Selasa, 12 Mei 2009

Menunggu Kaukus Antikorupsi Lantang di DPR

SILAKAN berbangga orang-orang yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antikorupsi itu begitu disayangi masyarakat, setidaknya yang tecermin di media. Ketika lembaga tersebut goyah karena ketuanya, Antasari Azhar, terbelit kasus berat, ramai-ramai orang menyerukan harapannya agar KPK jangan kendur. Mereka seperti bersepakat: Antasari bukan KPK dan KPK bukan Antasari. Ini sangat masuk akal. Jangan sampai lembaga yang begitu hebat tersebut mengalami patah hati dan loyo karena kesalahan individu pimpinannya. Jangan sampai pula para koruptor tertawa terbahak-bahak dan dengan aman sentosa meneruskan penjarahannya.Dengan semangat menjaga KPK itu, tidak mengherankan banyak yang mengecam anggota-anggota DPR yang bersuara sumbang dalam rapat dengar pendapat empat pimpinan KPK dengan Komisi III DPR (koran ini kemarin). Mereka mempersoalkan pimpinan KPK yang tinggal empat orang. Gara-gara ini, ada anggota DPR yang meminta KPK tidak melakukan penangkapan, penyidikan, dan tindakan yang menentukan nasib orang. Anggota lain DPR menyebut fungsi KPK yang masih boleh dilaksanakan. Misalnya, pendidikan masyarakat. Jelas, tanpa kewenangan menangkap, menyidik, dan menuntut, KPK secara praktis sudah bubar. Buat apa lembaga dengan 520 pegawai itu bila hanya berfungsi sebagai lembaga pedidikan antikorupsi? Ataukah memang ''pembubaran'' de facto KPK itu yang memang mereka ingini? Kalau mau adil, maukah DPR -lantaran banyak anggotanya masuk penjara karena korupsi- dikurangi kewenangannya secara drastis hingga tinggal, misalnya, menjadi lembaga pengawas? Memang mengherankan, ketika suara-suara di luar parlemen menyerukan penyelamatan KPK, justru suara-suara sumbang dari DPR seakan menyoraki musibah yang menimpa KPK. Kenapa suara dari DPR tidak sejalan dengan suara rakyat dan akal sehat? Padahal, DPR merupakan wakil rakyat. Mewakili siapa mereka ketika menyuarakan ''pengebirian'' terhadap lembaga yang berhasil menyentuh koruptor-koruptor kelas hiu itu?Cara mengukur bahwa suara sumbang itu tidak sejalan dengan pemikiran orang banyak bisa dilihat ketika kampanye. Bisa dipastikan, tidak ada satu pun caleg yang menyuarakan pengebirian KPK. Termasuk para caleg Pemilu 2004 yang sekarang menjadi aleg alias anggota legislatif kita. Kalaupun menyuarakan pembubaran atau pengebirian KPK dalam kampanye, mereka pasti dikecam banyak orang. Para caleg semacam itu bisa dianggap prokorupsi atau setidaknya tidak antikorupsi. Bukankah caleg yang bersuara semacam itu tidak ada? Maka, dari mana munculnya ''aspirasi'' mengebiri KPK itu? Seakan mengambil kesempatan dalam kesusahan, ''aspirasi'' itu ingin membonsai kewenangan KPK. Sekali lagi, sebenarnya, suara semacam itu mewakili siapa?Berkembang dugaan bahwa kalangan DPR sangat risau dengan para aleg yang ditangkapi KPK. Kerisauan itulah yang dianggap mengilhami semangat menjinakkan KPK, termasuk lewat RUU Pengadilan Tipikor yang kini tengah dikerjakan DPR.Kalau dipikir dalam-dalam, DPR bukanlah instansi yang perlu melindungi diri dari lembaga semacam KPK. Secara asasi, DPR adalah representasi individu-individu dengan kepentingan yang berbeda sehingga diwadahi dalam lembaga perwakilan. Gelagat menjinakkan KPK itu mencerminkan pola pikir DPR yang ''instansional''. Padahal, DPR adalah lembaga perwakilan yang perbedaan kepentingannya memang diwadahi. Meski ada suara sumbang DPR terhadap KPK, kita yakin, banyak suara di DPR yang tetap tegak lurus di jalur antikorupsi. Suara semacam ''kaukus antikorupsi'' di DPR perlu disuarakan dengan lantang agar DPR tak didominasi oleh suara-suara sumbang terhadap upaya pemberantasan korupsi semacam itu. Sudah waktunya suara-suara yang melemahkan semangat antikorupsi itu ditandingi oleh suara yang lebih klop dengan akal sehat rakyat. (*)
Sumner :jawapos.com

Tidak ada komentar: