Jumat, 05 Juni 2009

Muatan angkutan laut naik 4,92%

JAKARTA: Volume barang angkutan laut antarpulau selama April 2009 mencapai 8,5 juta ton atau naik 4,92% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan peningkatan jumlah barang yang diangkut terjadi di Pelabuhan Makassar, Panjang, dan Balikpapan masingmasing naik 71,60%, 39,59%, dan 9,60%.
"Sebaliknya di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak turun 8,67% dan 4,42%," katanya pekan ini.
Menurut Rusman, selama 4 bulan pertama tahun ini volume barang yang diangkut mencapai 37,2 juta ton atau turun 34,45% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. (Bisnis/hwi)

Dephub siapkan 3.000 pelaut per tahun

JAKARTA: Pemerintah akan meningkatkan jumlah lulusan pelaut menjadi 3.000 orang per tahun untuk memenuhi kebutuhan domestik dan internasional yang cenderung terus meningkat.Kepala Badan Diklat Perhubungan Departemen Perhubungan Dedi Darmawan mengungkapkan pada tahun ini lembaganya memperoleh anggaran sebesar Rp1,5 triliun untuk meningkatkan kapasitas sekolah pelayaran yang berada di bawah Dephub.Namun, dia mengharapkan perusahaan pelayaran nasional memperbaiki standar gaji pelaut dan perwira yang kini masih di bawah perusahaan asing guna mencegah mereka bekerja ke kapal asing."Perusahaan [pelayaran] juga harus meningkatkan standar salary agar tidak habis oleh perusahaan asing yang memberikan gaji besar. Pemerintah tidak bisa menahan kalau itu terjadi," katanya di sela-sela pelantikan perwira ahli transportasi, kemarin.Saat ini, ungkapnya, perusahaan pelayaran asing memberikan gaji dan kesejahteraan cukup tinggi dibandingkan dengan pelayaran nasional. Menurut Dedi, sejumlah perusahaan pelayaran nasional meningkatkan gaji dan kesejahteraan, tetapi hanya pelayaran besar. Sementara itu, Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 2.500 pelaut dengan kategori 2.000 pelaut dan 500 perwira kapal hingga 2011, menyusul pelaksanaan asas cabotage atau kewajiban komoditas domestik diangkut oleh kapal berbendera Indonesia.Menhub Jusman Syafii Djamal mengatakan tingginya kebutuhan itu karena asas cabotage mewajibkan awak kapal dan tenaga perwira berasal dari dalam negeri."Dalam asas cabotage ada syarat perwira pada kapal berbendera dalam negeri diawaki oleh awak Indonesia," katanya.Menhub menegaskan kebutuhan pelaut dan perwira itu masih mampu dipenuhi dari sekolah pelaut di dalam negeri sesuai dengan kesepakatan seluruh sekolah pelayaran nasional.Namun, Jusman mengakui banyak tenaga pelaut Indonesia lebih senang bekerja di kapal asing karena standar gaji yang lebih tinggi.Selain itu, paparnya, pelaut asal Indonesia sangat diminati oleh perusahaan pelayaran asing. "Itu petunjuk bahwa kita punya pusat pelatihan pelaut sudah berstandar internasional."Menhub menegaskan pihaknya tidak akan membatasi pelaut Indonesia bekerja di kapal asing kendati kebutuhan domestik sangat banyak. (22)Oleh Hendra WibawaBisnis Indonesia

Terminal 2 Priok beroperasi lagi tahun ini

JAKARTA: Manajemen PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menargetkan Terminal 2 di Pelabuhan Tanjung Priok beroperasi kembali paling lambat pada akhir tahun ini.Presiden Direktur JICT Derek Pierson mengatakan saat ini pihaknya sedang membahas rencana pengaktifan kembali terminal itu bersama manajemen PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II."Ada rencana untuk itu [pengoperasian kembali Terminal 2], tetapi kami membutuhkan persetujuan dari Pelindo II sebelum melanjutkan rencana itu. Sesuai dengan keputusan dari Pelindo II, mudah-mudahan sebelum akhir tahun ini akan mulai aktif," katanya kemarin.Sebelumnya, Direktur Utama PT Pelindo II Richard Jose Lino menyayangkan sikap JICT yang terkesan menelantarkan Terminal 2 di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu. Oleh karena itu, paparnya, Pelindo II akan segera mencari solusi agar Terminal 2 bisa beroperasi kembali."Saya dengar sudah cukup lama Terminal 2 itu menganggur. Bahkan, sejak menjadi direksi di sini [Pelindo II], saya belum melihat adanya kegiatan kunjungan kapal ataupun bongkar muat di terminal itu, padahal di terminal lainnya sibuk," katanya. (Bisnis, 3 Juni)Derek mengungkapkan Terminal 2 tidak digunakan karena tempat itu alurnya tidak terlalu dalam sehingga hanya bisa disandari oleh kapal-kapal kecil. "Permasalahannya, di terminal itu hanya bisa menerima kapal kecil karena kedalaman dari laut di sana [kurang], bukan ukuran dermaganya," ujarnya.Pada Maret 2009, Terminal 2 yang dikelola oleh JICT itu sudah beroperasi kembali setelah izinnya pengelolaannya sempat dibekukan oleh Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok karena tidak dilengkapi fasilitas pemeriksaan peti kemas atau behandle.Derek memperkirakan volume peti kemas di fasilitas penumpukan JICT pada tahun ini turun 20% dibandingkan dengan kondisi tahun lalu. Pada 2008, perusahaan patungan Hutchison Port Holdings (Hong Kong) dan Pelindo II itu melayani peti kemas ekspor impor sebanyak 1,99 juta TEUs. (22)
sumber : bisnis.com

Catatan Hari Lingkungan Hidup, 5 juni

Fikih Kencing Bisa Selamatkan Ekologi Oleh Abdul WahidADA suatu nasihat yang sering kita dengar, kesuksesan menangani masalah besar sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi persoalan yang dianggap sepele (ringan). Seseorang yang terbiasa mengabaikan persoalan kecil mungkin tidak perlu dipercaya untuk menangani masalah besar. Pasalnya, dia tidak akan punya kemampuan menanganinya. Kebiasaan mengabaikan masalah kecil akan membuatnya tidak cukup kapabel untuk diberi kepercayaan menyelesaikan persoalan besar. Realitas yang sering kita jumpai dalam kehidupan di masyarakat adalah membiasakan atau membiarkan persoalan kecil tidak tertangani maupun tertunda-tunda. Masalah kecil dianggap tidak akan menjadi beban atau penyakit yang mengancam dan merugikan masyarakat. Padahal, sudah banyak pelajaran yang menunjukkan akibat sikap itu. Contohnya sampah yang dibiarkan menggunung. Begitu terjadi longsor sampah, manusia yang hidup di sekitarnya terkubur hidup-hidup. Problem lain yang dianggap kecil oleh masyarakat adalah buang air kecil (kencing). Mudah kita temukan elemen masyarakat yang berdiri di pinggir jalan atau tengah kerumunan sedang kencing. Akibatnya, lingkungan hidup berbau tidak nyaman. Saat perjalanan dari Makkah ke Madinah, di tengah jalan bus yang penulis tumpangi mengistirahatkan penumpang sekaligus memberikan waktu untuk makan siang. Penulis yang bermaksud ke kamar kecil dicegah kawan yang sebelumnya langganan berangkat haji. Katanya, menuju kamar kecil lebih dulu berakibat tidak bergairah makan. Mengingat sudah tidak tahan lagi, penulis nekat ke kamar kecil. Benar, begitu masuk ke kamar kecil, penulis menemukan bau pesing dan menumpuknya kotoran manusia. Dalam kasus itulah mencuat gugatan apakah kita memang tidak bisa melaksanakan manajemen air kencing. ***Tampaknya, kondisi yang didapati di negara yang jadi tujuan wisata spiritual tersebut tidak sulit ditemukan pada masyarakat Indonesia. Kamar kecil berkategori sangat kotor justru mudah ditemukan di tempat-tempat yang menjadi sarana penyampaian ajaran menegakkan kebersihan, termasuk lembaga-lembaga publik-keagamaan yang punya alokasi dana besar untuk menangani masalah lingkungan. Manajemen tersebut sebenarnya berinti penataan atau pengelolaan masalah dasar dan sakral dalam agama yang berhubungan dengan kotoran atau pembuangan penyakit (air kencing). Dari penataan masalah dasar, meski sering dianggap sebagai aspek kecil, sejatinya manusia diingatkan tentang makna tanggung jawab dalam relasi dengan ekologi atau lingkungan hidup. Di hadapan para sahabat, nabi bertitah, "Hindarilah tiga macam perbuatan terkutuk: buang air di tempat mawarid (yang didatangi orang, seperti air atau sungai, Red), jalan, dan tempat-tempat orang berteduh." Dalam hadis lain disebutkan pula larangan kencing di tempat-tempat berlubang. Sebab, ditengara tempat-tempat itu menjadi peristirahatan binatang, seperti semut. Kata-kata dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tersebut menunjukkan, dalam regulasi agama telah terkandung aturan main atau fikih sakralitas ekologi yang berelasi dengan etika perilaku manusia, baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang dituntut dipergauli dengan baik atau saleh oleh manusia, baik secara individual maupun korporatif-kolektif, di antaranya, bumi dan karya-karya Tuhan di atasnya. Keharusan menata atau membangun atmosfer pergaulan yang baik, di antaranya, dapat diwujudkan dengan menunjukkan perilaku yang bermodus mewujudkan kebersihan lingkungan hidup, menjaga kelestarian alam, atau mencegah diri dari perbuatan bermuatan destruktif dan dehumanistik terhadap sumber daya ekologis. Prevensi itu akan berdampak pada pencegahan atau pengurangan pemanasan global (global warming). Dalam agama, dari masalah membuang air kencing saja sudah digariskan mekanisme atau penataan. Mulai mekanisme berdoa hingga objek atau area yang bisa dijadikan tempat untuk membuang air kencing. Tidak semua tempat bisa dijadikan objek pembungan air kencing manusia. Sebab, air kencing yang terbuang itu tak hanya akan meninggalkan bau yang merusak lingkungan hidup, tapi juga virus-virus. Ketentuan yang mengatur manajemen buang air kencing tersebut sering kita abaikan atau kurang aktualisasikan. Padahal, setiap larangan yang sudah digariskan-Nya pasti mengandung pelajaran berharga bagi kelangsungan hidup manusia. Dari air kencing itu, agama bermaksud mengedukasi moral kita. Apa saja yang diperbuat manusia mengandung risiko membahayakan jika manusia tidak cerdas atau gagal menerjemahkan dan menegakkan aturan tersebut. Buang air kencing kelihatannya memang persoalan kecil. Tetapi, kalau air kencing tersebut terus-menerus dibuang dengan cara dan kebiasaan yang salah, bau tidak sedap akan semerbak pada atmosfer komunitas sosial, ada yang hak kenyamanan dan kesehatannya terganggu. Kalau kebiasaan itu dilakukan di tempat-tempat wisata, masyarakat yang mengunjungi gagal menikmati keindahan alam. Sebaliknya, mereka "menikmati" bau menyengat dan polusi yang mengancam kesehatan. Dengan larangan buang air kencing yang digariskan agama tersebut, sebenarnya manajemen itu mengandung perlindungan terhadap kemaslahatan publik dari global warming jika air kencing diidentikkan dengan bahan perusak ozon (BPO). Hak-hak ekologi sosial secara umum (publik) yang memanfaatkan keasrian, kesejukan, dan kenyamanan kekayaan alam akan hilang karena dikotori atau didestruksi air kencing. Dalam ranah tersebut, air kencing kita telah menjadi limbah yang menciptakan atau melahirkan dosa publik. Sebab, dari air kencing itu, kepentingan kesehatan psikologis masyarakat terusik.Norma yang mengatur air kencing tersebut sebenarnya merupakan pelajaran berharga. Dari air kencing saja, agama sudah meminta kita untuk berhati-hati atau mengikuti mekanisme yang benar. Apalagi masalah itu berkaitan dengan limbah berbahaya sekelas B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang notabene BPO, tentu pesan agama mana pun semakin ketat mengatur. Kenyataannya, agama-agama langit sudah mengingatkan dengan keras soal bahaya perilaku manusia yang arogan dan kriminalis dalam merusak dan mengotori lingkungan hidup. (*)*Dekan Fakultas Hukum Unisma Malang, visitor pada International Islamic University of Malaysia (IIUM).

Prita dan Kebebasan Berpendapat

MEMBEBERKAN keluh kesah bisa menghadapi masalah hukum. Bahkan, menuliskan pengalaman pribadi melalui surat elektronik (e-mail) bisa dijebloskan ke ruang tahanan. Mungkin, bagi Prita Mulyasari, bakal meringkuk di penjara amat jauh dari bayangannya, karena membeberkan pengalaman pribadi saat memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional di kawasan Perumahan Alam Sutera, Tangerang, Banten. Pengalaman yang dianggapnya perlu diketahui rekan-rekannya melalui e-mail itu ternyata tersebar luas melalui jaringan internet. Kasus yang menimpa Prita tersebut bermula ketika dia mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke sebuah media dotcom, kemudian dia mengirimkan pula kepada teman-temannya. E-mail itu berisi keluhan terhadap RS Omni Internasional yang pernah merawatnya. Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat milis-milis. Pertanyaannya, apakah Prita benar-benar mencemarkan nama baik RS Omni Internasional? Jika melihat isi e-mail yang berupa surat pembaca di sebuah media dotcom, kemudian kita menganalisisnya dengan metode analisis wacana (discourse analysis), tampaklah, isi e-mail-nya itu adalah narasi dalam bentuk keluhan yang lazim dialami oleh seseorang yang kecewa atas pelayanan.Dalam e-mail itu, Prita hanya menggambarkan pengalamannya bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi keluhan yang dialami. Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dengan Prita jika mengalami pengalaman kurang menyenangkan. ***Analisis wacana (discourse analysis) adalah sebuah teknik menganalisis naskah (dalam hal ini tulisan e-mail yang dibuat Prita) yang bertujuan menemukan "jalan pikiran" yang terdapat dalam naskah yang dianalisis. Melalui proses pemaknaan atas bagian demi bagian dari naskah yang dianalisis dan menghubungkan antarmakna yang timbul dari setiap bagian, kita selaku analis bisa menyimpulkan "jalan pikiran" yang dikandung pada sebuah naskah. Tentu saja, setiap pembuatan sebuah naskah (wacana) seperti dilakukan Prita adalah versi si pembuatnya Karena itu, kedudukannya merupakan versi pembuatnya, ada dua konsekuensi yang mesti kita pahami bersama. Pertama, sebuah versi wacana hendaknya dipahami dari sudut pandang si pembuat naskah. Jika yang bersangkutan membuat wacana itu tanpa fakta dan data, dia boleh disebut berbohong, bahkan mencemarkan nama baik. Tetapi, jika masih mengacu pada fakta dan data, yang bersangkutan tidak bisa dikatakan sepenuhnya berbohong, melainkan hanya mengungkapkan data dan data menurut versinya sendiri. Itulah yang namanya versi. Justru karena versi itulah terbuka peluang versi yang lain. Inilah konsekuensi kedua. Hendaknya sebuah versi wacana dijawab dengan versi lain. Hanya wacana yang fakta dan datanya lengkap serta akurat itulah yang mesti dimenangkan. Hal itu pula sebaiknya yang menjadi salah satu acuan dalam proses pengadilan dalam menghakimi wacana versus wacana. ***Memang, dalam kasus di atas, RS Omni Internasional sudah membuat wacana versinya sendiri dalam bentuk hak jawab beserta iklan. Sayang, langkah hukum masih tetap diambil. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Masalah telah berkembang ke mana-mana dan telanjur masuk ke ranah hukum. Sementara itu, opini publik, sepertinya, berpihak kepada Prita. Fenomena seperti yang menimpa Prita (eksistensi kebebasan mengeluarkan pendapat) patut dipertanyakan. Ternyata, kebebasan mengeluarkan pendapat masih menghadapi banyak ancaman. Kini bukan hanya penguasa yang bisa meredam hak asasi seorang warganya untuk mengeluarkan pendapat, tapi juga sebuah lembaga swasta pun bisa memiliki kekuatan ampuh untuk membungkam kebebasan yang dijamin oleh konstitusi itu. Peluang untuk mereduksi kebebasan mengeluarkan pendapat itu bisa muncul karena ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang tersebut dibuat sebagai rambu agar tidak terjadi kejahatan dengan memakai perangkat media teknologi informasi. Ada ancaman hukuman bagi pelanggar pasal-pasal dalam undang-undang tersebut. Namun, persoalannya, perangkat hukum yang menjadi produk DPR bersama pemerintah itu justru amat berpotensi digunakan sebagai peredam kebebasan menyampaikan pendapat dari warga masyarakat. Contohnya, itu dialami oleh Prita Mulyasari.Para pendiri republik ini amat peduli dengan kebebasan mengeluarkan pendapat bagi warga negara. Kebebasan itu lalu masuk sebagai salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kendati sudah beberapa kali mengalami amandemen atau perubahan, pasal yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat tidak pernah dihilangkan dari batang tubuh konstitusi negara itu. Melihat penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa disalahgunakan untuk membungkam pendapat warga negara, sepatutnya ada upaya untuk merevisi produk legislatif tersebut. Tidak boleh ada sebuah peraturan perundang-undangan yang substansinya justru mengabaikan hak-hak konstitusional, misalnya, kebebasan mengeluarkan pendapat. Langkah revisi itu menjadi pilihan karena peluang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sudah pernah dipakai. Melalui putusannya pada Mei lalu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil yang diajukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat terhadap undang-undang tersebut. Tetap perlu ada sebuah undang-undang yang memuat sanksi hukum terhadap kejahatan melalui teknologi informasi. Kepentingan publik layak dilindungi terhadap kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Namun, peraturan apa pun yang posisinya lebih rendah dari undang-undang dasar tidak bisa mengebiri hak-hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi *)
Hurri Rouf,aktivis HMI, penggiat majalah Sinergia, Jogjakarta
Sumber: jawapos.com

ADB Pinjami Indonesia USD 1 Miliar

Terbesar yang Pernah Diberikan ke Indonesia JAKARTA - Bank Pembangunan Asia (ADB) menyetujui pinjaman siaga senilai USD 1 miliar. Ini adalah salah satu pinjaman tunggal terbesar yang pernah dikucurkan lembaga multilateral itu kepada Indonesia. Pinjaman siaga ditujukan untuk membantu Indonesia mempertahankan belanja negara untuk pengurangan kemiskinan, jaminan sosial, dan pemeliharaan infrastruktur di tengah krisis ekonomi dunia.ADB memperkirakan krisis keuangan yang terjadi saat ini sangat mengurangi kemampuan Indonesia mendapatkan dana dari pasar keuangan. Resesi ekonomi yang dialami beberapa mitra dagang utama Indonesia juga berpengaruh buruk pada permintaan ekspor Indonesia dan menghambat aliran investasi yang masuk ke negara ini."Krisis keuangan global menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan Indonesia untuk mengakses pasar utang internasional dan biaya perdagangan menjadi mahal. Ini bisa menghambat belanja pemerintah," kata Jaseem Ahmed, Direktur untuk Financial Sector, Public Management and Trade Division ADB untuk wilayah Asia Tenggara, dari Manila, kemarin (4/6).Indonesia adalah negara pertama di antara negara-negara anggota ADB yang menerima pinjaman siaga semacam itu. Utang tersebut bisa dicairkan sekaligus dengan masa pembayaran 15 tahun dan masa tenggang tiga tahun. Bunga pinjaman akan ditentukan sesuai fasilitas pinjaman ADB berbasis LIBOR (London Inter Bank Offered Rate). Pinjaman itu juga dilengkapi fasilitas kontinjensi dengan opsi yang memungkinkan penundaan dalam penarikan dana.Pinjaman diberikan di bawah Program Fasilitas Bantuan Belanja Anggaran Pemerintah Indonesia (Public Expenditure Support Facility Program) yang memungkinkan Indonesia memperkuat jaring pengaman keuangan. Program pinjaman siaga ini merupakan bagian dari upaya bersama yang dilakukan ADB, pemerintah Australia dan Jepang, serta Bank Dunia untuk membantu Indonesia dalam mengatasi krisis keuangan dan agenda pembiayaan anggaran pemerintah. (sof/kim)

Harga Semen RI Termahal di Dunia

REI Tuding karena Kartel, Lapor KPPU JAKARTA - Mahalnya harga semen di tanah air membuat pelaku usaha sektor properti meradang. Real Estate Indonesia (REI) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan perilaku kartel industri semen. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti dan Kawasan Industri James T. Riady mengatakan, tingginya harga semen menyebabkan mahalnya nilai konstruksi bangunan yang pada akhirnya merugikan konsumen individual. "Karena itu, pencegahan kartel semen dan penurunan harga semen ke tingkat yang lebih wajar akan mempercepat pembangunan infrastruktur, industri hilir, dan properti, termasuk konsumen," ujarnya di Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemarin (4/6). Saat bertemu dengan pimpinan KPPU kemarin, James memaparkan data-data yang mengindikasikan adanya praktik kartel semen. Di antaranya harga semen yang terus naik, sehingga menjadi lebih mahal dibandingkan harga semen di negara-negara lain. "Harga semen di Indonesia memang sangat tinggi," katanya. Dengan harga rata-rata pada 2008 yang sebesar USD 91 per ton atau setara Rp 924.833 (kurs tengah BI Rp 10.163), semen di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara lain, seperti Malaysia, Tiongkok, Pakistan, India, bahkan negara-negara maju seperti Spanyol, Amerika Serikat (AS), maupun Prancis. Ironisnya, lanjut dia, harga semen asal Indonesia yang diekspor oleh beberapa produsen justru lebih murah dibandingkan harga jual di dalam negeri. Menurut data Kadin, rata-rata harga semen yang diekspor hanya di kisaran USD 50 - 55 (Rp 508.150 hingga Rp 558.965) per ton. Harga semen yang terus naik juga dipertanyakan Kadin. Menurut James, kenaikan harga tersebut tidak sejalan dengan harga energi (batu bara) yang justru cenderung turun. Dia mencontohkan, pada Juni 2008, saat harga batu bara mencapai level USD 150 per ton, harga semen di kisaran Rp 38.500 per sak (50 kilogram). Kemudian, saat harga batu bara turun pada Oktober 2008 menjadi USD 92 per ton, harga semen justru naik ke Rp 41.750 per sak. Dan ketika Januari 2009 harga batu bara kembali turun ke USD 57 per ton, harga semen justru melonjak hingga Rp 51.750 per sak. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Teguh Satria menambahkan, terus naiknya harga semen juga diduga karena dominasi beberapa produsen. Dia menyebut, di antara 9 pabrik semen di Indonesia, pangsa pasar dalam negeri hanya dikuasai oleh tiga pabrik, yakni Semen Padang dan Gresik (43 persen), Semen Tiga Roda (31,7 persen), dan Holcim (14,1 persen). "Pasar pulau Jawa praktis dikuasai ketiga produsen tersebut,'' ujarnya. Menurut Teguh, ada pula indikasi kesepakatan harga dan volume produksi, sehingga persaingan pasar mengendur. Itu juga indikasi telah terjadi kartel dalam industri semen, karena anggota kartel bertindak monopoli. Untuk itu, lanjut Teguh, pelaku usaha sektor properti mendesak agar KPPU menyelidiki indikasi tersebut. "Tujuannya jelas agar harga semen bisa turun, minimal ke kisaran Rp 40 ribu per sak,'' katanya. Menurut dia, harga semen memiliki kontribusi 50 persen dari total raw material dan 20 persen dari total construction cost. Untuk perumahan sederhana (RSS maupun rusunami), kontribusi semen bisa mempengaruhi 25 hingga 30 persen dari harga jual properti ke konsumen. ''Karena itu, kalau harga semen turun, maka harga perumahan juga bisa ikut turun,'' terangnya. Ketua KPPU Benny Pasaribu mengatakan, pihaknya akan mendalami data-data yang diajukan Kadin dan REI terkait indikasi praktik kartel semen. ''Kami tidak ingin gegabah. Tapi jika melihat substansinya untuk menurunkan harga semen, maka ini akan sangat bermanfaat untuk masyarakat konsumen,'' ujarnya. Dia menambahkan, posisi produsen dari BUMN dalam struktur industri semen cukup besar, yakni Semen Gresik. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah ikut turun tangan mengarahkan BUMN agar tercipta harga yang terjangkau bagi masyarakat selaku konsumen. (owi/wir/fat)
sumber:jawapos.com

Jusuf Kalla Pelopori Penolakan Penjualan Saham BCA

JAKARTA - Mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menilai, Jusuf Kalla adalah satu-satunya calon presiden yang mampu menolak intervensi asing yang merugikan kepentingan nasional. Salah satu buktinya, kata Kwik, Jusuf Kalla (JK) adalah menteri utama di kabinet Megawati yang memelopori penolakan penjualan saham BCA meski ditekan IMF.''Sehari sebelum penjualan saham BCA yang dikuasai pemerintah ke Farallon, Pak Jusuf Kalla yang ketika itu menjabat Menko Kesra mengumpulkan menteri-menteri di Kantor Departemen Kesehatan. Pak JK meminta seluruh menteri menolak penjualan BCA karena merugikan kepentingan nasional. Lokasinya di Depkes agar lolos dari pengamatan wartawan,'' ujar Kwik dalam peluncuran buku Indonesia Menggugat II di Jakarta kemarin (4/6).Dalam rapat tersebut, kata Kwik, JK mengatakan bahwa penjualan saham BCA sekitar Rp 10 triliun sangat merugikan pemerintah. Pasalnya, akibat tekanan IMF, pemerintah telah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi perbankan senilai Rp 60 triliun. ''Artinya, penjualan saham BCA itu merugikan pemerintah Rp 50 triliun yang bunganya akan dibayar hingga puluhan tahun ke depan,'' kata Kwik.Kwik menegaskan, desakan JK itu tidak direspons Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Menkeu Bambang Sudibyo. Keduanya tetap bersikeras menghadap Presiden Megawati untuk melaporkan kesepakatan penjualan saham BCA keesokan harinya. ''Artinya, Pak Jusuf Kalla tidak diam saja ketika di dalam pemerintah seperti tuduhan orang selama ini,'' tandasnya.Kwik menulis buku Indonesia Menggugat II khusus menanggapi pidato Boediono dalam deklarasi pasangan SBY-Boediono di Sasana Budaya Ganesha Bandung. Yang dipertanyakan Kwik adalah bagian ketika Boediono menyebut akan menggugat penjajahan oleh kekuatan dari luar dan dalam. (noe/tof)
sumber: jawapos.com

Komitmen Pemberantasan Korupsi Capres Diragukan

JAKARTA - Komitmen capres-cawapres dalam pemberantasan korupsi diragukan. Itu tecermin dalam visi-misi maupun program prioritas yang telah ditetapkan masing-masing kandidat. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, hampir semua pasangan capres-cawapres tidak memiliki program konkret dan menyeluruh. Termasuk SBY-Boediono yang dianggap satu-satunya pasangan yang telah memasukkan program pemberantasan korupsi dalam kampanyenya. Di antara lima strategi pokok pasangan yang diusung Partai Demokrat dan 23 parpol lainnya itu memang ada poin penegakan hukum dan pemberantasan korupsi."Persoalan korupsi bukan hanya sebatas pemberantasan, tapi juga ada aspek pencegahan yang tidak kalah penting. Ini yang tidak kelihatan," ujar Koordinator ICW Danang Widoyoko di Jakarta kemarin (4/6). Selain itu, dia khawatir salah satu poin yang dituangkan dalam strategi pokok SBY-Boediono tersebut hanya untuk kepentingan kampanye. "Kita semua masih menunggu, apakah itu akan terealisasi atau tidak nanti," katanya. Sebab, menurut dia, semua tahu bahwa saat memerintah, SBY juga masih gagal memberdayakan kejaksaan yang berada di bawah kewenangannya dalam penegakan hukum. Namun, lanjutnya, pihaknya sebenarnya jauh lebih kecewa terhadap dua calon yang lain. Baik Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto tak menjadikan isu pemberantasan korupsi dalam poin khusus. "Saya kecewa terhadap para calon pemimpin bangsa itu," tambah Danang. Sebab, menurut dia, program ekonomi sebagus apa pun tidak akan bisa berjalan dengan baik kalau korupsi masih merajalela. Dalam program kerja utama di bidang hukum, pasangan Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto memang tak menyebutkan secara eksplisit pemberantasan korupsi. Keduanya hanya mengungkapkan secara umum program mereka dalam penegakan hukum. "Maknanya masih sangat luas sehingga sulit dimintai pertanggungjawaban nanti kalau terpilih," kritiknya. Dia berharap capres-cawapres secara terbuka memberikan dukungan terhadap pemberantasan korupsi. "Sebagai pemimpin masa depan, sudah seharusnya mereka juga mampu memberikan harapan baru," harapnya. (dyn/tof)
sumber: jawapos.com

Perang Survei antar Tim Sukses Capres

LSI: SBY-Boediono 70 Persen, Sigi Tim Mega Sebut Beda Tipis JAKARTA - Perang survei mulai bermunculan. Kemarin LSI (Lembaga Survei Indonesia) mengumumkan hasil terbaru yang menyebut pasangan pasangan SBY-Boediono meraih suara 70 persen. Survei yang dibiayai Fox Indonesia, tim sukses SBY-Boediono, itu memperkirakan bahwa pilpres pada 8 Juli nanti berlangsung satu putaran. Dalam survei itu, tempat kedua diduduki Mega-Prabowo degan meraih 18 persen dan JK-Wiranto hanya 7 persen. ''Sebanyak 70 persen responden ternyata masih memilih SBY-Boediono,'' kata Direktur Riset LSI Kuskrido ''Dodi'' Ambardi di Kantor LSI, Jalan Lembang Terusan, Jakarta Pusat, kemarin (4/6). Dodi mengakui survei tersebut disponsori Fox Indonesia yang menjadi bagian Tim Sukses SBY. Namun, dia menjelaskan, pihaknya tidak memanipulasi angka kuantitatif. ''Saya berani menjamin itu. Prinsipnya, kami ingin data ini bisa dimanfaatkan semua pasangan capres,'' katanya. Survei LSI tersebut berlangsung secara nasional pada 25-30 Mei 2009. Responden yang diwawancarai 2.999 orang dengan margin of error plus minus 1,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.Temuan LSI tidak membuat panik kubu Mega-Prabowo. Mereka menyatakan memiliki hasil survei lain yang justru menunjukkan persaingan di antara SBY, Mega, dan JK masih berjalan ketat. Meskipun Mega dan JK tertinggal di bawah SBY, selisihnya tidak lagi terlalu besar.''Urutannya, memang masih SBY-Boediono nomor satu, disusul Mega-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Tapi, jarak perolehan SBY - JK tidak mencapai 10 persen. Artinya, selisih tingkat keterpilihan SBY - Mega kurang dari itu,'' kata Ketua Tim Data TKN (Tim Kampanye Nasional) Mega-Prabowo Dolfie Palit di Sekretariat TKN, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat, kemarin (4/6).Menurut Dolfie, itu merupakan hasil survei internal yang digunakan sebagai bahan evaluasi. Dengan margin of error 2 persen, survei nasional yang melibatkan 1.500 responden itu dilakukan pada 28 Mei-2 Juni 2009. Pelaksanaannya memang hampir berimpitan dengan survei LSI.Tim Kampanye Nasional Jusuf Kalla-Wiranto tidak percaya dengan hasil sigi LSI yang menempatkan pasangan JK-Wiranto di nomor buncit dengan persentase 7 persen responden. Sigi itu dinilai tidak realistis dan tidak kredibel karena dibiayai tim sukses SBY-Boediono Fox Indonesia.''Kami hanya akan merespons positif hasil survei yang objektif dan tidak terkait tim sukses lain,'' kata Juru Bicara Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto Yuddy Chrisnandi kemarin (4/6). (pri/noe/tof)
Sumber : jawapos.com

Kamis, 04 Juni 2009

Investasi migas capai US$375 miliar

JAKARTA: Perusahaan minyak dunia, baik milik pemerintah maupun swasta, akan menyediakan dana investasi lebih dari US$375 miliar untuk mengembangkan aset hidro karbon untuk menyambut tren meningkatnya pemintaan komoditas itu beberapa tahun mendatang.
Menurut Andi Brogan dari Ernst & Young, perusahaan minyak akan memanfaatkan momentum tren harga dengan segera melakukan investasi untuk pengembangan lapangan minyaknya.
Chevron Corp misalnya, telah memutuskan untuk menaikkan investasinya tahun ini. Sementara itu, investasi ExxonMobil Corp dan Total tidak berubah dan sama dengan tahun lalu namun Royal Dutch Shell Plc, dan BP Plc telah memutuskan mengurangi investasinya. (Bloomberg/fh)

Platform capres bangun pertanian

Jauh sebelum pengundian nomor urut peserta pemilihan presiden minggu lalu, tiga pasang capres dan cawapres secara berkala menyampaikan visi-misi pembangunan ekonominya.
Telah cukup banyak analis yang secara panjang lebar membahas platform atau tepatnya mazhab pembangunan ekonomi para calon presiden dengan kosa kata 'kerakyatan', 'neoliberal', dan 'kemandirian'.
Ketiganya sering dicoba dipertentangkan walaupun mengarah pada tujuan yang sangat catchy secara politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apakah masyarakat tercerahkan dengan perbedaan ketiganya, tampaknya tim kampanye masing-masing calon presiden masih perlu bekerja keras.
Hal itu untuk memberikan penjelasan yang lebih baik, lebih rasional, mudah dicerna dan terasakan manfaatnya.
Ketiga pasang capres menempatkan pembangunan pertanian sebagai bagian atau elemen dari pembangunan ekonominya. Dengan platform ekonomi kerakyatan, capres Megawati-Prabowo secara terbuka menyampaikan kemampuan sektor pertanian menyerap dan menciptakan lapangan kerja.
Setiap 1% pertumbuhan ekonomi membutuhkan investasi Rp50 triliun yang akan menghasilkan 400.000 lapangan kerja baru. Mereka berargumen seandainya investasi sebesar Rp50 triliun itu dialokasikan pada sektor agroindustri, setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan menyerap 6 juta tenaga kerja.
Logikanya, investasi tersebut akan mampu membuka 1 juta hektare atau ekuivalen dengan 6 juta tenaga kerja, sehingga daya beli akan naik 15 kali lipat (Bisnis Indonesia 28 Mei).
Walaupun pada tataran kampanye dan retorika politik, angka-angka tersebut seakan amat fantastis, masyarakat masih menunggu rincian tentang bagaimana mewujudkan jargon-jargon yang konon bernuansa ekonomi kerakyatan tersebut.
Bagi kalangan terdidik atau bagi pekerja sektor pertanian, Megawati-Prabowo masih perlu memperjelas tentang jenis pertanian atau agroindustri yang akan dijadikan prioritas, dimensi pembangunan wilayah dan tata ruang yang pasti berhubungan dengan komposisi angkatan kerja serta strategi merebut dan menguasai pangsa pasar domestik dan pasar ekspor yang sampai sekarang menjadi kendala amat serius.
Tunggu komitmen
Masyarakat sebenarnya menunggu komitmen dan rencana besar tentang perlindungan bagi petani dan sektor pertanian dari 'keganasan' pelaku ekonomi lain, dengan skala usaha yang demikian berbeda, atau dari keliaran negara asing dan atau lembaga internasional yang sering tidak berpihak kepada petani dan pertanian Indonesia.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono belum pernah secara terbuka menyampaikan platform tentang pembangunan pertanian. Apabila semboyan Mari Lanjutkan benar-benar direalisasikan, pasangan ini kemungkinan besar akan melanjutkan strategi revitalisasi pertanian yang pernah disampaikan SBY 4 tahun lalu di Bendungan Jatiluhur.
Kedua calon yang memiliki gelar doktor di bidang ekonomi tersebut seharusnya tidak memiliki kendala substantif dan psikologis untuk menyampaikan betapa strategisnya peran sektor pertanian pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja, sebagaimana dijelaskan dalam buku teks ekonomi pembangunan.
Istilah pengganda pendapatan maksudnya adalah bahwa sektor pertanian menghasilkan tambahan pendapatan bagi aktivitas ekonomi yang berhubungan langsung dengan sektor pertanian, seperti agroindustri dan off-farm lainnya.
Dalam hal pengganda tenaga kerja, sektor pertanian mampu menciptakan lapangan kerja baru di luar sektor pertanian, terutama karena begitu tingginya keterkaitan sektor pertanian dengan industri pengolahan hasil pertanian yang mampu menciptakan nilai tambah (forward linkages) dan meningkatkan sarana produksi dan infrastruktur ekonomi lainnya (backward linkages).
Menurut aliran pemikiran ini, pemerintah wajib menyediakan langkah stimulasi ekonomi dengan program pembangunan infrastruktur besar-besaran, plus program-program 'hiburan' berupa subsidi pangan, subsidi benih, subsidi pupuk, walaupun harus diserahkan kepada industri pupuk, bukan kepada petani.
Kelemahan utama dalam pemikiran ini umumnya tidak terlalu menempatkan sektor pertanian landasan bagi pembangunan ekonomi tetapi sebagai salah satu sektor ekonomi saja yang tidak terlalu berbeda dengan sektor-sektor lainnya. Akibatnya, sektor pertanian tidak akan dapat dijadikan sebagai tumpuan harapan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya hanya dari sektor pertanian.
Petani masih harus mencari tambahan penghasilan dari luar sektor pertanian apabila masih ingin bertahan hidup, karena penghasilan dari sektor pertanian tidak akan cukup untuk menanggung tambahan biaya hidup yang semakin tidak terjangkau.
Sebagai calon yang juga sedang berkuasa (incumbent), tidak terlalu salah apabila masyarakat menagih beberapa janji yang belum terealisasikan secara nyata, misalnya program reformasi agraria, sebagaimana disampaikan dalam pidato politik SBY pada 31 Januari 2007.
Duet Jusuf Kalla (JK)-Wiranto yang mengusung kemandirian ekonomi, secara terus terang menyampaikan rencana atau janji politiknya untuk memperhatikan bibit (benih), irigasi, dan pupuk.
Kurangi ketergantungan
Argumen yang berhubungan dengan upaya-upaya membenahi faktor produksi atau sarana produksi pertanian dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Sebagai calon yang saat ini juga berada dalam pemerintahan, JK atau Kantor Wakil Presiden tampak cukup bersemangat dan sering berada di belakang program peningkatan produksi beras nasional (P2BN).
Namun, masyarakat juga masih menunggu realisasi program-program strategis seperti stimulasi ekonomi perdesaan berupa pembangunan infrastruktur seperti jalan produksi, jalan desa, saluran irigasi dan drainase dikhawatirkan hanya menjadi retorika kebijakan.
Benar bahwa dampak langsung berupa peningkatan kesejahteraan petani dari investasi publik seperti itu memang tidak akan terlihat dalam waktu 1-2 tahun atau bahkan satu periode pemerintahan. Investasi publik seperti itu baru akan menuai hasil pada jangka menengah panjang, bersamaan dengan upaya konsisten peningkatan produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian umumnya.
Argumen logis lainnya adalah dengan infrastruktur desa atau prasarana pertanian yang lebih baik, biaya per satuan luas akan dapat ditekan, sehingga daya saing produk atau sektor pertanian Indonesia akan meningkat secara signifikan.
Sebagai penutup, sampai pada minggu pertama Juni ini belum tampak suatu platform pembangunan ketiga capres yang spektakuler, sangat menjanjikan dan dapat dicerna dengan mudah oleh masyarakat luas.
Platform yang 'datar-datar saja' seperti itu pasti tidak akan mampu menjawab tantangan sektor pertanian (dan pangan) ke depan yang jauh lebih kompleks.
Tim kampanye ketiga capres perlu bekerja keras lagi untuk secara cerdas memilih materi kampanye, strategi komunikasi politik, dan kelengkapan atau kepiawaian menyampaikan tema pembangunan pertanian, terutama jika sedang berhadapan dengan petani, pelaku usaha pertanian, dan akademisi.
Oleh Bustanul ArifinGuru Besar Ekonomi Pertanian Unila, Professorial Fellow MB-IPB.

Rp 62 T Dana Kredit Terbang ke Luar Jatim

SURABAYA - Dana pihak ke­tiga (DPK) yang dihimpun perban­kan dari masyarakat Jatim hingga Maret 2008 mencapai Rp 177 triliun. Namun, realisasi kre­dit untuk masyarakat di provinsi ini baru mencapai Rp 115 triliun. Di­rut Bank Jatim Moeljanto mem­prediksi sekitar Rp 62 triliun dana kredit tersebut terbang ke luar Jawa Timur."Seharusnya semua dana pihak ke­tiga itu bisa dioptimalkan untuk masyarakat di Jatim," kata Moel­jan­to setelah bertemu dengan Guber­nur Jatim Soekarwo kemarin (3/6). Dia mengatakan, potensi dunia usa­ha yang membutuhkan pembia­yaan di Jatim sebenarnya cu­kup besar. Terlebih dengan di­bukanya akses Jembatan Surama­du. Para pengusaha dari Ma­dura akan mendapat dampak positif, terutama untuk kemajuan usahanya. "Kami berencana membantu Pemprov Jatim yang akan membuat Pulau Ternak di sana (Madura, Red)," katanya.Data bank Jatim menyebutkan, ada sekitar 2.499 pelaku usaha sektor peternakan di Jatim. Seba­gian berada di Madura, khususnya in­dustri ternak sapi merah dan kam­bing etawa. Mayoritas para pe­ternak itu belum mengakses kredit. "Potensi dana CSR (corporate social responsibility) dari BUMN dan BUMD di Jatim mencapai Rp 40 miliar. Sebagian juga akan disalurkan dalam bentuk hibah atau dana bergulir yang bisa diakses para peternak.'' Pemimpin Kelompok Bisnis dan Layanan BNI kantor Wilayah 06 Surabaya Subardi mengaku siap membantu program Pulau Ternak, baik melalui penyaluran dana CSR maupun kredit untuk program tersebut. Hingga 22 Mei 2009, BNI Kantor Wilayah 06 Surabaya telah menyalurkan kredit Rp 8,62 triliun. Target pertumbuhan realisasi kredit hingga akhir tahun ini Rp 8,97 triliun. Selain itu, selama 2008, CSR sa­lah satu kantor wila­yah bank pelat merah tersebut mencapai Rp 1 miliar. (luq/fat)

BUMN Suramadu Beroperasi 2011

JAKARTA - Skema pengelolaan Jembatan Surabaya - Madura (Suramadu) yang akan beroperasi mulai 10 Juni nanti, terus dimatangkan. Sesuai rencana, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan dibentuk untuk menjadi pengelola Suramadu ditargetkan beroperasi pada 2011.Sekretaris Kementerian Negara BUMN Said Didu mengatakan, rencana pembentukan BUMN Suramadu terus dima­tangkan. Namun, untuk tahap awal, hak pengelolaan Suramadu akan diberikan kepada perusahaan pemenang tender. ''Nanti perusahaan itu disuruh mengelola selama 18 bulan, untuk servis-servis saja,'' kata Didu di Kantor Kementerian BUMN kemarin (3/6).Menurut Said, BUMN Suramadu perlu dibentuk, agar pengelolaannya bisa dilakukan secara terpadu. Sebab, kalau jembatan Suramadu dan infrastruktur pendukungnya dikelola terpisah bakal menimbulkan kesulitan. ''Soalnya, dari tiga pekerjaan, yakni kawasan industri di ujung jembatan, pelabuhan peti kemas, dan jembatan tol, tidak semuanya menguntungkan,'' timpalnya.Said mencontohkan, kalau PT Jasa Marga (JSMR) Tbk diminta mengelola tol, maka tidak akan masuk hitungan keekonomian. Sebab, jika tarif tol Suramadu di­tetapkan tidak boleh lebih tinggi dari harga tiket kapal ferry, maka titik impas investasi atau balik modal mencapai 250 tahun.Nah, kalau ingin balik modal dalam waktu 50 tahun, tarifnya harus dinaikkan minimal empat kali lipat dibandingkan harga tiket kapal ferry. ''Itu kan terlalu mahal, karena itu harus disubsidi dari pengelolaan kawasan industri. Jadi, nanti bisnis yang menguntungkan akan menyubsidi bisnis yang kurang menguntungkan,'' jelasnya.Sebelumnya, Menneg BUMN Sofyan Djalil mengatakan, proses pembentukan BUMN Suramadu sudah berjalan. Bahkan, proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk pos direksi sudah dijalankan. (owi/bas)
sumber: jawapos.com

Komisi VII DPR Sepakati Tujuh Asumsi Makro untuk RAPBN 2010

JAKARTA - Setelah melalui pembahasan alot, akhirnya pemerintah dan Komisi VII DPR menyepakati tujuh asumsi makro untuk RAPBN 2010.Ketua Komisi VII DPR Airlangga hartarto mengatakan, asumsi makro yang disetujui selanjutnya akan diserahkan kepada Panitia Anggaran (Panggar) untuk penyusunan APBN 2010. ''Asumsi ini disetujui dengan beberapa catatan,'' ujarnya usai Rapat Kerja dengan Menteri ESDM tadi malam (2/6).Tujuh asumsi yang disetujui adalah harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) di kisaran USD 50 - 70 per barel, lifting sebesar 960.000barel per hari (BPH), volume BBM bersubsidi sebesar 36.504.779 kilo liter (KL), volume LPG bersubsidi 3 Kg sebesar 2.973.342 ton.Selanjutnya, alpha (biaya distribusi dan margin) BBM subsidi sebesar Rp 576,52 - 587,31 per liter untuk range ICP USD 50 - 70 per barel, subsidi Bahan Bakar Nabati (BBN) sebesar Rp 1,554 triliun, dan subsidi listrik di kisaran Rp 44,38 - 52,44 triliun.Sedangkan target lifting (produksi) minyak menetapkan 960.000 BPH. (owi/kim)

Anak Kita Dibawa ke Neraka?

TULISAN dr Sugiharto MARS di Jawa Pos, 3 Juni 2008, berjudul Mau Dibawa ke Mana Anak Kita? ternyata telah menemukan jawabannya. Anak kita mau dibawa ke neraka atau ke surga! Semua itu bergantung kita dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau pemerintah!Anak-anak kita mau dibawa ke neraka bila ujian nasional (unas) ulang akan digelar untuk para siswa kelas tiga SMA atau SMP yang ditengarai mendapat bocoran kunci jawaban atau berbuat curang dalam unas. Mengapa? Sebab, itu mengindikasikan bahwa kejujuran sudah tidak dinilai lagi.Pemerintah bisa dituding tidak menghargai lagi kejujuran. Pemerintah lebih senang dibohongi oleh nilai bagus, tingkat kelulusan 100 persen, meski prosesnya curang. Kita juga bisa dicap demikian kalau diam saja melihat ketidakjujuran. Atau, minimal membiarkan saja ketidakjujuran tersebut.Bukan itu saja, pemerintah bisa dituding diskriminatif terhadap para siswa. Yang jujur, tapi nilainya kurang dari standar, tidak bisa lulus dan tidak boleh mengulang unas. Yang terindikasi curang masih diberi kesempatan mengulang unas dan akan lulus.Bisa juga pemerintah dituduh membela atau melindungi yang tidak jujur bila 33 sekolah yang diindikasikan tidak lulus semua karena ada kecurangan diberi kesempatan mengikuti unas ulang. Bukankah ini sama dengan menggiring anak kita masuk neraka?Kesan yang muncul, anak didik yang jujur tapi kurang memenuhi standar ''dihancurkan''. Anak-anak yang curang dapat perlindungan dan pembelaan. Bahkan, diberi kesempatan mengulang unas.Ketika unas berlangsung, banyak juga kecurangan yang disengaja atau ''dihalalkan'' oleh sekolah dan guru. Misalnya, ketika ujian berlangsung, para guru juga mengerjakan soal yang sama di tempat berbeda. Bahkan, beberapa kepala sekolah ditangkap polisi karena sepakat membocorkan soal.Saat murid mengikuti unas, telepon seluler dibolehkan dibawa ke ruang ujian. Tujuannya, memudahkan kongkalikong. Jawaban yang didapat para guru didistribusikan kepada siswa menggunakan SMS.Tidak sedikit pengawas atau guru pengawas yang sengaja memberitahukan jawaban kepada muridnya demi menjaga ''nama baik sekolah''. Itu dilakukan untuk mengatrol agar siswa yang kemampuannya kurang bisa lulus, meski harus curang.Alasan guru itu seakan-akan masuk akal. Membantu yang kurang mampu. Padahal, bukan semata-mata itu. Tempat guru mengajar tersebut adalah sekolah favorit dan berstandar nasional. Bila ada murid yang tidak lulus, cap standar nasional itu akan dicabut. Atau, standarnya turun.Jadi, untuk mengatrol standar, curang dihalalkan. Karena tidak ketahuan, standar sekolah tersebut terus saja naik. Bahkan menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).Kalau kecurangan demi kecurangan dihalalkan di dunia pendidikan, ketidakjujuran dibela dan dilindungi, sama saja dengan menanam bom waktu. Sewaktu-waktu, bom ketidakjujuran itu akan meledak. Dampaknya mengenai siapa saja. Bahkan, dampak ledakan tersebut bisa lebih dahsyat daripada bom nuklir.Karena ketidakjujuran sejak di bangku sekolah dibiarkan, bila besar nanti, anak kita bisa menjadi penipu, koruptor, penjilat, atau jadi pejabat yang menghalalkan segala cara. Jadi pengusaha pun coraknya hitam. Pengemplang uang negara, penipu ulung, dan seterusnya. Karena itu, sekarang waktunya kita bertobat. Tidak curang lagi.Bila tidak, dampak negatifnya tentu akan dirasakan negara, bangsa, masyarakat, serta rakyat. Bahkan, bisa juga semua orang yang tidak ikut curang terkena dampak negatifnya. Yang tidak tahu apa-apa, misalnya, cucu kita pun masih ikut menanggung efek negatif tersebut. Kini saatnya yang berkuasa (pemerintah) di dunia ini, ketika melihat kemungkaran atau ketidakjujuran, harus meluruskan dengan tangan kekuasaan. Bila tidak bisa, gunakan tangan atau kekuasaan, beri tahu dengan lisan atau luruskan dengan aturan. Ketika tidak bisa, kita harus berusaha lagi dengan berdoa agar semua bisa jujur. Intinya, mencegah ketidakjujuran, mencegah kemungkaran, itu perlu upaya keras. Yang tidak jujur tidak malah dibela, diberi ruang, apalagi dilindungi.Karena curang itu perbuatan negatif, mungkar, dan berdosa, ada saja yang mencegah. Ini sunatullah atau hukum alam. Misalnya, soal rektor perguruan tinggi seperti ITS, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Indonesia (Jawa Pos, 3 Juni 2009), dan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain, saya yakin punya sikap yang tidak jauh berbeda: menolak kecurangan, menegakkan kejujuran. Mereka masih berani bersuara lantang tidak akan menerima siswa yang curang meski lulus unas dengan nilai mengagumkan. Bahkan, ada perguruan tinggi yang berani memberi sanksi tidak menerima siswa lulusan SMA tertentu yang diindikasi curang melalui jalur PMDK. Harus lolos tes dulu.Itu semua memberi angin segar dan memberi harapan bahwa di Indonesia ternyata masih ada dan, saya yakin, masih banyak ''penguasa'' -meski hanya di perguruan tinggi- yang menegakkan kebenaran. Bukankah mencegah kemungkaran, kecurangan, dan menolak ketidakjujuran wajib hukumnya?Bila yang curang dihukum dengan stempel tidak lulus dan tidak ada unas ulangan, itu menandakan anak kita akan dibawa ke surga. Dalam hukum reward and punishment, sudah selayaknya yang jujur mendapat penghargaan. Yang tidak jujur mendapatkan hukuman atau peringatan. (*) *). Sholihuddin, wartawan Radar Kediri

Gaya Komunikasi Kandidat Pilpres pada Masa Awal Kampanye

Tonjolkan Bandara, Cucu, hingga Pulau yang Tenggelam PERKIRAAN bahwa begitu kampanye dimulai para capres langsung berlomba beriklan di media massa ternyata tidak terjadi. Pada hari pertama masa kampanye tanggal 2 Juni 2009, misalnya, hanya JK-Wiranto yang pasang iklan satu halaman di surat kabar-surat kabar. Temanya ''mohon doa restu" dengan menampilkan gambar JK dan Wiranto masing-masing dengan istri yang berjilbab.Maksud iklan itu pun gampang dimafhumi. Bertahan sekaligus menyerang. Di sisi bertahan, iklan itu untuk mengimbangi SBY-Boediono yang mengesankan memiliki keluarga yang harmonis. Keluarga JK-Wiranto pun harmonis. Dari segi kepentingan untuk "menyerang", iklan JK-Wiranto itu pun bisa disebut ofensif. Yakni, dengan cara menonjolkan bahwa istri-istri mereka adalah wanita muslimah-salehah. Itu berbeda dengan istri SBY dan Boediono.Di media televisi, pasangan JK-Wiranto memang memasang dua macam iklan, tapi frekuensinya tidak banyak. Yang satu, iklan mengenai ke­peloporan JK dalam mendorong pemakaian se­patu buatan dalam negeri. Satunya lagi, iklan yang menunjukkan kejengkelan JK mengenai pembangunan bandara-bandara di Jakarta, Surabaya, Padang, Palembang, dan lain-lain yang semuanya sangat mahal dan dikerjakan orang asing.''Untuk pembangunan Bandara Makassar, Medan, dan Lombok, saya larang ada tangan-tangan asing di situ," katanya dalam iklan itu. JK lalu menunjukkan Bandara Makassar yang sudah jadi, yang bentuknya lebih megah, modern, dan biayanya hanya separonya. ***Dari kubu SBY-Boediono, iklan di koran baru muncul sehari kemudian. Itu pun tidak di semua surat kabar. Temanya juga sekadar memperkenalkan diri pasangan SBY-Boediono dengan gambar pasangan ini setengah badan. Dua-duanya mengenakan peci dengan latar belakang montase massa yang membawa berbagai slogan seperti SBY Yes atau Indonesia vote SBY.Jika dibandingkan dengan iklan-iklan semasa pemilu legislatif lalu, iklan pertama SBY-Boediono itu kurang mengesankan. Baik desain maupun misi yang dibawa.Di layar televisi, SBY-Boediono juga memasang dua jenis iklan. Frekuensinya juga tidak sering. Yang satu, hanya ditayangkan beberapa kali, adalah iklan yang lagunya diambilkan dari iklan Indomie itu. Satunya lagi adalah iklan yang menampilkan seluruh keluarga besar SBY. Iklan ini tentu ingin mengesankan bahwa keluarga SBY adalah keluarga yang harmonis, rukun, dan indah. Iklan ini secara visual sangat menarik untuk dilihat dan secara manusiawi sangat mengesankan justru karena menampilkan cucunya yang belum berumur satu tahun dan sedang lucu-lucunya. Inilah iklan yang tentu saja pembuatannya sangat murah karena semua bintangnya keluarga sendiri.***Bagaimana dengan iklan pasangan Mega-Pro? Sampai hari ketiga masa kampanye, belum ada iklan yang muncul di surat kabar. Yang ada baru di televisi yang frekuensinya juga masih jarang.Tema iklan televisinya sangat luas. Mulai utang luar negeri, ekonomi kerakyatan, sampai pendidikan. Akibatnya, iklan itu kurang mengesankan. Bahkan, iklan tersebut jauh kurang mengesankan jika dibandingkan dengan iklan-iklan Prabowo menjelang pemilu legislatif lalu.Tema iklan pasangan ini juga terlalu luas sehingga kurang fokus. Dari seluruh tampilan iklan yang sampai satu menit itu, hanya bagian yang menyangkut utang luar negeri yang sangat mengesankan. Yakni ketika menampilkan peta Asia Tenggara di mana pulau-pulau Indoensia tenggelam pelan-pelan dan akhirnya hilang sama sekali. Bagian ini agak membuat merinding, tapi maksudnya sekadar mengingatkan bahwa Indonesia sudah tenggelam oleh utang.***Perjalanan masa kampanye yang baru tiga hari ini terkesan bahwa para calon masih belum mau mengobral peluru. Terasa masih mengatur irama yang barangkali baru akan habis-habisan di akhir masa kampanye. Bisa juga karena masing-masing masih saling mengintai, tema apa dan tampilan seperti apa yang diluncurkan masing-masing kandidat sehingga cukup waktu untuk menyiapkan jurus tandingannya. (*/agm)
sumber : jawapos.com

Benang kusut proyek tol akses Priok

Bulir keringat di dahi I Gusti Ketut Gde Suena, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo-lebih populer dengan sebutan Jakpro-tak mau beranjak. Rabu siang, 11 Maret 2009, dia baru saja menghadap Gubernur DKI Fauzi Bowo di Balai Kota Jakarta.
Tengah hari itu Suena datang untuk melaporkan beberapa perkembangan terkait dengan kinerja perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki Pemprov DKI itu. Satu bagian laporannya adalah masalah pembebasan lahan jalan tol akses Pelabuhan Tanjung Priok.
Itu proyek infrastruktur pertama yang digarap Jakpro, yang sekaligus menandai ekspansi BUMD DKI dengan bisnis inti properti itu. Suena memimpin Jakpro sejak 2004, dan proyek tol akses Priok digarap 2 tahun berikutnya.
Jakpro terlibat dalam proyek tersebut setelah Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto dan Gubernur DKI Sutiyoso menandatangani nota kesepahaman kerja sama pembangunan tol akses Priok pada 29 Agustus 2006.
Dalam nota tersebut, Jakpro jadi pelaksana pengadaan lahan pada empat dari lima total seksi, yaitu E2 Cilincing -Jampea (4,2 km), WI Jampea-Kampung Bahari (2,8 km) W2 Kampung Bahari-Harbour Toll Road (2,9 km) dan NS Jampea-Jalan Yos Sudarso, Kebon Bawang (1,7 km).
Sementara itu, Departemen PU menyelesaikan konstruksi fisik pada empat seksi tersebut. Satu seksi lain, yakni E1 Rorotan-Cilincing (3,4 km) dikerjakan sepenuhnya oleh Departemen PU, mulai pengadaan lahan sampai penyelesaian konstruksi.
Dana pengadaan lahan yang dipakai Jakpro berasal dari APBD DKI. Proyeksi kebutuhannya dihitung Rp350 miliar, dan dicairkan dalam 2 tahun fiskal, 2006-2007, dengan nilai Rp150 miliar dan Rp200 miliar.
Adapun dana untuk pekerjaan fisik yang dipakai Departemen PU berasal dari pinjaman Japan Bank for International Corporation (JBIC), dengan komitmen Yen40 miliar atau sekitar Rp4,2 triliun. "Pembangunan tol ini akan selesai pada 2010," kata Menteri Djoko ketika itu.
Proyek tol akses Priok di-endorse pertama kali oleh JBIC pada forum Consultative Group on Indonesia, Januari 2005. Dari kajian JBIC, tol yang langsung masuk ke pelabuhan itu akan sangat signifikan memperlancar arus barang dan mengefisiensikan biaya distribusi.
Keberadaannya, yang terkoneksi langsung dengan jaringan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) I sekaligus tol pelabuhan, tol dalam kota, serta tol Cibitung yang jadi bagian JORR II, diharapkan juga memberi kontribusi pada perbaikan tata guna lahan di wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan riset JICA, koneksi langsung itu akan mempersingkat jarak tempuh angkutan industri ke Pelabuhan Tanjung Priok dari berbagai wilayah seperti Bekasi, Tangerang, dan Karawang, dari yang kini 6 jam-7 jam jadi hanya 1 jam.
Saat itu, JBIC sudah membuat rancangan teknis proyek berikut estimasi pinjaman dan skema pengembaliannya. Dua bulan kemudian, proyek itu disetujui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, lalu turun ke Departemen Perhubungan, hingga akhirnya ke Departemen PU.
Suena, yang hadir saat penandatanganan nota kesepahaman Menteri Djoko dan Gubernur Sutiyoso, saat itu menyatakan Jakpro akan merampungkan tugas pembebasan lahan tol akses Priok selama 2 tahun. Tugas itu dikerjakan mulai September 2006.
Namun, sampai September 2008, pekerjaan itu belum rampung. Targetnya kemudian diundur ke Oktober 2008, lalu mundur lagi ke Januari 2009, dan berlanjut ke Juni.
"Hingga awal Maret ini, masih 9,9 km dari 13,3 km lintasan tol akses Priok yang belum dibebaskan, sebagian besar milik BUMN dan instansi pemerintah," kata Suena, Rabu siang 11 Maret 2009 di halaman Balai Kota-sambil mengusap bulir keringat di dahinya.
Model terbaru
Tol akses Priok adalah jalan tol pertama di Indonesia yang terpaksa dibangun sepenuhnya oleh pemerintah, setelah model public private partnership atau P to P yang coba dilemparkan ke swasta melalui forum Infrastruktur Summit I-2005 tak disambut hangat alias tidak laku.
Karena dibangun sendiri itu pula, proyek ini tidak mengenal istilah pemegang konsesi seperti lazim ditemui dalam bisnis tol, di mana pemegang konsesi lalu mengundang investor bekerja sama mem-BOT-kan (built, operate, and transfer) tol tersebut dalam kurun tertentu.
Dengan kata lain, pada model ini, kewenangan yang dimiliki Badan Pengatur Jalan Tol-regulator bisnis tol di Indonesia-menjadi tidak relevan. Sebab, tidak ada yang berperan sebagai pemegang konsesi dan juga investor.
Jika sukses, model ini akan direplikasi ke ruas berkarakter sejenis, yaitu yang kurang daya tarik investasinya, tapi dinilai penting untuk menggerakkan ekonomi.
Seperti tol akses Priok, yang menghubungkan pusat pertumbuhan seperti pelabuhan dan kawasan industri.
Ruas tol yang menurut rencana dibangun dengan model itu adalah Manado-Bitung, Pekanbaru-Kandis-Dumai, dan Serangan-Tanjung Benoa. Sama halnya dengan tol akses Priok, sampai hari ini, pembangunan ruas-ruas itu juga masih belum terealisasi.
Ruas lain seperti Cileunyi-Dawuan, Medan-Tebing Tinggi, Pasir Koja-Soreang, Sukabumi-Ciranjang, dan Solo-Kertosono sebetulnya sempat masuk model itu. Namun, karena belakangan return of investment-nya dinilai lumayan, model P to P yang akhirnya diterapkan. Dalam tol akses Priok, model baru itu sendiri kemudian mengalami modifikasi. Apa yang kemudian terjadi ini sebetulnya lebih merupakan perwujudan kebutuhan untuk mengadaptasi kebiasaan hukum yang biasa terjadi dalam suatu perikatan bisnis.
Adaptasi itu menjadi kebutuhan paling tidak karena tiga hal. Pertama, pemerintah pusat tidak terbiasa bekerja sendirian. Maksudnya, keterlibatan pemerintah daerah menjadi penting selain untuk meredam resistensi warga, juga untuk membagi risiko bisnis.
Kedua, pengembalian investasi tol secara relatif adalah hal yang sebetulnya sangat mungkin diciptakan. Meski pada proyek tol akses Priok tak ada yang berperan sebagai investor seperti halnya dalam proyek tol yang lain, secara faktual Jakpro juga melakukan investasi.
Ketiga, adalah sumber pembiayaan yang sepenuhnya berasal dari dana pinjaman luar negeri. Dengan sumber ini, tahapan yang harus dilalui cenderung lebih njlimet apabila dibandingkan dengan proyek yang dibiayai dana swadaya pemerintah atau swasta murni.
Modifikasi atau kebutuhan adaptasi dalam pembangunan tol akses Priok inilah yang tampak ketika Menteri PU selaku 'pemegang konsesi' dari pemerintah pusat menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur DKI selaku 'investor' dari pemerintah daerah.
Nota kesepahaman itu mengamanatkan Pemprov DKI membebaskan lahan tol akses Priok di E2, W1, W2, dan NS. Sebagai imbalan, biaya pembebasan tanah itu kelak dikonversi menjadi penyertaan modal dalam perusahaan operator tol yang bakal dibentuk Departemen PU.
Sampai di sini, Menteri Djoko kemudian menyatakan modifikasi model baru itu merupakan inovasi yang menyinergikan kepentingan pusat dan daerah dalam membangun infrastruktur dan menggerakkan perekonomian. Sebuah klaim yang terburu-buru. (mcd/na) (bastanul.siregar@bisnis.co.id)

Selasa, 02 Juni 2009

15 Mantan Perwira Polri Dukung Duet JK- Wiranto

[ Selasa, 02 Juni 2009 ]
JAKARTA - Dukungan pada duet JK-Wiranto terus mengalir. Kemarin sedikitnya 15 mantan perwira tinggi Polri yang pernah menduduki jabatan Kapolda menyatakan mendukung duet JK-Wiranto. Mantan pemimpin wilayah itu akan bertugas mengamankan netralitas aparatur Polri dalam pemilu presiden. Sejumlah nama yang hadir dalam pertemuan dengan Jusuf Kalla adalah mantan Kapolda Jatim Herman S.S., mantan Kapolda Jateng Irjen Pol (pur) Chaerul Rasyid, mantan Kapolda Jabar Irjen Pol (pur) Sudirman Ail, dan mantan Kapolda Sumatera Utara Komjen Pol (pur) Togar Sianipar. Bagi masyarakat Jatim, nama Herman tidak asing. Di era dia menjabat Kapolda Jatim, berlangsung pemilihan gubernur Jatim yang terjadi tiga putaran itu. Dia mengungkapkan adanya dugaan kecurangan. Bahkan, setelah tidak menjabat Kapolda, Herman sempat bertemu Megawati untuk membeberkan kasus pilgub Jatim. Namun, kini Herman mendukung JK-Win. "Bangsa ini akan dapat maju ke depan kalau seluruh aparat menjaga asas netralitas. Para mantan kapolda itu akan turun untuk menyosialisasikan netralitas aparat Polri," ujar JK seusai pertemuan di Posko Slipi II, Jalan Ki Mangunsarkoro, Jakarta, kemarin. JK menegaskan, para purnawirawan jenderal polisi itu tidak akan berkampanye mengajak anggota Polri aktif mendukung JK-Wiranto. Mereka hanya akan bertugas menjaga jangan sampai aparat Polri aktif dimanfaatkan kepentingan politik praktis. (noe/tof)

TNI Wajib Bersikap Netral dan Tak Terlibat Gerakan Politik

Selasa, 02 Juni 2009 ]
JAKARTA - Komitmen menjaga netralitas TNI aktif dalam pilpres dipegang kuat oleh tim pemenangan Megawati- Prabowo. Partai Gerindra sebagai bagian dari koalisi itu menegaskan tidak pernah mendapatkan dukungan dari tentara aktif. Bahkan, caleg DPR dari Gerindra yang berlatar mantan tentara hanya segelintir.''Kalau dicek, yang purnawirawan hanya enam orang di antara 400-an calon anggota DPR," ujar Sekjen Gerindra Ahmad Muzani di Jakarta kemarin. Gerindra juga membantah isu adanya jajaran instansi militer yang siap mendukung Gerindra.Meski begitu, ujar Muzani, Gerindra adalah partai yang mengharapkan dukungan semua pihak, termasuk kalangan pensiunan militer. "Kalau sudah purnawirawan, mereka sipil dan punya hak pilih. Tentu kami senang kalau mereka mendukung Mega-Prabowo," katanya.Di tempat terpisah, Prabowo Subianto menegaskan, apabila terpilih kelak, dia akan memberikan saran kepada Megawati untuk meningkatkan anggaran pertahanan. ''Itu sebagai bentuk komitmen bagi kemajuan bangsa dan negara,'' kata Prabowo di Jakarta kemarin.Sementara itu, pengamat militer M.T. Arifin menegaskan, TNI wajib bersikap netral dan tak terlibat gerakan politik dukung-mendukung capres-cawapres. Tekad untuk bersikap etral tak akan banyak berarti jika pemilik kekuasaan tidak dikontrol. "Harus ada kontrol terhadap pihak-pihak yang mampu menggerakkan militer untuk kepentingan politik mereka. Selama ini yang menggerakkan militer adalah yang punya kekuasaan,'' tutur Arifin. Dia mendesak setiap capres melepaskan hak eksekutifnya untuk memberikan komando kepada militer. Dia mencontohkan, hak eksekutif yang tidak dilepas menyebabkan para menteri pun ikut berpolitik dalam pilpres. (rdl/pri/agm)

Perancang Paket RUU Pemilu yang Gagal Bertahan di DPR (2)

Selasa, 02 Juni 2009 ]

Kampanye Habis Rp 450 Juta, Sempat Dikhawatirkan Stres Mantan Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu Saifullah Ma'shum termasuk yang ikut terpental dari Senayan. Apa yang dia lakukan setelah meninggalkan gedung rakyat? Priyo Handoko, Jakarta ---POSISI matahari mulai merangkak ke puncak. Hampir tengah hari saat sidang paripurna DPR, Selasa (26/5), memulai agenda kedua. Setelah mengesahkan RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sidang paripurna mendengarkan pandangan akhir fraksi-fraksi mengenai usul penggunaan hak angket terhadap pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk memilih. Di kalangan media dan publik lebih populer dengan sebutan hak angket DPT (daftar pemilih tetap).Di antara puluhan wakil rakyat itu, seorang pria paro baya dengan langkah tergesa tampak menaiki anak tangga menuju pintu ruang sidang. Dialah anggota Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Saifullah Ma'shum.Kepada Jawa Pos yang mencegat, ayah empat anak kelahiran Malang, 25 November 1960, tersebut menegaskan bahwa dirinya menolak penggunaan hak angket. Bukannya tidak peduli terhadap banyaknya hak memilih rakyat yang tidak terakomodasi. Namun, dia berpandangan tidak tepat melayangkan hak angket kepada pemerintah. Sebab, domain penyusunan DPT berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).''Kalau ini lolos, berarti kita mengakui pemerintah punya domain. Padahal, tidak sama sekali,'' ujarnya sedikit gusar. Opini Ma'shum memang layak didengar. Sebab, bagaimanapun, dia adalah mantan ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu yang menjadi landasan bagi pembentukan KPU dan Bawaslu.Setelah melalui voting, hak angket DPT akhirnya lolos. Sementara itu, sikap FKB terbelah tiga. Di antara 18 anggota yang hadir, 16 orang ikut mendukung, termasuk Ketua FKB Effendy Choirie. Ketua DPP PKB yang menjadi pimpinan sidang, Muhaimin Iskandar, memilih abstain. Hanya Saifullah Ma'shum yang bersikukuh tidak setuju.Ma'shum merupakan salah seorang kader terbaik yang dimiliki PKB di DPR. Pada Pemilu 2009, dia maju kembali dari dapil Jatim V -meliputi Kabupaten dan Kota Malang serta Kota Batu- dengan nomor urut paling buncit, yakni nomor delapan. Sayangnya, mantan ketua PP GP Ansor periode 1995-1999 tersebut tidak bisa mempertahankan kursinya di DPR.Di antara delapan kursi yang diperebutkan di Jatim V, PKB hanya memenangi satu kursi. Itu menjadi hak Ali Maschan Moesa, caleg PKB bernomor urut satu yang memperoleh suara terbanyak, yakni 37.730. ''Nomor urut kecil secara psikologis ternyata masih menentukan,'' tutur Ma'shum yang pernah menjadi wartawan itu.Selain nomor urut, dia mengaku mendapat hambatan untuk menjajakan diri. Menurut dia, ada pola kampanye di mana caleg bernomor urut sama di level DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota saling bekerja sama. ''Di dapil saya, ternyata caleg yang maju di DPRD tidak sampai delapan. Jadi, saya tidak punya mitra,'' ungkapnya.Siti Masrifah, istri tercinta Ma'shum yang menjadi caleg PKB di dapil Jatim XI (Bangkalan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep), juga gagal. ''Kami menyikapi secara wajar-wajar saja,'' ujarnya. Dia mengaku, dana kampanye mereka berdua yang hanya sekitar Rp 450 juta memang tidak cukup untuk ''menarik perhatian'' para pemilih.''Trennya memang pragmatisme. Rakyat melihat yang nyata, bukan kiprah di DPR dan pembinaan saya selama lima tahun ini. Tapi, mana yang bisa menyejahterakan mereka dengan materi secara langsung,'' ujarnya lantas tersenyum kecut.Hari-hari awal setelah KPU menghitung perolehan suara dan kursi yang dimenangi parpol, Ma'shum mengaku keempat anaknya sempat khawatir dirinya stres. Sebab, banyak pemberitaan di televisi dan koran yang mengungkap kisah mengenai para caleg yang mendadak gila karena gagal menjadi wakil rakyat.''Mereka sampai bilang agar saya tidak berbuat macam-macam. Sebab, ada keluarga yang mendukung. Bahkan, saya pernah sampai dilarang bawa mobil sendiri dari Malang ke Jakarta. Padahal, sebelumnya saya biasa begitu,'' ungkapnya.Meski gagal kembali duduk di Senayan, Ma'shum menyatakan sudah memiliki kepuasan. Salah satunya, dirinya terlibat penuh dalam penyusunan RUU Penyelenggara Pemilu, RUU Pemilu Legislatif, dan RUU Pilpres. ''Walaupun tidak sepenuhnya ideal, kami yang terlibat merasa sudah berbuat maksimal menata sistem demokrasi,'' katanya.Ke depan, Ma'shum berencana kembali ke ''dunia lama''. Sebelum berpolitik, dia memang tercatat sebagai dosen di sejumlah kampus. Di antaranya, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta dan Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta. ''Saya juga akan me-launching buku mengenai pengalaman ikut membangun demokrasi di DPR,'' kata putra kesembilan di antara 12 bersaudara pasangan KH Mas'shum Ali dan Hj Muniroh itu. (*/tof)

Para Penyusun RUU Pemilu yang Gagal Bertahan di DPR (1)

Senin, 01 Juni 2009 ]
Ferry Siapkan ''Buku Perpisahan'' tentang Aceh Prestasi sebagai ketua Pansus RUU Pemilu Le­gislatif tak menjadi jaminan bisa terus bertahan sebagai wakil rakyat di DPR. Contohnya adalah Ferry Mursydan Baldan. PRIYO HANDOKO, Jakarta ---Ringan tanpa beban, bicaranya tetap ceplas-ceplos. Ekspre­si wajahnya masih ceria, persis seperti biasa. Dengan enteng, Ferry Mursydan Baldan, anggota DPR dari Partai Golkar itu, menyalami sejumlah koleganya. Sejurus kemudian, dia menemui dan sudah terlihat asyik ngobrol bersama para wartawan.Tak ada yang mengira, wakil rakyat yang sangat vokal dan meng­huni parlemen sejak 1997 itu harus kalah dalam Pemilu 2009 yang menerapkan sistem suara terbanyak. Padahal, politikus gaek kelahir­an 16 Juni 1961 tersebut adalah ke­tua Pansus RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang yang se­telah disahkan menjadi panduan pe­laksanaan pemilu legislatif 9 April lalu. Bahkan, dia sempat men­jadi ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu yang nanti melandasi pembentukan KPU dan Bawaslu. ''Wajarlah ada perasaan kecewa karena kalah. Tapi, biasa-biasa saja, tidak berlebihan,'' kata Ferry kepada Jawa Pos di sela-sela sidang paripurna DPR, Selasa (27/5). Dalam Pemilu 2009, Ferry maju di dapil Jabar II dan mendapat nomor urut 5. Di dapil tersebut, Golkar ternyata memenangi dua kursi yang diberikan kepada Agus Gumiwang Kartasasmita (63.834 suara) dan Lili Asjudiredja (42.152 suara), sedangkan Ferry mendapat 29.721 suara.Suara yang diperoleh Ferry sebenarnya jauh lebih besar daripada Rachel Mariyam Sayidina (25.540 suara) yang maju dari Gerindra. Begitu pula dengan Theresia E.E. Pardede (21.672) yang maju dari Demokrat. Meski begitu, kedua pendatang baru dari kalangan artis tersebut bisa lolos sebagai wakil rakyat ke DPR.''Sistemnya memang begitu. Dihitung dulu kursi yang dimenangi parpol, terus diberikan kepada calegnya sesuai urutan suara terbanyak. Masak saya memprotes sistem yang saya buat sendiri,'' canda Ferry lantas tersenyum.Dia tidak mendendam kepada elite partai yang telah meletakkan dirinya di nomor tanggung, yakni nomor 5 di antara total 12 caleg yang dipasang Golkar di Jabar II. Meski, dia mengakui psikologis pemilih memang masih memandang lebih caleg di nomor urut 1 dan 2. ''Tidak perlu menyalahkan siapa pun. Mengapa suara Golkar turun, itu yang lebih penting untuk dievaluasi bersama,'' ungkapnya.Dia menuturkan, rahasia di balik ketenangan dirinya adalah kemampuan mengontrol diri selama pemilu. Terutama menyangkut dana kampanye. Ka­rena itu, tak ada alasan untuk stres. ''Saya optimal, tapi tidak jor-joran. Sebatas yang bisa saya lakukan saja,'' ujar alumnus FISIP Unpad yang pernah menjadi ketua umum PB HMI periode 1990-1992 tersebut.Kunci lain adalah keluarga. Ferry menceritakan, keluarganya terus memberi support. Di lain sisi, dia tidak pernah berkeluh kesah secara berlebihan kepada ubah diri. Yang jelas, saya tetap di politik,'' tegasnya. Dia menyatakan saat ini dirinya memperkuat tim sukses JK-Wiranto. Setelah itu, ungkap dia, dirinya akan membangun partai agar bisa tampil dengan lebih baik pada Pemilu 2014. Dia memastikan tidak akan meninggalkan Golkar. ''Kalau trennya lagi turun begini, terus tidak ada langkah-langkah untuk menaikkan, itu berbahaya bagi parpol. Kalau sampai Golkar turun lagi pada 2014, ya habis,'' ujarnya.Ferry sudah menjadi wakil rakyat periode 1992-1997 sebagai anggota MPR dari unsur pemuda dan mahasiswa. Karir yang moncer membuat dirinya terpilih sebagai anggota DPR dalam Pemilu 1997. Saat Pemilu 1999, dia kembali terpilih dan terus bertahan pada Pemilu 2004.Ferry berharap pada sisa jatah waktunya di DPR bisa merampungkan pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta. Sebab, sebelumnya dia menuntaskan pembahasan UU Otonomi Khu­sus untuk Papua, UU DKI Jakar­ta, dan UU Pemerintahan Aceh. ''Biar lengkap untuk semua dae­rah yang spesial di Indonesia,'' kata anggota komisi II itu.Diam-diam, dia juga sudah me­nyi­apkan sebuah buku mengenai pemba­hasan RUU Pemerintahan Aceh dalam konteks proses perdvamaian Aceh. ''Banyak cerita di balik layar yang belum terungkap ke media dan pu­blik. Tinggal di-launching,'' ujarnya. Salah satu ceritanya mengenai politikus senior PDIP, almarhum Sutradara Gintings. Ferry menyatakan sangat kehilangan sahabat yang sering berdebat keras dengan dirinya saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh itu. Misalnya, menyangkut parpol lokal yang sangat ditentang Gin­tings. Sebab, Gintings khawatir parpol lokal di Aceh justru akan menjadi instrumen politik yang mengembangkan sentimen ras dan etnis. Padahal, NKRI adalah negara yang dibentuk dari kemajemukan. (agm)

KPU Tetapkan DPT Pilpres, Tak Jamin Bersih dari Pemilih Fiktif

Senin, 01 Juni 2009 ]
JAKARTA - Satu tahap pelaksanaan pemilu presiden (pilpres) terlewati. Setelah penetapan no­mor urut capres-cawapres, Ko­misi ­Pemilihan Umum (KPU) menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pilpres. Sebanyak 176.367.056 pemilih ditetapkan da­lam DPT. Jumlah pemilih ter­sebut naik daripada penetapan DPT pemilu legislatif lalu yang berjumlah 171.265.442 pemilih.Keputusan itu diambil setelah KPU melakukan rapat pleno ber­sama perwakilan 33 KPU pro­vinsi di gedung KPU, Jakarta, ke­marin (31/5). Rata-rata setiap provinsi mengalami penambahan jumlah pemilih. Itu wajar mengingat adanya penambahan jumlah pemilih pe­mula yang sudah berusia 17 tahun pada 8 Juli atau hari H pemungutan suara pilpres nanti. "Itu salah satu faktor penambah jumlah DPT dari pemilu legislatif lalu," kata I Gusti Putu Artha, anggota KPU, saat membacakan DPT pilpres di ruang sidang utama KPU, Jakarta, kemarin.Jika dibandingkan dengan DPT pemilu legislatif lalu, ada penambahan 5.101.614 pemilih. Putu menyatakan, faktor lainnya adalah bertambahnya jumlah pemilih baru yang sebelumnya tak terdaftar. Namun, juga dibarengi pencoretan nama pemilih fiktif, seperti yang meninggal dunia dan terdaftar gan­da. "Ada data keluar, tapi data yang masuk lebih banyak," terangnya.Anggota KPU Andi Nurpati menambahkan, KPU tidak bisa menjamin bahwa DPT pilpres akan bebas dari pemilih fiktif tersebut. Sebab, mobilisasi pemilih sangat tinggi. Faktor lain yang termasuk hal teknis adalah nomor induk ke­pendudukan ganda. Akibatnya, ada pemilih yang sebenarnya berbeda, namun identitas kependudukannya sama. "Kami tidak bisa menjamin seratus persen," kata Andi.Karena itu, dia tidak bisa menjamin bahwa setiap pemilih yang terdaftar di satu daerah tidak akan terdaftar di daerah lain. An­di menyatakan, penetapan daftar pemilih berbasis domisili adalah demi memutakhirkan data penduduk di masing-masing tempat tinggal mereka. "Namun, jika di daerah asal yang bersangkutan juga terdaftar, KPU akan mencoret salah satunya," terangnya.Menurut Andi, mayoritas provinsi mengalami penambahan pemilih. Hanya Nanggroe Aceh Darussalam dan luar negeri yang jumlahnya menurun. Andi menyatakan, di NAD sebelumnya jumlah pemilih juga diwarnai aktivis LSM yang tinggal di sana. Namun, kebanyakan aktivis LSM tersebut sudah kembali ke daerah masing-masing. Itu ditambah adanya sejumlah pemilih pemula yang meninggalkan Aceh untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. (bay/agm)

Rawan Dimainkan Elite Parpol

[ Senin, 01 Juni 2009 ]
KPU: Pengganti Caleg Terpilih Diserahkan ke Partai Politik
JAKARTA - Mekanisme pengganti­an caleg terpilih dalam pemilu legislatif yang meninggal dunia, mundur, atau tidak memenuhi syarat lagi menjadi potensi masalah baru. Sebab, hingga saat ini Komisi Pemilih­an Umum (KPU) berkeyakinan bahwa penetapan caleg pengganti diserahkan sepenuhnya ke partai politik (parpol). Para pimpinan parpol tidak berkewajiban mengganti dengan caleg pemilik suara terbanyak kedua.Anggota KPU Andi Nurpati mengatakan, pihaknya hanya berada dalam posisi memberikan saran. "Kami akan tetap merekomendasi agar yang dipilih peraih suara terbanyak, tapi memang tidak mewajibkannya," ujar Andi di gedung KPU, Jakarta, kemarin (31/5).Sejumlah caleg terpilih memang dipastikan tidak masuk ke DPR. Di antaranya, caleg PDIP dari dapil Banten III Sutradara Gintings dan caleg Partai Demokrat dari da­pil Kalimantan Barat (Kalbar) Henri Us­man. Caleg terpilih lain juga dari Partai Demokrat dapil Papua Freddy Numbe­ri telah memutuskan mengundurkan diri.Menurut Andi, pengajuan peng­ganti caleg terpilih itu ditunggu paling lambat sehari sebelum pelantikan anggota dewan baru pada 1 Oktober 2009. "Kalau setelah itu ada kejadian lagi, itu sudah pergantian antarwaktu. Aturannya nanti mengikuti RUU Susduk yang belum ditetapkan itu," jelas Andi. Namun, pendapat berbeda disampaikan mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan. Menurut dia, sebagai konsekuensi penetapan calon terpilih berdasar suara terbanyak, maka kalaupun ada penggantian, harus dilakukan senapas dengan aturan itu. "Karena putusan MK, maka tidak bisa tidak, penggantinya juga diberikan kepada pemilik suara terbanyak berikutnya," ujarnya.Jadi, menurut dia, tidak benar dalam penggantian calon terpilih diserahkan kepada parpol. "Konstruksi UU Pemilu menegaskan hal itu, terlebih setelah ada putusan MK tentang suara terbanyak," tandasnya lagi.Dalam menentukan mekanisme tersebut, KPU menyandarkan diri pada pasal 218 UU Pemilu No 10/2008. Di sana disebutkan, penggantian calon terpilih diambil berdasar calon dari daftar calon tetap (DCT) parpol sama pada dapil yang sama berdasar keputusan pimpinan parpol yang bersangkutan. "Seharusnya, yang jadi acuan adalah putusan MK yang telah menganulir pasal penetapan caleg terpilih," lanjut Ferry.Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar N. Gumay menambahkan, peluang parpol ''bermain'' dalam penentuan pengganti caleg terpilih berdasar aturan KPU memang sangat besar. "Penggantian yang ditentukan berdasar pertimbangan dari pimpinan parpol rawan permainan," katanya.Selain itu, lanjut dia, parpol juga bisa saja sejak awal menginstruksi caleg terpilih untuk membuat surat pengunduran diri. "Baru kemudian menggantinya dengan caleg lain sesuai keinginan," tuturnya. (bay/dyn/agm)

SBY-Boediono Siapkan Penangkis 12 Isu

[ Minggu, 31 Mei 2009 ]
JAKARTA - Pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tak mau terus-terusan menjadi sansak kampanye hitam (black campaign). Karena itu, capres-cawapres Partai Demokrat dan Koalisi Cikeas tersebut menyiapkan penangkis 12 isu krusial yang berpotensi menjadi bahan pihak lain untuk menyerang mereka. SBY meminta tim kampanye di semua daerah untuk menyiapkan respons terhadap tuduhan, fitnah, black campaign, ataupun kampanye negatif. "Semua isu itu memang perlu di-counter, ditanggapi, dan direspons. Sebab, jika berlarut-larut, rakyat akan menganggap hal tersebut sebagai yang benar," terang SBY dalam pembukaan Silaturahim Nasional Parpol Koalisi SBY-Boediono di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jakarta, kemarin (30/5).Beberapa di antara isu-isu itu adalah politik simbol, perang ideologi, neoliberalisme (neolib), ekonomi kerakyatan versus neolib, dan pluralisme. Isu lain adalah politik identitas, pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri, anggaran pertanian, anggaran infrastruktur, dan krisis ekonomi. "Sedangkan isu terakhir adalah, saya sebenarnya malu mengungkapkannya, yakni urusan cepat-cepatan atau tepat-tepatan," ujar SBY. SBY menjelaskan, sejak menjadi presiden pada 2004, dirinya berusaha tidak reaktif dalam menghadapi tuduhan. "Kalau sejak 2004 menanggapi, saya tak bisa kerja," ungkapnya. Namun, menurut dia, kini merupakan saat tepat untuk menjawab semua tuduhan itu. "Sekali-kali tidak dilarang seorang SBY merespons, menanggapi. Untuk tim sukses, pahalanya tinggi kalau bisa merespons dengan baik, logis, dan benar," ulasnya. Dia meminta tim suksesnya menggunakan fakta dan data dalam merespons semua tuduhan yang dialamatkan kepada pasangan SBY-Boediono.Dia meminta mereka menanggapi secara rasional, tepat, dan tidak emosional. "Rakyat ingin mendengar jelasnya permasalahan, argumentasi, dan posisi kita. Rakyat tidak menyukai kegaduhan, apalagi cara-cara yang tidak patut," ujarnya.Jika tuduhan mesti direspons, SBY melarang tim suksesnya memfitnah dan menyebarkan black campaign. "Jangan, jangan memfitnah kompetitor kita. Kita tidak perlu melaksanakan black campaign. Kita tidak harus menyenangi negative campaign dan menyerang pribadi secara tidak patut, banyak cara lain," ucapnya. SBY juga berjanji menawarkan program yang realistis. "Bukan di awang-awang. Bukan janji dan angin surga. Tapi, kita semua, kita ambil, tarik, dan simpulkan dari pengalaman empiris selama lima tahun memimpin negeri," terangnya.Dia mencontohkan, target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada 2014 merupakan hal paling realistis. Meskipun, sebagian kalangan menganggapnya konservatif, tidak seperti calon lain yang menargetkan 8 persen (JK-Wiranto) dan 10 persen (Mega-Prabowo). "Mengapa 7 persen? Sebab, dunia telah mengalami resesi perekonomian yang dalam. Belum ada tanda-tanda apakah tahun depan mulai ada gerakan pemulihan," paparnya. Boediono menuturkan, etika adalah jalur terbaik dalam pembangunan perpolitikan. "Sebab, sepanjang karir, saya mencoba melaksanakan amanah apa pun yang diberikan kepada saya dengan cara wajar, patut, dan kejujuran," katanya. (sof/agm)
Sumber : Jawa Pos

JK Himbau Tim Sukses Hindari black campaign

Minggu, 31 Mei 2009 ]
JAKARTA - Perang opini antartim sukses capres-cawapres belakangan mulai mengarah kepada kampanye hitam (black campaign). Capres Partai Golkar dan Hanura Jusuf Kalla (JK) mengimbau seluruh tim sukses agar menghindari model kampanye hitam. Termasuk, menjauhi praktik politik uang.JK mengajak setiap calon lebih memilih model kampanye dengan membeberkan program yang bakal diusung setelah memerintah nanti. "Kampanye yang baik berusaha menjelaskan bahwa jika kami yang memerintah atau menang, negara bakal dibawa seperti apa," kata JK di kediamannya, Jl Mangunsarkoro, Jakarta, kemarin (30/5). Menurut JK, ajang pemilu presiden (pilpres) merupakan suatu pertarungan ideologis dan cita-cita. Termasuk, bagaimana cara melaksanakan ideologi dan cita-cita itu. "Di sanalah tantangannya. Sebab, setiap orang punya cara berbeda," tambahnya. Meski demikian, ketua umum DPP Partai Golkar itu mengakui, dalam berpolitik, sulit menghindari saling ungkap fakta oleh satu kelompok kepada kelompok lain. "Selama tidak melanggar hukum, itu tidak menjadi persoalan," jelas JK. Dia menegaskan, kampanye hitam dapat terjadi apabila capres-cawapres dan tim suksesnya melontarkan sesuatu yang bukan fakta mengenai pasangan lain. "Apalagi yang bersifat pribadi. Kalau itu, fitnah namanya," tambahnya. JK pun menyinggung soal wacana jilbab yang dipakai istrinya, Mufidah Jusuf Kalla, dan istri Wiranto, Uga Wiranto, yang dihubung-hubungkan dengan Ani Yudhoyono. Istri capres koalisi Cikeas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu kebetulan tidak memakai jilbab. Kubu JK-Wiranto lantas mendapat tudingan telah melakukan politisasi agama. "Terus bagaimana? Apakah istri saya dan istri Pak Wiranto disuruh buka kerudung, begitu?" selorohnya.JK mengelak telah sengaja menggulirkan wacana jilbab istri capres-cawapres itu untuk menjatuhkan pasangan lain. "Yang pasti, kami tidak mau mengurusi istri orang lain, masing-masinglah," ujarnya. (dyn/agm)
Sumber : jawa pos

Lebih Cepat, Benarkah Lebih Baik?

Selasa, 02 Juni 2009 ]
LEBIH cepat lebih baik. Frasa ini sekarang menjadi frasa politik baru yang hari-hari ini begitu dikenal. Sesungguhnya, dalam manajemen, frasa tersebut telah lazim dikenal. Prinsip pokoknya kira-kira begini: tidak ada yang terbuang, baik dilihat dari sumber daya maupun peluang yang tersedia. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, peluang yang ada hendak dieksploitasi secara penuh oleh keunggulan organisasi. Acuan itu menjadi semakin relevan dalam konteks organisasi yang tidak sehat dan memerlukan perubahan. Sejak 1998, Indonesia sedang dalam posisi seperti itu. Bahkan, mungkin telah terjadi sejak jauh-jauh sebelumnya. Kecepatan diperlukan ketika penyehatan sedang berada pada fase penyelamatan, tahap pertama yang amat menentukan. Ketika itu harus dibangun adanya ancaman bersama (sense of crisis): jika tidak segera dilakukan tindakan yang cepat, organisasi bisa terancam mati. Dengan metafora ketidaksehatan manusia, masa perdarahan tidak dapat dibiarkan begitu lama karena akan menyebabkan kehabisan darah.Fase-fase sesudahnya -stabilisasi dan pertumbuhan kembali organisasi- juga memerlukan tindakan cepat meski tidak lagi secepat pada fase penyelamatan. Setiap proses penyehatan memerlukan apa yang pada masa lalu dikenal dengan sebutan bongkar dan pasang. Prinsip inilah yang sekarang disebut perusakan kreatif (creative destruction). Yakni, perubahan dengan pembongkaran dan pembaruan.Manajemen perubahan model tersebut hampir sepenuhnya didorong dari atas (top down) serta bersifat struktural, sistemik, dan programatik. Oleh karena itu, hal tersebut sering disebut leadership driven. Dalam implementasinya, itu memerlukan pemimpin karismatik (Conger, 1989). Ada juga yang menamainya perubahan dengan pendekatan teori E, yang mengedepankan prinsip-prinsip ekonomi (Beer dan Nohria, 2000, Kotter 1996). Ganjaran dan hukuman mendapatkan tempat terhormat sebagai pendorong perubahan, tanpa melupakan kekuatan visi. Pendekatan ini terlihat lebih menjanjikan, segera ada keberhasilan, setidaknya dalam jangka pendek.Pilihan pada pendekatan yang baru saja disebut itu sering didasari pertimbangan bahwa jika tidak melakukan perubahan dengan segera, eksistensi organisasi terancam. Inilah yang dikenal dengan diktum berubah atau mati (change or die). Akibatnya, tidak mengherankan jika ketika perubahan sedang berlangsung, pasti memakan korban - no pain no change. Itulah ongkos yang harus dibayar jika menghendaki keberhasilan perubahan. Pada skala perusahaan, pemeluk dan praktisi pendekatan ini, antara lain, adalah Al Dunlap ketika dia menyehatkan Scott Paper dan Stanley Gault ketika memimpin perubahan di Rubbermaid (Collins, 2001). Pendekatan teori E itu terlihat begitu populer tidak saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain, karena memang terlihat sederhana dan menjanjikan.Tetapi, di sisi lain, ada yang mengatakan itu sebagai so oversold, so overgeneralized, and so unquestioned. Perlu disadari bahwa risiko memilih pendekatan E bukan sama sekali nol. Selain kemungkinan memiliki korban lebih banyak, pilihan tersebut menjadikan organisasi merasa cemas dan lelah berkepanjangan karena banyaknya inisiatif dan strategi baru yang dicoba diprogramkan dan diimplementasikan dalam waktu yang begitu pendek dan sering tumpang tindih (initiative overload). Bukan tidak mungkin, pilihan itu akan mengalami kehabisan energi dan spirit (burnout). Apalagi jika perubahan harus memerlukan waktu yang panjang dan di saat yang sama tidak segera menghasilkan kemenangan-kemenangan kecil dalam jangka pendek (short term wins).Risiko menjadi lebih besar jika pilihan pendekatan tersebut diimplementasikan pada organisasi atau masyarakat yang masih feodal. Mereka hampir pasti seakan-akan tidak melakukan penolakan, tetapi sesunguhnya mereka melakukan penolakan secara diam-diam dan tersembunyi (Murphy, 1998, dan Scott, 1985). Di Indonesia, fenomena ini dikenal dengan sebutan senjata orang-orang lemah (weapons of the weak), yang bisa berwujud dari kepatuhan semu sampai memberikan tafsir salah pada inisiatif strategis tertentu. Dalam bahasa Jawa, fenomena itu dikenal sebagai inggih-inggih mboten kepanggih.Dengan demikian, persoalan pokoknya bukan sepenuhnya terletak pada frasa lebih cepat lebih baik. Tetapi, lebih pada pengaturan agenda dan jadwal perubahan. Perlu ada kesadaran dan kesabaran bahwa tidak ada orang atau rakyat yang dapat terus-menerus berada pada masa perubahan dan transisi berkepanjangan, yang biasanya penuh ketidakpastian. Harus ada jeda masa stabil. Oleh karena itu, mungkin ada diktum baru yang perlu diperkenalkan: perubahan yang tidak harus membawa ketidaknyamanan: change without pain (Abrahamson, 2004). Perubahan lebih damai dan sejuk itu bisa jadi merupakan pilihan yang mungkin lebih pas diterapkan di Indonesia, yakni prinsip perubahan kombinasi kreatif (creative combination). Perubahan itu lebih bersifat gradual dengan berusaha menjaga keberlangsungan stamina dan tetap berada dalam situasi yang tampak tidak terlalu kaos. Perubahan struktural akan terjadi sebagai akibat yang tidak terhindarkan lagi dari proses perubahan gradual yang terus berlangsung. Lamban, tapi lebih pasti. Boleh saja pilihan ini disebut sebagai paradigma perubahan kultural, yang sering juga disebut sebagai teori perubahan O (Beer dan Nohria, 2000). Meski demikian, pilihan perubahan gradual juga bukan tanpa risiko. Jika berlebihan, bisa jadi terkena tuduhan sebagai pihak yang anti perubahan. Bahkan, sampai pada munculnya stigma pro-status quo. Secara politik, tuduhan tersebut dapat berkembang menjadi tidak membela rakyat dan hanya menjaga kepentingan para elite. Ternyata, Indonesia itu indah. Selain ada proses memperebutkan kekuasaan secara demokratis, ada juga pertarungan pilihan mazhab (school of thought) dalam memimpin perubahan. Selamat untuk kedua pemeluknya. Kedua aliran pemikiran tersebut sesungguhnya hanya merupakan sebuah kontinum dari dua titik ekstrem.
*) Suwarsono Muhammad , dosen FE UII Jogjakarta dan dokter perusahaan.

Jilbab dan Simbolisasi Politik

[ Senin, 01 Juni 2009 ]

Sungguh mencemaskan cara berpolitik tokoh dan aktivis partai di negeri ini. Selain disetir pragmatisme, simbol-simbol agama masih saja dieksploitasi. Yang terakhir jilbab. Kain penutup kepala perempuan muslim itu masuk panggung politik. Jilbab dikaitkan dengan politik karena dianggapkan bakal menggiring pendukung parpol atau massa Islam untuk mencontreng pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Kendati bukan melekat pada kontestan, jilbab dipandang akan menyetir ke mana arah suara pendukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memang relatif "fanatis" terhadap simbol-simbol agama. Dan, inilah pernyataan yang mengejutkan itu. "Kalau mau jujur, sebagian kader PKS hatinya masih mengarah pada JK-Wiranto karena alasan istri kedua pasangan ini sangat sederhana dan berjiblab," ujar fungsionaris PKS Zulkieflimansyah.Inilah yang masih kata Zulkieflimansyah -merujuk pada survei internal PKS- membuat tingkat keterpilihan SBY-Boediono dan JK-Wiranto hanya berselisih 10 persen. Dengan kata lain, politikus yang pernah membidik kursi gubernur Banten itu ingin mengatakan di mata pendukung PKS, tingkat keterpilihan SBY menurun dan JK merambat naik. Lebih jauh kolega Zulkieflimansyah, Mahfudz Siddiq, berujar, "Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus (baca: menggunakan jilbab). PKS bisa saja menyarankan Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung," ujarnya seperti dikutip Indo.Pos (27 Mei 2009). Cara ini dinilai akan mengarahkan kader dan simpatisan PKS untuk mencontreng SBY-Boediono, 8 Juli mendatang. ***Saya tak tahu apa kepentingan PKS mewacanakan jilbab menjelang pilpres ini. Publik menerka PKS sedang menghitung ulang dukungannya kepada SBY-Boediono, melakukan bargaining terhadap incumbent atau sekadar meneruskan kegelisahan massa pendukungnya. Yang jelas, ada yang kontradiktif di sini. Pertama, bagi perempuan muslim jilbab adalah hal yang substantif. Ini bentuk ketaatan kepada sang Khalik untuk menjaga kehormatan di muka umum.Kedua, PKS adalah partai berideologi Islam yang seharusnya menjauhi politik citra yang superfisial. Sayangnya, partai tarbiyah ini terperangkap pada simbol. Sangat beralasan jika pihak-pihak yang kritis terhadap PKS menyebut praktik politik ini sebagai upaya PKS memformalkan agama. Dalam kerangka politik modern penggunaan simbol-simbol agama untuk menarik simpati calon pemilih sesungguhnya tidak mencerdaskan. Ini bisa menyeret publik pada stigmatisasi yang tak perlu terhadap pihak-pihak yang jadi korban atau dikorbankan. Seorang perempuan muslim disebut baik atau salehah tak bisa disederhanakan dengan jilbab atau kerudung dalam tradisi muslim moderat ala NU dan Muhammadiyah. Perdebatan soal ini akan sampai pada wilayah teologis, karena umat Islam berbeda pandangan tentang jilbab ini. Sebagian kalangan menyebut jilbab adalah budaya atau merupakan tafsir atas teks Alquran. Tapi, sebagian lagi menerima jilbab sebagai perangkat yang sudah jadi. Artinya, turun dari teks suci dan berlaku wajib bagi perempuan muslim. Bagi perspektif ini tak memakai jilbab (ini pun masih debatable bentuk seperti apa yang diperintahkan teks itu?) berarti melanggar perintah agama. Menurut Nasaruddin Umar (2002), jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Iraq, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H. Sebelum fenomena jilbab menyeruak pada 1990-an, perempuan muslim di Indonesia lebih banyak menggunakan kerudung untuk menutupi aurat sebagai tafsir atas perintah Alquran. Berkerudung sudah dianggap cukup bagi kalangan perempuan muslim NU dan Muhammadiyah. Namun, jilbab belakangan kian menggantikan kerudung karena perbedaan tafsir atas apa yang disebut aurat bagi perempuan muslim. Buat saya, sebagai mesin elektoral PKS telah membuktikan sebagai parpol yang menjanjikan. Terbukti raihan suaranya meningkat dari Pemilu 1999 hingga 2009. Tapi, terkait jilbab, saya kira PKS kini "turun pangkat" karena kembali menonjolkan sisi-sisi simbolik agama. Terus terang ini mencemaskan. Seolah-olah poin yang ditonjolkan dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009) terkonfirmasi. Dalam buku tersebut diudar misi terselubung partai ini untuk mendirikan negara Islam di tanah air. Ihwal negara Islam segala sesuatunya telah terang. Perdebatan negara Islam tidak relevan lagi, baik dikaitkan dengan NKRI atau tata kelola negara modern. Saya berharap hasrat-hasrat seperti itu dapat digugurkan. Sebab, saya tak pernah bermimpi Indonesia akan menjadi negeri mirip Afghanistan di masa Taliban yang diceritakan Khaled Hosseini dalam The Kite Runner.
*). Moh Samsul Arifin, peminat politik, tinggal di Jakarta.

Menanti Netralitas TNI di Tengah Perang Bintang

Sabtu, 30 Mei 2009 ]

Kehadiran sejumlah mantan petinggi TNI dan Polri dalam tim sukses capres-cawapres pada pemilihan presiden kali ini begitu terasa. Mereka aktif terlibat dalam mesin politik untuk memenangkan capres-cawapres yang mereka dukung. Banyak di antara mereka yang kini menjadi aktor dalam tim sukses para capres-cawapres. Dibandingkan dengan Pilpres 2004, keterlibatan para purnawirawan dalam Pilpres 2009 saat ini jauh lebih atraktif. Mereka melakukan show of force, misalnya, dengan membentuk tim khusus. Jadi, bukan sekadar menjadi penasihat tim sukses, tapi mereka terlibat langsung dalam tim khusus. Di kubu SBY-Boediono, misalnya, ada tim khusus yang dipimpin mantan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto. Di kubu JK-Win, ada Tim Garuda yang dipimpin Marsekal Madya Basri S. Di kubu JK-Win juga ada mantan KSAD Soebagyo H.S. Bahkan, Kamis lalu, Soebagyo bersama puluhan mantan perwira tinggi bertemu Wiranto.Dengan hehadiran para jenderal itu, pilpres kali ini menjadi arena perang bintang antartim sukses. Selain di kubu SBY-Boediono dan JK-Win, di kubu Mega-Prabowo pun berdiri puluhan pensiunan militer, termasuk Jenderal (pur) Hendropriyono, mantan kepala Bakin, yang tentu sangat mengetahui seluk beluk dunia intelijen. Perang bintang jelas tak bisa terhindarkan. Apalagi di ketiga paket capres-cawapres itu ada jenderal. Seorang jadi capres, yakni mantan Kaster Jenderal (pur) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan dua lainnya menjadi cawapres, yakni mantan Panglima ABRI Jenderal (pur) Wiranto dan mantan Pangkostrad Letjen (pur) Prabowo Subianto. Pengamat politik Dr Tjipta Lesmana melihat, dunia militer sangat menghargai senioritas. Semangat itu sudah menjadi darah daging dalam sosok seorang prajurit. Apalagi kepada senior yang pernah menjadi komandan langsung mereka. Mantan Gubernur Lemhanas Agum Gumelar mengakui bahwa para pensiunan jenderal itu masih punya pengaruh di institusi TNI. Agum pun meminta para jenderal tersebut tidak memanfaatkan institusi TNI. Karena itu, sangat wajar kalau kini muncul kekhawatiran jangan-jangan TNI tak netral.Seorang capres -bila mampu mengendalikan militer- akan mendapat keuntungan luar biasa. Sebab, TNI-Polri masih mempunyai pengaruh kuat dalam dinamika masyarakat. TNI-Polri merupakan institusi yang memiliki jaringan sangat terstruktur dan sistematis dari pusat hingga daerah. Bukan hanya menguasai teritorial, TNI juga sangat jago dalam intelijen. Secara institusi, TNI sudah berikrar untuk bersikap netral. Sudah tak terhitung, para komandan TNI, baik di level mabes, kodam, korem, maupun kodim, meminta anak buahnya bersikap netral. Bahkan, mereka mengeluarkan buku saku yang menjadi pegangan dan panduan bagi prajurit untuk bersikap tidak memihak.Tapi, kalau kita melihat budaya senioritas, mungkin saja, tetap muncul upaya-upaya menyeret TNI yang seharusnya menjadi alat negara itu menjadi alat politik. Sebab, benteng netralitas TNI itu tak hanya ditentukan para jenderal yang kini masih aktif, tapi juga seberapa jauh para jenderal purnawirawan itu bisa menahan diri.Tak salah bila publik sangat berharap para purnawirawan yang terlibat dalam tim sukses capres-cawapres tidak menyeret institusi TNI ke dalam kancah politik. Kita tidak ingin militer yang seharusnya menjaga keutuhan negara harus mengabdi kepada seorang senior yang kini terlibat dalam politik praktis. Siapa pun yang mencintai demokrasi, tentu tak ingin TNI terseret ke dalam perang bintang. (*)

Menuju Indonesia tanpa Utang

Sabtu, 30 Mei 2009 ]
SEBENARNYA, prinsip mengelola APBN sama dengan mengelola Anggaran Penerimaan dan Belanja Rumah Tangga (APBRT). Misalnya, seorang kepala keluarga mempunyai gaji Rp 1 juta. Maka, dia harus mengelola uang itu untuk mencukupi kebutuhannya yang penting-penting saja. Manakala gajinya tidak cukup, dia harus mencari uang tambahan dengan cara kerja sambilan, bukan dengan cara berutang ke tetangga kanan kiri. Kalau terpaksa, sebaiknya dia berutang ke saudara atau famili sendiri.Begitu juga halnya dengan APBN. Kalau terjadi kekurangan dana, satu-satunya cara yang elegan ialah meningkatkan pendapatan pajak dan penerimaan lain-lain. Bukan berutang ke luar negeri.Selain itu, pemerintah bisa melakukan penghematan. Selama ini, pemerintah boros dengan cara tiap tahun membeli ribuan mobil dinas baru serta membangun kantor-kantor baru dan guest house. Pemerintah juga selalu menambah jumlah PNS tanpa melakukan perampingan, membeli alat tulis kantor (ATK) secara berlebihan, dan sebagainya. Padahal, dana yang dimiliki tidak cukup untuk itu.Hariyanto Imadha, Jl A.I.S. Nasution, Bojonegoro

Kiai dan Doa Restu Politik

[ Sabtu, 30 Mei 2009 ]

Road show politik para capres dan cawapres sering juga diwujudkan dalam bentuk meminta doa restu kepada para kiai. Ini seperti yang dilakukan capres-cawapres JK-Win ketika mengunjungi KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad) Watu Congol dan KH Abdurrahman Khudlori (Mbah Dur) Tegal Rejo, Magelang, beberapa waktu lalu. Pasangan capres-cawapres itu intinya meminta doa restu kepada kedua kiai karismatik tersebut. Hal yang sama juga tentu dilakukan capres-cawapres lainnya. Seorang kiai memang selalu identik dengan pemimpin yang mempunyai pengikut atau jamaah. Besarnya massa atau jamaah para kiai itu bagi para politisi merupakan lumbung suara yang signifikan. Dari sinilah budaya para politisi minta restu kepada para kiai itu muncul dan menjadi tradisi politik di Indonesia. Sebuah Paradoks Tradisi meminta doa restu atau dukungan politik kepada para kiai tersebut sebenarnya sah-sah saja. Sebab, para kiai itu secara individu juga mempunyai hak untuk didukung dan mendukung. Persoalan terjadi ketika menyangkut status kiai itu. Gelar kiai bukan semata-mata status yang dihasilkan para kiai tersebut secara personal, tetapi justru penghargaan yang murni lahir dari masyarakat. Kiai juga bukan gelar akademis yang dicapai atas dasar keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu. Legalitas kiai murni diperoleh dari konvensi masyarakat. Status itu disematkan masyarakat kepada seseorang yang menguasai ilmu-ilmu agama.Berdasar paradigma semiotika-strukturalisme Saussure, kata kiai adalah penanda (signifier) yang merepresentasikan makna (petanda/signified) tentang seorang yang alim dan cendekia dalam keilmuan keagamaan. Dari sisi semangat keilmuannya itu, seorang kiai adalah seorang intelektual atau cendekiawan. Sebagai seorang intelektual, tanggung jawab moral utama para kiai adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang mereka miliki. Dengan keilmuannya itu, para kiai disimbolkan sebagai lentera yang menerangi masyarakat. Perannya di masyarakat diharapkan mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan (darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai segi kehidupan. Pencerahan, menurut filsuf era pencerahan (enlightment) Immanuel Kant (1990), adalah keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakan sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain.Ketidakmatangan semacam itu terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapare Aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri.Atas dasar itu, kalau para kiai yang dimintai doa restu tersebut lantas memengaruhi atau mengajak masyarakat atau jamaahnya untuk memilih calon tertentu, ini jelas sangat bertentangan dengan posisi dan fungsi kiai itu sendiri. Tentu saja ini adalah sebuah paradoks bila dikaitkan dengan fungsi kiai sebagai sosok yang memberikan pencerahan. Sebab, dengan memengaruhi atau menganjurkan masyarakat, baik secara halus maupun terang-terangan, untuk mendukung salah satu calon, para kiai itu justru membuat masyarakat tidak berani berpikir sendiri. Mereka akhirnya tidak bebas memilih berdasar pikiran dan hati nuraninya karena cukup menganut kepada pilihan para kiai. Budaya politik semacam ini jelas menjadikan masyarakat terus-menerus terjerembab dalam ketidakmampuan menggunakan akal pikirannya. Kondisi semacam itu jelas menyebabkan masyarakat sulit menemukan pencerahan, khususnya pencerahan politik.Tanamkan Sikap Kritis Dalam menghadapi Pemilu Presiden 2009, para kiai yang dimintai doa restu oleh para politisi yang ikut berlaga dalam memperebutkan kursi kekuasaan jangan sampai mengingkari fitrah dan fungsi luhurnya sebagai kiai. Kewajiban moral kiai sebagai pemberi pencerahan kepada masyarakat tidak boleh kalah dan luntur oleh hak kiai dalam memberikan doa restu kepada para politisi. Masyarakat harus didorong untuk berani berpikir menentukan pilihannya sendiri tanpa harus dibebani, apalagi dipengaruhi untuk memilih calon tertentu. Pilihan masyarakat tidak harus disamakan dengan pilihan pak kiai.Tugas kiai sebagai pemberi pencerahan masyarakat itu diwujudkan dengan semangat menanamkan sikap kritis masyarakat. Sikap kritis masyarakat itu sangat dibutuhkan sebagai sistem kontrol dan keseimbangan (check and balance) terhadap struktur kekuasaan. Dunia politik adalah dunia yang penuh jebakan, tipu muslihat, dan intrik. Karena dunia politik sangat diwarnai hal-hal kotor semacam itu, maka tugas kiai sebenarnya adalah memberikan informasi atau pendidikan politik yang baik dan benar kepada masyarakat supaya tidak menjadi korban politik para politisi. Dengan pendidikan politik yang benar itu, masyarakat nanti diharapkan mampu mengkritisi dan menilai secara objektif semua kebijakan dan langkah-langkah strategis yang dimainkan para politisi, terutama capres-cawapres terpilih.Selama ini banyak sekali penyelewengan (abusement) dan penelikungan yang dilakukan para politisi sehingga merugikan masyarakat secara luas. Termasuk janji-janji para politisi kepada masyarakat yang berhasil meraih kedudukan di legislatif maupun di eksekutif, banyak yang tidak dipenuhi. Tetapi, jarang sekali para kiai yang secara intensif mempersoalkan itu. Umumnya, mereka hanya berkoar-koar di mimbar-mimbar keagamaan tanpa mau melakukan advokasi secara riel terhadap masyarakat yang menjadi korban pembohongan tersebut. Padahal, sebagaimana yang terjadi, tiap musim pemilu para politisi selalu blusukan masuk pesantren untuk meminta doa restu kiai.
Muhammad Muhibbuddin, direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY)