Minggu, 14 Februari 2010

Data ototnomi Daerah dari Jawa Pos per tanggal 15 Februari 2010

[Jawa Pos.com, Selasa, 09 Februari 2010 ]

Arah Otonomi Lima Tahun ke Depan

Jangan Abaikan Kekhususan Daerah

Dalam rapat kerja pemerintah selama dua hari yang berakhir pekan lalu (3/2), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan instruksi presiden (inpres) terkait pembangunan berkelanjutan. Bagaimana potensi implikasinya bagi daerah?

---

PADA penutupan rapat tersebut, Presiden SBY menyampaikan, setidaknya akan ada dua substansi inpres yang terbit. Pertama, inpres ditujukan untuk menindaklanjuti hasil rapat enam kelompok kerja sektor pembangunan prioritas. Kedua, inpres bertujuan menindaklanjuti hasil kerja 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono (Jawa Pos, 4/2).

Meski, isu itu sebenarnya kalah populer dalam pemberitaan media daripada isu Century, pemakzulan, dan koalisi. Namun, perlu dicatat bahwa isi yang akan dituangkan dalam inpres tersebut akan menentukan pelaksanaan pembangunan lima tahun ke depan. Terutama bagi pembangunan daerah dan masyarakat ke depan.

Otonomi daerah mendapat porsi tersendiri dalam pembangunan lima tahun ke depan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menyebutnya sebagai kegiatan prioritas. Ada tiga kegiatan inti di dalamnya, yaitu penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, efisiensi dan efektivitas dana perimbangan daerah, serta penyempurnaan pilkada.

Berdasar fakta pelaksanaan otonomi daerah selama sembilan tahun terakhir, rencana-rencana tersebut memang cukup mendesak. Namun, bukan berarti tanpa kritik. Terdapat beberapa kelemahan yang mesti dipertimbangkan.

Rencana pertama cenderung dipaksakan dan tidak realistis. Sebab, terjadinya pemekaran daerah lebih banyak ditentukan faktor-faktor politis dan di luar jangkauan pemerintah. Pintu masuk usul UU daerah baru lebih banyak melalui DPR dan didorong kepentingan elite-elite lokal yang sulit dikendalikan.

Terkait dana perimbangan, perlu direnungkan kembali makna dan tujuannya. Terutama dana alokasi khusus (DAK) yang masih memiliki banyak kendala. Berdasar hasil studi lembaga penelitian SMERU (2008), kebijakan DAK masih kurang memberikan ruang perbedaan antardaerah.

Selain itu, kebijakan DAK dinilai sering terlambat dan tidak sesuai dengan jadwal perencanaan daerah. Alhasil, perubahan APBD harus dilakukan dengan menyita waktu dan biaya daerah untuk berkoordinasi dengan DPRD. Terakhir, masih ada persoalan transparansi alokasi DAK sehingga memunculkan praktik ''lobi dan percaloan" anggaran di Jakarta.

Penyempurnaan pilkada melalui efisiensi penyelenggaraannya merupakan program yang responsif. Pemerintah akan melakukan revisi terbatas UU 32/2004 dan menyusun UU Pemilu Kepala Daerah. Tetapi, terkait efisiensi, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang wacana pemilihan gubernur oleh DPRD.

Artinya, masalah efisiensi pilkada tidak semata dipandang karena besarnya biaya. Efisiensi perlu pula menjawab persoalan rendahnya kepercayaan (trust) dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari kinerja kepala daerah terpilih. Apalagi, persoalan DPT masih saja merongrong penyelenggaraan Pilkada 2010 di sejumlah daerah.

Kasus Jawa Timur

Secara normatif, RPJMN terkait langsung dengan RPJMD (daerah). Undang-Undang 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan agar RPJMD memperhatikan RPJMN dalam penyusunannya. Begitu pula PP 8/2008 yang mengharuskan hal serupa.

Faktanya, perbedaan RPJMD sangat mungkin terjadi sebagaimana temuan studi LPPM Universitas Brawijaya (UB) dan Bappeprov Jawa Timur. Terdapat perbedaan kesesuaian antara agenda pembangunan provinsi Jawa Timur 2006-2008 dan 10 kabupaten dan kota sampel. Studi yang dilakukan pada 2009 tersebut menemukan dua argumen mengapa perbedaan bisa terjadi.

Pertama, adanya tuntutan untuk memasukkan visi dan misi bupati atau wali kota terpilih ke dalam RPJMD. Kemungkinan masuknya visi dan misi kepala daerah sebenarnya sudah diantisipasi dalam UU 25/2004 dan PP 8/2008. Tetapi, dalam kerangka penyamaan arah RPJMD.

Padahal, visi dan misi kepala daerah terpilih adalah manifestasi janji pada saat kampanye pilkada. Artinya, perbedaan beberapa substansi dalam RPJMD kabupaten dan kota dengan RPJMD provinsi dan RPJMN perlu dimaklumi. Apalagi, kepala daerah terpilih lebih memahami wilayah dan kebutuhan masyarakatnya.

Kedua, penyusunan RPJMD berdasar kondisi sosial masyarakat yang ada di kabupaten/kota masing-masing. Sebaliknya, RPJMD provinsi mengacu pada kondisi umum satu wilayah provinsi. Karena itu, perbedaan prioritas pembangunan daerah dan provinsi tidak bisa dihindari.

Studi menemukan perbedaan pada empat agenda (prioritas) pembangunan Provinsi Jawa Timur dengan 10 daerah sampel. Agenda percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur paling berbeda dengan 10 daerah sampel. Selain karena perbedaan karakteristik kawasan (kota/desa), perbedaan muncul karena orientasi pembangunan ekonomi yang berbeda antara pertumbuhan dan pemerataan. (wawansobari/agm)

[jp.com, Selasa, 19 Januari 2010 ]

Efektif Mengendalikan Daerah

Pemerintah pusat tak mau pemda asal-asalan menyusun anggaran daerah (APBD). Karena itu, pusat menerapkan sanksi dan insentif atas pengesahan RAPBD. Efektifkah ketentuan tersebut? Berikut wawancara JPIP dengan Ahmad Erani Yustika PhD, direktur Indef.

---

Depkeu akan menghukum daerah yang penyerapan APBD-nya rendah. Pendapat Anda?

Depkeu selama ini memang memberi sanksi ketika pemda terlambat menyusun APBD tahun berikutnya. Belum sampai pada tahap memberi sanksi kepada daerah yang penyerapan anggarannya kurang bagus. Ada beberapa alasan. Pertama, penyerapan anggaran di pusat juga jelek. Kedua, pemerintah pusat tidak terlalu percaya diri memberi sanksi kepada daerah terhadap beberapa hal tertentu.

Mengapa kurang percaya diri?

Kita tahu, sejak otonomi daerah, sebagian kewenangan itu diberikan kepada daerah. Konsekuensinya, daerah pada tahap tertentu memiliki ruang untuk mengambil keputusan sendiri. Bila dalam beberapa hal program pemerintah pusat tidak bisa dijalankan di daerah, pusat akan sulit mengendalikan keputusan itu karena telah diserahkan kepada daerah. Apalagi bila kepala daerah dipimpin orang parpol yang berbeda dari pusat.

Apa saja antisipasi bagi daerah yang mengalami keterlambatan pengesahan APBD dalam menghadapi disinsentif pusat?

Sebenarnya hanya sedikit pemerintah daerah yang terlambat menetapkan APBD. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Di antaranya, memperkuat intensitas komunikasi dengan DPRD. Sebab, selama ini yang mengakibatkan terlambat adalah pembicaraan dengan DPRD. Jadi, karena adanya tarik-menarik kepentingan, keputusan tidak bisa secepatnya diambil.

Dalam beberapa kasus, itu sebenarnya terjadi karena political barter yang tidak ketemu antara eksekutif dan legislatif. Komunikasi yang bagus kepala daerah yang tidak berasal dari partai politik mayoritas di DPRD harus diperbaiki. Itu menjadi masalah serius karena sudah diperkirakan menjadi kelemahan model demokrasi seperti sekarang.

Apakah mekanisme pemotongan dana transfer sudah tepat ditetapkan sebagai sanksi bagi daerah?

Saya secara prinsipiil setuju dengan itu. Sebab, dana transfer merupakan dana terpenting daerah untuk mendapatkan penerimaan APBD-nya. Ketika dana transfer dijadikan instrumen untuk tertib administrasi, itu sudah tepat sasaran.

Ketika dilakukan, apakah pemotongan dana transfer justru tidak menghambat pembangunan?

Karena itu, ancaman semacam itu membuat perilaku daerah berubah. Kalau ancaman terlalu lunak, desakan untuk memperbaiki administrasi anggaran menjadi kurang.

Alternatif selain pemotongan dana transfer?

Di satu sisi, hal seperti itu ditakut-takuti karena diancam dengan penalti. Di sisi lain, harusnya ada insentif. Daerah-daerah yang adminsitrasinya bagus dan laporan pertanggungjawabannya tidak disclaimer harus diberi insentif. Misalnya, penambahan dana transfer.

Apakah pusat perlu mengadakan asistensi bagi daerah-daerah dengan penyerapan APBD yang rendah?

Sebenarnya sekarang pola semacam itu relatif banyak. Tidak harus dilakukan pemerintah. Misalnya, pusat mendapat bantuan dari USAID lewat Local Government Support Program, baik di bidang penganggaran maupun perencanaan. Tapi, memang itu tidak bisa selesai dalam jangka pendek karena banyaknya pemerintah daerah di Indonesia. Terutama daerah-daerah hasil pemekaran yang sumber daya manusianya terbatas. (novi/agm)

(Jp.com,Selasa, 02 Februari 2010 ]

Ukur Kinerja Provinsi, Adopsi Otonomi Award

Jatim Juara Dua, Sumut Terburuk

Memasuki usia sembilan tahun, evaluasi otonomi daerah yang dirintis The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) terus memperoleh apresiasi. Bukan semata karena kredibilitas dan integritas, evaluasi kinerja pemerintah daerah (pemda) memang tetap dibutuhkan.

---

KAMIS lalu (28/1), di gedung Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) diadakan partnership lecture series. Bentuknya berupa kuliah umum yang diikuti secara interaktif oleh sepuluh perguruan tinggi di Indonesia melalui video conference. Di ruang kuliah Dikti hadir sejumlah tokoh nasional seperti mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Menkrimpraswil) Erna Witoelar, mantan Hakim Agung Benjamin Mankoedilaga, sejumlah pejabat Kemendiknas, perwakilan lembaga donor, akademisi perguruan tinggi, serta sejumlah NGO di Jakarta.

Kuliah umum itu bertema "Mengukur Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis; Potret Tata Kelola Pemerintahan Provinsi di Indonesia." Tema ini menegaskan bahwa evaluasi kinerja pemerintah daerah selama pelaksanaan otonomi daerah sangat penting. Padahal, lecture series itu merupakan yang pertama diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional yang direncanakan enam kali untuk isu-isu tata kelola pemerintahan.

Pemilihan tema evaluasi kinerja pemerintah daerah bukan tanpa alasan. Hal itu tersirat dari benang merah diskusi pada kuliah tersebut, yang menyoroti desentralisasi sebagai ruang ekspresi terbuka bagi daerah untuk menjalankan pemerintahan. Dalam implementasi desentralisasi, potensi disparitas otonomi daerah menjadi tinggi. Disparitas itulah yang harus dievaluasi agar menuju arah perbaikan. Disparitas kemajuan juga harus diukur sedemikian rupa sehingga memotivasi daerah untuk berkompetisi.

Inisiatif mengompetisikan daerah itulah yang mengarahkan apresiasi kepada JPIP yang telah melakukan Annual Otonomi Award sejak 2002. Apresiasi tersebut disampaikan narasumber lecture series Anis Baswedan PhD (rektor Universitas Paramadina) yang tampil bersama A. Malik Gismar PhD (kepala Unit Riset Partnership). Lecture series itu dipandu pengacara Bambang Widjojanto.

Apresiasi Anis Baswedan kepada JPIP dilontarkan dalam konteks menjelaskan Partnership Governance Index (PGI) yang dibahas dalam forum tersebut. Menurut Anis, PGI yang dibuat Partneship terinspirasi model evaluasi daerah yang dibuat JPIP. Bahkan, dalam penyusunan PGI, Partnership secara khusus melakukan bedah metodologi JPIP yang mendatangkan peneliti LP3ES dan Litbang Kompas tiga tahun lalu.

Menurut Anis, desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia dilakukan secara serentak. Ini merupakan satu-satunya kasus di dunia. Dalam kacamata akademis, kasus Indonesia akan menjadi referensi dunia dalam menerapkan demokratisasi dan desentralisasi sekaligus. Kalau berhasil, Indonesia akan menjadi laboratorium dunia dalam menerapkan demokratisasi dan desentralisasi.

Dengan demikian, harus ada alat ukur yang jelas untuk mengevaluasi semua proses itu agar jangan sampai gagal. Pemerintah daerah harus dipacu agar termotivasi untuk memajukan daerahnya dengan bingkai good governance. Apa yang dilakukan JPIP via Otonomi Award dan Partnership via PGI merupakan upaya konkret mengawal otonomi daerah. Daerah perlu dipacu melalui model evaluasi pemeringkatan maupun indeks di samping model evaluasi lainnya.

Persoalannya, baik JPIP maupun PGI memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi seluruh kabupaten/kota dan provinsi pada keseluruhan aspek tata pemerintahan. Dibutuhkan beragam evaluasi oleh pemerintah pusat dan non pemerintah. Termasuk keberanian pemerintah mengumumkan hasil Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) yang memiliki dasar hukum PP Nomor 6 Tahun 2008.

Pemeringkatan yang Memotivasi

Sebagaimana pemeringkatan yang telah dilakukan JPIP, Partnerhip Governance Index (PGI) menampilkan hal serupa. Bedanya, kalau JPIP melakukan pemeringkatan kabupaten/kota di Jatim, Kaltim, Jateng-DIY, dan Sulsel. Sementara PGI membuat pemeringkatan untuk 33 provinsi di Indonesia dalam skala nilai 1 sampai 10. Perbedaan lainnya terletak pada unit analisisnya. JPIP mengevaluasi kemajuan daerah melalui ukuran perkembangan ekonomi, peningkatan layanan public, serta kinerja politik lokal (demokratisasi di daerah).

PGI mengukur dinamika empat arena tata pemerintahan, yaitu government (political office), birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi (economic society). Keempat arena tersebut diukur dengan prinsip-prinsip partisipasi, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas. Dari simulasi yang dipaparkan, secara khusus PGI dapat menampilkan perbandingan indeks antararena. PGI juga dapat menampilkan korelasi indeks antarprinsip pada suatu arena.

Contohnya, kita dapat melihat gambaran efektivitas dan efisiensi pada arena birokrasi. Hasilnya, indeks efektivitas birokrasi di 33 provinsi relatif sama, antara 5 sampai 7,5. Namun, hal tersebut ditempuh dengan efisiensi yang berbeda untuk setiap provinsi. Artinya, untuk mencapai efektivitas sebuah capaian program tertentu, tiap provinsi melakukannya dengan efisiensi yang berbeda.

Dari keseluruhan arena dan prinsip PGI, ternyata ditemukan fakta menarik menyangkut tujuh provinsi baru yang masuk Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP). Lima di antara 7 provinsi baru tersebut berada di bawah rata-rata nilai indeks, yaitu Provinsi Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Hanya dua provinsi baru yang berhasil melampaui rata-rata indeks, yaitu Provinsi Kepulauan Riau dan Gorontalo.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sebuah evaluasi dengan ukuran tertentu sangat penting untuk menunjukkan kemajuan daerah secara relatif dengan daerah lainnya. Apa yang dilakukan PGI maupun JPIP memang dimaksudkan untuk mendorong daerah berprestasi. Pada taraf tertentu, daerah terpuruk terpacu untuk keluar dari keterpurukan. Pemeringkatan diharapkan memberikan rasa malu kepada daerah yang berada di peringkat jelek. (dadan/agm)

[jp.com, Selasa, 19 Januari 2010 ]

Lemahnya Pengelolaan Keuangan Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2010 di kabupaten-kota seharusnya sudah ditetapkan selambatnya Desember 2009. Depdagri mengancam memotong dana transfer karena keterlambatan tersebut. Apa konsekuensi sanksi itu bagi daerah?

---

ADA dua penyebab utama keterlambatan pengesahan APBD. Pertama, proses review dari pemerintah provinsi (pemprov) dan pengesahan dari gubernur. Kedua, kondisi politik di tingkat lokal. Kurang harmonisnya hubungan antara eksekutif dan legislatif berdampak terhadap pembahasan anggaran di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten-kota.

Akibatnya, pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) yang diajukan eksekutif akan melalui proses yang sangat panjang dan alot. Saat itu akan terjadi tarik-menarik kepentingan antara kedua pihak.

Setiap tahun, anggaran di daerah selalu dimulai pada Januari. Pada bulan yang sama, pemda telah memulai proses musyawarah pembangunan (musrenbang) di tingkat desa-kelurahan sebagai proses awal menyusun anggaran untuk tahun berikutnya.

Namun, tak jarang karena dua masalah tersebut, APBD baru disahkan pada Januari atau Februari. Molornya pengesahan berdampak terhadap implementasi program pembangunan di daerah. Misalnya, keterlambatan proses tender (lelang) proyek-proyek (terutama fisik) yang didanai APBD. Kalau tender terlambat dilaksanakan, pemda tidak dapat melakukan belanja modal.

Belanja modal biasanya dilaksanakan melalui lelang. Berdasar Permendagri No 13/2006 jo Permendagri No 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja yang bisa dilakukan pemkot hanya barang dan jasa. Itu pun menggunakan APBD pada tahun sebelumnya sebagai rujukan.

Dampak lain adalah rendahnya penyerapan anggaran pembangunan di daerah. Pemerintah menggunakan alasan tersebut untuk menilai kinerja pemda. Semakin rendah penyerapan anggaran, pemda dianggap tidak memaksimalkan pelayanan kepada publik. Itu jelas amat merugikan masyarakat.

Rendahnya daya serap anggaran di daerah terjadi karena berbagai sebab. Pertama, kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah yang bervariasi. Kedua, kondisi politik di daerah yang tidak harmonis. Ketiga, prinsip kehati-hatian yang diterapkan pejabat daerah karena regulasi yang tumpang tindih dan dianggap ketat oleh daerah. Pejabat di daerah takut terjadi kesalahan prosedur, sehingga menyeret mereka ke dalam kasus korupsi. Karena itu, banyak pejabat di daerah yang tidak mau menjadi pimpinan proyek (pimpro).

Keterlambatan pengesahan APBD dan belum terserapnya semua pembangunan anggaran daerah mendorong Departemen Keuangan (Depkeu) untuk memberlakukan insentif dan disinsentif kepada pemda. Sebab, kondisi sudah dianggap meresahkan. Sanksi yang diterima daerah bila tidak mampu menjalankan fungsi anggaran adalah pemotongan atau penundaan transfer anggaran dari pusat. Nilainya disesuaikan dengan dana yang tidak berhasil diserap.

Ini merupakan kabar buruk bagi daerah yang tidak mampu menyerap semua anggaran publiknya. Sebab, selama ini 70 persen anggaran di daerah berasal dari dana transfer, baik berupa dana alokasi umum (DAU) maupun dana alokasi khusus (DAK). Dengan anggaran-anggaran tersebut, pemda membiayai gaji para pegawai dan proyek-proyek pembangunan di daerah. Tanpa dana transfer, pembangunan di daerah belum bisa berjalan.

Selain sanksi, sudah selayaknya pusat memberikan insentif kepada daerah. Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyatakan, insentif ke daerah disalurkan dalam bentuk DAU, DAK, atau dana bagi hasil (DBH). Namun, jumlah tersebut belum ditentukan secara jelas oleh Depkeu. Jumlah insentif itulah yang seharusnya segera ditentukan Depkeu.

Reward dan punishment tersebut merupakan cara yang bagus untuk mendisiplinkan kebijakan anggaran di daerah. Tanpa sanksi yang keras, sangat sulit mengubah pengelolaan keuangan di daerah. Dengan alasan takut melanggar hukum dan ketentuan, anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik tidak terserap secara maksimal. Ini menjadi tantangan yang sangat besar bagi daerah yang mengalami kendala kualitas SDM dan panasnya suhu politik antara eksekutif dan legislatif.

Tertibkan Keuangan Daerah

Tahun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2010 di tingkat nasional dan daerah telah dimulai pada 11 Januari lalu. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerahkan daftar isian penggunaan anggaran (DIPA).

Dalam kesempatan tersebut, presiden mengingatkan daerah untuk mempercepat penyerapan keuangan. Tidak ada alasan bagi daerah untuk menunda penggunaan anggaran. Sebab, regulasi, prosedur, dan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah telah jelas. Pesan SBY tersebut bisa jadi sulit dilakukan bila daerah yang bersangkutan terlambat mengesahkan RAPBD.

Jelasnya prosedur pengelolaan keuangan itu kadang masih belum dilaksanakan pemda. Kesalahan dalam menjalankan prosedur keuangan di daerah dan tidak tahu regulasi tidak jarang menyeret kepala daerah dalam kasus korupsi. Misalnya, kasus penyelewengan dana kas daerah di Kabupaten Situbondo yang menyeret Bupati Ismunarso ke penjara.

Namun, terkait alokasi anggaran berdasar pembagian kewenangan, dalam praktiknya masih banyak terjadi tumpang tindih. Terutama untuk program-program dari DAK. Di lapangan, banyak yang kurang sesuai dengan kebutuhan daerah. (novi/agm)

[ jp.com.Selasa, 09 Februari 2010 ]

Belum Ada Grand Design

Sudah sebelas tahun Indonesia menerapkan otonomi. Masalah itu juga sudah diagendakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Inilah pandangan peneliti politik LIPI R. Siti Zuhro PhD.

---

Apakah penataan otonomi daerah sudah pas?

Penataan daerah saat ini sudah sangat urgent. Itu dilakukan dengan menghadirkan grand design penataan daerah. Wujud desain tersebut saat ini belum ada. Hanya baru berupa pemekaran daerah. Untuk skala yang besar hingga 2025 atau 2030 belum ada.

Terkait dengan pilkada, penataan tersebut memang menjadi evaluasi. Sekarang harus ada ketegasan dari pemerintah pusat melalui revisi UU 32/2004 terkait titik tekan otonomi daerah itu ada di kabupaten/kota atau provinsi. Apakah akan memperkuat posisi gubernur sebagai kepala daerah atau wakil pemerintah pusat di daerah sehingga berkonsekuensi pada pelaksanaan pilkada langsung. Kalau menurut saya, akan efektif jika titik tekan otonomi daerah di provinsi sehingga mensyaratkan pilkada langsung di provinsi. Dengan konsekuensi itu, kabupaten dan kota tidak perlu mengadakan pilkada.

Bagaimana potensi implikasinya bagi daerah?

Sekarang yang kita tahu, apa yang dilakukan pemerintah pusat baru menyertakan pemerintahan di level provinsi. Ada kesadaran permasalahan rentang kendali, maka yang paling logis adalah level provinsi. Karena itu, provinsi mulai dilibatkan sejak program 100 hari sampai setelah 100 hari. Itu artinya, pemerintah pusat sekarang ingin mengajak sinergi dan menata hubungan yang lebih baik antara pusat dan daerah melalui keikutsertaan pemerintah provinsi untuk memantau, melaksanakan, dan bertanggung jawab.

Apa ini bukan bentuk resentralisasi?

Memang, kecenderungannya akan resentralisasi kalau provinsi hanya sebagai wakil pemerintah pusat. Namun, otonomi jangan hanya dipenuhi perdebatan antara desentralisasi dan resentralisasi. Kita butuh langkah konkret ke depan.

Bagaimana peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk pelaksanaan RPJMN?

Selama tidak ada amandemen konstitusi, akan terjadi stagnasi. Sebab, DPD tidak bisa melampaui kewenangannya sehingga dalam mengawal penguatan daerah ke depan kurang riil. Ada korelasi positif antara keterbatasan kewenangan dan kurang maksimalnya peran DPD. (wawan/jpip/tof)

Data MP :

(Jp.com Senin, 15 Februari 2010 ]

Silang Sengkarut Sengketa Lahan SD

KBM Jadi Korban

PENYEGELAN sekolah dasar negeri (SDN) oleh warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan belakangan ini marak. Motif di balik itu hampir sama. Pemilik lahan tidak mendapatkan janji pemerintah saat lahannya dipakai untuk ditempati gedung SD.

Pemkab pun dilematis. Sebab, lahan yang mesti diganti rugi butuh dana besar. Juga untuk mengangkat pesuruh atau PNS pemilik atau ahli waris lahan terkendala prosedur. Kini, akumulasi kecewa hingga protes membuncah. Perlu penyelesaian agar kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak terganggu.

di Kabupaten Sumenep misalnya, belakangan ini protes hingga penyegelan SD marak terjadi. Ahli waris lahan menuntut ganti rugi atas lahan yang ditempati SD puluhan tahun.

Data di Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep, dua SDN telah disegel oleh pemilik tanah. Penyegelan buntut dari keinginan pemilik lahan yang tidak ditanggapi serius pemkab. Bahkan, ada yang sampai terjadi penyegelan berulang - ulang.

Sekolah yang disegel adalah SDN Kangayan pada Januari dan SDN Ambunten Tengah IV, Kec Ambunten, pada Februari 2010 untuk kali keempat. SDN Ambunten Tengah IV disegel Maat, 33, keponakan Haniya, pemilik tanah.

Motif penyegelan karena faktor kecewa kepada pemkab yang terkesan lamban dalam memberi ganti rugi atas tanah yang ditempati sekolah itu. Alasan lainnya, pemilik tanah menginginkan keluarganya bisa dijadikan sebagai pesuruh atau penjaga sekolah.

Kabid Pendidikan Dasar (Dikdas) Disdik Sumenep Moh. Sadik menuturkan, rata - rata permintaan pemilik tanah agar keluarganya diangkat menjadi pesuruh di sekolah. Justru untuk tuntutan ganti rugi tidak banyak. "Kadang yang diusulkan adiknya atau keluarga dekatnya untuk bisa dijadikan pesuruh," katanya.

Menurut dia, hanya ada dua kasus penyegelan sekolah yang belakangan ini mencuat ke permukaan. Padahal, dari awal tidak ada pemilik tanah yang menyegel sekolah. "Biasanya pemilik tanah langsung meminta kepada pemerintah sesuai keinginannya, terutama menjadi pesuruh. Namun, ada sebagian yang hanya minta ganti rugi dan rata - rata dikabulkan," jelasnya kepada koran ini kemarin (14/2).

Diungkapkan, ada sekitar 80 sekolah yang tanahnya dipermasalahkan pemilik tanah. Namun, tidak semua sampai menyegel sekolah. Mereka hanya minta diangkat menjadi pesuruh di sekolah yang tanahnya ditempati sekolah. Ini terjadi sejak disdik masih bernama dinas pendidikan dan kebudayaan (dinas P dan K).

"Semuanya sudah selesai dan bisa diatasi. Semuanya sudah sesuai dengan permintaan atau dikabulkan. Termasuk 80 pemilik tanah itu, sudah diangkat jadi pesuruh," klaimnya.

Memang, terang Sadik, untuk SDN Ambunten Tengah IV dan SDN Kangayan sampai saat ini belum ada ganti rugi maupun pemilik lahan dijadikan pesuruh sekolah. Masalah tersebut masih dalam proses penyelesaian dengan pemilik tanah. Disdik akan menyelesaikan secara cepat, agar KBM bisa normal kembali.

Dia berharap, jika ada masalah terkait tanah yang ditempati sekolah, jangan sampai pemilik tanah langsung menyegel sekolah. "Bicarakan dulu apa yang bisa dilakukan pemerintah, terutama disdik," harapnya. (c26/mat)

(Jp.comMinggu, 14 Februari 2010 ]

Diduga Ada Manipulasi Sertifikat

PAMEKASAN-Sertifikat tanah SDN Batu Kalangan I, Kec Proppo, yang dimiliki pemkab berbau manipulasi. Indikasinya, meski lahan seluas sekitar 2.331 meter persegi itu telah bersertifikat sejak 1981, namun hingga sekarang pemilik lama yang membayar PBB (pajak bumi dan bangunan).

Dugaan adanya ketidakberesan itu sebenarnya mulai terungkap saat Komisi A DPRD Pamekasan menggelar hearing (12/2). Saat itu warga setempat yang mengklaim pemilik sah, Muhdar alias H Mukid, 35, juga dihadirkan.

Karena merasa sebagai pemilik sah dan pemkab ingkar janji, Mukid bersikeras tidak akan membuka segel di SDN Batu Kalangan I. Meskipun, pemkab telah mengantongi sertifikat lahan SD yang jadi sengketa itu.

"Saya tidak akan membuka segel. Tanah itu milik keluarga besar kami. Dan, sejak awal hingga sekarang yang membayar pajak bukan pemkab," katanya saat pertemuan di aula komisi A.

Dugaan adanya manipulasi saat pengurusan sertifikat diakui Ketua Komisi A M. Suli Faris. Komisinya menerima informasi dan laporan dari warga. Namun, Suli tidak menjelaskan secara detail indikasi adanya penyimpangan pembuatan sertifikat tersebut.

"Informasi warga memang ada (dugaan penyimpangan). Tapi, itu sebatas informasi yang kami dapat. Dan, belum bisa dijadikan kesimpulan," terangnya melalui sambungan telepon genggamnya kemarin (13/2).

Menurut Suli, dugaan warga masuk akal. Sebab, jika memang tanah telah bersertifikat atas nama pemkab, seharusnya segala bentuk administrasi, termasuk pajak, tidak lagi tanggung pemilik semula.

"Namun, kami masih mempelajari semua informasi dan data, termasuk laporan dan kedua belah pihak. Artinya, sekali lagi ini bukan kesimpulan. Kasus ini masih proses dan secepat harus tuntas," tegasnya.

Selain mempelajari semua data yang telah didapat, sambungnya, komisi A koordinasi dengan instansi terkait. Termasuk dengan Dinas Pendidikan (Disdik) Pamekasan. "Semua pihak yang terlibat harus dimintai klarifikasi. Untuk itu, kami akan mendatangkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pamekasan. Tujuannya, untuk mengetahui secara persis proses (sertifikat)," urainya.

Apakah setelah pertemuan akan ada kesimpulan? Politisi yang berangkat dari Dapil V (Pasean, Waru, dan Batumarmar) ini tidak mau memastikan. "Kita lihat nanti setelah hasil rapat. Yang terpenting, persoalan ini segera selesai. Dan, keputusannya nanti tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pokoknya, harus mencari solusi yang terbaik dengan tidak melawan peraturan yang berlaku," tandasnya. (nam/mat)

Perpres penyediaan infrastruktur terbit

Minggu, 14/02/2010 17:41:21 WIBOleh: Dewi Astuti

JAKARTA (Bisnis.com): Pemerintah telah mengeluarkan peraturan presiden(perpres) baru hasil revisi Perpres No.67/2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur.

Syahrial Loetan, Sekretaris Utama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Sestama Bappenas, mengungkapkan perpres baru tersebut telah mendapatkan persetujuan dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Penuntasan revisi Perpres No.67/2005 merupakan bagian dari program 100 hari. Hasil revisi sudah ditandatangani presiden dan tertuang dalam perpres No.13/2010," ujarnya pada akhir pekan lalu.

Dalam ketentuan baru hasil revisi, pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk para investor yang menjadi pemrakarsa. Pemrakarsa proyek merupakan investor swasta yang mengajukan rencana pembangunan proyek termasuk didalamnya studi kelayakan yang belum direncanakan pemerintah.

Dedy S. Priatna, Deputi bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, menjelaskan investor bisa menjadi pemrakarsa bila usulan mereka diajukan kepada kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah dan disetujui oleh menteri terkait, sebelum kemudian diajukan kepada menteri keuangan.

Bila mendapatkan persetujuan, pemrakarsa akan memperoleh sejumlah insentif dari pemerintah atas usahanya tersebut seperti pertama, berupa pemberian preferensi 10% dalam tender.

Maksudnya, bila pemrakarsa ikut dalam tender proyek, namun harga pemenang tender lebih rendah 10% dari harga pemrakarsa proyek, maka pemrakarsa itu dinyatakan sebagai pemenang.

Kedua, pemberian right to match, yaitu bila ternyata harga investor pemenang tender proyek 10% di atas harga pemrakarsa, maka pemrakarsa diberikan waktu hingga 6 bulan untuk memberikan harga di bawah pemenang tender. Kalau dia memberikan tawaran lebih rendah dari pemenang tender, maka menang.

Ketiga, apabila pemrakarsa kalah dalam tender, pemerintah akan membeli hak intelektual rencana proyek tersebut yang nilainya akan dinilai oleh tim penilai independen. Kalau sudah dibeli pemerintah, tidak boleh ikut tender lagi.

Selain itu, Dedy menambahkan ketentuan baru hasil revisi Perpres No.67/2005 juga mengatur pemberian insentif lain seperti pembebasan pajak atau bea masuk barang impor. Namun, keputusan akhirnya akan berada di tangan menteri keuangan. (wiw)

Bea masuk dihapus, penyelundupan masih marak

Minggu, 14/02/2010 17:12:29 WIBOleh: Agus Supriadi

BATAM (Bisnis.com): Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengatakan penyelundupan barang ilegal tetap akan terjadi sekalipun tarif bea dibebaskan melalui beragam kebijakan.

Kepala Kantor Wilayah Khusus Bea dan Cukai Kepulauan Riau Nasar Salim mengatakan penyelundupan barang illegal masih kerap terjadi meskipun kebijakan bea masuk banyak dihapuskan dengan adanya perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) maupun kebijakan lainnya.

Pasalnya, tidak hanya bea masuk yang jadi faktor kepatuhan dari para importer, tetapi kebijakan perpajakan lainnya juga menjadi hal yang sering memunculkan ketidakpatuhan.

“Kenapa sudah dibebaskan bea masuk melalui ACFTA [Asean China FTA] dan insentif kawasan ekonomi khusus [KEK], penyelundupan masih saja terjadi? Karena mereka menghindari pajak lainnya, PPN misalnya,” tuturnya di Pangkalan Khusus Bea dan Cukai Batam pada akhir pekan lalu.

Selain itu, tuturnya, tabiat negatif dari para importir nakal juga tidak serta-merta hilang dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut. Menurutnya, tidak sedikit pelaku usaha yang gemar memacu adrenalinnya dalam berbisnis dengan sengaja melanggar ketentuan hukum.

“Jadi kalau berhasil mengelabui petugas [Ditjen Bea dan Cukai], menjadi kebanggan tersendiri buat mereka,” ujarnya.

Terkait dengan pemberlakuan ACFTA, Nasar menilai tidak akan berpengaruh banyak terhadap penerimaan bea masuk maupun peredaran barang asal China di wilayah Kepualauan Riau.

Pasalnya, sebagian besar importir di wilayah Batam, Bintan, dan Karimun lebih banyak membeli barang dari Singapura ketimbang membeli langsung dari China.

"Mereka sebenarnya tidak menggunakan fasilitas [bea masuk] ACFTA. Mereka itu kebanyakan kredit atau konsinyasi. Kirim dulu barangnya, baru bayar nanti. Jadi tidak ada pengaruhnya ke kita [Batam, Bintan, dan Karimun]," katanya. (wiw)

Manajemen gas nasional perlu kepastian hukum

Senin, 08/02/2010 11:28:00 WIBOleh: Kurtubi

Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 3/2010 antara lain mewajibkan kontraktor production sharing (KPS) atau sekarang disebut kontraktor kontrak kerjasama (KKS) untuk menyerahkan 25% dari produksi gas bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka DMO (domestic market obligation).

Di sini timbul pertanyaan, mengapa 25%? Mengapa tidak 20%, atau 30% atau 50% atau bahkan 100%, misalnya. Apakah ada dasar hukumnya untuk menetapkan batasan 25%?

Soalnya, Pasal 22 Ayat 1 dari UU Migas No. 22/2001 yang mengatur tentang batas maksimal persentase DMO gas sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004.

Bersama dengan Pasal 12 Ayat 3 yang menyangkut Kuasa Pertambangan dan Pasal 28 Ayat 2 yang menyangkut pelepasan harga BBM sepenuhnya kepada mekanisme pasar, Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK karena dinilai melanggar Pasal 33 UUD 1945.

Selama lebih dari 5 tahun, UU Migas No. 22/2001 dibiarkan dalam kondisi 'cacat', tanpa ada upaya untuk melakukan amendemen/perbaikan/penggantian. Bahkan meskipun Pansus Hak Angket Kenaikan Harga BBM yang dibentuk DPR telah merekomendasikan agar UU Migas No. 22/2001 segera diganti, ternyata hingga saat ini belum juga dilakukan.

Kondisi memprihantinkan ini terjadi meskipun pihak eksekutif (Menteri ESDM) yang bertanggung jawab atas pengesahan dan penerapan UU Migas No. 22/ 2001 sudah diganti dengan menteri baru.

Putusan MK, Rekomendasi Pansus Hak Angket BBM, dan imbauan dari berbagai kelompok masyarakat selama ini tetap 'diabaikan', bak pepatah 'anjing menggonggong kafilah tetap berlalu'.

Seyogianya, kondisi 'cacat hukum' dari UU Migas No. 22/2001 harus segera diakhiri terlebih dahulu sebelum antara lain Menteri ESDM yang baru mengeluarkan Permen tentang pemenuhan gas untuk keperluan dalam negeri.

Kalau seandainya proses amendemen/penggantian UU Migas dikhawatirkan akan memakan waktu lama, Presiden dimungkinkan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) karena sifatnya mendesak.

Sebagaimana PM Juanda telah pada akhir 1950-an berani mengeluarkan Perppu (kemudian berubah menjadi UU Prp. No. 44/1960) yang mengganti UU Pertambangan Zaman Belanda yang sangat merugikan Negara (Indische Mijnwet 1899).

Kondisi saat ini mendorong perlunya segera perbaikan/penggantian terhadap UU Migas ini guna menciptakan kepastian hukum dan menghindari terulangnya penjualan gas dengan harga sangat murah ke luar negeri.

Meningkatkan investasi

Kepastian hukum dibutuhkan untuk dapat segera meningkatkan investasi. Dasar hukum bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Blok2 baru harus segera dipulihkan pascapencabutan Pasal 12 Ayat 3 yang semula dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi kegiatan usaha di sektor hulu.

Demikian juga bagi pengaturan pemenuhan gas untuk keperluan dalam negeri yang terkait dengan DMO harus segera dipulihkan dengan memperbaiki/mengganti UU Migas.

Sebab dengan tidak berlakunya Pasal 22 Ayat 1 UU Migas yang mengatur jumlah persentase DMO/gas yang harus dipasok untuk dalam negeri, tentu pasal ini tidak bisa disubstitusi dengan Permen, seperti Permen No. 3/2010.

Pasal 22 Ayat 1 yang sudah dinyatakan tidak berlaku, bersama Pasal 12 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2, kesemuanya harus segera diperbaiki. Oleh karena itulah maka seyogianya Pemerintah saat ini harus segera mengajukan perbaikan/penggantian UU Migas ke DPR atau segera mengeluarkan Perppu. Ini agar status 'cacat' dari UU Migas segera diakhiri.

Kebijakan pembiaran terhadap ketidakpastian hukum di sektor migas saat ini sungguh sangat merugikan negara. Terbukti dari anjloknya investasi/kegiatan pengeboran eksplorasi di Blok2 baru dalam 10 tahun terakhir ini telah menyebabkan tidak adanya penemuan cadangan baru yang berujung pada anjloknya produksi minyak nasional. Indonesia telah berubah menjadi net oil importer dan harus keluar dari OPEC.

Tidak segeranya diperbaiki atas Pasal 22 Ayat 1 UU Migas juga berdampak negatif terhadap pengembangan lapangan-lapangan gas seperti Donggi Senoro, Masela, dsbnya karena tidak ada kepastian persentase DMO yang berdasarkan UU.

Status Permen yang berada dibawah UU, secara pasti tidak bisa menggantikan Pasal 22 Ayat 1 UU Migas yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Terlebih lagi substansi isi dari Permen No.3/2010 kurang visioner karena cenderung untuk terus mendorong pemakaian gas (methane) yang sangat bernilai ekonomi, untuk diinjeksikan ke sumur-sumur tua guna meningkatkan produksi minyak lewat mekanisme EOR (enhanced oil recovery).

Padahal sudah lama berkembang teknologi pemakaian gas CO2 untuk keperluan EOR dimana CO2 selama ini dianggap sebagai beban dan sangat merusak lingkungan.

Gas CO2 tidak hanya bisa diinjeksikan untuk meningkatkan produksi minyak di sumur-sumur minyak tua dengan kandungan minyak jenis medium dan ringan (API di atas 25 derajat) seperti minyak jenis Minas, tetapi juga terbukti bisa diinjeksikan dan meningkatkan produksi dari lapangan minyak dengan kandungan minyak tergolong berat seperti yang terjadi di Lapangan Minyak Bati Rahman di Turki dengan hanya 5 derajat API.

Minyak jenis ini mirip dengan jenis minyak Duri di Riau yang saat ini menggunakan gas methane dalam jumlah yang sangat besar.

Ke depan justru penggunaan CO2 untuk meningkatkan produksi dari lapangan-lapangan tua yang harus didorong, bukan mendorong penggunaan gas methane yang bernilai ekonomi tinggi seperti pada Permen No.3/2010.

Rencana pengembangan Blok Natuna yang mengandung gas CO sekitar 200 tcf dan gas methane sekitar 45 tcf perlu dipercepat.

Gas CO2 yang selama ini direncanakan untuk dipendam kembali di sekitar Natuna, sangat dimungkinkan untuk dialirkan dan diinjeksikan di lapangan-lapangan minyak tua di Sumatra untuk meningkatakan produksi minyak nasional.

Sehingga pengembangan Blok Natuna punya manfaat ganda sekaligus. Selain bisa memperoleh gas untuk diekspor dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga gas CO2 bisa meningkatkan produksi lapangan-lapangan tua di Sumatra, terutama Lapangan Minas dan Duri di Riau.

Kesemua ini baru bisa berjalan kalau ada kepastian hukum. Tidak ada solusi yang sistemik selain dengan terlebih dahulu memperbaiki/mengganti UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti sangat merugikan negara.

Oleh Kurtubi
Direktur Center
for Petroleum and Energy Economics Studies

[ Minggu, 14 Februari 2010 ]

Perlu Sosialisasi Lanjutan

Terkait Transaksi Lapak di Suramadu

BANGKALAN - Camat Labang Hosin Djamili mengatakan, sejak kali pertama melakukan sosialisasi agar lapak PKL (pedagang kaki lima) di Suramadu tidak membangun secara permanen lapak mereka. Kemarin (13/2), dia mengatakan akan melakukan pemantauan pada PKL di wilayah tersebut untuk menekankan kembali perihal lapak permanen tersebut.

Berdasarkan penelusuran koran ini, pembangunan lapak ada yang tidak digunakan sendiri. Ada lapak yang dibangun untuk ditempati orang lain dengan mengganti biaya pembangunan. Yang berminat bisa mengganti uang sebesar Rp 1 juta untuk sebuah lapak berukuran 3 meter persegi dengan beratapkan terpal.

Salah satu pedagang yang enggan disebut namanya, di wilayah Suramadu mengatakan, lapak yang dijual tersebut diperuntukkan bagi siapa saja yang berminat. "Lapak itu digunakan bagi siapa saja yang berminat. Asal mengganti uang sebesar Rp 1 juta," ujarnya.

Untuk itu, Hosin mengatakan pihaknya akan memantau para PKL di wilayah tersebut. Dikhawatirkan, terjadi salah persepsi antara penjual dan pembeli lapak yang berujung pada penguasaan lahan milik negara tersebut. "Besok saya akan pantau. Kalau larangan untuk mendirikan lapak permanen sudah dari awal disosialisasikan," ujarnya.

Sementara itu, Kepala BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Suramadu) Edi Purwanto saat hearing dengan DPRD Kabupaten Bangkalan beberapa hari lalu mengatakan bahwa penertiban PKL perlu dilakukan. Kapan? Edi sempat mengatakan tahun ini dia akan berupaya untuk memikirkan hal tersebut. "Masak mereka mau selamanya jadi PKL. Tahun ini barangkali bisa mulai dilakukan," ujarnya.

Dalam hearing dengan Komisi C DPRD Bangkalan, itu, Edi memaparkan ada tiga wilayah yang harus dikembangkan. Tiga wilayah tersebut masing masing memerlukan sebanyak 600 Ha. Menurut Edi, alokasi dana untuk pengadaan lahan tersebut baru bisa di dapatkan pada Juli mendatang.

Sementara itu, Kepala Bappeda Bangkalan Drs Mohni mengatakan, untuk pembebasan lahan tersebut tidak mungkin dianggarkan dari APBD Kab Bangkalan. Pihaknya menunggu kucuran dana dari APBN. "Tidak mungkin kalau dari kita. Bayangkan saja berapa biayanya. Sementara kita sendiri kesulitan mengatur keuangan," ujarnya. (rif/rd)

[ Minggu, 14 Februari 2010 ]

Korban Merapat ke Dewan

Fraksi-Fraksi Tak Satu Kata Soal Hak Angket

SAMPANG-Bergulirnya wacana hak angket skandal jual-beli kios Pasar Srimangunan mendapat dukungan para korban. Pekan depan sejumlah korban berencana menemui DPRD Sampang untuk menceritakan secara langsung penipuan yang menimpa mereka.

Selain itu, mereka akan mendesak semua anggota dewan mendukung upaya membongkar skandal tersebut. Pernyataan ini disampaikan oleh seorang korban yang sebelumnya memberi informasi terkait penipuan jual-beli kios Pasar Srimangunan.

Sambil mewanti-wanti namanya tak disebutkan, dia mengaku telah menghubungi sejumlah korban lain. "Saya sudah menghubungi beberapa korban untuk bertemu dewan," akunya.

Menurut dia, ada juga korban lain yang mengajak warga lain yang sempat menyerahkan uang pada Agus Dwiyanto (oknum dispendaloka yang diduga membawa kabur uang) untuk mendapatkan kios di Pasar Srimangunan. Dengan begitu, akan lebih banyak korban yang datang dan memberikan keterangan kepada dewan.

"Mungkin tidak bisa semuanya datang. Tapi, kami berharap orang-orang yang tertipu bisa datang untuk bertemu dewan. Sebab, kami sangat berharap ada solusi dari masalah tersebut," ungkapnya.

"Yang jelas kami mendukung upaya dewan membantu kami mendapatkan keadilan. Kami khawatir kalau masalah ini tidak diungkap, dampaknya juga akan dirasakan korban selanjutnya. Siapa tahu masih ada oknum lain yang masih berkeliaran menjajakan kios seperti Agus," tandasnya.

Dari dewan mereka berharap ada kejelasan siapa dan ke mana saja aliran dana skandal jual-beli kios itu. Apalagi sejumlah korban mengaku tahu banyak orang-orang di balik Agus.

Selain kepada dewan, para korban berharap kepolisian segera menangkap Agus untuk mendapatkan keterangan kejelasan dari kasus tersebut. "Supaya dinas yang bersangkutan tidak lepas tangan dan menjatuhkan semuanya kepada Agus. Kami yakin ada yang menyuruh Agus menjual kios itu," sergahnya.

HF (inisial) yang juga pernah membayar uang pada Agus sebesar Rp 350 juta membenarkan rencana sejumlah korban bertemu dewan. "Saya sedang berusaha menghubungi teman-teman yang sudah membayar uang pada Agus. Insya Allah, minggu depan kami akan datang ke dewan," ungkapnya.

Terkait hak angket skandal Pasar Srimangunan, HF mengaku menaruh harapan besar kepada anggota dewan. "Mungkin sambil Agus diburu polisi, pihak dewan bisa membantu kami mencari jalan keluarnya. Ini korbannya banyak Mas," tegasnya.

Sementara itu, terkait hak angket skandal Pasar Srimangunan, pro dan kontra di dewan makin tampak. Hingga Jumat (12/2), sudah tiga ketua fraksi di DPRD Sampang mulai pasang badan dan menyatakan dukungannya. Yakni, dari Fraksi Partai Gerindra (FPG), Fraksi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (FPKNU), dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR).

Namun, penolakan terhadap hak angket juga muncul. Fraksi Bintang Demokrat Pembaruan Nasional (FBDPN) menyatakan menolak inisiatif hak angket tersebut. Padahal, sebelumnya Abd. Mohlis (salah satu inisiator hak angket) menyatakan fraksi tersebut mendukung, "Kami luruskan ya. Sejak awal tidak ada pernyataan mendukung dari fraksi kami!" sergah Moh. Hodai, wakil ketua FBDPN.

Hodai menyatakan, prinsipnya FBDPN menolak inisiatif hak angket skandal kios Srimangunan. Alasannya, masalah tersebut tak berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah. "Pandangan politis kami, masalah itu berawal dari oknum. Nah, kalau oknum, itu urusannya polisi. Korban cukup melaporkannya ke polisi saja," katanya.

Jika kasus tersebut sudah dilaporkan ke polisi, pihaknya berharap kepolisian bertindak cepat menangkap oknum tersebut. "Jadi, nanti polisi yang mengklarifikasi dan menyidik," tandasnya.

Terkait bantahan Hodai, Mohlis menyatakan, penolakan terhadap inisiatif hak angket tersebut adalah hak masing-masing fraksi. Menurut dia, pada dasarnya hak angket tidak hanya bicara tentang kebijakan. "Tapi kita lihat saja realitasnya di lapangan. Masalah seperti itu tidak bisa eksekutif dibiarkan lepas tangan begitu saja," sergahnya.

Terkait klaim dukungan FBDPN yang sempat dilontarkannya, Mohlis mengaku pernah mendengar pernyataan dukungan itu dari ketua fraksi. "Saya pernah tanya sama Halil (ketua FBDPN, Red) saat di telepon sampeyan (Radar Madura, Red). Waktu itu Halil bilang, kalau saya (Halil, Red) terserah teman-teman. Tapi, berdasarkan hati nurani, saya akan mendukung," ujar Mohlis menirukan Halil.

Mohlis menegaskan, pihaknya tidak akan mundur meski ada fraksi yang tidak setuju dengan inisiatif tersebut. "Kami akan berusaha sampai titik akhir. Ini demi kepentingan masyarakat," tegasnya.

Meski fraksi tidak setuju, lanjutnya, di paripurna nanti dukungan bukan berdasarkan pandangan fraksi. Tetapi, berdasarkan pandangan masing-masing anggota dewan. "Saya masih punya keyakinan. Anggota dewan yang punya hati nurani pasti akan mendukung hak angket ini," tegasnya. (lah/mat)

Investasi pertanian rendah, harga bergejolak

Kamis, 04/02/2010 10:46:09 WIBOleh: Martin Sihombing

Keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang menjaga harga pangan, cukup menggelitik. Pasalnya, menjaga itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah Indonesia harus introspeksi, sudahkah bangsa ini peduli pada arti investasi di sektor pertanian?

Betapa penting investasi di sektor pangan terpapar dalam laporan bertajuk Increased agricultural investment is critical to fighting hunger yang dipublikasikan dalam FAO.org, kemarin. Pasalnya, pemberantasan kemiskinan dan kelaparan adalah alasan utama Millennium Development Goals (MDG's).

MDG's tidak dapat dipenuhi tanpa ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi karena 75% masyarakat miskin di negara-negara berkembang tinggal di daerah perdesaan. Penguatan sektor pertanian tidak hanya bisa meningkatkan akses terhadap makanan bergizi, memang lebih banyak-setidaknya dua kali lebih banyak-untuk mengurangi kemiskinan perdesaan daripada investasi di sektor lain.

Secara historis, pertumbuhan pertanian adalah pendahulu bangkitnya sektor industri. Hal ini terbukti benar hari ini di China, Ghana, India, Amerika Latin, dan Vietnam, yang semuanya telah menyaksikan penurunan tajam tingkat kemiskinan yang cepat di daerah perdesaannya melalui pertumbuhan pertanian.

Secara keseluruhan, negara-negara yang sukses besar dalam mengurangi kelaparan adalah lantaran investasi di bidang pertanian per pekerja pertanian tinggi.

Kendati kesadaran itu ada, ternyata, bagian dari Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) untuk pertanian telah menurun tajam atau turun dari 17% pada 1979, tertinggi dalam Revolusi Hijau, hingga 3,5% pada 2004.

Ini juga menurun secara absolut dari US$8 miliar pada 1984 menjadi US$3,5 miliar pada 2005.

Mengapa? Beberapa catatan yang paling sering dikutip, alasan yang dapat dikemukakan, profitabiltas harga komoditas jatuh sakit. Persaingan untuk ODA meningkat, terutama dari sektor sosial.

Sumber daya dialihkan untuk mengatasi keadaan darurat. Petani di beberapa negara-negara donor keberatan untuk mendukung pertanian di pasar ekspor mereka. Kelompok lingkungan hidup berpendapat bahwa pertanian menambah polusi dan penghancuran sumber daya alam.

Kurangnya infrastruktur perdesaan seperti jalan, penyimpanan dan fasilitas pasar secara dramatis mengurangi kemungkinan untuk memperluas produksi pertanian di banyak daerah. Donor mengurangi bantuan luar negeri secara keseluruhan selama resesi.

Akhirnya, harus diakui, banyak investasi pertanian periode ini dilakukan dengan buruk.

Kebanyakan disebabkan oleh kurangnya kapasitas untuk melaksanakan proyek-proyek dan kelemahan dalam pemerintahan. Hal ini menantang kepercayaan pada peran positif investasi di bidang pertanian.

Kurang memadai

FAO mencatat tingkat investasi sebagian besar negara berkembang di sektor pertanian dianggap kurang memadai. Pada 1980-an dan 1990-an, di bawah tekanan dari Bretton Woods (lembaga negara-negara berkembang dalam krisis fiskal) melakukan penyesuaian struktural, yang menyebabkan pengurangan pengeluaran publik dan perincian layanan sektor publik untuk pertanian.

Pada 2004, perekonomian berbasis pertanian masih diterapkan hanya 4% dari belanja publik untuk sektor ini. Sedikit di bawah Asia yang menghabiskan 10% selama percepatan pertumbuhan pada 1980-an.

Beberapa tahun terakhir telah terlihat peningkatan. ODA untuk pertanian naik menjadi 5,5% pada 2007. Negara di Afrika berjuang untuk berinvestasi lebih banyak di sumber daya pertanian mereka.

Evaluasi independen baru-baru ini menunjukkan bahwa Bank Dunia, pada proyek yang disetujui 1999-2006, tampil pada tingkat yang memuaskan, lebih banyak berada di pertanian daripada di sektor lain, dan hal ini benar dalam hal desain dan pengawasan proyek.

Maka, FAO sepakat, rendahnya tingkat investasi di pertanian memiliki efek negatif. Ini adalah salah satu faktor yang berkontribusi terhadap naiknya harga pangan dan peningkatan tajam dalam kelaparan global.

Karena itu, dunia harus menggenjot produksi pertaniannya 70%-100% terutama negara berkembang lantaran pada 2050 permintaan akan pangan melonjak karena jumlah penduduk sudah mencapai 9 miliar orang. (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Pertanian (bukan) sektor unggulan

Jumat, 05/02/2010 11:08:15 WIBOleh: Martin Sihombing

Saat ini, dengan mudah kita lihat, tingkat investasi pertanian tidak cukup. FAO memperkirakan investasi bersih untuk pertanian harus di atas US$83 miliar per tahun atau sekitar 50% dari tingkat saat ini guna memenuhi kebutuhan pangan (beras) masa depan. Pada 2009, jumlah orang lapar di dunia mencapai rekor, 1,02 miliar. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan ekonomi, yang paling memengaruhi kemiskinan.

Investasi di bidang pertanian dan pembangunan pedesaan-dan membuat investasi tersebut seefektif mungkin-adalah baik. Itu berarti untuk menyediakan lebih banyak makanan untuk lebih banyak orang dan cara untuk meningkatkan mata pencaharian desa, sehingga masyarakat miskin dapat membeli makanan yang mereka butuhkan.

Indonesia harus segera melakukan hal itu. Apalagi, seperti dituturkan oleh Ketua Seminar Nasional Pangan Kadin Indonesia Fransiskus Welirang, Kadin sudah memilih 15 komoditas pangan unggulan nasional yang akan dikembangkan untuk bisa mencapai tujuan ketahanan pangan. "Dari analisis awal, dari 15 komoditas itu kita dapat meraih pemasukan sebesar US$101,5 miliar dalam kurun 2010-2014," katanya.

Di sisi lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri mengatakan revitalisasi sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang sudah berhasil harus dilanjutkan ke tahap berikutnya. Ditambah lagi Presiden mengakui revitalisasi gelombang pertama pertanian, perikanan dan perkebunan meski hasilnya nyata, ada hal yang masih harus dilakukan. "Saya katakan [revitalisasi pertama], belum cukup," katanya.

Untuk itu, sikap mendorong besaran investasi di sektor pertanian menjadi penting. Negara lain, juga melakukan. Pada awal 1980-an, sektor pertanian di Rumania relatif tidak efisien. Produktivitas tenaga kerja rendah, dan hasil tanaman dan ternak secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara lain pada tahap pembangunan yang sama. Sektor ini menghadapi kekurangan mesin dan input yang serius dan terus-menerus.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Rumania menyatakan sektor pertanian sebagai prioritas dalam rencana ekonomi 1981-85. Pada Proyek Orchards, Proyek Peternakan Keempat, dan Proyek Kredit Pertanian Moldova dirancang dan dilaksanakan. Proyek-proyek, yang disetujui oleh Bank Dunia pada awal 1980 dan ditutup pada 1986, ditujukan untuk memperluas kapasitas produksi dan produktivitas sektor pertanian dengan melakukan investasi di aset fisik dan peralatan, memperkenalkan teknologi baru dan mekanisasi pertanian, dan Rumania memperkuat lembaga-lembaga riset pertanian.

Penerima manfaat utama adalah koperasi dan peternakan. Pembentukan kedua organisasi itu didominasi untuk produksi pertanian pada saat itu. Di mana di daerah pertanian para pelaku hanya sekitar 9%, terutama di daerah pegunungan terpencil. Atas desakan bank, sebagian kredit yang tersedia dibuat bagi pemilik peternakan tersebut. Sebagian besar melalui Moldova Pertanian Peternakan dan proyek Kredit.

Investasi di Proyek Orchards US$324 juta, US$50 juta pinjaman Bank Dunia, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi buah-buahan Rumania dengan menanam kebun-kebun dan membangun fasilitas penyimpanan dingin, modernisasi laboratorium penelitian pertanian, dan memberikan bantuan teknis. Teknologi modern adalah menjadi salah satu ciri penting dari proyek.

Gejolak harga

Biaya Proyek Ternak Keempat US$412 juta, di mana US$80 juta adalah pinjaman Bank Dunia, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan pengolahan daging sapi dan susu dengan membangun baru dan modernisasi peternakan sapi tua, mendirikan peternakan sapi peternakan dan unit usaha penggemukan sapi, meningkatkan tanah padang rumput dan fasilitas penyimpanan, dan memperkuat pelayanan teknis dan penelitian. Langkah-langkah yang besar.

Kemudian, US$290 juta diberikan untuk Moldova Proyek Kredit Pertanian, di mana US$95 juta pinjaman bank bertujuan untuk mengatasi kendala utama yang memengaruhi pertanian di wilayah dengan menyediakan kredit kepada koperasi, pertanian negara, dan petani secara individual, yang terakhir atas desakan Bank Dunia. Secara khusus, kredit itu untuk membiayai mekanisasi pertanian, membangun agroindustri, meningkatkan perlindungan erosi tanah dan padang rumput, peternakan sapi modern, dan merehabilitasi perkebunan dan kebun-kebun anggur.

Karena itu, menahan gejolak harga yang dimaui Presiden, harus dijawab dengan investasi. Apalagi, Pemerintah Indonesia berkesempatan mendapatkan kucuran investasi di bidang pangan dan pertanian. Beberapa negara dan lembaga internasional, telah menunjukkan komitmennya untuk menyalurkan sejumlah dana untuk investasi di bidang tersebut.

Bahkan, Pemerintah Jepang dan sejumlah perusahaan swasta seperti Mitsubishi Corp. telah menyampaikan ketertarikannya untuk mempromosikan Kabupaten Merauke, Papua sebagai lumbung pangan baru di Asia.

Sayangnya, RAPBN 2010, sektor pertanian tidak menjadi sektor unggulan yang mendapat alokasi anggaran yang besar. Ini, kosekuensinya petani dan rakyat miskin hanya akan tetap terperangkap dalam lingkaran setan inti-plasma dari investor dan perusahaan-perusahaan besar.

Dengan demikian, di tengah ancaman dan dampak krisis global serta perubahan iklim pada 2010, krisis pangan akan kembali menimpa keluarga petani. (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Senin, 15 Februari 2010 ]

PKNU Usung 4 Bacabup Bukan Kiai

SUMENEP - Upaya penjaringan bakal calon bupati (bacabup) yang dilakukan DPC PKNU melalui desk pilkada, sudah final. Buktinya, kemarin (14/2) partai berasaskan ahlussunnah waljamaah itu melakukan sidang pleno hasil penjaringan bacabup.

Sidang pleno itu digelar desk pilkada di kompleks Pondok Pesantren Al Usmuni Tarate Kota Sumenep. Sidang dihadiri langsung oleh deklarator PKNU Sumenep KH Rakhem Usmuni dan tokoh-tokoh PKNU lainnya, seperti KH Mannan Jasuli dan Habib Ali Al-Khirit.

Sidang pleno juga dihadiri sejumlah dewan mustasyar, syuro, dan tanfidz serta unsur badan pemenangan pemilu (bapilu) dan unsur fraksi PKNU DPRD Sumenep.

Sebenarnya, DPC PKNU sebelumnya telah melakukan musyawarah pimpinan (muspim) untuk membahas tentang kriteria bacabup. Muspim dilakukan untuk menentukan arah dan sikap politik PKNU dalam Pilkada Sumenep 2010.

Dhady Eko Hariyanto, sekretaris Dewan Tanfidz DPC PKNU Sumenep, mengatakan, sidang pleno merupakan kelanjutan dari muspim untuk menentukan calon kepala daerah (cakada) yang akan diusung oleh partainya. Nah, dari hasil sidang pleno cakada, muncul sejumlah nama. Yakni, Bambang Mursalin, H Moch. Dahlan, Azasi Hasan, dan H Khalis. Empat orang itu ditentukan dalam sidang pleno PKNU dengan berdasarkan kriteria figur yang dibahas pada muspim lalu.

Salah satu kriteria paling mendasar yang dijunjung tinggi PKNU, selain akhlakul karimah dan berpendidikan minimal strata satu, bacabup harus berdasarkan ahlussunnah waljamaah. Kriteria lain bisa menyatakan komitmen secara tertulis dan usianya maksimal 60 tahun.

"Nah, berdasarkan kriteria itu, dari tujuh orang yang masuk ke kami, sementara ini empat cakada itulah yang sesuai dengan kriteria. Nantinya siapa dari empat orang tersebut akan dikomunikasikan pada partai mitra koalisi PKNU untuk dicalonkan menjadi M1," papar Dhedy.

Menurut dia, pihaknya masih melakukan komunikasi politik dengan beberapa partai untuk digandeng PKNU pada Pilkada 2010. Antara lain, Partai Golkar, PBB, Hanura, dan PKS. "Salah seorang dari empat cakada itu asal bukan kiai yang akan diusung oleh PKNU," pungkasnya. (c22/zid/advertorial)

Dibawah bayangan generasi senior

Jumat, 05/02/2010 09:15:19 WIBOleh: A. B. Susanto

Belum lama ini, Jay Y. Lee, cucu pendiri Samsung Electronics Co., dipilih sebagai chief operating officer Samsung, sementara Cho Gee-sung menjadi chief operating officer. Perusahaan juga menunjuk CFO baru. Menurut Wall Street Journal, selama bertahun-tahun Lee berperan sebagai penghubung di belakang layar bagi pelanggan terbesar perusahaan. Perubahan tersebut merupakan klimaks dari serangkaian pembaruan yang dimulai di Samsung saat ayahnya, Lee Kun-hee, mengundurkan diri dari posisi chairman pada 2008.

Kisah lainnya adalah Nordstrom Inc., yang saat ini dipimpin oleh Blake Nordstrom dan dua saudaranya, Pete dan Erik. Mereka adalah para cicit pendiri perusahaan. Nordstrom berhasil melewati masa-masa sulit akibat krisis ekonomi yang terjadi tahun lalu.

Keberhasilan generasi penerus yang melampaui generasi kedua dan tetap tegar seperti dalam kasus Samsung dan Nordstorm, merupakan sebuah prestasi. Konon kabarnya hanya sekitar 10% bisnis keluarga yang sampai ke generasi ketiga. Sering kita melihat generasi penerus dianggap kurang mampu untuk meneruskan bisnis keluarga. Terdapat beberapa kemungkinan: tidak tertarik dengan bisnis keluarga, tidak diberikan kesempatan, atau memang benar-benar tidak mampu.

Sering kali generasi penerus enggan untuk terlibat dan melanjutkan bisnis keluarga. Salah satu sebabnya adalah tidak mau terlibat dalam konflik. Generasi penerus pendiri perusahaan keluarga baik generasi kedua, ketiga, dan seterusnya, tentu menghadapi tantangan yang berbeda dengan generasi pendahulunya, baik dalam mengelola hubungan keluarga maupun mengelola perusahaan.

Generasi kedua, misalnya, hanya harus melakukan penyesuaian dengan generasi pertama, kakak, adik serta para profesional lama. Generasi kedua biasanya juga lebih mempunyai kedekatan emosional dengan bisnis yang dibangun oleh orangtuanya berbeda dengan generasi ketiga. Saat mereka tampil, boleh jadi semakin banyak anggota keluarga dan profesional nonkeluarga yang terlibat dalam perusahaan.

Mereka tentu memiliki tujuan, kepentingan, gagasan, wawasan, dan persepsi yang tidak jarang bertolak belakang. Bila gagal dikelola dengan baik, akan pecah konflik yang dapat berujung pada hancurnya perusahaan, yang telah dibangun dengan susah payah oleh generasi senior.

Penyebab berikutnya adalah ketidakyakinan terhadap pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Keengganan juga sering kali bersumber dari pola pikir bahwa yang harus meneruskan bisnis perusahaan adalah anak tertua, khususnya laki-laki. Sementara anggota keluarga yang lain harus bekerja di luar perusahaan keluarga. Atau kalaupun ikut dalam bisnis keluarga, peran yang yang diberikan tidak signifikan, sehingga mereka kurang merasa tertantang dan termotivasi. Atau generasi penerus tidak tertarik dengan bidang bisnis yang digeluti oleh orangtuanya.

Untuk mengantisipasi pecahnya konflik, sebaiknya seluruh anggota keluarga yang terlibat dan berkepentingan dalam perusahaan memiliki kesepakatan bersama menyangkut tanggung jawab, wewenang, serta hak dan kewajiban setiap anggota keluarga dari setiap generasi. Termasuk di antaranya jenjang karier anggota keluarga, kekayaan, dan perencanaan aset baik bagi anggota keluarga maupun perusahaan.

Kesepakaatan bersama ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan transparansi. Penetapan generasi penerus yang akan mengambil alih tanggung jawab perusahaan keluarga juga harus dilakukan secara adil tanpa membeda-bedakan posisi dan jenis kelamin.

Dalam hal ini perlu dipilih anggota keluarga terbaik yang memiliki kemampuan menjalankan perusahaan. Namun, jika memang generasi penerus benar-benar tidak tertarik untuk meneruskan bisnis keluarga, sebaiknya dia diberikan kebebasan untuk memilih. Sementara itu, untuk melanjutkan bisnis keluarga dapat dicari alternatif lain.

Sering kali generasi penerus hanya diberikan kesempatan yang sangat terbatas untuk membuktikan kemampuan dirinya. Generasi senior tidak mengakui kedewasaan dan keahlian generasi berikutnya. Mereka tidak ingin penerusnya melakukan kesalahan. Generasi senior juga telanjur menganggap perusahaan sebagai identitas yang melekat dalam diri mereka sehingga khawatir apakah penerus akan menghormati warisan pendahulunya atau malah menghancurkannya. Akibatnya banyak perusahaan yang kurang melakukan perencanaan suksesi dengan baik.

Demi proses pembelajaran, sebaiknya gene­rasi senior membiarkan generasi penerus melakukan kesalahan sampai batas-batas tertentu. Kemudian, bila generasi penerus sudah memiliki pengeta­hu­an dan keterampilan yang memadai, generasi seni­or harus rela untuk memberikan kepercayaan lebih besar untuk mengelola perusahaan.

Di lain sisi, penerus juga tidak boleh arogan dan bertindak semena-mena terhadap pendahulunya. Generasi penerus tetap harus menghormati jasa-jasa generasi pendahulu yang telah membesarkan perusahaan. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan perencanaan suksesi yang matang.

Namun, ceritanya akan berbeda bila generasi penerus memang benar-benar tidak mampu, tentu tak boleh dipaksakan. Mengundang keterlibatan profesional adalah pilihan terbaik.

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Tidak Ada Sertifikat, Hanya Letter C

Tanah SDN Ambunten Tengah IV

POLEMIK tanah yang terjadi pada SDN Ambunten Tengah IV, Kec Ambunten, diperkirakan sudah menemukan titik terang. Bahkan, keponakan pemilik tanah, Maat, telah membuka segel yang selama ini terpasang di sekolah.

Data yang diperoleh koran ini menyebutkan, pemilik tanah atau ahli waris Haniyah hingga saat ini tidak memiliki sertifikat tanah. Pihaknya hanya memiliki petok atau letter C yang dinilai sudah cukup dijadikan bukti kepemilikan tanah.

Tanah yang sekarang ditempati SDN Ambunten Tengah IV merupakan tanah milik kakek Haniyah, yaitu Sia alias Pak Ito. Tanah atas nama Sia alias Pak Ito hingga sekarang. Tanah itu diwariskan kepada Sapuna yang merupakan ibu dari Haniyah dan kemudian diwariskan ke Haniyah.

Namun, Haniyah hingga saat ini tidak memiliki keturunan dan tanah itu dialihkan kepada keponakannya, Maat. "Tanah milik kakek saya Sia alias Pak Ito dan sekarang diwariskan kepada saya sebagai ahli waris," kata Haniyah kepada koran ini.

Menurut dia, tanah miliknya itu tidak bersertifikat, hanya memiliki petok C. "Itu yang bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah," cetusnya sambil tersipu.

Maat, 33, keponakan Haniyah yang juga diberi mandat untuk melakukan penyegelan SDN Ambunten Tengah IV membenarkan kalau pihaknya tidak memiliki sertifikat tanah. "Kami hanya petok C yang menurut beberapa kalangan sudah cukup bisa dijadikan bukti," katanya kepada koran ini kemarin (14/2).

Dan, sambungnya, setelah koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk BPN, ternyata tidak ada masalah dengan petok C yang dimiliki. "Jadi, sudah kuat dan sudah sesuai dengan SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang)," paparnya panjang lebar.

Hal tersebut juga dibenarkan anggota Komisi D DPRD, Syaiful Bahri. Tanah yang ditempati SDN Ambunten Tengah IV memang milik kakek Haniyah. "Itu diketahui dari SPPT yang dimiliki oleh keluarga. Lagian, zaman dulu jarang yang punya sertifikat," katanya kemarin.

Dia lega karena penyegelan telah berakhir dan siswa tidak lagi terlantar. "Semoga terus baik. Apalagi sudah mau diberi ganti rugi dan adiknya Maat yang namanya So akan diangkat menjadi pesuruh dengan status sukwan (sukarelawan)," ungkapnya kepada koran ini kemarin. (c26/zid)

Kepemimpinan visioner

Jumat, 12/02/2010 10:12:49 WIBOleh: A. M. Lilik Agung

Ketika berumur 153 tahun pada Oktober 2008, perusahaan pelat merah Telkom mengabarkan kepada khalayak bahwa dirinya melakukan proses transformasi bisnis paling akbar dalam sejarahnya.

Telkom tak hanya menjual produk telepon rumah, tetapi juga menyasar bisnis media, edutainment dan perdagangan. Lahirlah portofolio bisnis baru bernama TIME: telecommunication, information, media dan edutainment. Telkom yang sudah menjadi raja bisnis telekomunikasi dan produk turunannya ingin mengukuhkan posisinya ini.

Benar banyak kalangan menyebut apa yang dilakukan Telkom untuk konteks Indonesia bukan hal yang spektakuler. Dengan umur panjang, aset berjibun, manusia pekerja terbaik dan penguasaan wilayah paling luas, sudah bukan waktunya lagi bagi Telkom untuk berkiprah di Indonesia.

Jangkauan layanan Telkom harus melebar ke regional, bersaing ketat dengan Singtel dan Telecom Malaysia. Tagline baru Telkom untuk para konsumennya yakni "the world in your hand" sudah wajib untuk ditujukan kepada dirinya sendiri menjadi "the regional in your hand, Telkom."

Terlepas dari cita-cita menjadi terbesar di regional yang entah kapan bisa terlaksana, proses transformasi Telkom kali ini menjadi menarik. Abad informasi dan pengetahuan yang menjadi panglima dibidik dengan serius oleh Telkom.

Perluasan portofolio bisnis menjadi TIME, tak urung merupakan antisipasi terhadap perubahan maha cepat di ranah komunikasi dan informasi. Telkom tidak ingin tertinggal menyikapi trend ini. Beruntung Telkom memiliki CEO visioner bernama Rinaldi Firmansyah. Setelah era almarhum Cacuk Sudaryanto melakukan transformasi besar terhadap Telkom di tahun 80'an yang menjadikan Telkom sebagai perusahaan untung, bersih dan kompetitif, saatnya Rinaldi Firmansyah menunjukkan diri sebagai CEO yang sejajar atau bahkan lebih besar dibanding dengan Cacuk Sudaryanto. Meneropong apa yang dilakukan Rinaldi Firmansyah saat ini layak apabila beliau disebut pemimpin visioner.

Dalam buku yang menjadi klasik dan tetap dijadikan referensi para pemimpin bisnis sampai sekarang yaitu Visionary Leadership besutan Burt Nanus, ada empat peran pemimpin, yaitu: pelatih (motivator), juru bicara, agen perubahan, dan penentu arah.

Peran pelatih (motivator) merupakan peran yang dilakukan pada lingkungan internal dan dalam dimensi waktu sekarang. Tugasnya tak lain adalah pembentuk tim yang memberdayakan orang-orang, menghidupkan visi (tujuan) organisasi, dan membangun kepercayaan.

Menjadi pelatih (motivator) ketika Telkom melakukan proses transformasi bisnis besar-besaran alhasil menjadi pijakan pertama yang harus dilakukan oleh Rinaldi Firmansyah.

Visi sudah dicanangkan, anggota tim sudah ada dengan pengalaman panjangnya. Tinggal sekarang yang harus dilakukan Rinaldi Firmansyah adalah memberdayakan anggotanya menjadi manusia nan tangguh dan tanggap terhadap perubahan.

Membangun kepercayaan internal bahwa apa yang dilakukan oleh Telkom sudah sesuai dengan dinamika pasar sekaligus antisipasi terhadap perubahan masa depan, merupakan tugas berikut yang harus dilakukan oleh Rinaldi Firmansyah.

Kemampuan komunikator

Dalam membangun kepercayaan ini dapat dikatakan Rinaldi Firmansyah lulus dengan predikat cum laude. Sampai hari ini nyaris tidak ada perlawanan dari karyawannya. Bahkan paket pensiun dini menjadi alternatif lain yang dijadikan pilihan sebagian karyawan Telkom.

Peran juru bicara tak lain diarahkan pada pihak eksternal dan dilakukan sekarang. Oleh Burt Nanus juru bicara ini dipahami sebagai tindakan pemimpin untuk: (1) menjadi sarana dan penyampai pesan bagi organisasi (2) negosiator dalam berhubungan dengan pihak lain, (3) membangun kerja sama dan membentuk jaringan eksternal.

Khusus menjadi penyampai pesan organisasi, lagi-lagi Rinaldi Firmansyah lulus dengan predikat cum laude. Masyarakat luas tahu bahwa Telkom mengubah portofolio bisnisnya. Sosialisasi merek baru Telkom beserta atributnya juga diketahui oleh masyarakat.

Tinggal sekarang yang perlu diperkuat oleh Rinaldi Firmansyah adalah sebagai negosiator dan membentuk jaringan eksternal, sehingga menjadikan Telkom sebagai perusahaan yang disegani ditingkat regional bukan sebuah fatamorgana tanpa kenyataan.

Peran sebagai agen perubahan ditujukan kepada lingkungan internal Telkom, tetapi untuk sasaran masa depan. Tugas pemimpin dalam hal ini adalah: (1) merangsang perubahan internal, (2) menciptakan sense of urgency dan prioritas, dan (3) melihat dan mengantisipasi perubahan eksternal.

Proses transformasi bisnis yang dilakukan oleh Telkom akan berhasil sesuai dengan visi besarnya apabila sang pemimpin mampu menciptakan sense of urgency dan prioritas bagi seluruh karyawannya.

Perilaku karyawan Telkom pada dasarnya mirip dengan perilaku karyawan BUMN lainnya. Para karyawan ini memiliki masa kerja panjang, perputaran tenaga kerja nyaris nol, dan hidup secara komunal.

Dinamika kemudian menjadi ancaman yang hadir di depan pintu. Menjadi sebuah kewajiban bagi Rinaldi Firmansyah untuk menjaga dinamika karyawan dan organisasi, sehingga sense of urgency dan prioritas tetap tertanam di kepala manusia Telkom. Apalagi bisnis yang dijalankan oleh Telkom memiliki dinamika nan tinggi.

Peran keempat, penentu arah memiliki arti mau ke mana organisasi pada masa depan. Dengan demikian tugas pemimpin tak lain adalah: (1) menetapkan sasaran dengan mempertimbangkan lingkungan eksternal masa depan yang menjadi tujuan pengerahan seluruh sumber daya organisasi, (2) menyusun berbagai langkah menuju sasaran yang merupakan sebuah kemajuan, (3) menetapkan visi yang merangsang semua karyawan dalam organisasi agar bersedia membantu merealisasikan.

Mengubah portofolio bisnis Telkom menjadi TIME dengan gamblang dapat dijelaskan dalam konteks penentu arah ini. Agar arah yang dituju Telkom sesuai dengan garis-garis besar program transformasi, alhasil peran Rinaldi Firmansyah menjadi sentral.

Seperti dijelaskan ada tiga tugas utama penentu arah ini. Bagaimana agar tiga tugas ini dapat terlaksana dengan paripurna? Lagi-lagi hukum paling kuno tentang kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan: contoh peran. Contoh peran sebagai penentu arah dari seorang Rinaldi Firmansyah akan diikuti seluruh karyawan Telkom.

Transformasi Telkom baru saja dicanangkan. Mari kita saksikan Rinaldi Firmansyah membawa gerbong Telkom menjadi perusahaan yang tidak saja membanggakan bagi karyawannya, tetapi juga negerinya.

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Abrasi Pantura Semakin Parah

Ancam Rumah, Ponpes, dan Sekolah Dasar

SEPULU - Abrasi laut yang terjadi di wilayah pantai utara (Pantura) wilayah Kabupaten Bangkalan semakin parah. Setelah berlangsung sekian tahun, saat ini 200 meter tanah warga Desa Tajung, Kec Sepulu sudah terkikis habis. Itu terjadi karena tidak adanya tangkis laut yang kuat. Yang ada hanya campuran pasir dan semen yang dibuat swadaya oleh warga setempat.

Yang lebih parah, selain mengancam permukiman warga, abrasi juga mengintai bangunan pondok pesantren. Termasuk juga SDN Sepulu IV yang hanya berjarak tiga meter dari bibir laut.

Warga setempat sangat berharap ada agenda dari pemerintah daerah untuk membuat tangkis laut di wilayah tersebut. Berdasar keterangan sejumlah warga Tajung, mereka kini ketar - ketir dengan 'ganasnya' abrasi. "Kalau air laut pasang, biasanya meluap hingga ke halaman sekolah ini," ujar Mahmud Tabrani sambil menunjuk ke halaman SDN Sepulu IV.

Pria yang juga wakil ketua komisi B DPRD Bangkalan menceritakan, dulunya ada lahan kosong di sekitar SD yang dimanfaatkan oleh warga sebagai lapangan sepak bola. Tapi saat ini sudah terkikis dan menjadi laut lepas.

Untuk itu, dia berharap ada antisipasi baik dari pemerintah daerah, propinsi maupun pemerintah pusat yang peduli dengan membuat program tangkis laut di pesisir Desa Tajung.

Hal senada juga disampaikan KH Mustain, pengasuh pondok pesantren setempat. "Warga sudah sangat khawatir. Apalagi sekarang air laut sering pasang. Bisa hilang pondok saya ini, jaraknya kan hanya beberapa meter saja dari bibir laut," tuturnya.

Di lain lokasi, koran ini juga memantau pesisir di wilayah Kecamatan Tanjung Bumi. Ternyata kondisinya juga sangat parah. Beberapa rumah warga sudah tak berjarak dengan luapan air laut. Saat ini hanya dibendung tangkis yang dibuat ala kadarnya, yaitu tonggak bambu yang ditancapkan dan tumpukan sak pasir.

Abdullah, 48, warga setempat, mengaku ketakutan karena beberapa meter lahan di samping rumahnya sudah mulai terkikis. "Kalau pasang, air meluap hingga tempat penjemuran ikan ini," jelasnya sambil menunjuk ke lokasi penjemuran ikan. (c27/ed)

Mewujudkan daya saing hijau

Jumat, 12/02/2010 10:09:46 WIBOleh: Handito Joewono

PT Kereta Api merupakan salah satu perusahaan tertua di Indonesia, yang sudah beroperasi lebih dari 100 tahun. Boleh dikata, nyaris tidak ada orang Indonesia yang tidak kenal PT KA. Kalau pakai kata bijak 'kalau tidak kenal maka tidak sayang', tentunya PT KA sudah punya modal untuk disayang. Tentu saja pertanyaannya adalah 'Mengapa belum disayang?'

Dari sudut pandang pemasaran, customer awareness dan customer image merupakan dua indikator kinerja bisnis yang perlu terus ditingkatkan. PT KA sudah punya modal besar untuk memenangi kompetisi pemasaran karena awareness masyarakat sangat tinggi. Yang masih kurang adalah customer image, dan itu yang memengaruhi masih belum besarnya rasa sayang pada PT KA.

Nostalgia lebih dari 25 tahun lalu ketika saya sering menggunakan kereta api Gaya Baru Malam dari Jombang ke Jakarta untuk menuju tempat kuliah di Bogor. Waktu itu banyak penumpang termasuk saya sendiri yang 'menikmati' tempat tidur 'flat bed' yang akhir-akhir ini baru disediakan sebagai layanan istimewa di pesawat terbaru yang kursinya bisa dijadikan ranjang datar.

Waktu itu untuk menikmati 'flat bed', penumpang kereta api kelas ekonomi cukup 'menambah ongkos' selembar kertas koran. Kertas koran yang digelar di kolong tempat duduk digunakan sebagai alas selonjor dan lalu menyelinapkan kepala di bawah kaki penumpang lain.

Agar mata tidak kejatuhan sampah, wajah ditutup dengan kain atau kertas koran, dan siaplah perjalanan kereta api sambil tidur di 'flat bed'. Nikmat banget.

Meskipun sangat sederhana dan bisa jadi 'agak primitif', tetapi konsumen umumnya loyal, terpuaskan dan sayang pada KA Gaya Baru Malam. Rasanya nyaris tidak ada penumpang yang komplain. Tentu karena konsumen memahami "murah kok minta enak".

Sebegitu mendalamnya kesan positif yang tertanam, hingga sampai saat ini pun saya merasa KA Gaya Baru Malam 'tidak kalah' nyaman dibandingkan dengan Shinkansen yang sekarang sering saya gunakan kalau sedang menjalankan tugas APO di Jepang. '

Waktu itu, kalau KA Gaya Baru Malam terlambat satu atau dua jam, penumpang maklum dan 'tidak ribut'. Terlambat beberapa jam bisa dianggap biasa-biasa saja. Bandingkan dengan penumpang KA Shinkansen yang kalau terlambat 5 menit saja sudah resah. Apa maknanya? Kepuasan, citra, loyalitas dan rasa sayang berkorelasi positif dengan ekspektasi dan karakteristik konsumen.

Tentu saja pengelola PT KA tidak boleh terlena dan lalu tidak merasa perlu melakukan perbaikan. Ragam konsumen sekarang semakin bervariasi dan PT KA yang bermaksud memperbaiki kinerja keuangannya dengan melayani segmen pasar lebih tinggi perlu terus melalukan perbaikan.

Perbaikan citra mutlak diperlukan, dan Direksi PT KA dengan arahan Menteri Perhubungan telah melangkah maju dengan memberi perhatian pada peningkatan kualitas layanan. Tanpa gembar-gembor, PT KA terus melakukan perbaikan. Hasilnya memang tidak bisa instan langsung kelihatan. Apalagi perbaikan image yang perlu waktu cukup lama untuk merubah persepsi.

Beli lokomotif

Keseriusan PT KA memperbaiki citra dan kualitas layanan antara lain terlihat dari keputusan untuk membeli 20 unit lokomotif baru, yang tidak hanya mutakhir tetapi efisien bahan bakar dan ramah lingkungan termasuk rencana penggunaan bahan bakar biodiesel. Sebagai ketua pelaksana pameran dan konferensi internasional Eco-Products yang tidak lama lagi akan digelar di Jakarta, saya mengapresiasi PT KA yang telah menunjukkan kepedulian pada aspek lingkungan. Perhatian kalangan bisnis dunia sekarang memang sedang tertuju pada peningkatan daya saing yang mengedepankan keramahan lingkungan atau green competitiveness.

Filosofi dasar dari green competitiveness adalah peningkatan daya saing perusahaan yang mengedepankan keberlanjutan atau sustainability khususnya keberlanjutan alam.

Dengan menerapkan prinsip green competitiveness, perusahaan diharapkan tidak hanya 'panjang umur' seperti PT KA, tetapi juga berkontribusi memperpanjang umur bumi melalui penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan, teknologi yang mengurangi pencemaran lingkungan dan penanganan limbah secara sistematis sehingga tidak mencemari lingkungan.

Sering ada ngeyel bahwa menerapkan 'prinsip hijau' berdampak peningkatan biaya dan menurunkan daya saing. Sesungguhnya tidak demikian, karenanya yang justru dituju adalah green competitiveness. Melalui penerapan prinsip green productivity menuju green competitiveness akan dihasilkan efisiensi secara agregat.

Pada produk-produk yang bernuansa eco-product terutama dari negara maju seperti Jepang yang akan dipamerkan di EPIF 2010 awal Maret, pemanfaatan teknologi akan menimbulkan daya tarik baru dan peningkatan potensi bisnis yang berkelanjutan.

Kita harapkan PT KA tidak hanya sukses mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Sekarang saatnya 'tumbuh' dan bukan 'mati' didengungkan pada jargon manajemen korporasi "Grow or Die".

Langkah PT KA yang membangun citra dengan mengedepankan peningkatan kualitas layanan yang memedulikan lingkungan merupakan contoh bagaimana daya saing hijau bisa terus dikembangkan.

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Rekam Jejak Proyek Silo Jagung dan Gudang Beras Rp 5 Miliar yang Diduga Bermasalah (1)

Tanpa Papan Proyek, Warga Mengira Milik Swasta

Lazimnya sebuah proyek, papan nama merupakan salah satu keharusan yang mesti dipasang. Namun, tidak demikian dengan proyek silo jagung dan gudang beras.

AKHMADI YASID, Sumenep

-------------------------------------------

SEJAK akhir 2009 lalu Achmad R. tak pernah menemukan jawaban pasti atas pertanyaan - pertanyaan yang ada di benaknya. Khususnya, soal bangunan mirip gudang dan sebuah bangunan besi mirip paralon raksasa yang tak jauh dari rumahnya.

Setiap bertanya kepada warga di sekitar lokasi, yakni di Desa/Kec Bluto, jawabannya hanya gelengan kepala. Tentu saja, hal ini membuat Achmad terheran - heran. Apalagi, dirinya memang lahir dan besar di sekitar bangunan 'aneh' itu.

Pertanyaan - pertanyaan di kepala pria yang hanya lulusan madrasah aliyah ini baru terjawab setelah membaca koran pekan lalu. Itu pun secara tak sengaja dirinya membaca koran bekas di salah satu warnet di dekat rumahnya. "Saya baru tahu jika itu proyek besar silo jagung dengan dana miliaran setelah baca koran," katanya pada koran ini kemarin (14/2).

Dari awal, Achmad sempat mengira proyek itu milik pengusaha palawija tak jauh dari lokasi. Maklum, selain lokasinya berdekatan dengan rumah si pengusaha, tak ada tanda apa pun yang menunjukkan identitas proyek.

Lokasi proyek silo jagung ini memang sedikit 'abu - abu'. Dari jalan raya memang terlihat jelas. Namun, siapa pun warga yang melihat sekilas, tentu tak banyak tahu soal proyek silo jagung. Sebab, dari jalan raya hanya terlihat dua bangunan berbeda, satu dari batu bata dan satunya dari besi.

Dari jarak dekat pun, masyarakat awam juga tak akan tahu apa sebenarnya di balik pembangunan menjulang tinggi itu. Hal itu maklum. Sebab, papan proyek yang semestinya ada di lokasi, juga tak ditemukan.

"Dari awal memang tidak ada papan proyek. Ini keterangan resmi dari warga," ujar H Dayat, ketua LSM SANGO yang juga ketua Gapeksindo (Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia) Sumenep.

Menurut Dayat, papan proyek merupakan keharusan. Sebab, itu menjadi penunjuk identitas proyek yang biasanya berisi instansi berwenang, pelaksana proyek, batas akhir proyek hingga besaran nilai proyek.

Terkait hal ini, koran ini sudah pernah mengklarifikasi kepada Kadisperindag Hery Koentjoro Pribadi selaku leading sector. Namun, entah memahami apa tidak pertanyaan koran ini, dia hanya menjawab, "Tidak benar kalau tidak transparan. Semua sudah terbuka dan transparan sejak awal".

Hery juga hanya menjelaskan soal pelaksanaan proyek dari awal. Mulai dari pengumuman, pelaksanaan tender, dan penyelesaian proyek. Namun begitu, banyak keterangan Hery yang terkesan plinplan. Terutama, soal penyelesaian proyek yang sudah pernah diulas koran ini (baca Radar Madura 13/2).

Saat itu Hery terlihat kebingungan. Pada pernyataan awal, dia menegaskan bahwa proyek akan kelar akhir Februari. Itu sebabnya, dia memastikan rekanan akan terkena denda. Namun, pada keterangan lain, seperti disampaikan saat hearing dengan komisi B, Hery menyatakan proyek selesai sejak akhir Desember 2009. Saat ini, kata dia, hanya pemeliharaan saja.

Terkait hal tersebut, koran ini juga sudah mengonfirmasi kepada sejumlah warga. Ini penting untuk menghindari kesalahan persepsi publik. Dari keterangan sejumlah warga, dapat dipastikan penyelesaian proyek silo jagung ini bukan akhir Desember.

Hal tersebut juga dibuktikan dengan jepretan foto koran ini tertanggal 1 Februari 2010 lalu. Saat itu, secara jelas foto memperlihatkan aktivitas pekerja yang masih mengelas beberapa bagian bangunan besi. Sedangkan untuk pengecatan baru dilakukan pekan lalu.

Tentu saja, jika fakta ini tidak ditepis, disperindag sebagaimana desakan sejumlah LSM, harus bertanggung jawab atas keterlambatan proyek ini. Apalagi, sesuai ketentuan, batas akhir anggaran memang 31 Desember.

Kondisi yang sama terlihat pada pembangunan gudang beras di Kec Ganding. Hingga pekan lalu pembangunannya belum kelar. Di beberapa bagian masih belum tuntas. Terakhir, beberapa pekerja terlihat menyelesaikan pekerjaan pemasangan paving.

Namun, pada keterangan saat mendatangi redaksi koran ini, Hery pun meyakinkan jika semua telah selesai. Padahal, koran ini memiliki hasil jepretan yang menunjukkan adanya aktivitas penyelesaian hingga pekan lalu.

Untuk semua itu, koran ini mencoba menanyakan kembali kepada Hery kemarin. Sayang, berulang kali dihubungi, telepon selulernya tidak aktif. Sedangkan Ervandi selaku PPTK juga tidak bisa memberikan keterangan. Dia berdalih, semua keterangan langsung kepada Hery.

Seperti diketahui, pembangunan silo jagung dan gudang beras dianggarkan Rp 5 miliar. Namun, setelah tender menjadi Rp 4,2 miliar. Rinciannya, Rp 1,9 miliar untuk silo jagung, gudang beras Rp 2,3 miliar.

Proyek silo jagung yang menggunakan dana stimulus fiskal ini merupakan percontohan di Jawa Timur. Hanya di Sumenep proyek silo jagung ada. Dan, di Indonesia ada enam. Selain di Sumenep, ada di Garut, Minahasa, Tarakan, dan Gorontolo sebanyak dua unit.

Informasi lain, kedua proyek yang kontraknya tiga bulan mulai Oktober 2009 itu merupakan program percontohan BAPPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) yang merupakan salah satu unit eselon I di bawah Departemen Perdagangan. (ditambahi moh. hayat/bersambung)

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Pansus Aset Jalan Terus

Demi Transparansi Kekayaan Daerah

SUMENEP - Wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD soal pemindah - bukuan aset daerah menjadi aset badan usaha milik daerah (BUMD), semakin mengerucut. Sejumlah inisiator pansus menyatakan komitmennya untuk mendorong percepatan pembentukan pansus aset.

Upaya percepatan itu penting dilakukan agar kesepahaman di antara fraksi pendukung bisa segera terealisasi. Itu akan berguna untuk mengegolkan wacana pembentukan pansus aset sebagai dasar mengkaji, membahas, dan menyelidiki lebih jauh aset daerah.

Salah satu inisiator pansus aset, A. Fauzi Hasyim, menegaskan, dari delapan fraksi di DPRD Sumenep hanya dua yang tidak merespon. Sedangkan enam fraksi lainnya secara bulat mendukung dibentuknya pansus aset. "Sampai saat ini enam fraksi tetap sepakat untuk membentuk pansus," katanya kemarin siang (14/2).

Meski tidak didukung dua fraksi besar, yakni Fraksi PKB dan Fraksi PAN, Fauzi optimistis pansus tetap bisa dibentuk. Alasannya, komposisi pendukung pansus sudah sangat dominan.

"Namun, ya tetap dengan catatan, semua anggota fraksi pendukung satu kata. Dan, sampai saat ini kami tetap yakin semua satu komando," bebernya.

Mantan ketua HMI Badko Jawa Timur ini lalu menjelaskan beberapa dasar pemikiran soal pentingnya pansus aset. Antara lain, untuk transparansi kekayaan daerah yang saat ini dikelola sejumlah BUMD.

"Dengan pansus, semua akan transparan dan dibuka secara lebar besarnya kekayaan dan aset BUMD kita," jelas Fauzi.

Transparansi dinilai penting mengingat input dari sejumlah BUMD sangat minim. Seperti diketahui, sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) dari sejumlah BUMD, terutama PT Sumekar Line dan PT WUS tidak lebih dari Rp 50 juta setiap tahunnya.

"Sedangkan untuk pom bensin saja di PT WUS modalnya sampai Rp 4 miliar. Ini kan yang juga harus menjadi perhatian. Soal pemindah - bukuan aset daerah ke BUMD, saya kira itu bagian saja," paparnya.

Dibentuknya pansus untuk merespon pemindah - bukuan aset daerah menjadi BUMD. Langkah ini diambil sebagai sikap atas pembahasan komisi B sebagai leading sector bidang perekonomian yang belum menemukan titik terang. Saat pembahasan di komisi B, sempat deadlock lantaran tidak ada titik temu. Terutama, soal rencana pemindah - bukuan aset daerah menjadi BUMD. Seperti PT WUS (Wira Usaha Sumekar), PDAM, dan PT Sumekar Line. Dari deadlock inilah beberapa fraksi memiliki kehendak sama untuk membentuk pansus.

Wacana pembentukan pansus aset mendapat DPPKA (Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset) Sumenep. Kabid Aset DPPKA Herman Kamil dalam keterangan sebelumnya menilai berlebihan jika masalah aset dipansuskan. Sebab, masalahnya tidak rumit.

DPPKA, kata dia, hanya menginginkan penghapusan pencatatan neraca keuangan pemkab. Itu sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) di Jakarta. Ini dilakukan supaya tidak ada duplikasi pencatatan. (zid/mat)

Data :

[ Rabu, 10 Februari 2010 ]

Menggaji Pejabat secara Adil

Oleh: Adnan Topan Husodo

DALAM kurun waktu 2009 dan awal 2010, pemerintah berturut-turut menggagas program yang sangat tidak populis. Mulai pembelian mobil dinas mewah bagi para pejabat negara, rencana pembelian pesawat kepresidenan, renovasi pagar istana, hingga yang terakhir, ide menambah kocek pejabat publik kita melalui kebijakan menaikkan gaji pejabat negara.

Meskipun usul kenaikan gaji 20 persen belum diimplementasikan, tekad menambah pundi-pundi bagi pejabat negara itu sepertinya belum surut. Ini mengingat hingga kini Presiden SBY tak pernah menginstruksikan adanya penundaan atau pembatalan. Artinya, kemungkinan urungnya rencana menaikkan gaji pejabat tinggi yang santer beberapa waktu lalu merupakan strategi untuk meredam kritik publik. Jika sorotan publik atas usul itu mereda, sangat mungkin eksekusi kenaikan gaji akan dilakukan.

Disinformasi Publik

Alasan utama pemerintah merencanakan kenaikan gaji bagi pejabat publik hingga 20 persen adalah soal rendahnya jumlah gaji pokok yang diterima. Bahkan, SBY sendiri berujar, sudah lima tahun gaji dirinya dan para menteri tidak pernah naik.

Disebutkan, kenaikan gaji untuk pejabat itu untuk mengurangi korupsi. Sesungguhnya antara korupsi dan rendahnya gaji pejabat negara tidak memiliki hubungan yang kasualistik. Pasalnya, motif korupsi pejabat negara lebih karena faktor greed atau keserakahan, dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan pegawai rendahan.

Jika alasannya gaji pejabat negara di Indonesia masih rendah, pertanyaannya, apakah yang diterima pejabat negara setiap bulan hanyalah gaji semata? Lalu, bagaimana pendapatan lain-lain yang secara rutin diterima oleh mereka? Pada titik ini, pemerintah sepertinya tidak jujur dalam menyampaikan informasi.

Meskipun yang disampaikan pemerintah hanyalah usul kenaikan gaji pokok, dalam sistem hitungan penggajian di mana pun, kenaikan gaji pokok akan membawa konsekuensi pada naiknya tunjangan, baik tunjangan jabatan maupun tunjangan fungsional. Ini artinya, yang akan dinaikkan oleh pemerintah sebenarnya adalah seluruh penerimaan bagi pejabat negara, bukan semata-mata gaji pokoknya.

Demikian halnya, secara etis, pejabat yang berkuasa tidak diperbolehkan mengeluarkan kebijakan menaikkan gaji untuk dirinya sendiri. Jika Presiden SBY beralasan bahwa gajinya sudah tidak naik dalam kurun waktu 5 tahun, dalam negara yang sudah mengadopsi nilai-nilai atau aturan mengenai konflik kepentingan, justru terdapat larangan bagi pejabat yang bersangkutan untuk membuat kebijakan yang memberikan keuntungan ekonomi bagi diri sendiri. Jika pun ada rencana kenaikan gaji, pejabat sebelumnyalah yang menyusun dan mengesahkan.

Pendapatan Lain-Lain

Hitung-hitungan kasar ICW menyimpulkan bahwa meskipun jumlah gaji pokok pejabat negara dikategorikan kecil, sumber-sumber income lain sangatlah besar. Untuk satu bulan saja, seorang menteri bisa menikmati tak kurang Rp 140 juta dana kerumahtanggaan yang diperoleh dari berbagai alokasi, baik yang resmi maupun yang abu-abu (grey area).

Ambil contoh menteri dalam negeri yang bisa menggunakan dana taktis dari sumber upah pungut secara bebas dan tanpa disertai pertanggungjawaban pengeluaran yang otentik. Demikian halnya temuan ICW 2008 dalam kasus penerimaan tak resmi menteri agama dari sumber Dana Abadi Umat (DAU) dan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) senilai Rp 700 juta.

Sumber di atas belum termasuk dana operasional para menteri yang secara resmi memang dilegalkan oleh peraturan atau keputusan menteri keuangan. Artinya, jika pemerintah menghendaki perbaikan pada sistem penggajian pejabat publik, sisi-sisi gelap penerimaan pejabat publik terlebih dahulu harus diungkap dan dibenahi.

Langkah Penting Pemerintah

Oleh karena itu, wacana menaikkan gaji pejabat negara harus diletakkan dalam kerangka reformasi birokrasi. Artinya, dengan memperbaiki sistem penggajian pejabat publik, diharapkan pendekatan dalam menaikkan gaji pejabat publik akan lebih komprehensif. Demikian pula, akan tercapai sebuah pengelolaan anggaran yang efisien, efektif, transparan, serta akuntabel.

Jika pemerintah ingin menaikkan gaji pejabat publik, perlu diambil langkah untuk mengkaji secara lebih mendalam sumber-sumber penerimaan yang selama ini dinikmati secara leluasa oleh para pejabat negara dan memberikan kontribusi bagi bocornya anggaran negara atau rendahnya tingkat penerimaan pendapatan negara. Daftar penerimaan abu-abu dan ilegal itu harus secepatnya ditutup dengan aturan tegas melalui larangan menerima dan sanksi bagi yang sengaja menerima/menggunakannya.

Setelah itu, pemerintah dapat menyusun langkah memperbaiki sistem penggajian dengan berlandaskan pada tiga komponen penting, yakni penerimaan pokok, penerimaan tunjangan atas dasar tingkat tanggung jawab, dan penerimaan tunjangan atas dasar kinerja. Pemerintah tidak bisa lagi menerapkan sistem tradisional penggajian yang hanya mengedepankan aspek senioritas. Maksudnya, semakin senior seorang pejabat negara, semakin tinggi pendapatannya.

Dengan tiga komponen dasar penggajian di atas, konsep perbaikan pendapatan bagi pejabat publik diselaraskan dengan tujuan mendorong peningkatan kinerja dan output kerja. Dengan demikian, naik tidaknya dan besar kecilnya pendapatan yang diterima pejabat negara tidak lagi ditentukan oleh sebuah dasar yang tidak jelas, melainkan diletakkan dalam kerangka membangun birokrasi yang efesien, efektif, dan profesional. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

[ Rabu, 10 Februari 2010 ]

Menguji Konsistensi Dewan

HASIL sementara Pansus Angket Bank Century cukup mengagetkan. Ada perubahan peta politik di Senayan. Koalisi parpol yang bergabung dengan pemerintah benar-benar pecah. Hanya Partai Demokrat -sebagai penyangga utama- dan PKB yang berada di belakang pemerintah untuk membenarkan bailout Rp 6,7 triliun itu.

Empat anggota kongsi lain -Golkar, PKS, PAN, dan PPP- kompak menilai ada indikasi pelanggaran yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ini berarti Wapres Boediono yang saat itu menjadi gubernur BI dan Menkeu Sri Mulyani sebagai ketua KSSK harus bertanggung jawab.

Sikap Golkar dan PKS sejak awal sudah bisa ditebak. Mereka sangat kritis seperti fraksi-fraksi nonistana; FPDIP, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Hanura. Yang mengejutkan dan mengubah peta itu adalah Fraksi PPP dan Fraksi PAN. Kedua fraksi yang disebut terakhir ini sempat dipetakan sebagai bumper istana. Semua analisis menempatkan positioning mereka akan satu langkah dengan Demokrat.

PAN dan PPP membuat analisis politik berantakan. Kedua ''anak manis'' itu memilih arah yang berbeda dengan induk koalisi. Ketua FPAN Asman Abnur menyatakan fraksinya menemukan 60 pelanggaran yang mengandung unsur tindak pidana perbankan, pencucian uang, dan korupsi. PPP tak kalah garang. Melalui juru bicaranya, M. Romahurmuzy, partai yang mendapat jatah dua menteri di kabinet tersebut menilai KSSK belum melakukan semua amanat Perppu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK saat memutuskan bailout.

Ibarat main bola, posisi sementara 7 -2. Kubu yang menyatakan bailout Bank Century mengandung pelanggaran unggul jauh. Kalaupun voting, di antara 30 suara di pansus, Demokrat (8 kursi) dan PKB (2) tentu kalah telak oleh 7 fraksi lain yang mengantongi 20 suara.

Skor itu bukan semata-mata angka menang atau kalah. Di balik dinamika peta politik tersebut sebenarnya ada pendidikan politik yang harus ditunjukkan wakil rakyat. Yakni, konsistensi. Apakah para wakil rakyat itu akan tetap teguh terhadap kesimpulan awal mereka?

Para wakil rakyat harus sadar bahwa Pansus Angket Bank Century adalah etalase parlemen. Dari dinamika pansus inilah, jutaan rakyat bisa mengintip apa yang dilakukan para wakilnya. Tayangan langsung sidang-sidang pansus lewat televisi telah menjadi salah satu acara favorit.

Sikap dan pandangan fraksi-fraksi sudah terekam jelas di benak publik. Siapa yang membenarkan bailout dan siapa yang kritis terhadap pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun itu sudah terpetakan. Bahkan, masyarakat sudah mengenal visi dan karakter masing-masing anggota pansus.

Betapa sedihnya kita bila show-show yang dilakukan para wakil rakyat tersebut ternyata merupakan atraksi tawar-menawar politik. Umpamanya, ada yang berubah sikap karena takut kehilangan kursi menteri. Atau, mereka berubah pikiran karena mendapat konsesi politik lain.

Kita semua tentu tidak ingin panggung pansus itu hanya sebagai panggung sandiwara. Para wakil rakyat yang merupakan kelompok elite harus bisa memberikan teladan kepada para rakyat yang mereka wakili. Keteladanan tersebut adalah sejalannya ucapan dengan tindakan. Yang diucapkan lidah itulah yang dilakukan tangan dan kaki. Dari sinilah kepercayaan akan terbangun. (*)

[ Rabu, 10 Februari 2010 ]

Paradoks Rencana Kenaikan Gaji

Oleh: M. Mas'ud Said

TIDAK seberapa lama berselang dari kontroversi pembelian mobil dinas pejabat yang menghabiskan dana sangat besar, tahun ini, pemerintah kembali akan membuat peraturan presiden (perpres) tentang kenaikan gaji pejabat tinggi negara (JP, 2/2/2010).

Karena pembahasannya sudah tuntas di DPR dan koor persetujuan diberikan, maka ditilik dari ilmu kebijakan publik dan etika administrasi negara, recana itu baik-baik saja dan absah adanya. Ditilik dari otoritas keuangan yang dimiliki Menkeu, disertai kepemilikan data perimbangan keuangan, kebijakan tersebut normal saja.

Persetujuan DPR itulah salah satu prasyarat kebijakan yang baik. Tak boleh menimbulkan kerugian negara -sesuai dengan semangat reformasi birokrasi-karena diasumsikan sebagai bagian dari renumerasi dan diharapkan memperlancar tugas serta bisa meningkatkan produktivitas kerja pejabat negara.

Berbeda dengan kasus Century yang panas, kebijakan tersebut akan aman- aman saja, bukan diskresi, dibuat secara rasional. Total anggaran 158 triliun mungkin akan diterima secara keseluruhan pegawai dari golongan kecil sampai pejabat tinggi, hanya tunggu momentum saja.

Politik Anggaran

Kebijakan itu akan lancar mengingat DPR dan pembuat kebijakan secara teoretis akan diuntungkan dengan kenaikan gaji tersebut. Sulit mengharapkan akan ada tantangan dalam proses pelaksanaannya.

Mungkin, pemerintah akan menyangkal kalau ada yang mencoba mengasumsikan dan berpikir kritis bahwa penetapan kenaikan gaji itu adalah tebar pesona eksekutif kepada legislatif dan good approach kepada lembaga yudikatif, MPR, dan lembaga negara lainnya.

Namun, kalau kita ingin mendalami politik anggaran, kemungkinan itu dapat saja terjadi. Persoalannya ialah bahwa kebijakan kenaikan gaji tidak boleh dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis ''masyarakat yang diperintah". Gaji tidak mungkin bisa dinaikkan hanya karena kebutuhan, apalagi berdasar keinginan orang-orang yang digaji. Kenaikan gaji itu harus melihat besaran gaji golongan PNS terkecil agar ada keadilan.

Di negara-negara maju, kenaikan gaji pejabat tinggi termasuk hal sensitif. Sewaktu Bill Clinton menjadi presiden AS, pada Januari 1998, menteri keuangan Clinton diserang habis-habisan oleh Congressional Budget Office -semacam panitia anggaran DPR- gara- gara tidak bisa mengurangi pengeluaran belanja rutinnya di tengah krisis ekonomi Amerika.

Teorinya, kucuran anggaran adalah cermin keberpihakan pemerintah. Kalau anggaran untuk anak jalanan, fakir miskin, janda tua, atau infrastruktur di desa miskin di perbatasan sangat minim, tak bisa dimungkiri bahwa perhatian pemerintah untuk hal tersebut rendah.

Sayang sekali, sering ditemukan paradoks. Pemerintah sering mengeluh kekurangan anggaran untuk hal-hal mendesak bagi rakyat kecil, seperti, amanat pasal 34 UUD 1945 bahwa ''Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara", sedangkan untuk kenaikan gaji diri mereka, disajikan alasan yang masuk akal, rasional, dan seakan-akan urgen.

Mendongak ke Atas

Dapat dikatakan bahwa jurang antara gaji tertinggi pejabat negara RI dan gaji terendah pegawai negeri sipil (PNS) sudah dapat dipersempit tahun demi tahun. Pada 1968, perbadingannya 1:25, sampai 1988 dipersempit menjadi 1:8. Karena itu, dengan tambahan gaji pejabat tinggi sampai 20 persen tahun ini, gap gaji pegawai rendahan dengan pejabat akan lebih lebar lagi.

Dengan mempertimbangkan bahwa jumlah pejabat tinggi kita hanya sekitar 1.500 orang, maka penambahan 28 triliun untuk mereka, sedikit atau banyak, mencerminkan keberpihakan anggaran dalam pemerintahan tahun ini. Tidak dapat disalahkan kalau orang mengatakan bahwa pemerintah kita mendongak ke atas, bahkan tidak adil.

Tidak dapat dimungkiri bahwa peningkatan gaji pegawai secara teoretis bisa meningkatkan kinerja pegawai. Dalam teori Herzberg, misalnya, gaji adalah pengakuan, peningkatan gaji adalah rewards. Tanpa gaji yang cukup, pegawai akan loyo, dan dengan gaji cukup, pegawai akan giat.

Tapi, teori itu sekadar berlaku bagi karyawan rendahan, setingkat kuli. Adalah kesalahan besar kalau pendekatan peningkatan gaji tersebut diterapkan untuk pejabat tinggi di negara kita. Teori yang pas bagi mereka adalah penciptaan lingkungan yang kondusif dan pengakuan serta aktualisasi diri (self actualization) dalam lingkungan kecil dan lingkungan yang lebih luas.

Hasil sebuah survei menyatakan bahwa sejumlah PNS golongan rendah yang dijadikan responden (495 orang) mempunyai hasil tambahan pendapatan dari bekerja sambilan. Mereka mengaku menggunakan jam kantor dan 24,4 persen menopang hidup sehari-hari dengan cara nyambi.

Akhir-akhir ini, terdapat kecenderungan bahwa pegawai rendah di berbagai instansi pemerintah mendapat tambahan gaji mereka dari ''ceperan" yang dianggap sah, walaupun sesungguhnya tidak sah alias korupsi jalanan.

Sudah lima tahun belakangan ini, data mengenai ''njomplangnya" perbandingan pengeluaran rutin untuk pegawai dan belanja pembangunan. Apalagi untuk rakyat langsung. Data evaluasi RAPBD di 33 provinsi serta 420 kota dan kabupaten menunjukkan rata- rata 70-75 persen anggaran berpihak ke pejabat daerah dan pegawai daripada dana pembangunan.

Dengan berbagai data tersebut, terlihat bahwa rencana peningkatan gaji pejabat tinggi masih paradoks dengan kemiskinan dan keterbelakangan, tidak serasi dengan janji untuk mengutamakan rakyat. (*)

*). Prof M. Mas'ud Said PhD, wakil ketua DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)

Opini

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Saatnya Seberani Bung Karno

Oleh: Airlangga Pribadi

Integritas pemimpin pada saat krisis diuji oleh keberanian menghadapi masalah yang ada di depannya tanpa mengeluh. Ketika hari-hari terakhir ini kita disuguhi model komunikasi politik Presiden SBY yang terkesan menghindar dari persoalan, saya terkesima saat membuka kembali lembaran naskah pidato Proklamasi RI dari Bung Karno pada 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

Dalam pembukaan pidato tersebut, Soekarno menegaskan di tengah tekanan politik bertubi-tubi menghadangnya, dia tetap menunjukkan dirinya tegak berdiri sebagai presiden Republik Indonesia di hadapan seluruh rakyat. Melalui pidatonya, Bung Karno memperlihatkan bahwa dia tidak lari dari persoalan politik yang dihadapkan kepada dirinya. Dia menjawabnya satu per satu, mulai besarnya anggaran yang dia gunakan untuk merebut Papua sampai persoalan posisi politik dari Supersemar.

Meski pada akhirnya Soekarno tidak dapat mempertahankan kekuasaan, pidato tersebut memberi kesan yang sangat kuat bahwa sebagai presiden, Soekarno tidak mengeluh kepada rakyat atas tekanan politik yang dihadapi. Soekarno berusaha menenteramkan hati rakyat bahwa dia masih mampu mengelola kondisi politik di saat krisis. Sejarah mencatat, bagaimana Soekarno memperlihatkan jiwa kesatria, bahkan pada pertempuran politik pada masa akhir kepemimpinannya.

Keutamaan memimpin sebagai presiden seperti inilah yang tengah kita tunggu terkait dengan penyelesaian kasus bailout Century. Komunikasi politik Presiden SBY saat ini yang memperlihatkan kepada publik bahwa dirinya adalah korban yang dizalimi dan menyerahkan tanggung jawab kepada para pembantunya, dapat melunturkan kepercayaan publik. Ketika hal itu terjadi, setidaknya ada tiga langkah komunikasi politik yang seharusnya dilakukan SBY untuk memulihkan integritas pemerintahannya.

Ambil Tanggung Jawab

Pertama, sudah saatnya Presiden SBY menyadari bahwa memosisikan diri sebagai korban pertarungan politik dan mengharap simpati publik dalam kondisi krisis justru akan meluluhlantakkan kepercayaan publik akan hadirnya pemimpin yang tangguh dan bersama bisa menghadapi segala persoalan. Posisi sebagai korban dan menghindar seperti ini saatnya diubah. Apabila pada situasi normal, presiden dapat memberikan wewenang kepada para pembantunya untuk merumuskan kebijakan maupun menjawab pertanyaan publik atas berbagai persoalan pemerintahan, pada situasi krisis langkah yang berbeda harus diambil.

Sekarang saatnya bagi Presiden SBY untuk tampil sendiri dengan mengambil tanggung jawab dari Boediono dan Sri Mulyani dengan menyatakan bahwa dirinya mengetahui kebijakan bailout Bank Century dan menjelaskan secara jernih alasan dan kondisi-kondisi yang mengharuskan pemerintah mengambil tindakan tersebut. Meski kebijakan tersebut kemudian dinilai salah oleh pihak parlemen dan publik, keterusterangan dan mengakui kesalahan tidak membuat integritas presiden luntur di hadapan rakyatnya, selama pemimpin tidak melakukan praktik korupsi.

Kejujuran dan keberanian sikap tersebut dapat membangun citra diri Presiden SBY sebagai pemimpin yang tegar dan berani meski dihantam krisis politik yang kuat di hadapan rakyat Indonesia. Sekaranglah saatnya memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kemampuan Presiden SBY menyelesaikan persoalan yang ada di depannya bukanlah pencitraan publik semata, namun benar-benar karakter otentik dirinya.

Kedua, sudah saatnya SBY menghadapi dengan tegar segenap kekuatan oposisi politik, baik di tingkat kekuatan politik maupun kekuatan masyarakat sipil. Bukanlah tindakan arif bagi presiden di era sistem politik demokrasi, menyerukan ancaman kudeta kepada publik. Saat membaca sejarah, kita menjadi saksi bagaimana mantan Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid berani menghadapi lawan-lawan politiknya para legislator, di gedung DPR RI.

Tidaklah salah apabila Presiden SBY belajar dari momen tersebut. Saatnya dia tidak menghindar dan justru memanggil para aktivis dan agensi-agensi politik yang saat ini melakukan protes. Bukankah pada saat bertugas sebagai perwira tinggi pada masa Orde Baru, dirinya dikenal sebagai jenderal yang rajin berdialog dengan para intelektual dan aktivis gerakan mahasiswa. Tunjukkan kepada rakyat sebagai pemimpin yang selama ini menyerukan pentingnya optimisme. SBY siap dan mampu berdialog dengan lawan politiknya dengan segenap argumen dan penjelasan yang jernih dan rasional.

Ketiga, sebagai presiden tidak sepatutnya SBY mudah memberikan respons-respons reaktif dan emosional. Kepemimpinan yang efektif dalam kondisi krisis diperlukan, terutama pada saat-saat sekarang, ketika kritik dan tekanan politik tengah bertubi-tubi dialamatkan kepadanya. Sejarah kepemimpinan dunia memberikan contoh kepemimpinan efektif, saat Jenderal Charles De Gaulle menghadapi krisis gerakan mahasiswa pada 1968.

Pada situasi yang sangat genting di bawah ancaman revolusi sosial, De Gaulle bertindak tenang. Dia tidak mudah terpancing oleh tekanan dan provokasi politik, dan pada saat yang tepat hadir di hadapan rakyat Prancis dengan menunjukkan integritasnya sebagai presiden. Kemampuan De Gaulle menjalankan komunikasi politik secara efektif terbukti berhasil mengembalikan kepercayaan publik dengan memperlihatkan kapasitasnya sebagai pemimpin untuk menyelesaikan persoalan politik yang dihadapi rakyat Prancis.

Pendeknya, yang dibutuhkan Presiden SBY untuk memimpin di saat krisis adalah keberanian menghadapi persoalan yang muncul sebagai akibat dari kebijakan pada masa kepemimpinannya. Semoga beliau sadar bahwa saat ini bukanlah situasi normal, namun krisis politik terhadap pemerintahannya yang membutuhkan kehadiran pemimpin yang berani. (*)

*). Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

[ Senin, 15 Februari 2010 ]

Ancaman Krisis Masih Nyata

Sudah lebih dua tahun krisis finansial mendera dunia. Meski saat ini sudah ada tanda-tanda mereda, ancaman ternyata masih tetap ada. Krisis utang di Yunani bisa menjadi salah satu contoh. Gara-gara menerapkan defisit tinggi untuk menangkal krisis, negeri para dewa itu malah terjerat utang. Akibatnya, seluruh Eropa terkena imbasnya. Kurs euro terhadap dolar AS pun terus menuju titik terendah.

Beberapa bulan sebelumnya, Dubai, pusat bisnis dan ekonomi di Timur Tengah, juga terjerat krisis yang nyaris sama. Tapi, yang surat utangnya bermasalah bukan pemerintah, melainkan raksasa properti Nakheel, anak usaha Dubai World. Kejadian di dua benua berbeda itu seakan membuka mata dunia bahwa ancaman krisis finansial global masih tetap nyata.

Banyak ekonom memprediksi krisis yang menimpa Yunani adalah awal bencana di Eropa. Dalam waktu dekat, hal serupa bisa terjadi di Portugal, Irlandia, dan negara-negara lain yang kualitas perekonomiannya tak jauh berbeda. Sebagai anggota Uni Eropa yang menggunakan mata uang tunggal euro, Yunani secara tak langsung bakal menyeret negara-negara lain ke jurang krisis keuangan.

Ironisnya, negara-negara berekonomi kuat Eropa, seperti Jerman, enggan membantu menyelamatkan Yunani. Jerman menyebut Yunani mesti menyelesaikan masalah sendiri. Meski sudah komit membantu, presiden Uni Eropa juga tak jelas bakal memberikan pertolongan dalam bentuk apa. Namun, pekan lalu 16 menteri keuangan negara pemakai euro telah bertemu untuk membicarakan rencana penyelamatan Yunani dari kemungkinan gagal bayar (default) utang.

Apa pun bentuk bantuan itu, yang jelas mesti cepat dan akurat. Sebab, dampak krisis Yunani telah merembet ke seantero dunia. Sebagai ilustrasi, indeks Dow Jones di Bursa Efek New York (NYSE) secara masif terus melemah. Bahkan, pekan lalu sempat melorot di bawah 10.000 atau terendah tahun ini. Indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga sempat mencium level terendah selama 2010.

Berkaca pada kasus Yunani, Indonesia mesti ekstra hati-hati. Sebab, bukan tidak mungkin krisis serupa menghampiri negeri ini. Yunani yang punya rating utang lebih tinggi saja bisa terjerat krisis, apalagi Indonesia. Negeri ini pun dalam beberapa waktu terakhir cukup semangat menumpuk utang baru.

Berdasar data Ditjen Pengelolaan Utang, per 20 Januari 2010 total surat utang negara, termasuk obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan untuk menolong perbankan saat krisis moneter pada 1997, sudah hampir Rp 1.000 triliun. Tepatnya Rp 998,154 triliun. Wow, sungguh besar sekali. Jika utang segunung itu tak dikelola dengan benar, tentu sangat berbahaya.

Kita semua berharap, krisis di Eropa segera teratasi. Meski begitu, tak ada salahnya pemerintah melakukan langkah antisipasi. Siapa tahu, krisis di Eropa berkepanjangan. Tapi, itu bukan lagi menjadi ancaman karena kita sudah siapkan penangkal. (*)

[ Jum'at, 12 Februari 2010 ]

Petaka di Dunia Maya

Oleh: Bagong Suyanto

PERSENTUHAN anak-anak dengan kemajuan teknologi informasi dan peluang anak untuk dapat berselancar di dunia maya, tampaknya, tidak selalu berdampak positif. Kendati di era revolusi informasi, anak-anak kita seyogianya tidak gaptek serta tak asing dengan internet, tetapi ketika mereka tidak siap, jangan kaget jika efek samping yang timbul malah merugikan.

Kehadiran Facebook dan media berkomunikasi di dunia maya yang dramatis dalam dua-tiga tahun terakhir, mungkin benar telah membuka belenggu isolasi dan menjadikan wawasan dan jaringan sosial anak-anak makin luas. Namun, di saat yang sama tawaran keterbukaan informasi itu ternyata juga menyebabkan anak-anak rentan terpedaya.

Kisah yang dialami Nova, gadis 14 tahun di Tangerang yang kehilangan kesucian gara-gara terpedaya lelaki muda yang dikenalnya lewat Facebook adalah salah satu contoh betapa berisikonya kehadiran Facebook ketika anak-anak kita tidak siap mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul.

Di media massa, kita bisa melihat sejumlah contoh kasus tentang efek samping kehadiran Facebook. Di Surabaya, belum lama ini berhasil dibongkar adanya kasus perdagangan dan pelacuran anak yang pemasarannya mempergunakan jalur on line Facebook.

***

Berbeda dengan kontak-kontak langsung secara personal dan setiap pihak yang berinteraksi tahu persis sejarah dan latar belakang lawan bicaranya, kontak yang terbangun di dunia maya sering berlangsung penuh kemasan seperti dunia simulacra. Jean Baudrillard menyatakan bahwa simulasi adalah sebuah realitas semu yang tidak selalu identik deangan realitas nyata.

Di dunia maya, lewat Facebook, seseorang bisa memperkenalkan diri menjadi siapa pun, tanpa harus terikat dengan kondisi riil dirinya. Seorang lelaki iseng, playboy yang suka mempermainkan perempuan, melalui Facebook bukan tidak mungkin merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang santun, penuh perhatian, dan jauh dari kesan menjengkelkan.

Di dunia maya, yang namanya identitas adalah sebuah bentukan citra, dan oleh karena itu yang penting di sini adalah image, konstruksi, dan seberapa jauh lawannya berinteraksi dapat dikecoh atau terkecoh.

Bagi seorang anak perempuan yang sehari-hari dibesarkan dalam keluarga broken home, atau bermasalah, apalagi menjadi korban child abuse, berselancar di dunia maya untuk mencari teman chatting bukan hanya menjadi alternatif kegiatan pelarian yang mengasyikan. Lebih dari itu, kegiatan tersebut juga menjadi kegiatan untuk mencari sosok-sosok idola substitutif yang ideal.

Seorang anak yang di dunia nyata memiliki ayah yang ringan tangan dan suka main pukul, biasanya dengan mudah akan terpedaya oleh kenalannya di dunia maya yang pandai menghibur, penuh perhatian, dan terkesan sabar. Seorang anak yang lugu seperti Nova, misalnya, niscaya dengan mudah jatuh cinta kepada cowok yang lewat Facebook tampak penuh perhatian dan bisa menjadi teman curhat yang mengasyikkan.

***

Sebagai bagian dari kemajuan teknologi, kehadiran media jejaring Facebook memang penuh pesona dan mampu membunuh rasa kesepian anak-anak kita yang sehari-hari kurang memperoleh perhatian orang tuanya. Di tengah kondisi kegiatan belajar-mengajar yang acapkali terlalu membebani dan menjemukan bagi siswa, ditambah lagi komunikasi dengan orang tua yang sangat minimal karena kesibukan bekerja, sering terjadi para orang tua menempuh langkah pragmatis.

Membelikan anak-anak perangkat telepon seluler yang canggih semacam BlackBerry dan memasangkan anak fasilitas internet di HP maupun laptopnya adalah cara yang acapkali dipilih para orang tua dengan alasan agar anaknya tidak ketinggalan perkembangan. Sementara itu, bagi anak-anak dari keluarga menengah ke bawah yang mungkin tak kuat membayar perangkat teknologi informasi yang mahal, keberadaan warung-warung internet adalah salah satu pilihan yang bisa mereka akses dengan mudah dan murah.

Bagi anak-anak yang hidup di era revolusi informasi, menjalin jejaring sosial di dunia maya dan mendaftarkan diri dalam akun pertemanan Facebook, Twitter, atau situs yang lain memang merupakan konsekuensi kemajuan zaman dan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Cuma, yang menjadi masalah: karena secara psikologis anak-anak dalam usia belia acapkali masih belum sepenuhnya matang, dan dalam banyak kasus mereka masih mudah terpedaya karena sulit membedakan mana kenalan yang benar-benar baik dan mana pula sesungguhnya yang termasuk predator yang tengah mencari mangsa lewat dunia maya, maka jangan kaget jika tiba-tiba ada orang tua yang kehilangan anaknya karena kabur atau tertipu kenalannya lewat Facebook.

Adalah tugas pemerintah, orang tua, pendidik, dan berbagai elemen masyarakat lain untuk mencegah anak-anak kita menjadi korban dunia simulacra yang ditawarkan kemajuan teknologi informasi. Sudah barang tentu solusinya tidak harus dengan mengeluarkan fatwa haram bagi Facebook dan semacamnya. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar kita semua tidak kehilangan hubungan sosial dengan anak-anak kita.

Musuh dan para predator yang mengancam anak-anak kita sesungguhnya tidak selalu ada di luar rumah, di jalanan, atau di tempat-tempat yang berbahaya. Di rumah kita sendiri, pada saat anak-anak dibiarkan terbenam berselancar di dunia maya, entah itu bermain Facebook atau membuka situs porno, maka di situlah mala petaka mulai mengancam anak-anak kita. (*)

*). Bagong Suyanto, pengajar masalah sosial anak di FISIP Universitas Airlangga.