"Pertumbuhan yang cukup tinggi itu didongkrak sebagian besar oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yakni sebesar 5,54%," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar Muchsin Ayub kemarin.
Tingginya pertumbuhan di sektor perdagangan, hotel, dan restoran itu antara lain akibat meningkatnya pertumbuhan subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 5,52%, hotel 3,88%, dan restoran 3,65%. (Antara)
Rabu, 11 November 2009
Ekonomi Sumbar naik 2,8%
National Summit atasi hal sulit & rumit?
“Itu tuh… Tiga hari terakhir ini sedang diselenggarakan hajatan nasional-National Summit-yang melibatkan pucuk pimpinan organisasi bisnis, organisasi masyarakat, maupun berbagai tokoh dengan pejabat tinggi pemerintahan. Itu memang baru sekali ini sih, tapi saya kira kok biasa-biasa saja ya…” kata Kresno Noyorono sambil tetap mengamati tampilan pada layar perangkat seluler di tangannya.
“Enggak lah, Bang Noy… Gini-gini, saya kan hadir di acara tersebut, mewakili asosiasi usaha saya. Pertemuan itu dinamis sekali dan benar-benar berkualitas. Banyak petinggi perusahaan yang hadir,” Subarry mencoba menjelaskan.
“Bahkan, para menteri terkait ngejogrok di berbagai ruang sidang itu lho, mengikuti langsung diskusi dengan para peserta dialog.”
“Oo gitu… Lah apa hebatnya kalau diskusi dihadiri pejabat tinggi dan menteri… itu kan biasa… Yang penting tuh, materi yang dibahas benar-benar hebat nggak… Dapat menemukan solusi untuk persoalan yang diperbincangkan nggak…” ungkap David masih dengan nada skeptis.
“Wow, tentu saja Bang Suto… Yang mereka bahas ini persoalan bangsa… maju mundurnya bangsa kita lho…” ujar Subarry menegaskan.
“Tumben… Biasanya, menteri-menteri itu kalau sudah membuka seminar ataupun diskusi ini dan itu kan langsung ngacir… Mana pernah mereka mau mendengarkan materi yang dibahas di seminar. Makanya, seminar hebat-hebat di negeri ini jarang menghasilkan manfaat, karena rekomendasinya cuma tersimpan di map peserta, gak sampai ke telinga penguasa,” Kresno menanggapi kekaguman Subarry masih dengan nada datar.
“Saya kira kali ini nggak lho Bang… Para menteri dan pejabat tinggi itu hampir seharian lho di berbagai ruang sidang. Kayaknya sih, mereka ini dipaksa sama Pak Esbeye untuk ngikuti berbagai pembahasan atas masalah-masalah yang sering dihadapi bangsa kita itu,” jawab Subarry sambil mengaduk-aduk gelas minuman favoritnya, Kopi Gayo.
“Ooh, pantesan mereka kerasan nungguin diskusi, wong disuruh bosnya. Kan menteri-menteri sekarang ini akan dievaluasi secara ketat oleh presiden… kalau tidak patuh atau lalai menjalankan tugas dalam 100 hari pertama atau setiap tahun, status mereka akan langsung berubah menjadi mantan menteri, he he he…” kata Kresno.
“Tapi, peserta diskusi pun semangat lho membahas berbagai persoalan bangsa itu dong, Bar… Jadi, ada harapan negeri kita akan dapat mencapai kemajuan dalam waktu dekat ya,” David bertanya sambil penasaran.
“Enggak juga sih, Bang… Karena, banyak juga peserta yang kayaknya kurang serius dan konsentrasi… Mungkin nggak ngeh dengan topik yang dibicarakan… Malah, kelihatannya sih, beberapa peserta yang tampaknya dari daerah lebih milih turun dan belanja. Kebetulan, lokasi acara di sebuah mal mewah di kawasan pusat bisnis…” jawab Subarry.
“Lha, yang gitu itu penyebab nggak kunjung majunya pembangunan di daerah. Seharusnya, gubernur dan bupati atau walikota yang dapet perjalanan dinas ke Jakarta memprioritaskan tugasnya dulu, baru kalau acara udah kelar, bisa belanja. Kalau selama ini kan enggak, dapet tugas ke Jakarta yang di-sempet-sempetin malah belanja, urusan dinas menjadi yang ke sekian…” tutur Kresno bernada mencibir.
“Masalahnya, Barry, jangan-jangan sebagian menteri dan para pejabat daerah itu gak paham dengan persoalan yang dihadapi bangsa ini… Kan banyak di antara mereka itu dapat mencapai posisinya sekarang karena beruntung aja… yang semula, misalnya, cuma tukang ojek, lalu aktif di partai politik, eh… kepilih jadi anggota DPR atau DPRD dan kemudian bisa jadi menteri atau bupati dan sebagainya. Nasib baik dah…” ungkap David.
“Lagian, kalaupun seharian penuh ikut memelototi diskusi tersebut, belum tentu dapat mengatasi persoalan bangsa yang telanjur menggunung… Godaan terlalu banyak bagi para pejabat kita… Apalagi, setiap departemen jalan sendiri-sendiri, susah deh…” Kresno menambahkan.
“Mohon maaf, bapak-bapak… Sekarang sudah last order, karena kitchen kami segera tutup. Apakah masih mau nambah minuman atau makanan… Kalau tidak, kami persiapkan bill-nya deh ya…” ujar Diana, pramusaji yang paling akrab dengan tiga sekawan itu, memotong pembicaraan mereka yang sedang seru itu.
“Diana… sudah berapa kali kubilang, nggak usah ngomong keinggris-inggrisan kenape… Pakai last order, kitchen, bill segala, emang gak ada bahasa Indonesia-nya…” sergah Kresno.
“Maaf, Pak… Udah kebiasaan… Jadi, nggak ada order eh pesanan lagi nih,” kata Diana dengan nada manja.
“Buatkan tagihannya saja deh. Kali ini saya yang nraktir, Bang…” ucap Subarry seakan minta persetujuan. “Lumayan, abis dapet bonus…”
“Ngomong-ngomong, sekarang kok orang-orang pada demen ngomong dicampur bahasa Inggris ya… Kayaknya kurang bangga menggunakan bahasa Indonesia lho. Contohnya itu tadi, si Diana dan banyak temen seprofesinya, yang cenderung keinggris-inggrisan. Padahal, kalau diajak ngobrol lebih lanjut dengan bahasa Inggris juga kagak bisa…” cetus David.
“Betul tuh, Bang… Seharusnya, Oktober ini kan bulan Bahasa ya, seluruh rakyat Indonesia harus merasa bangga dong ngomong dalam bahasa Indonesia… Dari acara berjudul National Summit saja, itu juga keinggris-inggrisan. Udah gitu, ketika menyampaikan sambutan selama 72 menit, Pak Esbeye ngomong di mimbar, setidaknya ada 75 kata sambutannya dalam bahasa Inggris.
“Oh ya… Mungkin ada baiknya mencontoh sikap Bung Hatta, Adam Malik, dan Ali Alatas itu ya… Meskipun pergaulan mereka sangat Barat, mereka itu kalau di dalam negeri tidak pernah bicara kecuali berbahasa Indonesia. Bagi mereka, itulah salah satu kehormatan bangsa yang berdaulat, dan sebagai bangsa kita beruntung lho dapat memiliki bahasa sendiri,” tutur David.
“Iya ya… Seharusnya, siapa pun pejabat kita, hendaknya memelopori penggunaan bahasa Indonesia secara yang baik dan benar ya… Agar masyarakat juga ikut bangga kepada bahasa sendiri, bahasa Indonesia… Lha kalau bukan kita sendiri yang mau menghargainya, siapa lageee…. Apa kita perlu surati Pak Esbeye, supaya mewajibkan juga para pejabat berbahasa yang baik dan benar serta jangan banyak mengutip bahasa asing…” Subarry menambahkan.
“Ah, jangan… jangan… jangan melaporkan kelemahan pejabat kepada Presiden… Entar kita malah dianggap melanggar Undang-Undang Rahasia Negara… ha ha ha…” kata Kresno. “Mau, diciduk seperti pejabat KPK itu…” (sumber : pojok cafe/bisnis.com).
Republik Mafioso
Sabtu 7 November 2009
“Mas…aku hampir dua minggu di luar negeri, tapi ngikutin berita dari Internet….payah…mau pecat pejabat aja kok pakai bentuk tim, dan belum tentu berani mecat…”
Terus terang, saya menikmati kalimat itu. Meski terbiasa berpikir positif, rangkaian peristiwa politik, dan hukum di Tanah Air belakangan ini memang mengusik ketenangan jiwa dan pikiran, sehingga saya menjadi begitu negatif.
Kalimat tersebut sebenarnya adalah curhat seorang kawan, melalui fasilitas messenger di gadget saya. Meski implisit, tertangkap jelas maksud kalimat tersebut, soal leadership, berkaitan dengan kasus “cicak” versus “buaya” yang mengaitkan sejumlah petinggi penegak hukum di negeri ini.
“Cicak” memang dianggap merepresentasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan “buaya” mewakili institusi kepolisian, merujuk istilah yang dipopulerkan petinggi kepolisian, setelah mencuatnya kasus Bibit Samad Rianto dan dan Chandra M. Hamzah.
Tolong, jangan berharap saya memperjelas lebih jauh lagi soal curhat tersebut, karena Anda tahu, hari ini sedang musim tangkap-menangkap dan demam sadap-menyadap. Tentu saya takut kena tangkap, seperti nasib Bibit dan Chandra, dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif setelah menjadi tersangka kasus penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan polisi.
Apalagi, kini mulai terdengar kabar adanya ancam-mengancam oleh aparat penegak hukum, selain perang urat syaraf kepada pihak-pihak yang dianggap tidak pro-kepada institusi penegak hukum yang kini sedang beperkara.
Ketimbang dihantui perasaan cemas dan takut, kita nikmati saja drama hukum yang kian panas belakangan ini. Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi membuka rekaman percakapan berkaitan dengan dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra, yang disiarkan langsung sehari penuh oleh sebuah televisi swasta.
Drama itu memang enak ditonton dan lucu, meskipun sesungguhnya amat memalukan.
Percakapan yang disadap oleh KPK tersebut cetho welo-welo alias terang benderang, mencuatkan persepsi bahwa mafia peradilan ternyata masih eksis, kalau tak boleh dibilang justru merajalela.
Sulit untuk menampik kesan bahwa seorang warga negara biasa begitu mudah mengatur proses hukum yang tengah ditangani aparat penegak hukum, jika menyimak rekaman percakapan yang disiarkan terbuka melalui sidang MK tersebut.
Melegakan ketika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat mengumumkan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu-yang tenggelam oleh kasus “cicak” versus “buaya” itu-bertekad mengganyang mafia hukum yang telah merugikan masyarakat secara material.
Kalau boleh menduga-duga, mungkin saja Presiden kesal, karena upaya perang melawan korupsi, seperti menemui jalan buntu tersumbat oleh ulah mafia hukum tersebut. Padahal, seingat saya, saat kampanye pemilu lalu, Presiden SBY-panggilan akrab bagi Yudhoyono-yang berpasangan dengan Boediono, begitu gencar menjual janji pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Presiden, agaknya supaya tidak dituding memihak atau sebaliknya menyudutkan instansi tertentu, mengatakan mafia hukum ada di mana-mana. Bisa di lembaga kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan KPK. Ada pula mafia di departemen-departemen, termasuk yang berkaitan dengan pajak hingga bea cukai, jika merujuk keterangan Kepala Negara itu.
Saya setuju. Apalagi, menonton kembali drama pertarungan KPK dengan kepolisian, yang melatari pernyataan Presiden itu, tak kalah seru dengan menikmati serial bioskop layar lebar The Godfather, sebuah film tentang kisah mafioso Italia yang telah mengendalikan sistem politik dan bisnis di Amerika.
Bahkan bisa jadi kisah mafioso Indonesia lebih seru, karena banyak versi mafioso, termasuk mafioso politik, mafioso ekonomi dan mafioso peradilan. Jalinan antarkelompok mafioso itu, bahkan sudah sedemikian rumit, sehingga upaya perang melawan korupsi seperti menghantam tembok tebal karena terbentur di mana-mana, bahkan oleh institusi penegak hukum itu sendiri.
Tanpa bermaksud memihak Bibit, suka nggak suka, saya harus memercayai pernyataannya, bahwa upaya memberantas korupsi di negeri ini akan sangat sulit sepanjang sistem politik masih menghalalkan money politics.
Menggarisbawahi pernyataan itu, peran mafioso politik di negeri yang tengah membangun demokrasi ini ternyata berada di titik sentral. Dari lingkaran mafioso politik itulah, sesungguhnya hubungan antara hukum, kekuasaan, dan bisnis bertali-temali seperti benang kusut yang benar-benar ruwet.
Tak heran, kasus “cicak” versus “buaya” telah melahirkan banyak spekulasi, termasuk kaitannya dengan kasus Bank Century hingga dana kampanye pada pemilu lalu, meski dalam berbagai kesempatan dicoba dibantah.
Banyak ilustrasi lain soal mafioso politik itu. Anda tentu masih ingat hak angket tentang bahan bakar minyak (BBM) yang dicoba digelar oleh anggota DPR periode 2004-2009 beberapa waktu silam, yang kemudian lenyap begitu saja.
Belakangan, ternyata, muncul pengakuan mantan anggota DPR ke KPK, yang mengaku menerima uang gratifikasi senilai Rp100 juta berkaitan dengan angket tersebut. Tanpa perlu disebut siapa yang memberikan uang, penerima gratifikasi tersebut kabarnya mencapai 39 orang anggota dewan.
Sekadar contoh lain adalah kasus yang dilaporkan Agus Tjondro berkaitan dengan pemilihan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, di mana sejumlah 41 orang anggota dewan disebutkan menerima uang Rp500 juta per orang untuk memuluskan calon tertentu.
Seorang Bupati yang ditangkap KPK, contoh lainnya, membuat surat keputusan untuk dirinya sendiri, yang menetapkan anggaran rumah tangga pribadi sebesar Rp50 juta sebulan, karena gaji bupati hanya sekitar Rp5 juta sebulan. Silakan diteruskan sendiri, karena daftarnya akan sangat panjang.
Terlalu naïf jika kondisi itu dianggap sebagai “ongkos” untuk membangun demokrasi, karena semestinya ekses buruk semacam itu dapat dihindarkan. Apalagi banyak pejabat, termasuk Presiden, mengatakan negeri ini tengah bergerak menuju reformasi yang semakin kokoh, termasuk reformasi birokrasi dan reformasi institusi penegak hukum.
Tentu senang mendengar retorika semacam itu, tetapi sungguh sedih melihat kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Apalagi setelah rekaman pembicaraan para sirkus alias “opsir markus”, kalau boleh meminjam istilah Bibit, disiarkan luas oleh televisi ke seluruh penjuru negeri. Istilah markus belakangan dipakai sebagai akronim makelar kasus.
Banyak orang gondok dan marah. Sebuah koran ternama di Ibu Kota menulis, nama baik Presiden dipertaruhkan akibat kasus ini. Dan di facebook, sejumlah orang menulis statusnya dengan aneka istilah, dari revolusi hingga ‘people power’.
Akan tetapi, waspada dan hati-hatilah menulis status di facebook. Kalau tidak waspada atau salah tulis, Anda bisa ditangkap dengan tuduhan memprovokasi ‘people power’. Waladalah! (Sumber: pojok cafe/bisnis.com).
Selasa, 10 November 2009
National Summit dan masa depan RISemua tidak akan berjalan jika tidak ada komitmen dari seluruh stakeholder
Mengatasi ketidakadilan energiAda asumsi pembangkit energi tenaga surya tidak memenuhi syarat keekonomian
Menakar retorika ganyang mafiaKalau slogan tidak menyentuh emosi, rakyat tak begitu menggubris
'Program 100 hari KIB II ambisius'
'Kasus Bibit & Chandra tak cukup bukti'SBY: Polri & Kejaksaan agar respons laporan Tim Delapan
Kasus Bibit & Chandra dibawa ke forum globalPolri siapkan tujuh sangkaan untuk Anggodo Widjojo
Reformasi Kejagung Rp10 triliun'
KPK Periksa Sekjen DPR
Williardi: Kasus Antasari rekayasa
2014 Bisa terjadi krisis jumlah guru
Daerah perlu genjot layanan pariwisata
'Pembiayaan kesehatan harus direformasi'
Biaya produksi manufaktur bisa melonjak 20%
Target kemiskinan 9% di 2014
Pemda jarang manfaatkan riset
Peran Bappenas diminta lebih
Senin, 09 November 2009
Hipmi pesimistis ekonomi tumbuh melebihi 6%
Ketua II Hipmi Silmy Karim menilai kalau perekonomian Tanah Air hanya mengandalkan pada kekuatan domestik, maka pertumbuhannya tidak akan signifikan. Karenanya harus juga memerhatikan aktivitas perekonomian yang terkait faktor global, seperti investasi dan ekspor.
"Jadi kalau hanya mengandalkan kekuatan domestik, akan sulit menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6%," jelasnya kepada Bisnis hari ini.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 7% pada 2014 dengan rata-rata pertumbuhan per tahun berkisar 6,3%-6,8% untuk lima tahun ke depan. Selain masih akan mengandalkan konsumsi domestik, pemerintah juga akan mendorong investasi sebagai salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi dengan menghapus berbagai hal yang menghambat.
Terkait hal tersebut, Silmy mengatakan kendati investasi digenjot hingga rata-rata Rp2.100 triliun per tahun, tetapi harus juga diperhatikan adalah pemasaran dari hasil produksi. Artinya, ekspor juga harus jadi perhatian, tidak hanya terfokus pada menarik investor masuk.
"Yang jadi pertanyaan adalah siapa yang akan menyerap output dari pada investasi. Artinya kan harus ada orientasi ekspor."
Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi 4,3% pada tahun ini harus dicermati mendalam dari segala aspek. Penurunan ekspor yang cukup dalam pada tahun ini harusnya menjadi titik balik bagi pemerintah guna menyeimbangkan peran eksternal dari perekonomian. "Bayangkan Malaysia saja (ekspor) 120% dari PDB, sedangkan kita hanya 28%."
Lebih lanjut Silmy mengungkapkan hasil tesisnya terkait investasi Tanah Air pada 2007 yang mencapai Rp2.060 triliun guna mencapai pertumbuhan ekonomi 6,3%. Apabila untuk lima tahun ke depan rata-rata per tahun hanya Rp2.100 triliun, maka pertumbuhan investasi yang ditargetkan pemerintah terlalu rendah. (tw)
Intinya, lanjut dia, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, maka ada sejumlah hal yang menjadi pekerjaan rumah yang sifatnya mendesak bagi pemerintah di bidang investasi. Tugas mendesak tersebut a.l. meningkatkan belanja negara atau meningkatkan porsi swasta dalam proyek pemerintah melalui skema Public Private Patnership (PPP), membenahi regulasi dan infrastruktur yang selama ini menghambat, dan mengupayakan pendanaan. (tw)
Revisi Keppres soal procurement harus transparan
"Jangan sampai karena mereka dikejar target harus selesai dalam 100 hari, lalu mengabaikan transparansi dalam penyusunannya," katanya di Jakarta hari ini.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan revisi Keppres itu harus selesai dibahas sebelum 1 Februari 2010. Menurut Silmy, hasil revisi dua peraturan tersebut harus mampu memberikan win-win solution atas persoalan yang terjadi selama ini baik bagi pemerintah maupun dunia usaha.
"Kami dan berbagai kalangan lain memang menunggu revisi peraturan pengadaan ini karena itu akan menjadi landasan hukum yang bisa memberikan kepastian kami dalam mengikuti proses tender pengadaan barang dan jasa pemerintah," tuturnya.
Keppres No.80/2003, sejak disahkan 6 tahun yang lalu, sebelumnya telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali walaupun perubahannya tidak substansial karena sifatnya hanya menyesuaikan diri dengan dinamika dan tuntutan spesifik yang berkembang selama kurun 2003-2007.
Salah satu klausul dalam revisi komprehensif Keppres No. 80/2003 akan turut disesuaikan dengan kebijakan pinjaman dan hibah luar negeri dalam Paris Declaration 2005 dan Jakarta Commitment 2009. Merujuk dua deklarasi itu, pengadaan yang berasal dari pinjaman maupun hibah luar negeri dilaksanakan dengan aturan negara setempat. (tw)
Bappenas siapkan 3 asumsi makro ekonomi
Hal ini diungkapkan Menneg PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana di sela-sela rapat kerja penyusunan RPJMN dan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (K/L) 2010--2014, hari ini.
"Asumsi makro ada tiga skenario yang disiapkan Bappenas. Low [rendah], menengah, dan tinggi. Ada perhitungannya masing-masing, tapi kisarannya saya lupa," jelas dia.
Untuk pertumbuhan ekonomi, lanjut Armida, Bappenas lebih optimistis dibandingkan janji kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono yang hanya mematok pada kisaran 6%--6,5% rata-rata per tahun selama 5 tahun. Sedangkan Bappenas melihat potensi yang lebih tinggi, yakni berkisar antara 6,3%--6,8% per tahun hingga 2014.
"Minimal growth-nya 7% pada 2014 karena ada faktor eksternal dengan tanda-tanda lebih optimistis. Pemulihan ekonomi dunia mulai [terjadi], ekspor mulai positif dan ada prioritas dari National Summit terkait debotlenecking," paparnya.
Dari sisi belanja, Armida menuturkan kebutuhan anggaran akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Artinya, bila tahun ini anggaran belanjanya sebesar Rp1.000,8 triliun dan Rp1.048,6 triliun pada 2010, maka dipastikan anggarannya akan di atas nominal tersebut di 3 tahun berikutnya.(er)
Bappenas prioritaskan revisi Perpres & Keppres
Hal tersebut diungkapkan Menneg PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana di sela-sela Rapat Kerja Penyusunan RPJMN dan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga 2010--2014, hari ini.
"Itu dalam 100 hari harus selesai. Deadline-nya 1 Februari. Semua yang masuk program kerja 100 hari deadline-nya sama," tuturnya, hari ini.
Sebelumnya, Bappenas menyoroti permasalahan pengalihan saham dari perusahaan pemenang tender suatu proyek infrastruktur ke perusahaan lain. Dalam revisi Perpres No.67/2005 hal tersebut dimungkinkan
kendati idealnya tidak diperbolehkan. Pengalihan saham yang dimaksud bukanlah pengalihan secara mayoritas, tetapi hanya sebagian.
"Suatu saat nanti memang idealnya tidak boleh, tapi sekarang ini proyek infrastruktur dengan pola PPP masih jarang sekali, bahkan belum ada. Yang penting sekarang adalah bagaimana supaya proyek infrastruktur menarik bagi investor," ujar Deputi Menneg PPN bidang Sarana dan Prasarana Dedy S Priatna belum lama ini.(er)
Penyusunan RPJMN ditargetkan selesai Januari
"Insya Allah awal Januari [2010] sudah selesai, karena itu yang menjadi induk pembangunan nasional," kata Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Armida S. Alisjahbana kepada pers di sela-sela rapat kerja penyusunan RPJMN dan Renstra K/L 2010-2014 di Gedung Bappenas, hari ini.
Dia menuturkan dalam raker kali ini dihadiri oleh semua kementerian/lembaga (K/L) guna menyinkronkan antara program pembangunan nasional 5 tahun mendatang dengan kecukupan anggaran dalam periode yang sama.
Armida berharap sebelum musyawarah perencanaan pembangunan nasional (Musrenbangnas) yang dihadiri oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan kepala daerah digelar pada pertengahan Desember 2009, penyusunan RPJMN tersebut telah selesai dilakukan.
"Dalam Musrenbangnas nanti penjelasan draf RPJMN sudah ada, kita sinkronkan dengan daerah," katanya.
Dokumen RPJMN 2009--2014 rencananya akan disusun dalam tiga buku. Buku I memuat rencana aksi yang menjadi prioritas pembangunan 5 tahun ke depan, buku II memuat kegiatan prioritas masing-masing bidang pembangunan, dan buku III memuat arah pembangunan kewilayahan.(er)
Kebutuhan belanja RI 2014 diduga Rp1.700 triliun
Sesmenneg PPN/Setama Bappenas Syahrial Loetan mengatakan bila memperhatikan besaran belanja negara pada 2010 yang sekitar Rp1.000 triliun, maka pada 2014 akan meningkat menjadi Rp1.700 triliun.
“Katakanlah kalau pertumbuhan belanja 7% paling tidak kan berkorelasi dengan nilai itu. Jadi pada akhir tahun RPJMN [2014] mungkin belanja negara kita sudah mencapai Rp1.700 triliun,” katanya di sela-sela acara rapat kerja penyusunan RPJMN 2010--2014 di Gedung Bappenas, hari ini.
Sebelumnya, Menneg PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan pemerintah telah menyiapkan tiga skenario asumsi makro ekonomi sebagai acuan pembangunan jangka menengah hingga 2014.
"Asumsi makro ada tiga skenario yang disiapkan Bappenas. Low [rendah], menengah, dan tinggi. Ada perhitungannya masing-masing, tapi kisarannya saya lupa," jelasnya.
Untuk pertumbuhan ekonomi, kata Armida, Bappenas lebih optimistis dibandingkan janji kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono yang hanya mematok pada kisaran 6%--6,5% rata-rata per tahun selama 5 tahun. Sedangkan Bappenas melihat potensi yang lebih tinggi, yakni berkisar antara 6,3%--6,8% per tahun hingga 2014.
"Minimal growth-nya 7% pada 2014 karena ada faktor eksternal dengan tanda-tanda lebih optimistis. Pemulihan ekonomi dunia mulai [terjadi], ekspor mulai positif dan ada prioritas dari National Summit terkait debotlenecking," paparnya.
Dari sisi belanja, Armida menuturkan kebutuhan anggaran akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Artinya, bila tahun ini anggaran belanjanya sebesar Rp1.000,8 triliun dan Rp1.048,6 triliun pada 2010, maka dipastikan anggarannya akan di atas nominal tersebut di 3 tahun berikutnya.(er)
DPR minta Bappenas lebih realistis susun RPJMN
Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis mengatakan DPR sangat berharap banyak dari Bappenas untuk dapat mengawal pembangunan 5 tahun ke depan agar betul-betul bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
"Karena berdasarkan pengalaman lima tahun kemarin, RPJMN yang disusun tampak bagus tapi selalu meleset dari rencana sehingga terkesan mengawang-awang," katanya dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR dengan Bappenas, hari ini.
Menurutnya, dalam masa terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini pemerintah tidak perlu takut untuk mengambil kebijakan yang tidak populis asalkan hal itu dilakukan demi kesejahteraan rakyat secara luas.
"Ini adalah masa terakhir pemerintahan SBY, jadi masalah pencitraan harus disingkirkan, kalau memang harus nggak populis nggak apa-apa" tegasnya.(er)
Bappenas diharap lebih dominan dari Depkeu
Ketua Komisi XI DPR dari FPDIP Emir Moeis mengatakan selama ini peran Bappenas kalah dibandingkan dengan peran Departemen Keuangan sehingga rencana-rencana yang telah disusun oleh Bappenas tidak bisa dieksekusi karena persoalan anggaran.
"Lima tahun terakhir fungsi Bappenas lebih luntur tapi lebih berperan fungsi Depkeu. Saya ingin ke depan rencana-rencana Bappenas lebih terealisir," katanya dalam raker antara Komisi XI DPR dengan Bappenas di Jakarta, hari ini.
Dia mengakui memang eksekusi program perencanaan pembangunan nasional merupakan hak dari Presiden. Tetapi, lanjutnya, seharusnya arahan yang diberikan Bappenas diperhatikan juga.
"Kalau bisa arahan Bappenas tidak hanya sampai Komisi XI DPR tapi juga di Panitia Anggaran harus kelihatan. Saya percaya Ibu Menteri ke depan bisa lebih keras gregetnya."(er/ bisnis.com)
HMI Bandung demo tolak kapitalisasi ekonomi
Juru bicara mahasiswa Pratiwa menilai cita-cita para pahlawan yang ingin memerdekakan Bangsa Indonesia harus kandas dengan masuknya intervensi asing yang masuk pada sendi-sendi perekonomian Bangsa Indonesia.
Dia mencontohkan sumber daya alam Indonesia yang terus menerus dikuasai pihak asing, padahal Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya alam sendiri.
"Hal ini juga berkaitan dengan berbagai regulasi yang memihak kepada asing atau Pemerintah Indonesia yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat," katanya hari ini.
Bahkan mahasiswa menilai ada campur tangan asing pada penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu. Selain itu, mahasiswa juga menyayangkan ketidakberdayaan Indonesia untuk menjaga warisan kebudayaan. "Ini adalah bentuk penjajahan asing baru terhadap Bangsa Indonesia," tegasnya.
Mahasiswa juga menyayangkan sistem pendidikan Indonesia yang tidak lepas dari paham kapitalis. Mahasiswa meminta agar Pemerintah Indonesia mempertimbangkan kembali Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.
Aksi unjuk rasa mahasiswa berlangsung di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat. Pada aksinya, mahasiswa menggelar aksi orasi, poster, dan membakar ban bekas di depan DPRD Jabar. Aksi mahasiswa berjalan tertib dan dikawal aparat Polri.(tw)
bisnis.com