Bulir keringat di dahi I Gusti Ketut Gde Suena, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo-lebih populer dengan sebutan Jakpro-tak mau beranjak. Rabu siang, 11 Maret 2009, dia baru saja menghadap Gubernur DKI Fauzi Bowo di Balai Kota Jakarta.
Tengah hari itu Suena datang untuk melaporkan beberapa perkembangan terkait dengan kinerja perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki Pemprov DKI itu. Satu bagian laporannya adalah masalah pembebasan lahan jalan tol akses Pelabuhan Tanjung Priok.
Itu proyek infrastruktur pertama yang digarap Jakpro, yang sekaligus menandai ekspansi BUMD DKI dengan bisnis inti properti itu. Suena memimpin Jakpro sejak 2004, dan proyek tol akses Priok digarap 2 tahun berikutnya.
Jakpro terlibat dalam proyek tersebut setelah Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto dan Gubernur DKI Sutiyoso menandatangani nota kesepahaman kerja sama pembangunan tol akses Priok pada 29 Agustus 2006.
Dalam nota tersebut, Jakpro jadi pelaksana pengadaan lahan pada empat dari lima total seksi, yaitu E2 Cilincing -Jampea (4,2 km), WI Jampea-Kampung Bahari (2,8 km) W2 Kampung Bahari-Harbour Toll Road (2,9 km) dan NS Jampea-Jalan Yos Sudarso, Kebon Bawang (1,7 km).
Sementara itu, Departemen PU menyelesaikan konstruksi fisik pada empat seksi tersebut. Satu seksi lain, yakni E1 Rorotan-Cilincing (3,4 km) dikerjakan sepenuhnya oleh Departemen PU, mulai pengadaan lahan sampai penyelesaian konstruksi.
Dana pengadaan lahan yang dipakai Jakpro berasal dari APBD DKI. Proyeksi kebutuhannya dihitung Rp350 miliar, dan dicairkan dalam 2 tahun fiskal, 2006-2007, dengan nilai Rp150 miliar dan Rp200 miliar.
Adapun dana untuk pekerjaan fisik yang dipakai Departemen PU berasal dari pinjaman Japan Bank for International Corporation (JBIC), dengan komitmen Yen40 miliar atau sekitar Rp4,2 triliun. "Pembangunan tol ini akan selesai pada 2010," kata Menteri Djoko ketika itu.
Proyek tol akses Priok di-endorse pertama kali oleh JBIC pada forum Consultative Group on Indonesia, Januari 2005. Dari kajian JBIC, tol yang langsung masuk ke pelabuhan itu akan sangat signifikan memperlancar arus barang dan mengefisiensikan biaya distribusi.
Keberadaannya, yang terkoneksi langsung dengan jaringan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) I sekaligus tol pelabuhan, tol dalam kota, serta tol Cibitung yang jadi bagian JORR II, diharapkan juga memberi kontribusi pada perbaikan tata guna lahan di wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan riset JICA, koneksi langsung itu akan mempersingkat jarak tempuh angkutan industri ke Pelabuhan Tanjung Priok dari berbagai wilayah seperti Bekasi, Tangerang, dan Karawang, dari yang kini 6 jam-7 jam jadi hanya 1 jam.
Saat itu, JBIC sudah membuat rancangan teknis proyek berikut estimasi pinjaman dan skema pengembaliannya. Dua bulan kemudian, proyek itu disetujui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, lalu turun ke Departemen Perhubungan, hingga akhirnya ke Departemen PU.
Suena, yang hadir saat penandatanganan nota kesepahaman Menteri Djoko dan Gubernur Sutiyoso, saat itu menyatakan Jakpro akan merampungkan tugas pembebasan lahan tol akses Priok selama 2 tahun. Tugas itu dikerjakan mulai September 2006.
Namun, sampai September 2008, pekerjaan itu belum rampung. Targetnya kemudian diundur ke Oktober 2008, lalu mundur lagi ke Januari 2009, dan berlanjut ke Juni.
"Hingga awal Maret ini, masih 9,9 km dari 13,3 km lintasan tol akses Priok yang belum dibebaskan, sebagian besar milik BUMN dan instansi pemerintah," kata Suena, Rabu siang 11 Maret 2009 di halaman Balai Kota-sambil mengusap bulir keringat di dahinya.
Model terbaru
Tol akses Priok adalah jalan tol pertama di Indonesia yang terpaksa dibangun sepenuhnya oleh pemerintah, setelah model public private partnership atau P to P yang coba dilemparkan ke swasta melalui forum Infrastruktur Summit I-2005 tak disambut hangat alias tidak laku.
Karena dibangun sendiri itu pula, proyek ini tidak mengenal istilah pemegang konsesi seperti lazim ditemui dalam bisnis tol, di mana pemegang konsesi lalu mengundang investor bekerja sama mem-BOT-kan (built, operate, and transfer) tol tersebut dalam kurun tertentu.
Dengan kata lain, pada model ini, kewenangan yang dimiliki Badan Pengatur Jalan Tol-regulator bisnis tol di Indonesia-menjadi tidak relevan. Sebab, tidak ada yang berperan sebagai pemegang konsesi dan juga investor.
Jika sukses, model ini akan direplikasi ke ruas berkarakter sejenis, yaitu yang kurang daya tarik investasinya, tapi dinilai penting untuk menggerakkan ekonomi.
Seperti tol akses Priok, yang menghubungkan pusat pertumbuhan seperti pelabuhan dan kawasan industri.
Ruas tol yang menurut rencana dibangun dengan model itu adalah Manado-Bitung, Pekanbaru-Kandis-Dumai, dan Serangan-Tanjung Benoa. Sama halnya dengan tol akses Priok, sampai hari ini, pembangunan ruas-ruas itu juga masih belum terealisasi.
Ruas lain seperti Cileunyi-Dawuan, Medan-Tebing Tinggi, Pasir Koja-Soreang, Sukabumi-Ciranjang, dan Solo-Kertosono sebetulnya sempat masuk model itu. Namun, karena belakangan return of investment-nya dinilai lumayan, model P to P yang akhirnya diterapkan. Dalam tol akses Priok, model baru itu sendiri kemudian mengalami modifikasi. Apa yang kemudian terjadi ini sebetulnya lebih merupakan perwujudan kebutuhan untuk mengadaptasi kebiasaan hukum yang biasa terjadi dalam suatu perikatan bisnis.
Adaptasi itu menjadi kebutuhan paling tidak karena tiga hal. Pertama, pemerintah pusat tidak terbiasa bekerja sendirian. Maksudnya, keterlibatan pemerintah daerah menjadi penting selain untuk meredam resistensi warga, juga untuk membagi risiko bisnis.
Kedua, pengembalian investasi tol secara relatif adalah hal yang sebetulnya sangat mungkin diciptakan. Meski pada proyek tol akses Priok tak ada yang berperan sebagai investor seperti halnya dalam proyek tol yang lain, secara faktual Jakpro juga melakukan investasi.
Ketiga, adalah sumber pembiayaan yang sepenuhnya berasal dari dana pinjaman luar negeri. Dengan sumber ini, tahapan yang harus dilalui cenderung lebih njlimet apabila dibandingkan dengan proyek yang dibiayai dana swadaya pemerintah atau swasta murni.
Modifikasi atau kebutuhan adaptasi dalam pembangunan tol akses Priok inilah yang tampak ketika Menteri PU selaku 'pemegang konsesi' dari pemerintah pusat menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur DKI selaku 'investor' dari pemerintah daerah.
Nota kesepahaman itu mengamanatkan Pemprov DKI membebaskan lahan tol akses Priok di E2, W1, W2, dan NS. Sebagai imbalan, biaya pembebasan tanah itu kelak dikonversi menjadi penyertaan modal dalam perusahaan operator tol yang bakal dibentuk Departemen PU.
Sampai di sini, Menteri Djoko kemudian menyatakan modifikasi model baru itu merupakan inovasi yang menyinergikan kepentingan pusat dan daerah dalam membangun infrastruktur dan menggerakkan perekonomian. Sebuah klaim yang terburu-buru. (mcd/na) (bastanul.siregar@bisnis.co.id)