Senin, 07 Juni 2010

Golkar Resmi Dorong Peningkatan Syarat PT 5 Persen

Senin, 07 Juni 2010 ]
JAKARTA - Partai Golkar benar-benar serius mendorong peningkatan syarat parliamentary threshold (PT) atau batas pengumpulan suara untuk mendapatkan kursi DPR, dari 2,5 menjadi 5 persen. Besaran persentase tersebut menjadi salah satu rekomendasi rakornas yang berakhir kemarin (6/6).

Angka tersebut masuk dalam poin kedua rekomendasi. Yaitu, DPP Partai Golkar diminta memformulasikan kebijakan penyederhanaan demokrasi lewat penyederhanaan parpol. Selanjutnya, menaikkan threshold, baik elektoral atau parlemen, dengan kisaran 5 persen.

"Mari kita tata partai agar semakin terkonsolidasi," ujar Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso seusai acara penutupan rakornas di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, kemarin (6/6).

Dia membantah, dorongan peningkatan syarat PT menjadi 5 persen itu untuk menghambat partai baru atau kecil. Menurut Priyo, tidak ada jaminan partai besar yang ada sekarang bisa mempertahankan kepemilikan anggota dewan di DPR di atas 5 persen. "Seperti juga tidak ada jaminan partai baru tidak mendapatkannya," tambah wakil ketua DPR tersebut.

Menurut dia, peningkatan PT adalah mekanisme natural di sebuah negara demokrasi. Peleburan partai dengan partai lain adalah hal biasa. "Jadi, biarkan rakyat yang memberikan vonisnya. Peleburan itu sudah mekanisme yang natural, sudah demokratis," tandas Priyo.

Dia menambahkan, usul Golkar menyangkut peningkatan PT tersebut belum final. Masih ada pembicaraan dengan partai-partai lain saat nanti berada dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang segera dilakukan di DPR. "Kami semua akan berunding satu meja. Tidak hanya partai koalisi, tapi tentu juga ada PDIP, Hanura, dan Gerindra."

Selain soal PT tersebut, rekomendasi rakornas adalah mekanisme pemilihan kepala daerah. Peserta rakornas meminta adanya pembahasan ulang tentang mekanisme pemilihan gubernur. Apakah tetap dipilih secara langsung seperti sekarang atau oleh DPRD, atau kombinasi pilihan DPRD dan presiden. Untuk pemilihan bupati/wali kota, mereka tetap setuju pemilihan dilakukan secara langsung.

Rekomendasi lain, rakornas meminta DPP mengkaji kebijakan duet pilkada gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati. Apakah merupakan duet sejak awal dipilih atau berdasar penunjukan. Menurut peserta rakornas, selama ini bulan madu antara pemimpin tingkat satu dan dua di daerah-daerah hanya berlangsung satu tahun. Empat tahun lain terjadi pertentangan politik di antara dua pimpinan tersebut.

Dalam penutupan kemarin, peserta rapat juga membentuk forum legislator se-Indonesia (pusat dan daerah). Ketua Umum Aburizal Bakrie tidak hadir. Prosesi penutupan diwakilkan kepada Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham. (dyn/c2/tof/jp.com/s)

Pemerintah Siap Mempertimbangkan Usul PT 5 Persen

Minggu, 06 Juni 2010 ]
JAKARTA - Upaya penyederhanaan partai politik dengan menambah angka parliamentary threshold (PT) atau batas suara untuk berhak mendapat kursi di DPR, dari 2,5 menjadi 5 persen, terus berembus. Pemerintah juga sudah siap mempertimbangkan usul tersebut untuk dikaji lebih lanjut.

"Kalau saya lihat, usul menaikkan indeks (PT) itu untuk penyederhanaan jumlah partai," ucap Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta kemarin (5/6).

Menurut dia, penyederhanaan partai politik tersebut sebenarnya sudah menjadi semangat bersama. Bahkan, itu telah dimulai sejak penerapan syarat electoral threshold (ET) pada Pemilu 2004.

Namun, saat ditanya tentang kepastian persentase yang diajukan pemerintah, Gamawan belum mau menyebut. "Kami pelajari dulu, nanti debatable kalau (disampaikan) sekarang," elaknya.

Meski demikian, dia menegaskan bahwa semangat penyederhanaan yang dimulai sejak Pemilu 2004 itu harus dilanjutkan. "Boleh multipartai, tapi lebih disederhanakan lagi saja," imbuh mantan gubernur Sumatera Barat tersebut.

Gamawan menambahkan, pihaknya masih mempertimbangkan sejumlah opsi terbaik. Misalnya, usul penerapan PT hingga ke tingkat daerah. Sebab, hingga saat ini, ambang batas kepemilikan kursi di parlemen tersebut memang baru diterapkan di tingkat pusat.

Menurut dia, memang muncul potensi kerancuan jika PT hanya diterapkan di tingkat pusat. "(Penerapan hingga ke daerah) itu saya kira baik juga. Jadi, kita coba mengkaji semuanya," imbuh Gamawan.

Usul menaikkan PT menjadi 5 persen sempat digulirkan sejumlah tokoh Partai Demokrat dan Partai Golkar. Kedua partai pemilik kursi terbesar di DPR itu menghendaki agar wakil rakyat di parlemen nanti hanya berasal dari 6-7 partai. Usul yang disampaikan terkait dengan mulai berjalannya pembahasan revisi terbatas UU Pemilu di DPR itu praktis sudah menuai reaksi penolakan dari partai tengah dan kecil. Pada Pemilu 2009, dengan PT 2,5 persen, yang lolos ke Senayan hanya 9 parpol.

Dalam rakornas Golkar yang dimulai kemarin, agenda tersebut juga menjadi salah satu pembahasan utama. "Kita diskusikan lagi dengan baik dan dalam, silakan kader daerah sumbang saran," ujar Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie di hadapan peserta rakornas di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, kemarin (5/6).

Menurut dia, usul peningkatan PT 5 persen yang selama ini berkembang belum menjadi keputusan resmi partai. "Sebab, di sisi lain, masih ada risiko apakah itu tidak akan memengaruhi masyarakat kita yang majemuk," katanya. (kuh/dyn/c3/tof/jp.com/s)

Mengarah Korupsi, Stop Alokasi APBN ke Parpol

[ Sabtu, 05 Juni 2010 ]
JAKARTA - Keinginan para anggota dewan mendapatkan jatah dari APBN atas nama kepentingan daerah pemilihan (dapil) terus menuai kritik. Alasan untuk memperjuangkan aspirasi konstituen tersebut terkesan dipaksakan. Bahkan, bagi-bagi dana Rp 15 miliar per anggota dewan itu berpotensi melanggar mekanisme ketatanegaraan karena fungsi eksekutif diambil alih legislatif.

''Meskipun ini sebagian kecil dari APBN, kalau disetujui, nanti mereka minta lebih banyak lagi,'' kata pengamat politik LIPI Arbi Sanit di gedung DPD, kompleks Senayan, kemarin (4/6).

Bahkan, bila (permintaan dewan) itu sampai disepakati, Arbi menuding DPR sudah terjerumus kepada praktik korupsi. ''Sebagai lembaga legislatif yang memutuskan anggaran, mereka terus memaksa eksekutif menyetujui Rp 15 miliar. Ini kan penyalahgunaan kekuasaan, ini korupsi. Makanya, harus dihentikan,'' tegasnya.

Arbi juga menolak usul baru yang kini berkembang agar APBN mengakomodasi dana pendidikan politik melalui revisi RUU tentang Partai Politik. Usul tersebut muncul dari PPP. Selain dana pendidikan politik, mereka mengusulkan penambahan anggaran ke parpol yang selama ini dihitung berdasar jumlah kursi yang didapat parpol di DPR. Bantuan negara untuk parpol Rp 21 juta per kursi saat ini dirasa kurang memenuhi kebutuhan parpol. (pri/c3/ari/jp.com/s)

Ketum Parpol Boleh Rangkap Jabatan

[ Jum'at, 04 Juni 2010 ]

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Undang-Undang Kementerian Negara yang diajukan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadijah Wahid. MK menilai, ketua umum partai politik boleh merangkap jabatan sebagai menteri karena partai merupakan instrumen untuk mendapatkan jabatan.

''Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,'' kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud M.D. dalam sidang putusan di gedung MK kemarin (3/6). Sembilan hakim konstitusi secara bulat menolak gugatan itu. Namun, terjadi concurring opinion (hakim berbeda pendapat, tetapi memiliki putusan yang sama) yang diajukan oleh hakim konstitusi Harjono dan Hamdan Zoelva.

Lily mengajukan uji materi pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi: Menteri negara dilarang merangkap jabatan sebagai: a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau, c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah.

Dalam permohonannya, Lily meminta MK menyatakan pasal 23 UU Kementerian Negara sebagai konstitusional bersyarat. Dia meminta pasal itu harus dimaknai bahwa yang dimaksud dengan ''pimpinan yang dibiayai dari APBN atau APBD'' termasuk ketua umum (ketum) atau sebutan lain di suatu partai politik.

Hakim konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, Lily Wahid tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing. Sebab, adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid itu tidak memiliki hak konstitusional sebagaimana warga negara biasa lainnya. ''Dia adalah anggota DPR.'' (aga/c4/tof)

PPP Usul Dana Pendidikan Politik yang Dilakukan Parpol Ditanggung APBN

Jum'at, 04 Juni 2010 ]

JAKARTA - Setelah era Menteri Keuangan Sri Mulyani, sejumlah usul dikemukakan para politisi di Senayan untuk memanfaatkan dana APBN. Setelah meminta dana alokasi daerah pemilihan (dapil) yang berjumlah miliaran rupiah, kemarin muncul usul dana pendidikan politik yang dilakukan parpol ditanggung APBN.

Bila usul dana dapil itu dikemukakan Partai Golkar, proposal pendidikan politik tersebut datang dari PPP. Mereka menginginkan payung hukum dana pendidikan politik itu lewat UU 2/2008 tentang Partai Politik yang kini sedang dalam pembahasan revisi.

"Sudah pada tempatnya parpol mendapatkan keuangan dari negara," kata Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin dalam pertemuan pimpinan parpol dengan badan legislasi (baleg) DPR terkait dengan revisi UU Parpol di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (3/6).

Menurut dia, dana pendidikan politik dari APBN tersebut tidak ada hubungan dengan kemandirian partai. Itu, katanya, merupakan amanat konstitusi di pasal 34 ayat 3. "Kewajiban parpol adalah memberikan pendidikan politik," tegasnya.

Politikus yang juga menjabat wakil ketua MPR tersebut lantas menjelaskan teknis anggaran pendidikan politik itu. Yang melakukan eksekusi terhadap pendidikan politik nanti adalah satuan kerja di Kementerian Dalam Negeri. Namun, dalam perencanaannya, parpol yang duduk di parlemen harus dilibatkan. "Pengelolaan dananya tidak di parpol, namun parpol harus terlibat dalam desainnya," terangnya.

Selain dana pendidikan politik, PPP mengusulkan penambahan anggaran untuk setiap kursi parpol di DPR. Saat ini setiap kursi di DPR diberi dana Rp 21 juta per tahun yang diambil dari APBN. Dana itu diserahkan ke parpol, yang besarnya bergantung jumlah kursi (lihat grafis).

PPP menilai subsidi kursi senilai Rp 21 juta/APBN itu sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan anggota DPR. "Nominalnya terserah DPR yang menentukan," tuturnya.

Ketua DPP Hanura Samuel Kotto juga sependapat dengan Lukman. Penguatan dalam kelembagaan politik bisa dilakukan melalui kaderisasi. Nah, setidaknya, negara juga memiliki keterlibatan melalui pendanaan pendidikan politik tersebut. "Ini kan menyangkut hubungan dengan konstituen. Ini juga dalam rangka menyiapkan kader partai, hasilnya juga untuk negara," kata Samuel di tempat yang sama.

Terkait dengan anggaran kursi yang diberikan pemerintah, Samuel menilai Rp 21 juta itu terlalu kecil. Jika merunut kepada miliaran dana yang dihabiskan anggota DPR saat pemilu, itu tidak sebanding sama sekali. "Ini tugas negara (untuk mendanai)," tandasnya.

Sekjen Partai Golkar Idrus Marham justru tidak sependapat dengan usul itu. Menurut dia, pendidikan politik merupakan kewajiban setiap parpol. Itu tidak memerlukan peran serta negara. Sudah menjadi kodrat parpol untuk melakukan kaderisasi sendiri-sendiri. "Itu kan syarat kemandirian, susah juga (kalau negara terlibat)," ujarnya.

Ketua Baleg Ignatius Mulyono yang menjadi pimpinan rapat mengatakan, semua usul parpol itu akan diseriusi. Dalam prosesnya nanti, usul tersebut akan dibahas secara internal oleh baleg seblum masuk pembahasan khusus di Komisi II DPR. (bay/c3/tof/jp.com/s)

Golkar Tantang Forum Terbuka untuk Jelaskan Proyek yang Menggunakan Dana APBN

[ Jum'at, 04 Juni 2010 ]
GOLKAR berjuang total untuk meloloskan dana dapil (daerah pemilihan) Rp 15 miliar per anggota DPR. Selain melobi Menkeu Agus Martowardojo, partai berlambang beringin itu bersedia melakukan forum terbuka untuk menjelaskan proyek yang menggunakan APBN tersebut.

Usul Golkar itu kini mendapat kritik dan kecaman berbagai pihak. Usul tersebut dinilai berpotensi menjadi lahan baru tempat korupsi bersemai. "Kami anggap itu bukan respons negatif, justru kami ajak respons secara terbuka (untuk menjelaskan)," kata Idrus Marham, sekretaris jenderal Partai Golkar, di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (3/6).

Menurut Idrus, Golkar sangat tegas untuk bisa merealisasikan dana bagi dapil tersebut. Sebab, formulasi yang disiapkan Golkar adalah teknis yang transparan. Setiap fraksi yang menolak bisa memberikan sumbangsih ide agar penyaluran dana alokasi dapil itu bisa lebih bermanfaat. "Kalau untuk rakyat harus tegas," ujarnya.

Tudingan adanya ketidakadilan, karena jumlah penduduk dapil tidak sama, langsung dibantah Idrus. Sebab, pembentukan dapil sudah merupakan rumusan baku. Di dalamnya terdapat komposisi jumlah penduduk yang sudah diperhitungkan. "Ini rasionalitas. Tinggal diatur sistem distribusinya," tandas dia.

Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin adalah pihak yang mengungkapkan ketidaksetujuan. Menurut dia, bukan kewajiban anggota DPR menggunakan keuangan negara. DPR justru harus menjadi kontrol atas penggunaan anggaran itu. "Kalau ini hanya menimbulkan perilaku manipulatif, sebaiknya tidak perlu," tutur Lukman.

Dia menyatakan, hingga kini Golkar pun belum melakukan komunikasi secara resmi. Perbincangan informal mungkin ada di sejumlah anggota fraksi ataupun DPP. Namun, Golkar belum memberikan desain besar atas anggaran untuk dapil itu. "Kami minta idenya dulu," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo tak menolak keberadaan dana pembangunan untuk daerah dari DPR. Menurut dia, selama ini kerja pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk daerah belum optimal. "Usul (pembangunan daerah) yang masuk ke Bappenas selalu tidak optimal," ungkapnya.

Meski demikian, dia menyatakan bahwa peran DPR nanti hanyalah menyampaikan aspirasi. Sama sekali bukan ikut mengucurkan dana ke daerah. (bay/dyn/tof/jp.com/s)

Demokrat Tidak Dukung Usul Dana Dapil Rp 15 M

[ Senin, 07 Juni 2010 ]

JAKARTA - Benih-benih tidak kompaknya koalisi kembali muncul secara terbuka. Usul Golkar untuk meloloskan dana dapil Rp 15 miliar per anggota DPR secara terbuka ditolak oleh Partai Demokrat.

Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan, partainya menolak wacana yang diusung rekan satu koalisinya itu karena akan memunculkan kerancuan wewenang antara lembaga eksekutif dan legislatif. "Kami tidak setuju kalau anggota DPR yang mengelola dana APBN untuk dapilnya," tegasnya.

Menurut dia, berdasar aturan, program pembangunan di daerah tetap harus dijalankan oleh pemerintah dan bukan domain DPR. "Satu rupiah pun dana APBN harus digunakan sesuai aturan main yang berlaku untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," imbuhnya.

Anas menambahkan, tugas anggota dewan adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerahnya, bukan mengelola dana. "Kalau itu, kami setuju," ujarnya.

Anas juga menanggapi enteng terhadap ancaman Partai Golkar bahwa akan muncul deadlock dalam pembahasan RAPBN 2011 di badan anggaran DPR jika wacana tersebut benar-benar ditolak. "Kami tidak yakin ada satu fraksi pun yang akan memboikot RAPBN," ujar Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam pesan singkatnya kemarin (6/6). Menurut dia, tidak ada fraksi yang berniat merugikan dan melawan kepentingan rakyat.

Sikap Demokrat itu selaras dengan isyarat pemerintah. Seperti diberitakan, pemerintah telah memberikan sinyal kuat akan menolak usul dana aspirasi dengan total Rp 8,4 triliun per tahun tersebut. Menyusul pernyataan Menkeu Agus Martowardojo yang mempertanyakan soal dasar hukum, Menko Perekonomian Hatta Radjasa juga berpandangan bahwa dana tersebut tidak diperlukan.

Sementara itu, internal PDIP mulai pecah. Sebelumnya, anggota FPDIP Eva Kusuma Sundari menyambut baik gagasan tersebut dengan catatan anggota DPR sebatas pengusul proyek. Sebaliknya, Arif Wibowo, anggota FPDIP lain, menolak usul Golkar itu.

''Kehendak untuk memberikan kewenangan bagi setiap anggota DPR dalam bentuk disposisi program ke dapil sebesar Rp 15 miliar setahun tidak boleh dilanjutkan,'' kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Arif Wibowo.

Menurut dia, yang seharusnya dilakukan adalah menata ulang alokasi anggaran pusat dan daerah, baik anggaran kementerian dan lembaga, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), maupun dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Intinya, kapasitas fiskal daerah harus diperbesar secara proporsional agar lebih adil dan merata.

Salah satunya melalui perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Dae­rah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. ''Tak kalah penting reformasi birokrasi untuk meminimalisasi korupsi dan mendorong birokrasi pusat maupun daerah agar mampu bekerja lebih efisien dan efektif dalam melayani rakyat,'' tegas Arif.

Di sisi lain, imbuh Arif, kapasitas para anggota DPR sebaiknya diperkuat dengan menambah sekurang-kurangnya empat orang tenaga ahli. ''Jika mungkin, ada tambahan dukungan dana operasional seperlunya untuk kunjungan masa reses ke dapil. Tentunya disesuaikan dengan kemampuan anggaran negara,'' jelasnya. (dyn/pri/c6/tof/jp.com/s)