM Pemerintah kurang yakin kepada PLN untuk mengatasi krisis listrik

Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan baru saja disahkan. Seperti halnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, undang-undang ini beraroma liberal.

Apabila kita tengok Pasal 11 Ayat 1 undang-undang tersebut tampak bahwa pemerintah membuka peluang bagi BUMN (di luar PLN), swasta, koperasi, bahkan LSM untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Munculnya (kembali) ayat ini menunjukkan (sekali lagi) kekurangyakinan pemerintah pada kemampuan PLN untuk mengatasi krisis tenaga listrik. Dengan berbagai keterbatasan, khususnya finansial, memang berat bagi PLN untuk melakukannya seorang diri.

Jadi, sesungguhnya, Undang-undang No. 30 Tahun 2009 bertujuan menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mengatasi krisis tenaga listrik secara bersama-sama.

Namun, banyak diantara kita sudah mahfum bahwa menyediakan tenaga listrik butuh investasi luar biasa besar. Oleh karena itu, sejumlah kalangan mengkhawatirkan adanya kenaikan tarif listrik yang cukup signifikan sebagai kompensasi atas investasi yang telah ditanamkan, khususnya oleh swasta.

Mengapa swasta yang ditakutkan? Pertama, karena swastalah dengan modal besarnya yang paling berpeluang masuk ke bisnis ini. Kedua, berbeda dengan BUMN, koperasi dan LSM, swasta memiliki motif murni untuk mencari keuntungan.

Keuntungan maksimal dapat diraih utamanya dengan menjual listrik dengan harga tinggi. Toh, mau tidak mau, masyarakat akan membeli karena memang membutuhkan.

Sesungguhnya tingginya tarif listrik dapat dihindari seandainya swasta yang masuk lebih dari satu dan KPPU tegas menjaga agar tak terjadi kartel di antara mereka. Lalu, kita juga masih punya PLN yang menjaga tarif agar tetap terjangkau.

Apabila masih ada pembaca yang menganggap kedua hal tersebut hanya ditemukan di Republik Mimpi, ada kebijakan yang lebih konkret tapi kontroversial, yaitu penghapusan subsidi BBM bagi penyediaan tenaga listrik.

Bukankah itu malah membuat tarif dasar listrik (TDL) jadi lebih mahal? Tentu saja tidak karena subsidi kemudian dialihkan ke energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Mengapa ke energi ini?

Pertama, energi ramah lingkungan dan terbarukan telah ditetapkan sebagai tulang punggung penyediaan tenaga listrik 10.000 MW tahap kedua. Lalu, dengan mengalihkan subsidi ke energi ini, pemerintah tidak saja memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita (menekan polusi) tapi juga tak perlu khawatir akan kehabisan energi seperti halnya energi berbasis fosil. Di samping itu, energi ramah lingkungan dan terbarukan umumnya lebih efisien. Salah satu contohnya adalah energi panas bumi.

Kuasai 40%

Mungkin belum banyak pembaca yang mengetahui bahwa Indonesia merupakan penyimpan energi panas bumi terbesar di dunia, yaitu 40% dari seluruh cadangan dunia. Biaya penyediaan tenaga listriknya pun (jauh) lebih murah dibandingkan BBM (8 sen versus 65 sen).

Meski belum termasuk subsidi, dengan biaya sebesar itu, PLN masih bisa bertahan dengan TDL yang berlaku sekarang. Harga panas bumi tak akan sefluktuatif harga BBM karena tak seperti BBM, panas bumi tak dapat diekspor sehingga tak bisa menjadi objek spekulasi.

Selain itu, selama ini besaran harga panas bumi diatur dengan kontrak jangka panjang dengan eskalasi harga sesuai inflasi. Dari sisi pasokan, ketersediaan energi panas bumi pun relatif lebih teratur karena seluruhnya disalurkan melalui pipa dari sumbernya menuju ke pembangkit listrik. Jadi, tak mungkin tiba-tiba menghilang seperti halnya BBM.

Walau begitu, perlu disadari bahwa dewasa ini pengembangan energi ramah lingkungan dan terbarukan masih (jauh) tertinggal dibandingkan dengan pengembangan energi berbasis fosil.

Energi panas bumi, misalnya, dari 27.140 MW cadangan tersimpan (reserves= 13.070 MW, resources= 14.070 MW), baru 1052 MW yang termanfaatkan (total installed capacity) atau pemanfaatannya masih kurang dari 5%.

Data ini menunjukkan bahwa pemanfaatan energi panas bumi untuk membangkitkan tenaga listrik menjadi sebuah PR besar negara kita. Adanya kebijakan subsidi bagi kedua macam energi tersebut dapat mendorong percepatan pengembangannya.

Subsidi dapat menjadi insentif bagi para investor karena membuat harga jual listrik berbasis energi ramah lingkungan dan terbarukan menjadi (jauh) lebih murah, sehingga akan meningkatkan daya beli masyarakat akan tenaga listrik.

Cuma, sekali lagi, kebijakan penghapusan subsidi BBM bagi tenaga listrik adalah sebuah kebijakan kontroversial karena aroma politik yang amat kental. Akankah pemerintah berani melakukannya? Kita tunggu saja.

Oleh Budi W. Soetjipto
Dosen FE UI

Pengembang siap alihkan lahan asal aturannya jelas

JAKARTA: Pengembang siap memanfaatkan lahan menganggur menjadi fasilitas publik atau ruang hijau secara sementara asalkan dijamin oleh pemda dengan aturan yang jelas.


Ketua Kompartemen Tata Ruang Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Hari Ganie membenarkan jumlah lahan yang dikuasai pengembang di sekitar Jabodetabek cukup banyak, tetapi selama ini belum dimanfaatkan, sehingga terlihat telantar.

"Kalau ada jaminan aturan, pengembang siap memanfaatkan sementara lahan menganggur itu dengan fasilitas publik atau ruang hijau," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Hari dimintai tanggapannya berkaitan dengan desakan Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Imam S. Ernawi agar pemerintah daerah dan pengembang swasta mengubah lahan telantar di perkotaan menjadi ruang publik dan ruang hijau terbuka karena banyak kota besar kekurangan fasilitas dan area tersebut. (Bisnis, 5 November)

Menurut Imam, pembangunan di perkotaan saat ini selalu mengorbankan ketersediaan ruang hijau dan fasilitas publik. Padahal, dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota wajib mempunyai 30% lahan terbuka hijau sebagai standar kenyamanan dan ramah lingkungan sebuah kota.

Hari yang juga Direktur PT Sentul City Tbk, pengembang di wilayah Bogor, menuturkan selama ini developer lebih memilih membiarkan lahan yang sudah dikuasai, tetapi belum termanfaatkan tersebut. Jika lahan menganggur itu dibangun menjadi fasilitas publik, developer khawatir akan ada pengakuan dari masyarakat dan sulit untuk dibebaskan saat akan dibangun menjadi proyek properti.

Dia mengemukakan luas lahan yang sudah dikuasai pengembang tetapi belum dimanfaatkan memang cukup banyak. Di kawasan pusat bisnis Sudirman (SCBD), Jakarta masih terdapat lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Developer hanya memfungsikan secara sementara untuk lahan parkir dan mal.

Lahan-lahan itu bisa saja dijadikan taman dan lahan hijau secara sementara, jika ada insentif dari pemda disertai dengan jaminan aturan.

Begitu juga lahan-lahan di kawasan kota mandiri yang sudah mempunyai izin membangun dengan luas lahan cukup besar.

Menurut Hari, pengembangan kawasan properti membutuhkan waktu yang cukup panjang, sehingga dipastikan terdapat lahan-lahan yang telantar.

Pola ini akan sedikit membantu pemda dalam menyediakan ruang hijau dan fasilitas publik.

Sebelumnya, Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia Endy Subijono mengatakan pemanfaatan ruang telantar untuk ruang publik dan ruang hijau oleh developer swasta sudah dilakukan di sejumlah titik di Jakarta. Namun, pelaksanaannya masih dilakukan secara sendiri-sendiri, sehingga manfaatnya kurang terasa.

Ketua DPP REI Teguh Satria menjelaskan beberapa developer swasta juga sudah menyediakan ruang hijau dan ruang publik, namun memang tidak dibuka untuk tetapi karena alasan keamanan.

Oleh A. Dadan Muhanda
Bisnis Indonesia

Ultrajaya menggagas peternak berjiwa wirausaha *

Ardi, remaja lulusan SMA Peternakan di Pangalengan itu punya kesibukan baru sejak pekan lalu. Setiap hari dia membersihkan ruangan pemerahan susu sapi di farm land milik Ultrajaya agar tetap bersih dan steril.


Setelah itu, dia juga belajar memerah susu dengan peralatan canggih. Ardi bukan menjadi karyawan Ultrajaya, melainkan sedang belajar tentang tata cara beternak sapi perah. Meski belajar, Ardi mendapatkan uang saku Rp850.000 per bulan.

"Saya ingin nantinya menjadi peternak yang berhasil," ujarnya. Ardi menyadari untuk menggapai cita-citanya, dia harus memulai dari bawah, dan belajar mengerti seluk beluk peternakan sapi perahan. Setelah belajar di farm land Ultrajaya, Ardi akan mengelola proyek usaha sapi perahan.

Ardi adalah salah satu dari 50 orang lulusan SMA Peternakan yang ikut program belajar selama 1 tahun di peternakan milik Ultrajaya di Pangalengan. Selain mereka, ada 50 orang peternak tradisional di sekitar Pangalengan yang menjadi program serupa.

Modul dan materi pembelajaran bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Selepas menjadi peserta program tersebut, mereka diharapkan menjadi entrepreneur di sektor usaha pemerahan susu sapi.

Program tersebut merupakan bagian dari ikhtiar Abdullah Sabana Prawirawidjaja, Presiden Direktur PT Ultrajaya Milk Industry and Trading Company Tbk, mewujudkan mimpinya, yakni menjadikan peternak sebagai seorang entrepreneur yang mandiri.

"Pembelajaran itu akan meningkatkan kemampuan peternak tradisional dan para lulusan SMA Peternakan entrepreneur," ujarnya di pabriknya di Padalarang, Jawa Barat, awal pekan lalu.

Ultrajaya memiliki pabrik berteknologi canggih, yang membutuhkan pasokan susu sedikitnya 150-200 ton susu murni per hari. Akan tetapi, jumlah ternak yang dimilikinya baru 600 ekor sapi dengan hasil susu murni 42 liter per hari.

Untuk meningkatkan pasokan susu ke pabrik, Ultrajaya pun mencetak para pengusaha peternakan sapi perahan. Sejauh ini, kekurangan pasokan diambil dari 189 kelompok peternak Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS).

Koloni

Para alumni pembelajaran akan dikumpulkan dalam bentuk koloni, yang masing-masing berisi 10 orang. Setiap orang nantinya akan mendapatkan 15-20 ekor sapi perahan impor, dengan harga Rp15 juta per ekor. Dibutuhkan dana investasi Rp300 juta per orang.

Untuk pembangunan kandang modern bagi petenak akan dicari di sekitar Pangalengan. Berada di pinggir jalan, agar mudah transportasi pengiriman susu ke pabrik bisa sampai 5 jam. Nilai investasinya dapat disesuaikan dengan letak lokasinya.

"Saya akan pasang badan untuk menjamin kredit investasi ini. Semua produksi susu murni akan diserap di pabrik Ultrajaya, sehingga break event point pada tahun ke-3," ujar Ketua Umum Industri Pengolahan Susu (IPS) ini.

Sabana mengharapkan ada campur tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertanian, agar memperhatikan kebutuhan peternak binaannya itu.

"Kami membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, terutama dalam pembangunan kandang modern dan pakan rumput gajah, termasuk mendatangkan sapi dari Australia," ungkapnya.

Ultrajaya menjadikan produk susu sebagai produk andalan, dan menjadi produsen terbesar susu di Indonesia sehingga berkepentingan terhadap peningkatan pasokan susu dengan cara menumbuhkan para peternak yang berjiwa wirausaha. (yuli.saleh@bisnis.co.id)

Oleh Rahmayulis Saleh
Wartawan Bisnis Indonesia

UKM didorong miliki hak paten

JAKARTA: Produsen skala kecil barang mode (fashion) didorong untuk mendapatkan hal paten atas karyanya, sedangkan perancang diarahkan untuk menguasai hak paten atas desainnya.


"Para desainer kami agendakan hanya memiliki hak paten atas desain, sedangkan UKM produsen memiliki hak paten atas produk yang mereka kerjakan," ujar Prijadi Atmadja, Asisten Deputi Urusan Ekspor dan Impor Kementerian Negara Koperasi dan UKM, baru-baru ini.

Selama ini, pengusaha kecil hanya menjadi pekerja produksi setelah desainer menciptakan modelnya. Dalam pandangan instansi pemberdayaan pelaku koperasi dan UKM itu, hak produksi seharusnya ada di tangan UKM.

Sesuai evaluasi yang dilakukan bersama para desainer fashion Indonesia, mereka merasa berhak atas hak paten industri, karena pengusaha kecil sulit mengerjakan produk yang mereka desain. (Bisnis/mgm)

bisnis.com

'60% Waralaba bermasalah' Usaha franchise diusulkan go public

JAKARTA: Komite Waralaba dan Lisensi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan 60% waralaba yang berpraktik di dalam negeri bermasalah, sehingga pihaknya meminta pemerintah segera menertibkan usaha franchise.

Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kadin Indonesia Amir Karamoy mengatakan data itu berdasarkan jumlah penerima waralaba (terwaralaba) yang bangkrut, karena menanamkan modalnya di bisnis waralaba yang tidak bertanggung jawab.

"Ada sekitar 800 merek waralaba di Indonesia, dan 60% di antaranya bermasalah. Franchisor [pemberi waralaba] dalam praktiknya tidak seperti diharapkan, sehingga dispute [sengketa] terjadi. Karena itu kami minta agar bisnis waralaba lebih ditata," kata Amir pada jumpa pers penyelenggaraan Franchise 7 License Expo ke-7, kemarin.

Kadin Indonesia meminta pemerinta segera menertibkan usaha waralaba, karena yang dirugikan kebanyakan investor skala kecil, seperti para ibu yang menggunakan seluruh tabungannya senilai Rp30 juta untuk berbisnis waralaba.

Jangankan sempat mengecap keuntungan, jelas Amir, terwaralaba malah mengalami kerugian.

"Bukan underestimate [menyepelekan] usaha kecil yang menjadi waralaba. Tapi karena memang sudah terjadi penipuan dan kebanyakan di Jakarta. Terwaralaba 3 bulan sudah merugi," kata Amir.

Karena banyaknya praktik yang bermasalah di bisnis waralaba, Amir mengatakan saat ini pemilik modal mesti teliti memilih merek waralaba, sehingga bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.

Amir mencurigai pada usaha yang menawarkan waralaba, tapi hanya mempunyai dua hingga tiga staf di perusahaan. Selama menjalankan satu gerai masih bisa ditoleransi jumlah staf tersebut, tetapi menjadi tidak masuk akal jika gerainya banyak.

Untuk menekan waralaba bermasalah, Amir mengharapkan ada kewajiban bagi satu perusahaan yang akan menjalankan bisnis franchise sebagai perusahaan terbuka lebih dulu.

Kadin Indonesia juga mengharapkan pemerintah agar mendorong perusahaan besar dan BUMN untuk berekspansi dalam sistem waralaba. Alasannya, perusahaan besar memiliki latar belakang modal dan pengetahuan serta pengalaman bisnis yang baik sehingga terwaralaba lebih terjamin.

Skala besar

Sekarang ini, dari 800 waralaba yang beroperasi di Indonesia baru 10%-15% merupakan perusahaan skala besar.

Kadin juga mengharapkan ada kewajiban perusahaan waralaba membuka laporan keuangannya dan sudah diaudit.

Dalam kesempatan terpisah Ketua Asosiasi Franchise Indonesia Anang Sukandar malah memprediksi dari 1.010 waralaba yang berpraktik di Indonesia, 80% di antaranya belum layak dikategorikan sebagai usaha franchise.

"Saya perkirakan 80% waralaba masih berkategori BO [business opportunity], atau masih belum layak disebut waralaba," jelas Anang.

Namun, Anang berharap pemerintah tetap memberi perhatian ada usaha kecil dan menengah yang berpotensi menjadi usaha waralaba unggulan.

Hal ini mengingat bisnis makanan cepat saji skala dunia seperi McDonald's dan KFC juga berawal dari skala kecil. (linda.silitonga@bisnis.co.id)

Oleh Linda T. Silitonga
Bisnis Indonesia

Peritel jual rugi diancam denda KPPU segera rampungkan pedoman UU No.5/1999

JAKARTA: Peritel yang melakukan praktik jual rugi terancam dikenai denda hingga Rp25 miliar, menyusul dirampungkannya aturan pedoman pelaksanaan Pasal 20 UU No. 5/ 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Komisioner KPPU Dedie S. Martadisastra mengatakan praktik jual rugi atau di bawah harga pokok penjualan merupakan salah satu cara ampuh untuk menyingkirkan pesaing.

"Peritel modal kuat menyingkirkan dan menghancurkan pesaing dengan cara menjual produk lebih murah dari harga pasar. Setelah pesaingnya mati, peritel yang menjual rugi itu akan menaikkan harga barangnya," katanya, kemarin.

Untuk menjalankan praktiknya itu, peritel modal besar juga bisa menekan dana sendiri yang dikeluarkan untuk menjual rugi, karena memiliki daya tawar yang tinggi untuk mendapatkan diskon lebih besar.

Pembelian skala besar yang didukung modal kuat membuat peritel mampu mendapat diskon lebih besar, dan menyebabkan pemasok terpaksa menekan keuntungan yang diperolehnya dari penjualan satu produk.

Ketika ditanyakan pengawasan soal jual rugi akan menutup kesempatan bagi konsumen untuk mendapat harga yang jauh lebih murah, Dedie mengatakan setiap industri punya harga pokok.

"Jika ada peritel yang menjual di bawah harga pokok, apa maksudnya?" kata Dedie.

Dalam Pasal 20 UU No. 5/1999 dijelaskan pelaku usaha dilarang memasok barang dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga sangat rendah untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf (f) UU Larangan Praktek Monopoli, KPPU mempunyai tugas menyusun pedoman pelaksanaan UU No.5/ 1999.

Direktur Eksekutif National Meat Processor Association (Nampa) Haniwar Syarif mengharapkan dengan pedoman jual rugi maka ada batasan jelas penetapan harga yang rendah. "Praktik itu bisa menghancurkan struktur harga."

Haniwar menjelaskan praktik jual rugi yang dilakukan peritel juga merepotkan pemasok, seperti pelanggan lain yang kemudian menjadi marah dan akhirnya malas menjual produk yang dihasilkan industri tersebut.

Uang kembalian

Sementara itu, Depdag memerintahkan peritel modern untuk membayarkan uang pengembalian konsumen dalam bentuk uang berapa pun jumlahnya sesuai dengan UU No. 23 tentang Bank Indonesia.

Direktur Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Radu Malem Sembiring mengatakan seluruh peritel modern harus menyerahkan kembalian dalam bentuk uang, bukan permen atau model donasi.

"Uang recehan, BI [Bank Indonesia] menyatakan tersedia, sedangkan pelaku ritel mengaku kesulitan mendapatkan uang recehan. Jadi, hanya masalah komunikasi saja," ujarnya saat rapat koordinasi soal pengembalian uang belanja, kemarin.

Hadir dalam rapat tersebut seperti perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan sejumlah pelaku ritel modern, seperti Alfamart, Indomart, Superindo, Tip Top, Dunkin Donuts, Indomart, Naga Swalayan, Midimart, Alfa Express dan Asoiasi Peritel Indonesia (Aprindo).

Dalam rapat tersebut, seluruh peritel menyepakati untuk tidak membayar kembalian dengan permen atau donasi. (linda.silitonga@bisnis.co.id/mari.benyamin@bisnis. co.id)

Oleh Linda T. Silitonga, MariA Y. Benyamin & Sepudin Zuhri
Bisnis Indonesia

Pengembangan koperasi masuki dekade transisi

Sudah lebih dari seabad koperasi hadir di bumi Indonesia, dan telah melewati 62 tahun masa bersejarah, setelah menorehkan pernyataan politiknya pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tonggak inilah yang diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia.


Bersamaan dengan telah lewatnya 10 tahun reformasi politik dan ekonomi, prakarsa pendirian koperasi diserahkan kembali kepada masyarakat tanpa kekangan. Potret perkoperasian hari ini sebagai hasil reformasi pelembagaan dan pembinaan, sejalan dengan otonomi daerah, menjadi tonggak perkembangannya pada masa depan.

Saat ini koperasi yang terdaftar melewati 150.000 unit, dan terdapat hampir 1 juta kelompok kegiatan ekonomi.

Dekade pascareformasi ini berhasil memindahkan pelembagaan koperasi ke masyarakat. Akan tetapi nuansa koperasi merpati, berkerumun ketika program ditabur, masih kental.

Sindiran ini tak seluruhnya benar, paling tidak tiga dari empat koperasi yang pernah berdiri masih meneruskan kegiatanya. Keikutsertaan koperasi dalam program pemerintah terkendala oleh luasnya program, sehinga koperasi yang pernah menjadi agen pemerintah kurang dari seperlima.

Jika diukur dengan UU 20/ 2008 tentang UMKM, sebagian terbesar dari mereka termasuk usaha kecil, bahkan mikro, tidak seperti dengan ukuran lama yang hampir seluruhnya beranjak ke menengah. Inilah konsekuensi penggantian batas ukuran dengan mata uang yang tergerus inflasi.

Indikator substantif koperasi yang biasa disebut jati diri relevan untuk dikedepankan, yakni kemampuan menolong diri sendiri secara bersama-sama. Ini harus substansi untuk melihat kemajuan pelembagaan koperasi.

Koperasi sebagai cermin demokrasi ekonomi tidak terlepas dari posisi dan persoalan ekonomi. Pendapatan per kapita pada akhir tahun ini diperkirakan US$2.000 atau lebih dari US$4.000 PPP (purchasing power parity). Masuk akal jika berharap pada akhir dasawarsa 2020 mampu mencapai pendapatan di atas US$4.000, atau melampaui US$6.600 PPP sebagai batas aman perekonomian dapat tumbuh lebih mantap.

Dasawarsa yang akan datang ini dapat diposisikan sebagai dekade transisi menuju negara demokratis dengan ekonomi yang maju sehingga tantangan gerakan koperasi adalah menyelesaikan transisi itu.

Dalam konfigurasi gerakan koperasi internasional dan regional, koperasi di negara maju seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura, sekarang digolongkan sebagai koperasi yang maju.

Koperasi di negara maju berjuang mempertahankan sukses yang diraih, sembari menjaga identitas atau jati diri. Adapun di negara sedang berkembang masih disibukkan oleh masalah pelembagaan, sembari menjaga eksistensi dalam perkembangan politik dan kekuasaan.

Wajar bila tingkat pendapatan masyarakat dikaitkan dengan kemajuan koperasi, karena koperasi mandiri butuh dukungan anggota yang mampu secara ekonomi untuk berpartisipasi.

Sebagian besar masyarakat memercayai koperasi akan memampukan masyarakat keluar dari kemiskinan dan mampu menjalankan tugas negara, sehingga kehadiran koperasi untuk tujuan program sering dipaksakan. Padahal mereka sadar, pemilik koperasi itu anggotanya.

Intervensi menjadi wajah kehidupan koperasi. Ujungnya, ketika sanksi harus ditegakkan akibat kegagalan mereka menangani program, pemerintah gagal membebaskan mereka dari risiko kemiskinan.

Itulah beban sejarah yang harus dipikul oleh sebagian koperasi. Di sisi lain, sumbangannya jarang diapresiasi. Ini perlu menjadi pertimbangan kebijakan pembangunan koperasi.

Koperasi saat ini didomonasi oleh jasa keuangan dengan sejumlah koperasi konsumsi yang hadir permanen dan kokoh. Koperasi pertanian akhirnya kembali kepada hakikat, yakni members-cooperative dependancy seperti peternak sapi perah, dan perkebunan.

3 Prinsip

Dengan latar belakang status dan lingkungan nasional dan internasional, ada tiga prinsip yang harus melandasi pilihan kebijakan pada masa 5-10 tahun mendatang.

Pertama, pelembagaan koperasi harus dilepas kepada gerakan koperasi dan kebijakan proses pelembagaan yang longgar perlu ditempuh disertai dengan interim waktu pelembagaan menuju legalitas penuh bagi koperasi baru dengan skala mikro.

Kedua, perlakuan bias dan penguatan harus dihentikan pada tingkat kebijakan nasional dan biarkanlah mereka menjadi bagian dari politik intervensi sektor dan daerah, serta memanfaatkan peran arus utama pasar. Fokus perbaikan pada program sektoral adalah perbaikan skala produksi anggota agar koperasi menjadi kuat.

Ketiga, perhatian besar harus dicurahkan pada inovasi regulasi sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam administrasi perkoperasian, serta perlindungan publik bagi penggunaan jasa-jasa koperasi.

Secara khusus pengarusutamaan lembaga keuangan koperasi dalam sistem pasar keuangan nasional harus diselesaikan secara baik dan menggambarkan tuntutan masyarakat yang sedang dalam transisi menuju koperasi maju. Secara kongkrit arsitektur koperasi simpan pinjam harus sudah berhasil ditetapkan pada masa pemerintahan 2009-2014.

Dalam suasana otonomi daerah, gerakan koperasi perlu melakukan aksi dari daerah otonom terbawah untuk menyusun kebijakan secara berjenjang. Inilah kunci perjuangan dan perbaikan posisi tawar dalam perumusan kebijan yang dapat disodorkan.

Oleh Noer Soetrisno
Ketua Mubyarto Institut

Evaluasi KUR libatkan 6 menteri

JAKARTA: Untuk pertama kalinya evaluasi kebijakan program kredit usaha rakyat (KUR) akan melibatkan tujuh menteri dari departemen terkait, untuk menindaklanjuti rencana penurunan suku bunga KUR yang dinilai masih tinggi.


Choirul Djamhari, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan UKM, menjelaskan sejak program KUR diluncurkan akhir 2007 evaluasinya hanya melibatkan pejabat eselon I.

"Menteri Negara Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan sudah meminta kepada Menteri Koordinator Perekonomian agar pembahasan dan evaluasi kali ini melibatkan seluruh menteri instansi terkait dengan KUR," ujar Choirul Djamhari, kemarin.

Pertemuan tingkat menteri itu untuk menindaklanjuti permintaan penurunan suku bunga KUR yang disampaikan Sjarifuddin Hasan kepada enam direksi bank peserta penyalur KUR, yaitu Bank BNI, BTN, BRI, Bukopin, Mandiri dan Bank Mandiri Syariah.

Setelah pertemuan Rabu, Sjarifuddin minta keenam bank menyampaikan perhitungan suku bunga realistis agar penyaluran KUR berdampak meningkatkan sektor riil, utamanya skala usaha mikro.

Pertemuan tingkat menteri masih dalam konteks Komite Kebijakan KUR untuk membahas dan mengevaluasi setiap kebijakan yang akan ditetapkan ke depan.

Termasuk menetapkan kebijakan menyalurkan sekitar Rp100 triliun hingga periode 2014, atau sebesar Rp20 triliun per tahun.

Risalah pertemuan Menteri Koperasi dan UKM bersama enam bank penyalur KUR sudah disampaikan kepada masing-masing instansi.

Oleh Mulia Ginting Munthe
Bisnis Indonesia


TKW bermasalah bertambah

KUALA LUMPUR: Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur menangani sekitar 1.000 tenaga kerja wanita (TKW) bermasalah selama Januari hingga Oktober 2009.


"Jumlah ini meningkat dari tahun lalu yang hanya mencapai 854 TKW pada periode yang sama," kata Dubes RI untuk Malaysia Da`i Bachtiar dalam jumpa pers bersama dengan Menteri Pembangunan Wanita dan Keluarga Malaysia Shahrizat Abdul Jalil, kemarin.

Sebagian besar masalah TKW tersebut adalah gaji tidak dibayar majikan, penyiksaan, pelecehan seksual, dan kerja yang tidak sesuai aturan.

"Jadi tahun ini ada peningkatan 17% kasus TKW bermasalah di Malaysia yang ditangani KBRI hingga Oktober, belum lagi KJRI lainnya," kata Da`i. (ANTARA)

Realisasi SJSN mendesak

JAKARTA: Serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) bersama akademisi dan politisi sudah saatnya mendesak pemerintah membahas rancangan undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, karena sudah waktunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direalisasikan.


Tia Mboeik, Programme Officer Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia, menyatakan desakan terhadap pemerintah tersebut merupakan langkah lebih lanjut setelah adanya studi banding tentang kelembagaan sistem jaminan sosial di Jerman.

"Indonesia harus secepatnya mencari jalan yang terbaik untuk memformulasikan SJSN, karena hingga kini hak masyarakat tersebut belum dapat diberikan oleh pemerintah," katanya seusai paparan hasil studi banding delegasi Indonesia ke Jerman tersebut, kemarin. (Bisnis/tri)

bisnis.com

Belanja iklan capai Rp35,5 triliun Surat kabar raih pertumbuhan tertinggi

JAKARTA: Total nilai belanja iklan sepanjang 9 bulan pertama tahun ini naik 13% menjadi Rp35,5 triliun dibandingkan dengan Rp31,47 triliun pada periode yang sama 2008.

Nilai belanja iklan tersebut diperoleh dari pantauan Nielsen Media Indonesia terhadap 103 koran, 165 majalah dan tabloid, serta 24 stasiun televisi.

Nilai belanja iklan itu juga dihitung tanpa memperhitungkan diskon yang diberikan media kepada pengiklan (berdasarkan gross rate card).

"Sepanjang Januari-September, iklan di stasiun televisi masih mendominasi, tetapi belanja iklan di surat kabar mengalami kenaikan tertinggi yakni hingga 19%," kata Ika Jatmikasari, Associate Director Client Service Nielsen Media Indonesia, kemarin.

Nilai belanja iklan di surat kabar dalam periode Januari-September lalu tercatat sebesar Rp12,43 triliun atau sekitar 35% dari total belanja iklan.

Menurut Ika, kenaikan nilai belanja iklan yang diperoleh oleh surat kabar di Indonesia berlawanan dengan yang dialami oleh media cetak yakni surat kabar dan majalah di kawasan Asia Pasifik.

Mengacu pada data Nielsen, belanja iklan yang diperoleh surat kabar di 12 negara di kawasan Asia Pasifik - seperti China, Korsel, India, Australia, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru - hingga akhir kuartal II/2009 turun sekitar 1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Iklan politik

Data Nielsen menunjukkan iklan pemerintah dan politik mencatat nilai belanja iklan paling besar yakni Rp2,92 triliun, dibandingkan dengan alokasi belanja dari jenis iklan lainnya.

Belanja iklan produk telekomunikasi berada di urutan kedua, dengan nilai belanja sebesar Rp2,87 triliun.

"Dengan adanya pemilihan umum dan pemilihan presiden pada April dan Juli lalu, kategori iklan politik dan pemerintahan mendorong naiknya belanja iklan, terutama di surat kabar," kata Ika.

Nilai belanja iklan politik dan pemerintah naik hingga 108% dibandingkan dengan nilai belanja pada periode 9 bulan pertama tahun lalu.

Sebanyak Rp1,79 triliun dari belanja iklan pemerintah dan politik dialokasikan ke surat kabar. (rochmad.fitriana@bisnis.co.id)

Oleh R. Fitriana
Bisnis Indonesia

Elektronik ilegal capai Rp12,1 triliun Kebijakan pengetatan impor mulai longgar

JAKARTA: Impor ilegal produk elektronik pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp12,1 triliun atau naik 5% dibandingkan dengan kondisi pada 2008.


Data Gabungan Elektronik (Gabel) yang diperoleh Bisnis menyebutkan pada tahun lalu, pangsa pasar produk elektronik ilegal mencapai 35% atau setara dengan Rp10,115 triliun dari total omzet penjualan domestik Rp28,9 triliun.

Pada 2009, omzet produk elektronik diperkirakan tumbuh 4,5% menjadi Rp30,2 triliun dibandingkan dengan 2008. Namun, tumbuhnya permintaan tersebut ikut mendongkrak konsumsi produk elektronik ilegal menjadi 40% dari total omzet 2009.

Pasar produk ilegal yang semakin besar menyebabkan modal kerja (cash flow) perusahaan-perusahaan elektronik lokal terpangkas cukup besar.

Ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih mengatakan tingginya angka penyelundupan berakibat pada hilangnya potensi pemasukan negara yang cukup besar terutama dari sektor pajak.

"Kondisi ini menandakan tidak efisiennya sistem birokrasi di berbagai titik pelabuhan yang sangat rawan. Penyelundupan juga terjadi lantaran ada disharmonisasi kebijakan yang kontraproduktif terhadap pertumbuhan investasi, industri, dan tenaga kerja," kata Sri, kemarin.

Seorang pengusaha yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya menilai Peraturan Menteri Perdagangan No. 56/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu sejak kuartal II/2009 mulai berjalan longgar. Akibatnya, banjir impor produk elektronik ilegal kembali marak memasuki berbagai titik pelabuhan.

"Kebijakan tersebut sebenarnya sangat membantu industri dalam menjaga pasar domestik. Namun, konsistensi pemerintah tampaknya tidak maksimal sehingga impor ilegal semakin marak," katanya kepada Bisnis.

Dia mengatakan besaran tarif bea masuk (BM) antara komoditas bahan baku, komponen, barang setengah jadi, dan barang jadi, tidak harmonis sehingga tidak merangsang investasi.

Impor bahan baku seperti baja dan plastik, misalnya, dikenai BM 5%-12,5%, sedangkan untuk barang setengah jadi malah ditetapkan 0% dan produk jadi 5%-15%. "Kondisi seperti ini sangat tidak sehat," katanya.

Progrowth

Ketua Umum Federasi Gabungan Elektronik (F-Gabel) Rachmat Gobel menjelaskan kebijakan pemerintah dalam 5 tahun ke depan harus tetap mengedepankan prinsip progrowth, projob, propoor.

Menurut dia, peran Departemen Keuangan sangat vital dalam mendukung tiga pilar kebijakan tersebut. "Periode 5 tahun ke depan sangat menentukan arah pembangunan industri nasional. Kesempatan kita hanya saat ini," jelasnya.

Sesuai data Gabel, ekspor produk elektronik nasional saat ini masih di bawah 10% dari total ekspor Asean sebesar US$210 miliar.

Rachmat menekankan pentingnya pemerintah berpijak pada rekomendasi pengusaha dalam National Summit 2009. Pada 2015, ekspor elektronik ditargetkan naik dua kali lipat dari US$7,69 miliar menjadi US$15 miliar, peningkatan investasi asing sebesar US$2 miliar, dengan penyerapan tenaga kerja 170.000 orang.

Apabila estimasi itu tercapai, lanjutnya, penjualan lokal bisa ditingkatkan dari Rp9 triliun menjadi Rp37 triliun. "Untuk itu, pemerintah perlu memberi teladan dalam menggunakan produk lokal pada setiap proyek APBN." (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia

'Perlu sanksi untuk atasi kasus kepabeanan' Sengketa di Pengadilan Pajak terus naik

JAKARTA: Kalangan importir mendesak Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi memberlakukan sanksi tegas kepada petugas pemeriksa Ditjen Bea dan Cukai yang kerap kalah beperkara di Pengadilan Pajak.

Tuntutan tersebut muncul seiring semakin meningkatnya jumlah sengketa kepabeanan yang masuk ke Pengadilan Pajak setiap tahun. Terhitung sejak 1 Januari 2009 sampai dengan 24 September 2009, jumlah sengketa kepabeanan sudah mencapai 3.353 berkas perkara. (Bisnis, 22 Oktober)

Dari sisi keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak menunjukkan sebagian besar adalah memenangkan gugatan dari wajib pajak.

Seorang importir bahan baku plastik yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan sanksi tegas tersebut dimaksudkan agar petugas Ditjen Bea dan Cukai berhati-hati dalam menerbitkan keputusan.

"Petugas pemeriksa sekarang itu nothing to loose [tanpa beban] dalam membuat keputusan karena tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka seandainya kalah di Pengadilan. Yang jelas-jelas sudah benar, mereka nggak mau dengar. Akibatnya pengusaha harus mengajukan keberatan ke Pengadilan Pajak," katanya, kemarin.

Menurut dia, perilaku petugas pemeriksa yang terkesan kejar setoran dan haus penilaian kinerja tersebut sangat merugikan importir karena ketika mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak, importir harus membayar uang jaminan.

"Untuk beperkara di Pengadilan butuh biaya besar. Akibatnya, pengusaha kehilangan daya saing karena tidak bisa melakukan efisiensi biaya."

Selain itu, lanjutnya, dampak lainnya adalah importir menjadi takut untuk memanfaatkan fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah (BM DTP) yang diberikan. "Karena fasilitas BM DTP yang diberikan 5 tahun lalu sekarang diungkit-ungkit sama petugas Bea Cukai yang baru. Jadi yang sekarang nggak berani untuk memanfaatkannya lagi," ujarnya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Supriadi saat dikonfirmasi mengenai persoalan ini mengatakan apabila ditemukan pelanggaran kode etik dalam pelaksanaan tugas, petugas pemeriksa akan diperiksa oleh kepatuhan internal. "Kalau kinerjanya tidak memenuhi standar, dibina oleh atasan langsung," katanya.

Dalam persoalan keputusan yang diambil oleh Pengadilan Pajak, menurutnya, bukan pada konteks salah atau benar, melainkan dalam konteks adil atau tidak.

"Ada evaluasi kalau kalah di Pengadilan pajak, kami dapat banding ke Mahkamah Agung."

Hakim Pengadilan Pajak Kusumasto Subagio sebelumnya meminta agar Ditjen Bea dan Cukai lebih terbuka kepada wajib pajak atas penyelesaian sengketa yang terjadi sehingga wajib pajak tidak perlu lagi mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak.

"Kalau ada sengketa lebih baik Bea Cukai lebih terbuka, buka desk gitu. Jelaskan mengapa ada begini, dan mengapa begitu." (achmad.aris@bisnis.co.id)

Oleh Achmad Aris
Bisnis Indonesia

BTN jadi mitra WSBI

JAKARTA: PT Bank Tabungan Negara (BTN) jalin kerja sama dengan World Savings Banks Institute (WSBI) untuk mengembangkan program peningkatan jumlah penabung dari masyarakat berpenghasilan rendah.


WSBI memilih Bank BTN setelah melalui serangkaian penilaian proposal dalam kompetisi internasional yang mengangkat tema peningkatan akses layanan keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Terdapat 10 bank dari berbagai negara yang terpilih dalam program tersebut a.l. Indonesia, Kenya, Tanzania, Uganda.

Dirut BTN Iqbal Latanro mengatakan program itu akan membantu masyarakat berpenghasilan rendah membangun stabilitas keuangan keluarga. "Ini adalah gerakan moral positif dan perlu didukung oleh semua pihak," ujarnya dalam keterangan pers, kemarin. (Bisnis/HTA)

Izin 6 broker terancam dicabut

Modal perusahaan pialang asuransi lebih banyak berbentuk fisik

JAKARTA: Sejumlah broker asuransi dan reasuransi bermodal cekak dikenai status pembatasan kegiatan usaha (PKU) dan kemungkinan besar berlanjut pencabutan izin usaha pada Januari 2010.

Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata mengatakan jumlah perusahaan yang akan dikenai sanksi serupa akan terus bertambah karena pialang yang belum memenuhi persyaratan modal Rp1 miliar hingga akhir tahun ini masih cukup banyak.

"Yang dikenai sanksi PKU ada beberapa, saya tidak ingat tepatnya, tetapi sekitar lima hingga enam perusahaan. Pencabutan izin kemungkinan pada Januari," ujarnya di Jakarta pekan ini.

Beberapa pelaku industri menyatakan sebagian broker asuransi dan reasuransi memang sengaja tidak memenuhi persyaratan permodalan tertuang dalam PP No. 39 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Alasannya, mereka akan konversi menjadi perusahaan agen yang belum diatur dengan berbagai persyaratan ketat sebagaimana broker, tetapi tetap bisa memperoleh bisnis. Hal itu dibantah keras oleh Isa.

Regulator juga melihat track record untuk mendapat izin perusahaan agen. "Kalau perusahaan sampai dicabut, saya jamin paling tidak selama 5 tahun mereka tidak bisa masuk ke industri perasuransian," ujar Isa.

Beberapa waktu lalu regulator memerintahkan beberapa perusahaan pialang untuk mengaudit ulang laporan keuangannya dengan auditor independen.

Biro Perasuransian mengatakan terdapat perusahaan broker yang mengklaim membukukan ekuitas di atas Rp1 miliar seperti yang dipersyaratkan dalam PP No. 39/2008. Namun, dicurigai beberapa account dalam laporan keuangan dinyatakan dengan tidak benar, walaupun sudah berbentuk laporan yang sudah diaudit.

Dari perusahaan yang sudah memenuhi ekuitas Rp1 miliar, beberapa terlihat mencantumkan aset bodong. Seperti, tambahan modal berbentuk kendaraan bermotor atau ruko. "Padahal kan tambahan aset harus masuk melalui penambahan modal. Penambahan modal di perasuransian harus cash, tidak ada penambahan modal dalam bentuk ruko atau kendaraan," ujarnya.

Selain itu, ada perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan ekuitas begitu tinggi, padahal di laporan keuangan mereka tidak tercantum peningkatan profit yang besar-besaran.

Merger

Ketua Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) Mira Sih'hati mengatakan pihaknya akan mengangkat masalah permodalan dalam rapat umum anggota dalam waktu dekat ini. Mira mengatakan masih ada waktu yang bisa diupayakan menyelamatkan anggota.

"Waktunya memang sudah sangat mepet, tetapi selama masih ada jeda waktu masih bisa diupayakan jika memang anggota mau melakukan upaya. Mungkin kami bisa bantu untuk upaya merger atau akuisisi," tukasnya.

Total perusahaan pialang saat ini sebesar 143 broker asuransi dan 21 broker reasuransi. Dalam 2 tahun terakhir, Biro Perasuransian bersikap jauh lebih tegas dan tidak segan untuk mencabut izin usaha perusahaan penunjang yang dinilai tidak memenuhi ketentuan.

Terbukti dengan pencabutan izin beberapa perusahaan pialang akhir-akhir ini di antaranya PT Tiara Okta Pratama, PT Anserv Prima Pacific dan PT Metanoia Mulia Sejahtera Reinsurance Brokers.

Tahun lalu, Bapepam-LK mencabut izin PT Trust Piares Internasional, PT Alternative Risk Solution Insurance Broker, PT Adjastama Agung Broker Asuransi, dan PT Bhirawa Rukti Astiga. (hanna.prabandari@bisnis.co.id)

Oleh Hanna Prabandari
Bisnis Indonesia

Cegah krisis kepercayaan

Hari-hari ini kita disuguhi tontonan yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Begitu terang benderang praktik busuk makelar perkara di institusi penegak hukum dipertontonkan secara vulgar. Selain mengusik rasa keadilan, hal itu mengonfirmasikan persepsi Indonesia sebagai negeri terkorup, yang benar-benar nyata di depan mata.

Kita khawatir pertunjukan yang disaksikan dari panggung politik dan hukum nasional itu tidak saja akan mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-yang kembali dinilai tidak tegas dan cepat dalam mengambil langkah yang diperlukan-sekaligus membalik persepsi tentang keseriusan pemerintah menegakkan hukum dan memberantas korupsi.

Dari indikasi dini, tampak bahwa pemerintah seperti kedodoran dalam menangani kasus perseteruan polisi versus komisi antikorupsi (KPK), yang kemudian sangat populer dengan analogi 'cicak' versus 'buaya' ini.

Kesan itu sulit dibantah, apalagi kemudian hajatan besar seperti National Summit terkubur oleh 'ulah' polisi menahan pejabat nonaktif KPK dalam kasus 'cicak' versus 'buaya' itu. Jelas bahwa Presiden berada dalam situasi yang sungguh sulit, seperti maju kena mundur pun kena.

Bahkan 'Tim Delapan' bentukan Presiden Yudhoyono untuk mencari fakta berkaitan dengan kasus itu pun seperti ragu-ragu dan gamang. Publik pun menduga-duga, jangan-jangan, rekomendasi tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution itu sama saja nasibnya, tak bertaring pula.

Apalagi timing pengungkapan kasus ini telah menyedot perhatian masyarakat luas termasuk pejabat negara. Akibatnya, masalah-masalah yang semestinya membutuhkan penyelesaian di depan mata, termasuk program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, tenggelam begitu saja.

Kita bahkan mendengar, jadwal sejumlah rapat menteri sejak awal pekan ini 'kacau' karena perhatian Kepala Negara banyak tersedot untuk mengurus perseteruan 'cicak-buaya' itu. Terlebih kasus tersebut menyimpan banyak misteri, termasuk oknum pejabat polisi yang terkesan begitu 'kuat dan istimewa', yang seolah tidak tersentuh bahkan oleh Presiden sekalipun.

Hal inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya. Tak mengherankan jika lantas mulai muncul persepsi baru, yang dikhawatirkan akan memicu krisis kepercayaan kepada pemerintahan.

Sungguh di situlah kita khawatir. Kita sungguh khawatir modal politik Presiden Yudhoyono yang begitu kuat, disertai legitimasi yang tinggi, dapat tergerus secara perlahan tapi pasti, jika tidak segera, setidaknya, mengesankan tindakan yang tegas dan cepat.

Di sinilah sebenarnya tantangan bagi Presiden Yudhoyono untuk menjadi man of action, sekaligus sebagai upaya untuk mencegah meluasnya krisis kepercayaan. Inilah bahaya persepsi. Bukan apa-apa. Kita tidak ingin situasi kondusif perekonomian yang telah terbentuk akhir-akhir ini berbalik arah karena penanganan kasus korupsi dan penegakan hukum yang salah arah!

bisnis.com

SBY: Ganyang mafia

JAKARTA: Presiden memprioritaskan pemberantasan mafia berkaitan dengan hukum dalam arti luas yang merusak rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga menimbulkan kerugian materiel.

"Mafia itu bisa di mana-mana. Bisa di lembaga kejaksaan, kepolisian, pengadilan, KPK, Polri, bisa di departemen-departemen, bisa yang berkaitan dengan pajak hingga bea cukai," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers seusai sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, di Jakarta, kemarin.

Presiden mengajak masyarakat membongkar, membersihkan dan memberantas mafia-mafia ini. Dengan demikian hukum akan tegak dan pasti dan tidak perlu ada yang menjadi korban. "Ini adalah program pilihan pertama," tegasnya.

Presiden meminta korban mafia hukum untuk melaporkan kepada dirinya melalui Kotak Pos (PO Box) 9949 dan memberikan kode GM. "Yang artinya ganyang mafia," tegas SBY.

SBY menjamin identitas pelapor akan dijaga kerahasiaannya. "Tentu saja identitas pelapor akan dijaga kerahasiaannya."

SBY mengakui, upaya untuk menjalankan program ini tidak bisa langsung terlihat hasilnya. "Saya tahu tidak sekali, upaya langsung bersih. Tapi kita yakin kalau sungguh-sungguh hal itu akan tercapai," tandasnya.

Menurut SBY, mafia hukum adalah mereka-mereka yang melakukan kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya, makelar kasus, suap menyuap, jual beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak lain, dan pungutan yang tidak semestinya.

Menurut Kepala Center for Information and Development Studies (CIDES) Umar Juoro, ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional digelayuti persepsi ketidakpastian hukum.

"Jika kasus konflik antara Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] terus berlangsung, upaya pemerintah menarik investasi asing untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dibayangi sentimen buruk. Investor akan berpikir kepastian hukum tidak membaik bahkan makin memburuk," katanya, seperti dikutip Bloomberg. (Ratna Ariyanti/Arif Gunawan Sulistyo)

Bisnis Indonesia

Pemprov Riau lanjutkan program sapi untuk warga miskin

PEKANBARU: Dinas Peternakan Provinsi Riau melanjutkan program sapi untuk keluarga miskin di 11 kabupaten/kota, sebanyak 1.140 ekor sapi akan dibagikan dalam waktu dekat.

“Setiap kabupaten akan mendapatpkan jatah 100 ekor dengan pembagian menurut jalur dinas peternakan setempat. Tahap pertama didatangkan sebanyak 600 ekor, selanjutnya akan menyusul setelah proses karantina sebelum dikirim lagi ke Riau melalui jalur laut di Pelabuhan Dumai,” ujar Patrianov, Kepala Dinas Peternakan Riau, dalam situs resmi pemprov.

Menurut dia, untuk kabupaten yang baru dimekarkan seperti Meranti belum mendapatkan program sapi sapi untuk warga miskin. (Bisnis/bas)

Tumpang-tindih lahan dituntaskan 'DPR bisa review UU penghambat investasi'

JAKARTA: Pemerintah segera membereskan masalah tumpang-tindih penggunaan lahan dan tata ruang di berbagai sektor serta memberikan kepastian hukum untuk investasi.


Hal ini merupakan satu dari 15 program prioritas yang dianggap mendesak untuk dijalankan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan dalam 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II, akan dirumuskan mekanisme pembenahan sebagai solusi dari permasalahan ini. Salah satu solusi yang disiapkan adalah revisi peraturan mengenai akuisisi lahan.

Pembenahan di sektor ini diharapkan dapat lebih memberdayakan lahan-lahan yang selama ini telantar dan menggerakkan perekonomian dengan catatan penggunaan lahan tersebut tidak mengganggu kawasan hutan lindung.

"Bukan rahasia lagi, kadang-kadang UU tidak sinkron antara UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Lingkungan Hidup, demikian juga tata perizinan dan penggunaan di lapangan," ujar Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna, kemarin.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan pemerintah segera mengkaji ulang dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata ruang.

"Mulai dari review, sinkronisasi kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata ruang, pertimbangan standar prosedur operasional, integrasi data. Hal-hal yang tumpang-tindih harus diselesaikan," ujarnya.

Menanggapi rencana pemerintah itu, pengusaha mengusulkan agar kewenangan pemerintah pusat diperluas ke sektor agraria (pertanahan), kehutanan dan pertambangan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi nasional.

Chairperson Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Fazwar Bujang berpendapat pascapenerapan otonomi daerah kewenangan pusat semakin terbatas. Kondisi itu pada satu sisi menyebabkan kebijakan ekonomi nasional berjalan tak selaras.

Untuk itu dia mengusulkan disinkronisasi kebijakan terkait dengan penggunaan lahan bisa diselesaikan apabila DPR mengambil langkah untuk mengkaji ulang (review) UU yang selama ini dianggap sebagai biang keladi terhambatnya pertumbuhan investasi. UU itu di antaranya UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Lingkungan Hidup.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy berharap pemerintah tetap berkomitmen memberikan kepastian hukum terhadap investasi di dalam negeri.

Menurut ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ikhsan Modjo, kebijakan di bidang infrastruktur jangka pendek harus terfokus pada harmonisasi regulasi. "Utamanya berkaitan dengan pengadaan lahan mengingat pembangunan fisik infrastruktur selama ini harus melewati proses birokrasi yang panjang dan lama."

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Herman Afif Kusumo berpendapat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II harus bisa menciptakan sinkronisasi antardepartemen, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih regulasi di lintas sektoral.

Kebijakan khusus

Di sisi lain, developer berharap pemerintah segera merealisasikan komitmen kemudahaan izin dan pembenahan masalah tata ruang dalam kebijakan khusus yang dapat berlaku hingga ke daerah, karena sebagian besar pengurusan izin ada di pemerintah kabupaten/kota.

Ketua DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) F. Teguh Satria mengatakan selama ini biaya pengurusan izin di daerah tidak seragam dan umumnya membutuhkan waktu yang lama, sehingga menghambat investasi dalam penyediaan rumah.

Sementara itu, Wakil Sekjen Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HPPI) Herman Heru Suprobo mengemukakan percepatan pembangunan infrastruktur di setiap daerah dapat memotong biaya produksi 10%-15% dari total biaya.

Sedangkan penyelesaian tumpang-tindih kebijakan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah terutama masalah pembebasan lahan yang selalu mengganjal tercapainya target pembangunan pemerintah harus dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Pembebasan Lahan, khususnya bagi kepentingan publik. "Dengan penyelesaian kebijakan tumpang-tindih, kami perkirakan bisa memotong high cost sebesar 30-40% dari total cost."

HPPI optimistis dengan langkah-langkah tersebut target investasi sebesar Rp2.100 triliun per tahun dan target pertumbuhan ekonomi di atas 7% setiap tahun bisa dicapai. (16/ Nurbaiti/Achmad Aris/Tularji/ /M. Fatkhul Maskur) (dadan. muhanda@bisnis.co.id/ratna. ariyanti@bisnis.co.idyusuf.waluyo @bisnis.co.id)

Oleh Dadan Muhanda, Ratna Ariyanti & Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia

Yayasan Unilever lantik 35 petani penggerak

JAKARTA (bisnis.com): Yayasan Unilever Indonesia (YUI) melantik 35 petani penggerak dari tujuh kabupaten yang berada di wilayah Jateng dan Jatim di Ndalem, Ngabean Yogyakarta.


Setiap kabupaten diwakili oleh lima orang. Ketujuh kabupaten itu adalah Bantul, Kulonprogo, Nganjuk, Madiun, Trenggalek, Ngawi, dan Pacitan. Petani Penggerak lahir sebagai strategi memandirikan petani demi keberlanjutan program di masa datang.

Melalui metode sekolah lapang, para petani penggerak nantinya menjadi pemandu, fasilitator dan motor bagi petani lainnya. Menurut siaran persnya, YUI menyelenggarakan program ini bersama mitra strategisnya Universitas Gadjah Mada dan LSM Farmers' Initiatives for Food Ecological Livelihood and Democracy (FIELD).

Direktur PT Unilever Indonesia Tbk Joseph Bataona mengatakan tujuan dari program Petani Penggerak ini adalah untuk mempersiapkan para petani unggulan sebagai motor penggerak bagi petani lainnya, guna menunjang keberlanjutan program pemberdayaan petani di masa datang.

"Program pemberdayaan petani kedelai hitam melalui petani penggerak ini adalah upaya menuju kemandirian para petani agar lebih berdaya dan produktif dengan hasil panen yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan misi Unilever, memberikan kehidupan yang lebih baik," katanya.

General Manager Yayasan Unilever Indonesia Sinta Kaniawati mengatakan sebelumnya petani diberikan dua kali pelatihan dan pembekalan. Pelatihan pertama dilakukan selama dua hari mengenai evaluasi partisipatif karena mereka akan menjadi fasilitator. Mereka juga diajarkan bagaimana menjalankan organisasi petani, melakukan analisa hubungan dengan pihak-pihak terkait, dan prinsip dasar komunikasi.

Pada pelatihan kedua, petani penggerak diberikan pembekalan mengenai teknik berkomunikasi dan meyakinkan petani lainnya. "Agar kelak setelah menjadi fasilitator, petani penggerak dapat berinteraksi dan menularkan semangat, pengetahuan dan keterampilannya kepada petani-petani lain di daerahnya." (tw)

Manajemen pergulaan nasional perlu diperbaiki

JAKARTA (bisnis.com): Pengusaha gula mendesak pemerintah memperbaiki manajemen pergulaan nasional sehingga stok komoditas tersebut bisa mencapai 1,2 juta ton pada akhir tahun mengingat konsumsi dalam negeri belum sepenuhnya tercukupi.


Desakan tersebut akan diusulkan pada forum National Summit 2009 yang akan membahas masalah perdagangan dan pangan, cakupan manajemen pergulaan tersebut antara lain mengenai produksi, perdagangan, dan penyaluran atau distribusi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur mengatakan usulan tersebut akan disampaikan karena stok gula di Tanah Air belum mampu memenuhi konsumsi untuk tahun depan.

Menurut dia, stok gula dalam negeri harus mencapai 1 juta ton hingga 1,2 juta ton pada akhir tahun untuk memasok kebutuhan pada tahun mendatang.

"Seharusnya stok gula pada akhir tahun bisa 1 juta sampai 1,2 juta ton. Kalau kurang stoknya susah untuk memenuhi kebutuhan kita, maka kami akan desak bagaimana manajemen pergulaan ke depan harus diperbaiki," katanya di sela-sela National Summit 2009 di Jakarta hari ini.

Natsir yang juga anggota Komisi XI mengatakan stok gula saat ini baru mencapai 200.000 ton sampai 400.000 ton berarti pertanda stok gula masih kurang. Keadaan tersebut, katanya, dikhawatirkan mengerek harga komoditas manis tersebut mencapai level tinggi hingga Rp10.000 per kg. (tw)

DKP minta tambahan anggaran Rp1,6 triliun

JAKARTA (Antara): Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) minta tambahan anggaran sebesar Rp1,6 triliun melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2009.

"Saya usulkan kepada Menko (Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa) soal penambahan anggaran ini karena sisa anggaran DKP tidak besar sekitar Rp200 miliar," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Jakarta, hari ini

Dia juga meminta agar penambahan anggaran melalui APBN-P 2009 dapat dipercepat sehingga dapat dikeluarkan pada bulan Januari 2010. "Menkeu setuju. Kita juga akan bicarakan ini dengan Komisi IV DPR RI nanti," ujar Fadel.

Tambahan anggaran tersebut, menurut dia, akan difokuskan untuk empat hal. Pertama, membenahi infrastruktur di daerah nelayan dan pesisir, termasuk memberikan fasilitas air bersih, tangki minyak. Kedua, pemberian benih ikan hingga rumput laut secara cuma-cuma kepada pembudidaya. Ketiga, yakni menjalankan konsep "minapolitan" bagi pesisir, nelayan, dan pulau-pulau kecil.

Dia menjelaskan bahwa konsep "minapolitan" adalah memberdayakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan komoditas unggulan daerah masing-masing. Pembedaan produk menjadi "branding" bagi satu daerah menjadi sangat penting karena untuk menciptakan produk unggulan.

"Ide ini akan dibantu oleh Departemen Pekerjaan Umum. Kita akan membangun kampung-kampung lele, bandeng, dan produk khusus perikanan lainnya sebagai `branding` di setiap daerah," tegas Fadel.

Untuk mendukung berjalannya program ketiga ini, menurut dia, telah ada 56 daerah yang akan dijadikan sebagai "Pilot Project" konsep minapolitan yang tersebar di 33 provinsi.

Hal keempat yang menjadi penting, lanjut Fadel, yakni pemberdayaan penyuluh perikanan. Hal ini penting untuk memberikan pembelajaran bagi nelayan lebih besar lagi.(yn)

Bila Trunojoyo merasa dicatut

Cerita tentang Trunojoyo adalah kisah tentang sadisme. Kisah Trunojoyo juga merupakan cerita tentang pembantaian ribuan ulama penjaga moral bagi bumi pertiwi.

Trunojoyo yang kemudian bergelar Panembahan Maduretno adalah seorang pemberontak besar dan pahlawan pada zamannya. Dia melawan kekuasaan Raja Mataram Amangkurat I, anak Sultan Agung sekaligus cucu Panembahan Senopati. Hebatnya, Trunojoyo berhasil mengalahkan Amangkurat I yang kemudian meninggal dunia dalam pelariannya di Tegalwangi sehingga sering pula disebut sebagai Amangkurat Tegalarum.

Trunojoyo menentang kekuasaan Amangkurat I dengan dukungan Karaeng Galesong dan Pangeran Giri. Ulama besar Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, menyebut Trunojoyo sebagai pemimpin perang sabil.

Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat I menggandeng VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan menyediakan imbalan 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Karena perang lebih lama dari perkiraan, Amangkurat harus menambah lagi 20.000 rial. Dan sejak itu VOC dibebaskan dari biaya cukai memasukkan barang ke seluruh pelabuhan di Jawa, serta berhak mendirikan loji (kantor) di berbagai lokasi.

Amangkurat II sebagai penerus Amangkurat I berkoalisi dengan VOC dan Aru Palaka. Mereka berhasil memukul balik Trunojoyo. Kapten Yonker, orang Ambon yang jadi pemimpin pasukan Belanda, dapat menangkap Trunojoyo di Gunung Kelud pada 27 Desember 1679.

Yonker berjanji akan memperlakukan Trunojoyo sebagai tawanan perang. Namun apa daya, Amangkurat II justru memilih cara sangat sadis untuk menghabisi Sang Pahlawan.

Hukuman mati terhadap Trunojoyo juga diikuti dengan hukuman mati terhadap Pangeran Giri beserta ribuan ulama penjaga moral di Jawa. Seperti kita tahu, Giri sejak zaman akhir Majapahit hingga awal berdirinya Mataram adalah otoritas keagamaan yang paling disegani di Jawa.

Hamka menyebutkan Yonker yang kecewa dengan perlakuan Amangkurat II terhadap tawanannya akhirnya berkomplot menentang VOC dan 10 tahun kemudian dia dihukum mati di Batavia.

Babad Tanah Jawi mengungkapkan betapa sadis perlakuan Amangkurat terhadap tawanannya yang pernah memberontak itu. Tubuh Trunojoyo hancur dihujani keris oleh puluhan orang, lalu jantungnya dibagi-bagikan untuk dimakan mentah-mentah oleh para kerabat raja. Kepalanya dipenggal, dijadikan alas kaki untuk para abdi dalem, kemudian dihancurkan.

Amangkurat lalu menyerbu Giri dan membunuh ratusan santri yang mendukung Pangeran Giri dan Trunojoyo.

H. J. De Graaf menyebutkan bahwa pembunuhan ribuan ulama dan santri mula-mula dilakukan oleh Amangkurat I yang memicu banyak ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya.

Putra Mahkota (yang kemudian menjadi Amangkurat II) bersekutu dengan Trunojoyo untuk menyingkirkan Amangkurat I. Langkah ini berhasil menggulingkan Amangkurat I, namun Putra Mahkota ingkar janji dan kemudian berselisih dengan Trunojoyo. Dan pembunuhan terhadap para ulama tetap terjadi pada pemerintahan Amangkurat II.

Melawan penguasa

Baik versi De Graaf, versi Hamka, maupun Babad Tanah Jawi, menggambarkan Trunojoyo sebagai seorang pemberani. Dia sanggup melawan otoritas tertinggi di wilayahnya, baik otoritas politik berupa Raja Mataram maupun otoritas ekonomi bernama VOC.

Buah bibir

Trunojoyo sempat berhasil secara gemilang meskipun kemudian kalah telak. Namanya pun diabadikan sebagai pahlawan di negara yang terbentuk 266 tahun setelah dia meninggal.

Nah, belakangan ini nama Trunojoyo menjadi buah bibir masyarakat, terkait dengan rekaman yang beredar yang menyangkut sengketa tentang cicak dan buaya. Sayangnya, dalam kisah belakangan ini, namanya dilekatkan dengan kata-kata yang berkonotasi negatif seperti rekayasa, konspirasi, korupsi, suap, serta kriminalisasi.

Pada awalnya, tidak semua kata itu berkonotasi negatif. Rekayasa, misalnya, sebenarnya kata-kata netral. Dalam dunia akademis, rekayasa merupakan terjemahan dari engineering, sebuah bidang ilmu dan keahlian yang sangat luas dan sangat berguna bagi kemanusiaan.

Namun, rekayasa dalam pengertian mengadakan sesuatu secara dibuat-buat, memang hal yang menyebalkan. Sayang bahwa konotasi negatif justru lebih dominan.

Ah, kalau saja Trunojoyo masih bisa mendengar desas-desus yang mencatut namanya itu dalam cerita reptil lebih dari 330 tahun setelah dia dihukum mati oleh Amangkurat II, mungkin dia akan marah lalu memberontak lagi. Bukankah zaman dulu, Trunojoyo berani melawan titah Amangkurat? (widodo@ bisnis.co.id)