Kamis, 14 Mei 2009

Membangun Spirit Politikus Perempuan

Dunia politik bagi perempuan sepertinya masih tabu di negara ini. Dalam pemilu legislatif pada 9 April saja, jumlah kouta perempuan masih minim, yakni hanya 30,74 persen. Jauh di bawah separo jumlah total seluruh caleg. Tampaknya, pengaruh feodalisme masih meracuni kaum perempuan. Image perempuan masih identik dengan ibu rumah tangga, pengatur kebutuhan keluarga, dan berdiam menunggu sang suami datang dari kerja sebagaimana tradisi yang pernah diterapkan pada zaman kolonialis. Padahal, dalam era perjungan kemerdekaan, banyak perempuan yang sanggup membuktikan bahwa dirinya bisa berperan lebih di dunia politik bersama kaum adam lainnya.Pada Mei ini, tepatnya pada 11 Mei, kita -khususnya kaum hawa- akan kembali diingatkan dengan sosok Trimurti. Dialah pejuang perempuan yang pernah hidup pada masa kolonialiseme Belanda. Kontribusinya dalam era perjuangan tidak dapat kita pandang sebelah mata. Demi membebaskan rakyat dari belenggu penindasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dia rela jauh dari keluarga. Bahkan, sempat dipenjara sampai tiga kali dalam beberapa masa.Trimuri lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 11 Mei 1912 dengan nama lengkap Surastri Karma Trimurti. Sebagai seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga bangsawan atau priayi, Trimurti memang hidup dalam kondisi yang serba kecukupan jika dibandingkan dengan anak-anak rakyat jelata lainnya.Ketika baru lahir, ayahnya Mangunsuromo menjabat sebagai carik atau juru tulis daerah. Selang beberapa tahun, ayahnya diangkat lagi menjadi seorang camat. Posisi tersebut membuat keluarga Mangunsuromo mendapatkan suatu jaminan kesejahteraan hidup dari pemerintah pada saat itu. Saat anak-anak sebayanya masih jarang yang berpakaian, Trimurti sudah dapat berpakaian. Meski begitu, perlakuan yang mencerminkan budaya feodalisme masih tetap dirasakan.Sebagai manusia yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan, Trimurti menyadari betul bahwa eksistensinya dipandang lemah oleh keluarganya. Ketika ingin masuk dalam dunia pendidikan, Trimurti hanya dimasukkan ke Volksschool atau sekolah desa atau Tweede Inlandsche School atau biasa disebut Sekolah Ongko Loro karena masa pendidikannya hanya berlangsung selama dua tahun.Meski hanya masuk Sekolah Ongko Loro, tekadnya ingin menjadi orang yang berkecerdasan sama dengan mereka yang bersekolah di HIS sangat kuat. Terbukti, dia mampu lulus dengan prestasi cemerlang. ***Trimurti memang sosok perempuan anak keluarga bangsawan yang berbeda dari kebanyakan. Dalam dirinya, terbentuk suatu kepedulian terhadap orang di sekitarnya. Dia merasa kasihan melihat anak-anak di sekitarnya bermain sembari bertelanjang akibat kemiskinan. Dari kepedulian itulah, setelah menginjak dewasa, Trimurti keluar dari posisinya sebagai seorang guru, kemudian masuk dunia politik. Dia mulai mengenal siapa Soekarno dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Dengan pertimbangan yang mantap, dia memutuskan masuk ke PNI Partindo, pecahan PNI.Bergabungnya Trimurti dalam dunia politik semakin memperlebar sepak terjangnya mengemban misi pembebasan rakyat dari belenggu penjajah. Dari aktivitasnya itu, dia sempat dipenjara di Bulu, Semarang, untuk kali pertama oleh pemerintah kolonialis Hindia Belanda karena diangap membahayakan. Untuk kali kedua ketika anaknya berusia 5 tahun, dirinya harus kembali divonis hukuman penjara. Dia dipenjara kali ketiga ketika hamil anak kedua. Dari kisah Trimurti itu, kita sebagai perempuan seharusnya mampu mengambil hikmah atas arti perjuangan kaum perempuan di dunia politik. Trimurti telah membuktikan bahwa perempuan mampu berdikari membebaskan segala ketertindasan di tengah masyarakat melalui dunia politik.Dunia politik memang sangat strategis untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang masih tertindas. Melalui aktivitas politik, posisi perempuan sebagai pemimpin bangsa yang membebaskan masyarakat dari kemiskinan, krisis ekonomi, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagianya dapat diwujudkan.Di negara ini, persoalan semacam itu masih terjadi. Jika Trimurti yang hidup pada zaman kolonial mampu membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan, perempuan sekarang yang hidup pada era reformasi harus mampu sebagaimana Trimurti membebaskan masyarakat dari belenggu krisis ekonomi yang kini masih menyelimuti. Kita bangun spirit bahwa tidak hanya kaum laki-laki yang mampu berbuat begitu.Sayang, perempuan sekarang di negara ini, ternyata, masih enggan berperan serta jika melihat pemilu legislatif kemarin. Politik masih saja identik dengan dunia kaum laki-laki. Mengapa ini masih saja terjadi di negara yang telah mendapatkan kemerdekaan selama 64 tahun itu? (*)* Heri Kurniawan, aktivis gender, tinggal di Jogjakarta

Tidak ada komentar: