Senin, 13 Juli 2009

Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count

[ Senin, 13 Juli 2009 ]
Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count (2)
Siapkan Relawan yang Kuat Mental dan Fisik

Selain Lembaga Survei Indonesia (LSI), Cirus Surveyors Group juga tak kalah soal kualitas hasil survei. Bagaimana tim di lembaga pimpinan Andrinof Chaniago itu bekerja?

AGUNG P.-DIAN W., Jakarta

---

ORGANISASI di Cirus Surveyors terbagi dalam tiga lapis. Yakni, tim inti, koordinator wilayah, dan tim relawan. Jumlah yang paling banyak berasal dari kalangan relawan. Tim yang langsung bersinggungan dengan pemilih dari seluruh daerah di nusantara itu berjumlah 2 ribu orang.

''Kami kan mengumpulkan data dari 2 ribu TPS. Jadi, satu relawan satu TPS,'' kata Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof Chaniago saat ditemui di Jakarta Sabtu (11/7). Sisanya terbagi dalam dua pos tim. Yakni, tim inti yang berkedudukan di Jakarta dan tim koordinator wilayah yang membawahkan sejumlah kelompok dapil. Kalau ditotal, semua tim di lembaga survei tersebut mencapai 2.150 orang.

Cirus tak mau sembarangan merekrut relawan. Sebab, mereka adalah ujung tombak rangkaian proses survei. Kalau mereka tak berkualitas, hasil survei bisa cacat dan tidak qualified. Karena itu, kebanyakan mereka direkrut dari kalangan mahasiswa. Setelah direkrut, calon relawan harus mengikuti serangkaian training dan pembekalan. Mulai prosedur pengisian form survei hingga pembinaan mental. ''Fisik mereka juga harus kuat karena ada yang masuk ke daerah-daerah terpencil,'' kata Andrinof yang juga ketua umum Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) itu.

Ikatan antara Cirus dan relawan pun dibangun. Dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) tersebut mengatakan, Cirus membangun semacam community development bersama mereka. Acaranya seputar diskusi dan pelatihan pengembangan diri. Para relawan juga terdaftar dalam sebuah database. Selain untuk merekam kinerja mereka, database tersebut bisa digunakan untuk menghubungi mereka apabila ada order survei lagi.

Selain itu, database berfungsi mengontrol relawan. Relawan yang terbukti nakal dalam survei bisa langsung dicoret dan tidak dipakai selamanya. ''Kan ada relawan yang survei diisi sendiri, kemudian tidak mendatangi daerah yang menjadi sampel, dan sebagainya. Kalau terbukti melanggar, langsung dikeluarkan dan di-blacklist,'' jelas lelaki 46 tahun itu.

Agar relawan tidak tidak main-main dalam melakukan survei, Cirus memiliki mekanisme sendiri. Mereka membuat semacam kupon yang disobek jadi dua. Satu kupon untuk responden, satunya lagi untuk dikumpulkan ke kantor titik pengecekan terdekat. ''Nah, kupon itu lantas dicek. Dari semua kupon yang dikirimkan di titik pengecekan itu, diambil 10 persen untuk validasi,'' katanya.

Untuk pengiriman data, relawan memanfaatkan teknologi pesan singkat alias short message service (SMS) yang dikirim langsung ke server Cirus di pusat. Data tersebut langsung dikirim saat penghitungan di TPS rampung. Yang paling susah adalah relawan-relawan yang kebagian sampel di daerah terpencil. Tidak ada sinyal, apalagi sambungan telepon. ''Mereka harus segera menuju kantor kelurahan terdekat atau daerah yang ada sinyalnya. Maka, fisik relawan harus kuat,'' tuturnya. (agm)

[ Selasa, 14 Juli 2009 ]
Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count (3-Habis)
Pilpres Satu Putaran Jadi Taruhan

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny J.A. kerap mengundang kontroversi di tengah publik. Suara miring semakin keras ke arah Denny setelah dirinya menjadi motor iklan pilpres satu putaran di sejumlah media. Bagaimana sebenarnya mereka bekerja?

DIAN W.-AGUNG P., Jakarta

---

SELAIN akurasi hasil, kecepatan mengolah data memang menjadi capaian yang selalu ingin diraih LSI. Hal itulah yang menjadi salah satu daya tarik lembaga survei sekaligus konsultan politik yang didirikan sejak akhir 2004 tersebut.

''Kami pun sudah membuktikan selalu menjadi (lembaga) yang tercepat mengumumkan hasil quick count sejak pemilu legislatif lalu,'' ujar Direktur Eksekutif LSI Denny J.A. kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin (13/7).

Demi capaian tersebut, sejumlah resep khusus diterapkan, selain tentu saja penggunaan teknologi informasi sebagai sarana pendukung. LSI juga telah memotong mata rantai pelaporan yang lazim diterapkan. ''Cara kerja diefisienkan,'' ungkap peraih PhD dari Ohio State University, AS, bidang comparative politics and business history tersebut.

Para relawan yang bertugas di lapangan tidak lagi mengirim bertingkat lewat jalur koordinasi di kabupaten maupun provinsi. Mereka langsung mengirimkan data laporan melalui SMS ke server pusat pengolahan data di Jakarta. ''Kami juga bekali dengan sandi-sandi rahasia agar data tetap terjaga baik saat sampai di pusat,'' jelas Denny.

Untuk menjaga kualitas, LSI juga memiliki sejumlah prosedur. Yang pertama mereka lakukan adalah memisahkan divisi riset dari divisi konsultan. Divisi riset tidak perlu tahu siapa klien yang sedang ditangani. ''Bahkan, antara masing-masing petugas di lapangan dibuat agar tidak saling mengenal,'' papar bapak dua anak itu.

Untuk melakukannya, sejak perekrutan, para relawan diambil dari sumber yang berbeda. Tak ketinggalan, sebelum diturunkan ke lapangan, mereka di-training sekitar tiga minggu.

Semua upaya menjaga kualitas dan kecepatan itu, menurut Denny, ditujukan untuk menjaga napas panjang lembaga. ''Kami ingin tetap bertahan hingga puluhan tahun,'' tegas pria kelahiran Palembang, 4 Januari 1963, tersebut.

Pada quick count pilpres 2009, LSI melibatkan dua ribu relawan yang disebar di TPS-TPS di 33 provinsi. Pemilihan TPS dilakukan dengan teknik multistage random sampling. Hasilnya diklaim memiliki margin of error sekitar 1 persen.

Selain itu, 200 petugas checker diturunkan ke lapangan untuk mengecek kebenaran data yang dipilih secara sampling pula. ''Kualitas quick count kami telah dinikmati publik. Kecaman yang datang bergelombang sebelumnya telah berbalik menjadi pujian,'' kata Denny lantas tersenyum bangga.

Hitung cepat hasil pilpres yang dilakukan bersama sejumlah lembaga lain secara bersamaan dalam pemilihan presiden 8 Juli lalu itu memang menjadi pertaruhan penting bagi LSI. Sebab, dua minggu sebelum pelaksanaan pemungutan suara, mereka berani menyebut pilpres akan berlangsung satu putaran. ''Kami bisa hancur jika ternyata saat itu salah. Semua ini menyangkut kredibilitas lembaga,'' ujarnya.

Denny mengaku, iklan tersebut dikeluarkan memang dengan risiko cukup tinggi. Sebab, selain didasari keyakinan atas keakuratan hasil survei terakhir yang mereka lakukan sebelumnya, kesimpulan pilpres satu putaran tersebut diambil melalui analisis kondisi politik saat itu.

Hasil quick count LSI pada pilpres lalu memang menunjukkan bahwa perolehan suara SBY-Boediono memenuhi syarat untuk menang satu putaran. Selain kemenangan yang hampir merata di setiap provinsi, SBY-Boediono berhasil meraih 60,17 persen suara. Jauh melebihi Mega-Prabowo yang hanya menangguk 27,27 persen suara dan JK-Wiranto yang mendapat 12,55 persen suara. Hasil itu tidak jauh berbeda dari quick count lembaga survei lainnya. (tof)

sumber : jawapos.com


PDIP Tantang Golkar Jadi Oposisi

JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengkritik sinyalemen Partai Golkar yang berancang-ancang merapat ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menantang partai berlogo pohon beringin tersebut agar konsisten dengan konsekuensi kekalahan pada pemilu presiden, yakni menjadi partai oposisi.

''Kalau Golkar memang hebat, mari kita bersama-sama. Nanti kita bisa bermain di parlemen,'' kata Ketua Dewan Pertimbangan PDI Perjuangan Taufiq Kiemas di kediamannya, Jalan Teuku Umar, Jakarta, kemarin (11/7).

Dia menegaskan, PDIP tetap akan menjadi partai oposisi bersama Gerindra bila memang resmi kalah oleh SBY-Boediono. Suami Megawati itu optimistis strategi tersebut akan menjadi oposisi yang kuat di parlemen. Sebab, sesuai hasil pileg lalu, PDIP meraup 93 kursi dan Gerindra 30 kursi. Nah, bila ditambah raihan 108 kursi Partai Golkar, koalisi tiga partai itu menguasai sekitar 41 persen suara di parlemen.

Hal senada diungkapkan politikus PDIP lainnya, Hasto Kristianto. Dia berharap Golkar bergabung dengan PDIP dan Gerindra. ''Memang, menjadi oposisi atau tidak adalah otonomi Partai Golkar. Tapi, kami berharap banyak mereka mau bergabung bersama kami,'' ungkapnya.

Apalagi, kata Hasto, Golkar adalah partai senior. Partai itu semestinya bisa menampilkan wibawa politik yang beradab. Bukannya malah menunjukkan diri sebagai partai pragmatis yang haus kekuasaan. ''Mereka seharusnya bisa menghargai keberadaannya secara lebih terhormat dengan menjadi oposisi,'' tegasnya.

Di tempat terpisah, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) juga masih yakin Golkar akan tetap bersama-sama dalam koalisi besar yang terjalin sebelumnya. Koalisi besar itu adalah Gerindra, PDIP Perjuangan, Golkar, dan Hanura. ''Koalisi ini akan berlanjut di parlemen. Sebab, setiap peserta koalisi sudah menandatangani kesepakatan bersama,'' ujar Ketua DPP Gerindra Sjukrianto Yulia di Jakarta kemarin.

Meski demikian, kata dia, pihaknya terus menjalin komunikasi dan konsolidasi untuk memantapkan koalisi tersebut. Tentu saja dalam kaitan membentuk sebuah koalisi besar sebagai kekuatan alternatif di luar pemerintahan. ''Tapi, kami tentu harus menunggu hasil final pilpres karena penghitungan belum selesai. Situasi (hasil pilpres) bisa saja berubah,'' tuturnya.

Dia menegaskan, apa pun hasil pilpres nanti, Partai Gerindra sudah siap dengan segala kemungkinan. Termasuk, kalah dalam pilpres. ''Intinya, kami siap membangun kekuatan penyeimbang bagi koalisi Demokrat dengan 23 mitra koalisinya,'' ungkapnya. (aga/dyn/agm)

sumber : jawapos.com

Hidup Sederhana Pejabat, Upaya Membangun Budaya Takut Korupsi

Budayawan Sudjiwo Tedjo mengkritik kebiasaan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang enggan hidup bersahaja. Sudjiwo mengatakan sebal dengan gaya para menteri kabinet sekarang yang selalu mendapatkan pengawalan, termasuk saat di jalan raya.

"Sekejam-kejamnya Pak Harto -kalau dia dianggap kejam- tidak ada menterinya yang dikawal. Sekarang semua menteri dikawal. Bikin muak," ujar Sudjiwo dalam diskusi bertema Presiden Lanjutan di Jakarta Sabtu (11/7). Dia berharap agar kebiasaan seperti itu tidak lagi dilakukan para menteri SBY.

Presiden SBY diharapkan membangun budaya hidup sederhana di kalangan pejabat negara. Masyarakat harus diajarkan bahwa pejabat tidak harus hidup bermewah-mewahan. Selama ini, sambung Sudjiwo, masyarakat justru heran bila melihat seorang pejabat hidup sederhana. "Masyarakat harus memuji tatkala melihat istri seorang wali kota naik bus kota. Membangun budaya hidup sederhana bagi pejabat harus dilakukan SBY di masa kepemimpinannya yang akan datang," saran pria yang pada masa kampanye menjadi pendukung pasangan Jusuf Kalla-Wiranto itu.

Di tempat yang sama, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan setuju dengan pendapat Sudjiwo. Dia menyebut bahwa hidup sederhana di kalangan pejabat merupakan cikal bakal upaya membangun budaya takut korupsi. "Selama ini, belum ada budaya takut korupsi. Yang ada baru budaya takut ditangkap. Ini harus diakhiri dan diganti dengan budaya takut korupsi," tegas Erry.

Khusus menyoroti kinerja SBY di bidang pemberantasan korupsi, Erry menyatakan bahwa pemerintahan SBY belum banyak berperan dalam upaya pemberantasan korupsi. Rancangan pembentukan KPK dimulai pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan undang-undang pembentukannya disahkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri. "Saya diambil sumpah juga di depan Ibu Mega," ujar Erry. (sam/jpnn/agm)

sumber: jawapos.com

Mengapa tidak percaya koperasi? Koperasi mengalami krisis nilai, kepemimpinan, dan kepercayaan

Sebanyak 30% dari 138.000 koperasi di Indonesia hingga kni belum aktif. Salah satu penyebabnya, koperasi kekurangan modal untuk mengembangkan usaha (Adi Sasono, 2007).

Dari sisi volume usaha pun, perkoperasian di Indonesia juga masih sangat rendah. Saat ini baru 22% dari masyarakat Indonesia yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Singapura.

Di AS, sebanyak 70% warganya yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Adapun di Singapura persentasenya lebih tinggi, yakni 80%. Kondisi tersebut berpengaruh pada volume usaha koperasi di Indonesia yang saat ini, hanya sekitar Rp55 triliun per tahun.

Jika ditelisik sejarahnya, lembaga perekonomian rakyat bernama koperasi ini sudah melembaga sejak negeri ini masih ada pada era penjajahan Belanda.

Ide-ide perkoperasian yang diperkenalkan pertama kali oleh R. Aria Wiraatmadja, Patih di Purwokerto, Jawa Tengah (1896), ini diteruskan semangatnya oleh Budi Utomo (1908), Serikat Dagang Islam (1927), Partai Nasional Indonesia (1929) di mana ketiganya turut mengemban perjuangan penyebarluasan semangat koperasi.

Praktis, koperasi pun digunakan sebagai sarana ekonomi dalam konsep perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.

Setelah kemerdekaan, koperasi dijadikan sebagai model pembangunan ekonomi Indonesia. Posisinya dikukuhkan dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1. Koperasi menjadi sarana perjuangan pembangunan, diberi motivasi, visi dan misi.

Namun, Dekret Presiden untuk kembali ke UUD 1945 tahun 1959, telah menjadikan koperasi bergeser menjadi sarana politik pemerintah (Nasakom). Akibatnya, rusaklah koperasi sebagai lembaga pembangunan ekonomi rakyat. UU Koperasi Nomor 79/1958 diganti UU Nomor 14/1965 yang berorientasi pada politik.

Dasar hukum silih berganti demi kepentingan politik. Selama Orde Baru, tujuan pembangunan ekonomi adalah stabilitas, pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, dan asas pemerataan. Sehingga tak heran, setiap kali menginventarisasi jumlah koperasi, jumlahnya diwajibkan meningkat.

Penguasa saat itu selalu minta untuk menunjukkan terjadinya peningkatan. Inilah tolok ukur kemajuan bangsa. Penurunan jumlah koperasi hanya akan memperlihatkan kemunduran bangsa (Ibnoe Soejono, 2007).

Selama Orde Baru, kebijakan swasembada beras menjadi bagian strategis. Peran koperasi unit desa (KUD) sangat penting dan ikut menentukan keberhasilan politik. Apalagi, didukung penyuluhan pertanian, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa, penyediaan sarana produksi (pupuk dan bibit), dan pemasaran (Bulog) dalam pola Catur Sarana Usaha Pertanian.

Dualistik

Kemudian, terciptalah kondisi dualistik dan proses pembinaannya menjadi top-down. Koperasi mengalami krisis jati diri, yang bersumber pada krisis nilai, kepemimpinan, dan kepercayaan.

Pada era reformasi, koperasi makin mengalami pergeseran jati diri. Koperasi seharusnya menjadi people based association, tetapi ternyata menjadi capital based association. Bukan lagi mementingkan peningkatan hidup rakyat, melainkan ukurannya adalah modal usaha yang harus berkembang dan menguntungkan.

Selama ini kita cenderung bersikap paradoksal. Bicara terus-menerus mengenai prosedural, tanpa memiliki sistem perlindungan. Kita bicara manajemen koperasi, tetapi kenyataannya menggunakan capital based yang merancukan koperasi. Kita bicara kerja sama sebagai modal sosial, tetapi kita cenderung egois. Kita bicara koperasi, tetapi tindakan-tindakan kita justru menyerupai kapitalis.

Memang betul, koperasi membutuhkan dana. Namun, kelemahan manajemen justru memorak-porandakan eksistensi koperasi. Koperasi yang seharusnya menjadi simbol kekuatan rakyat, dalam perjalanannya justru penuh kegagalan dan kekecewaan. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru dan dalam krisis ekonomi, nasib koperasi pun kian terpuruk.

Kondisi inilah yang rupanya membuat sebagian kalangan tidak menganggap perlu koperasi dipertahankan keberadaannya dalam perekonomian Indonesia. Kepercayaan mereka bahwa koperasi dapat berfungsi dengan baik dalam melayani kebutuhan anggota pupus.

Mereka pun yakin bahwa koperasi adalah organisasi yang tidak efisien, dan koperasi akan tetap kerdil untuk selama-lamanya, sehingga lembaga ini dipandang layak dibubarkan.

Wacana bubar-membubarkan pun tak hanya menimpa lembaga ekonomi bernama koperasi. Bahkan, terhadap kementerian yang selama ini mengurusi koperasi pun pernah diwacanakan untuk dibubarkan.

Hal ini sempat mengemuka dalam rapat dengar pendapat membahas Rancangan Undang-Undang UMKM di Komisi VI DPR, 2 tahun lalu. Pendapat yang bergulir menyatakan bahwa program pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah dilaksanakan sejumlah departemen dan BUMN.

Posisi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) dipandang sama dengan departemen lain, sehingga diusulkan Kemenkop dan UKM untuk dihapus.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, betulkah membubarkan lembaga koperasi dan menghapus kementerian terkait (yakni Kemenkop dan UKM) merupakan langkah tepat menyelamatkan perekonomian Indonesia?

Memang, potret-potret kegagalan koperasi tak bisa kita tutup-tutupi. Namun sudahkah kita berpikir secara cermat, sesungguhnya apa yang menjadi penyebab keterpurukan koperasi sehingga solusi yang kita tarik sebenarnya tak harus dengan membubarkannya?

Berdasarkan pengamatan, keterpurukan koperasi bukan karena kesalahan kaidah-kaidah koperasi, melainkan lebih kepada adanya penyimpangan-penyimpangan dari kaidah koperasi. Dan penyimpangan-penyimpangan tersebut yang bersifat fundamental.

Penyimpangan tersebut antara lain pendirian koperasi berdasarkan kebutuhan anggota yang tidak jelas, sehingga core business koperasi tidak jelas; tidak memiliki kriteria keanggotaan yang jelas, yaitu berdasarkan kemampuan memodali dan melanggani, sehingga koperasi mengalami kesulitan permodalan dan kesulitan mempertahankan omzet.

Lalu pendirian unit usaha yang tidak memenuhi kelayakan usaha, karena kebutuhan anggota yang tidak jelas dan kriteria anggota yang juga tidak jelas; hak-hak anggota (yaitu hak menyatakan pendapat, hak memilih yang bebas, hak mengawasi) yang terbelenggu oleh dominasi pengurus.

Oleh Rahmat Pramulya
Instruktur pemberdayaan UMKM, Manajer Pengembangan Agriswadaya Foundation

sumber ; bisnis.com