Senin, 08/06/2009 08:35 WIB
oleh : Elvani Harifaningsih
Sepekan terakhir, pemberitaan media massa mengenai kasus Prita Mulyasari menjadi sorotan berbagai kalangan.
Dukungan yang besar terhadap Prita a.l. mengalir dari komunitas dunia maya yang menggalang support melalui situs jejaring paling populer saat ini, Facebook. Bahkan, calon presiden pun tak luput memanfaatkan isu ini pada awal masa kampanye.
Kamis pekan lalu, Prita telah mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tangerang, terkait dengan kasus pencemaran nama baik terhadap dua orang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Omni Internasional.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menjerat Prita dengan tiga dakwaan alternatif, yakni Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (3) UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 310 Ayat (2) KUHP dan Pasal 311 Ayat (1) KUHP.
Ancaman hukuman dakwaan pertama yakni penjara paling lama 6 tahun dan atau denda maksimal Rp1 miliar. Sedangkan, ancaman pasal 310 KUHP adalah 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal Rp4.500, serta Pasal 311 KUHP memuat ancaman hukuman penjara paling lama 4 tahun.
Kejadian yang menimpa Prita berawal ketika dirinya berobat ke rumah sakit yang terletak di bilangan Serpong, Tangerang, tersebut, pada 7 Agustus 2008. Lima hari kemudian, dia akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah sakit lainnya karena menurutnya kondisi kesehatannya tak kunjung membaik.
Sebelum meninggalkan RS Omni Internasional, Prita disebut-sebut membuat surat tertulis yang berisi keluhan atas pelayanan rumah sakit itu.
Akan tetapi, karena suratnya tak mendapatkan respons lantas dia mengirimkan e-mail yang berisi 'curhatan' kepada beberapa temannya.
Mungkin, tak pernah terbayangkan olehnya jika surat elektronik yang awalnya dikirimkannya kepada beberapa teman tersebut akhirnya menyebar di dunia maya dan menyeretnya sebagai 'pesakitan' di meja hijau.
Bagaimana tidak, e-mail curhat atas pelayanan rumah sakit itu membuat pihak RS Omni Internasional gerah.
Rumah sakit itu pun melayangkan tuntutan hukum terhadap Prita, baik secara perdata maupun pidana, karena dituding telah melakukan pencemaran nama baik.
Dalam perkara perdata, Prita 'kalah' dalam pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tangerang. Dia dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik dan dihukum membayar ganti rugi hingga Rp384 juta.
Serupa tapi tak sama dengan nasib yang dialami oleh Prita, Khoe Seng Seng dan Kwee Meng Luan (Winny) juga terseret sebagai 'pesakitan' di pengadilan. Kedua konsumen tersebut berseteru dengan salah satu perusahaan pengembang, PT Duta Pertiwi Tbk.
Pekan lalu, persidangan atas dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan keduanya terhadap perusahaan pengembang itu sudah sampai pada tahap pembacaan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, keduanya dijerat dengan Pasal 311 KUHP. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan percobaan 2 tahun.
Surat pembaca
Kasus yang menimpa kedua orang yang merupakan pemilik kios di ITC Mangga Dua berawal ketika mereka menulis surat pembaca di dua media cetak nasional, yang intinya berisi komplain atas pelayanan perusahaan pengembang itu yang dinilai tidak memberi informasi yang benar mengenai status tanah di kompleks perbelanjaan tersebut.
Namun, perusahaan pengembang itu melaporkan Seng Seng dan Winny ke polisi, dengan tuduhan melakukan tindak pidana penistaan atau fitnah secara tertulis. Selain pidana, keduanya juga digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dari kedua peristiwa yang dialami Prita serta Seng Seng dan Winny tersebut, anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, berpendapat semestinya perkara yang dialami Prita, Seng Seng, dan Winny tidak bergulir di meja hijau.
"Kalau dari pandangan kami, YLKI, permasalahan yang dialami Prita maupun Seng Seng tersebut semestinya bisa diselesaikan di luar pengadilan," ujar Sudaryatmo, kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Bagaimanapun juga, menurutnya, pasien ataupun konsumen, mempunyai hak untuk menyampaikan keluhan atas pelayanan suatu pelaku usaha atau produsen.
Mekanisme komplain itu, katanya, dapat dilakukan dengan cara mengadu terlebih dahulu kepada pelaku usaha atau produsen yang bersangkutan.
Jika akhirnya tidak mencapai titik temu, menurutnya, maka konsumen dapat melanjutkan pengaduannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ataupun Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Dia menilai akar permasalahan dalam kejadian yang menimpa Prita ataupun Seng Seng adalah karena buruknya komunikasi antara pasien dan rumah sakit, serta konsumen dan pelaku usaha.
Seharusnya, sambungnya, pihak rumah sakit dan pelaku usaha harus bersifat lebih responsif dan menjadikan komplain dari konsumennya sebagai cambuk untuk meningkatkan pelayanan.
"Kami [YLKI] juga agak kaget mengapa mereka [rumah sakit atau pelaku usaha] yang melakukan gugatan? Biasanya, pelaku usaha atau produsen menghindari hal-hal semacam itu [menggunakan jalur hukum dalam menyelesaikan sengketa]," tuturnya.
Pasalnya, dia berpendapat, hal itu akan berpengaruh terhadap pelaku usaha atau produsen itu sendiri, a.l. terkait dengan pencitraannya karena proses hukum dilakukan secara terbuka sehingga akan diketahui publik, serta dampak dari proses hukum yang lama dan tidak bisa dihentikan.
Tempuh upaya hukum
Senada dengan Sudaryatmo, salah satu praktisi hukum yang concern menangani perkara-perkara konsumen, David ML Tobing, menilai justru seharusnya Prita atau Seng Seng yang menempuh upaya hukum.
"Pelaku usaha dan produsen harus menganggap konsumen sebagai raja. Mereka berhak untuk komplain. Seharusnya, pelaku usaha atau produsen harus bersifat lebih pasif dan mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh konsumen," ucapnya akhir pekan lalu.
David berpendapat secara perdata peluang Prita mengajukan gugatan baru secara terpisah dapat dikatakan sudah tertutup, mengingat Prita sudah mengajukan gugatan balik (rekonpensi) dalam gugatan perdata sebelumnya, yang akhirnya dimenangi RS Omni di pengadilan tingkat pertama.
Langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh Prita, menurutnya, adalah memperjuangkan gugatan rekonpensinya itu di tingkat banding, membantah tuntutan pidana, melaporkan ke Majelis Kode Etik Kedokteran, ataupun melaporkan ke instansi yang berwenang.
Di bagian lain, dia menilai secara teori UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sejatinya berlaku efektif pada 2010, bisa dijadikan sebagai bahan eksepsi (nota keberatan) yang disampaikan Prita dalam sidang selanjutnya.
Berkaca dari kedua peristiwa tadi, sebagai konsumen, kita memang tidaklah dipantangkan jika mengajukan keluhan secara tertulis, baik melalui media cetak, elektronik, maupun Internet.
Akan tetapi, satu yang mungkin harus diingat bagi semua pihak, komplain yang disampaikan hendaklah disusun dalam redaksional yang intinya bukan suatu kesimpulan, tetapi berupa praduga tak bersalah yang memuat paparan fakta yang sebenarnya.
Kata-kata seperti 'merasa', 'menduga', dan bukan suatu kesimpulan yang bersifat justifikasi, mungkin akan lebih aman bagi setiap konsumen yang akan mengajukan keluhan terhadap pelaku usaha atau produsen.
Semoga, peristiwa yang menimpa Prita, Seng Seng, dan Winny, tidak akan terjadi pada masa yang akan datang. (elvani@bisnis.co.id)