Senin, 19 April 2010

Kerja sama BUMN tingkatkan kapasitas bisnis

Rabu, 14/04/2010
JAKARTA : Kementerian BUMN memfasilitasi perjanjian kerja sama antara PT Bank Mandiri Tbk dengan PT Pos Indonesia, dan PT Telkom Indonesia Tbk dengan PT Industri Telekomunikasi untuk peningkatan kapasitas bisnis perusahaan.

Bank Mandiri dengan Pos Indonesia bekerjasama untuk penyediaan layanan perbankan dan pengiriman uang luar negeri (remitansi). Kerja sama ini untuk memperkuat layanan di pasar ritel berupa wesel pos instan yaitu penerusan kiriman uang dari kantor Bank Mandiri di luar negeri. Selain itu, berupa layanan tabungan, layanan kredit mikro dan pembukaan outlet Pos di Bank Mandiri.

Penandatanganan kerja sama dilakukan pagi ini di gedung Kementerian BUMN yang dilakukan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo dengan Dirut PT Pos I Ketut Mardjana yang disaksikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar.

Adapun, kesepakatan PT Telkom dengan PT Inti dilakukan dirut masing-masing yakni Rinaldi Firmansyah dengan Irfan Setiaputra untuk kerja sama jasa penyewaan peralatan olah data (seat management) dan manage service untuk perangkat tersebut.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan sinergi antar-BUMN itu perlu terus ditingkatkan guna memperkuat kinerja dan operasional bisnis yang lebih optimal.

"Kerja sama itu merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman yang dibuat 3 bulan lalu, tentang pemanfaatan potensi dan layanan bersama di antara perusahaan BUMN," katanya dalam penandatanganan nota kerja sama itu hari ini.

Mustafa menyampaikan hubungan sinergis antar-BUMN itu akan memberikan nilai tambah bagi setiap perusahaan serta dapat mendukung pembangunan ekonomi.

Agus Martowardojo mengatakan kerja sama itu untuk memperkuat layanan perbankan ritel guna menjangkau ke pelosok. Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah menyampaikan kerja sama dengan PT Inti dapat meningkatkan layanan bagi pelanggan dan mempermudah khususnya dalam pengelolaan anggaran perusahaan, sehingga dapat lebih fokus pada aktivitas bisnis utama.

Bagi Inti, apabila proyek seat management itu banyak dimanfatkan kalangan perusahaan, pasokan seluruh peralatan bisa disediakan di dalam negeri.(yn/bisnis.com)

Kementerian BUMN evaluasi dana di UKM

Rabu, 24/03/2010
JAKARTA (Bisnis.com): Kementerian BUMN pada tahun ini akan mengevaluasi mekanisme peruntukkan dana yang digulirkan bagi pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM) yang bersumber dari laba perusahaan-perusahaan BUMN.

Menteri BUMN Musatafa Abubakar mengatakan evaluasi akan dilakukan besar-besaran agar penggunaan dana ke depan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) tersebut bisa mencapai sasaran yang lebih tepat.

”Melalui evaluasi tersebut, kami mengharapkan capaian atau sasaran penyaluran dana tersebut bisa dipertajam dan lebih efektif, sehingga manfaatnya bisa terukur dari tahun ketahun,” ujar Mustafa Abubakar sebelum membuka pameran Gelar Karya PKBL BUMN 2010 di Jakarta Convention Center Senayan, hari ini.

Pada akhirnya, dana yang telah terkumpul Rp10 triliun sejak 1989, akan lebih bermanfaat dan terkontribusi dengan tepat yangterbagi pada tiga sisi. Yakni, tanggung jawab sosial kepada masyarakat, program kemitraan dengan jaringan usaha kecil serta bina lingkungan.

Evaluasi dilaksanakan, bukan berarti selama ini penyaluran dana PKBL mengalami kendala. Evaluasi hanya untuk mempertegas pada skala prioritas apa saja yang dinilai vital dalam penyaluran dana dengan bunga rendah maksimal 6% tersebut.

Menurut Mustafa Abubakar, sasarannya mulai tahun ini akan lebih dipertajam ke sector-sektor yang sangat mendesak perodalannya serta memiliki multiflier effect luas bagi masyarakat sekitar perusahaan BUMN beroperasi.

Salah satu penajaman yang akan diprioritaskan adalah peningkatan persentase laba perusahaan BUMN bagi pemberdayaan UKM. Selama inipersentase laba yang disisihkan hanya maksimal 2%. Kementerian BUMN merencanakan menaikkannya di atas 2%.

Saat ini UKM binaan seluruh perusahaan BUMN (137) mencapai 650.000 unit, sedangkan total dana yang telah digulirkan mencapai Rp9,7 triliun. (ln/bisnis.com)

Izin Kuasa Pertambangan milik asing agar dikoreksi

Minggu, 18/04/2010
JAKARTA (Bisnis.com): Pemerintah diimbau mengoreksi kepemilikan asing terhadap kuasa pertambangan (KP) atau izin usaha pertambangan (IUP) batu bara skala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan karena berpotensi bermasalah bagi ketahanan energi nasional dan merugikan kepentingan nasional.

Direktur Indonesia Coal Society (ICS) Singgih Widagdo mengatakan peraturan pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral telah dikeluarkan, sebagai landasan investor untuk datang menggarap potensi investasi tambang batu bara Indonesia.

Namun, tuturnya, jika menyinggung berbagai faktor dinamika industri pertambangan, ada satu aspek yang semestinya pemerintah mengoreksinya, yaitu kepemilikan KP atau IUP (izin usaha pertambangan) skala kecil oleh asing.

Atas pertimbangan kekuatan pasar produk pertambangan dan kekuatan pasar keuangan, tuturnya, kekuatan China dan India diharapkan menjanjikan bagi pelaku usaha pertambangan.

Di sisi lain, tuturnya, pemerintah ingin menarik sebesar-besarnya nilai investasi, bahkan diharaplam Rp2.000 triliun pada 2014.

Namun, katanya, jika aspek mikro dalam ruang investasi tertentu tidak diperhitungkan secara lebih detail, yang akan terjadi adalah kebalikannya yang lebih bernilai negatif.

Dengan membiarkan KP dan IUP dimiliki asing, khususnya China dan India, kontrol terhadap harga dan penetrasi batu bara ke kedua negara tersebut akan menjadi semakin sulit di masa mendatang.

“Jadi semestinya pemerintah segera meninjau kebijakan yang saat ini masih membebaskan kepemilikan asing terhadap KP dan IUP yang ada di Indonesia. Sejauh ini, semua dibebaskan memiliki izin, dengan syarat legal dan berbadan hukum Indonesia,” katanya hari ini.

Singgih menjelaskan dalam industri batu bara, pasar Asia Timur merupakan pasar batubara Indonesia. Dengan pertimbangan jarak dan biaya transportasi laut, pasar Eropa masih didominasi oleh Afrika Selatan dan Kolombia, selain Rusia.

Dengan dinamika pasar yang ada, Afrika Selatan telah menaikkan ekspor batu bara ke India yang tahun sebelumnya sebesar 13,5 % sekarang mendekati sekitar 30% atau sekitar 15 juta ton.

Australia, lanjutnya, sebagai pesaing industri batu bara Indonesia, juga dengan peningkatan kemampuan infrastrukturnya, akan menaikkan kemampuan ekspor batubara (steam coal) dari 146 juta ton tahun ini menjadi 165 juta ton pada 2013.(fh/bisnis.com)

DPR Menilai Kinerja PLN Buruk

Jumat, 16/04/2010
JAKARTA (Bisnis.com): Kinerja keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selama 5 tahun terakhir pada periode 2004-2008 dinilai cenderung buruk, kendati pada 2009 perseroan itu membukukan keuntungan Rp10,35 triliun.

Anggota Komisi VII DPR M. Romahurmuziy mengungkapkan perusahaan listrik pelat merah itu mengalami kerugian cukup signifikan mencapai Rp12,30 triliun pada akhir 2008.

Padahal, pada 2004 perseroan membukukan kerugian sebesar Rp1,74 triliun.

"PLN terus merugi karena beban biaya operasional yang didominasi oleh biaya bahan bakar," ujarnya, hari ini.

Pasalnya, kata dia, rata-rata biaya bahan bakar BUMN listrik itu selama 5 tahun terakhir (2004-2008) sebesar 54%.

Dia mengatakan proporsi bahan bakar PLN pada 2004 sebesar 40%, tetapi pada 2008 membengkak menjadi 62% seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.

Selain karena tingginya biaya bahan bakar, menurut dia, kinerja keuangan PLN menurun juga diakibatkan oleh ketidakkonsistenan BUMN listrik itu dalam menerapkan rencana-rencananya, termasuk penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit.

Dia mencontohkan dari kapasitas pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) dengan total kapasitas sekitar 9.500 MW pada 2009, hanya 40% saja yang memperoleh pasokan gas.

Sementara itu, sekitar 60% masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

"Dengan kondisi tersebut menjadikan BPP [biaya pokok penyediaan] listrik lebih mahal dari seharusnya."

Bila PLN konsisten mendapatkan pasokan gas saja, kata dia, pemerintah juga bisa menghemat hingga Rp18 triliun-Rp20 triliun setiap tahunnya.

Menurut dia, angka penghematan itu dihitung berdasarkan selisih BPP listrik yang diproduksi oleh pembangkit yang menggunakan BBM dengan gas.

Dia mengatakan biaya operasional pembangkit BBM sebesar Rp960 per kWh, sedangkan biaya bahan bakar gas Rp350 per kWh. (wiw/bisnis.com)

Investigasi produk selundupan China berlanjut

Senin, 19/04/2010

JAKARTA: Investigasi dugaan terjadinya penyelundupan produk asal China melalui kegiatan transportasi antarpulau seiring dengan perdagangan bebas Asean—China (ACFTA) masih terus dilakukan.

Ketua Umum Gabungan Forwarder, Logistik, dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Iskandar Zulkarnain mengatakan tim bentukan organisasi ini sedang bekerja mengumpulkan bukti-bukti guna memperkuat dugaan adanya praktek ilegal itu.

Dia menjelaskan sejak awal pihaknya mencurigai sebagian produk asal China masuk ke Indonesia secara tidak sah karena data arus barang yang masuk melalui pelabuhan resmi dalam 3 bulan pasca-ACFTA cenderung tidak sebanding dengan barang di pasar.

Kecurigaan bertambah kuat menyusul stagnannya permintaan pengiriman logistik dalam negeri. "Sektor logistik masih stagnan, padahal produk asal China sudah membanjiri pasar. Kini, tim masih bekerja menginvestigasi dugaan penyelundukan itu," katanya siang ini.

Data PT Pelabuhan Indonesia II menyebutkan arus barang umum dari China yang masuk langsung ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok selama Januari—Maret tahun ini mencapai 105.312 ton atau naik 19,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 88.242 ton.

Adapun, arus peti kemas dari China melalui Pelabuhan Priok selama 3 bulan pertama tahun ini mencapai 52.252 TEUs atau melonjak 27,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 40.879 TEUs.

Zulkifli menjelaskan yang mencurigakan lainnya adalah kenaikan arus barang dari China tidak diikuti oleh pertumbuhan kegiatan pengiriman logistik domestik, terutama dari Jakarta ke daerah sekitarnya.(yn/bisnis.com)

Terkait CAFTA, Kadin minta 228 pos tarif tetap dinegosiasikan

Senin, 19/04/2010
JAKARTA: Kadin Indonesia menegaskan pemerintah harus tetap merundingkan kembali 228 pos tarif dari 14 sektor industri yang dinilai akan terkena dampak negatif dari ACFTA.

“Tetap yang 228 [pos tarif] itu wajib [dinegoisasikan]. Kalau soal perjanjian dagang setiap hari ada pembicaraan,” ujar PjS. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia seusai RDP Komisi VI dengan Kadin, kemarin.

Dia mencontohkan perjanjian dagang bilateral Indonesia-China dilakukan setiap tahun. Beberapa sektor industri, katanya, telah dibicarakan secara bilateral dengan China.

Namun, dalam kerangka Asean, negoisasi tersebut harus persetujuan dari seluruh anggota Asean. “Yang belum bisa dibawa ke Asean, agar dibicarakan terlebih dahulu ke Asean.”

Pada awal pemberlakuan dari ACFTA, terdapat 18 sektor industri yang menyatakan akan terkena dampak negatif dari perjanjian kerja sama perdagangan bebas tersebut.

Sementara itu, Komisi VI DPR meminta dalam pelaksanaan ACFTA tersebut harus ada keputusan yang cepat terkait dengan peningkatan daya saing dan perlindungan pasar dalam negeri termasuk injury (BMAD) yang lebih didahulukan daripada menunggu perumusan kebijakan yang dipandang komprehensif.

Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mukhamad Misbakhun mengatakan keinginan untuk membentuk panitia kerja (panja) ACFTA di komisi VI tersebut semakin tidak jelas.

“Padahal, panja itu akan digunakan untuk semua FTA [kerja sama perdagangan bebas], tidak hanya ACFTA,” katanya.

Melalui panja itu, tuturnya, dapat mengetahui posisi industri di dalam negeri untuk menghadapi negara mitra dagang dalam perdagangan bebas.

Kebijakan-kebijakan apa saja, kata dia, yang diperlukan dalam menghadapi perdagangan bebas dapat dibuat dengan tepat.

Menurut dia, pelaku usaha sekarang tidak lagi antusias untuk meminta renegoisasi 228 pos tarif tersebut, karena telah mendapatkan beberapa insentif.

“Kalau kami melihat dampaknya ACFTA ini sebuah proses, tapi kan jangka panjangnya struktur industri dan perdagangannya seperti apa.”

Dia menjelaskan panja itu seharusnya melihat kesiapan setiap tahapan di semua sektor seperti sektor industri, perdagangan, UKM, tenaga kerja sehingga dapat diketahui posisi saat ini.

“Yang jadi pertanyaan saya, kapan panja dibentuk, itu juga menjadi pertanyaan saya sebagai anggota Komisi VI DPR. Kalau proses pembentukan panja itu, rapat internal komisi, sampai sekarang jadwal rapat internal saja kita enggak punya,” ujarnya.

Dia meminta agar China banyak berinvestasi di Indonesia, karena banyak industri China yang bisa direlokasi.

“Tapi pertanyaannya apa China mau, China masih dalam tahapan penguatan struktur industri mereka, ini kepentingan nasional yang berbenturan.” (wiw/bisnis.com
)

Infrastruktur bukan hanya soal anggaran

Senin, 19/04/2010

Di Asia Timur, peringkat ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik Indonesia jauh tertinggal. Begitu juga dari negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia, kita kalah di semua indikator.

Bahkan juga lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam. Untuk indeks total, kita sedikit lebih baik dalam hal pelabuhan udara, jalan kereta api, dan listrik, namun kalah dalam hal jalan, pelabuhan, dan telepon (ADB, 2007).

Dalam hal daya saing versi IMD World Competitiveness Yearbook 2009, meski indeks total Indonesia naik hampir di seluruh indikator (performa ekonomi, efisiensi pemerintahan, dan efisiensi bisnis), dalam hal infrastruktur justru menurun dalam 5 tahun terakhir.

Itu wajar, mengingat proporsi alokasi dana untuk infrastruktur terhadap PDB hanya sekitar 4% dibandingkan dengan China, Thailand, dan Vietnam yang di atas 7%.

Meski demikian, alokasi APBN untuk infrastruktur terus naik. Pada 2009 alokasi anggaran dua kali lipat dibandingkan dengan 2005 dengan total anggaran Rp321,8 triliun pada 2005-2009 (Kemenko Perekonomian, 2009).

Alokasi anggaran infrastruktur dari pusat ke daerah melalui instrumen dana alokasi khusus juga melonjak, misalnya untuk jalan, irigasi, dan air minum dari semula sedikit di atas Rp1 triliun pada 2004 menjadi hampir Rp7 triliun pada 2008, meski turun jadi Rp6 triliun pada 2009 (Kemenkeu, 2009).

Di tingkat daerah, proporsi dana infrastruktur terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara nasional juga tinggi (36%), di mana secara spesifik 37% di tingkat provinsi, dan 35% APBD kabupaten/kota.

Mencermati angka itu, dari sisi anggaran, komitmen pemerintah dan pemda sudah tinggi. Namun, mengapa persoalan infrastruktur masih dinilai sebagai penghambat utama kinerja usaha, setidaknya menurut penilaian 35% dari 12.187 pelaku usaha di 243 kabupaten/kota yang disurvei KPPOD (2007-2008)?

Dari sisi alokasi anggaran, memang sudah ada peningkatan anggaran, tetapi itu masih kurang, sebagaimana ilustrasi dengan mengambil basis hitungan atas 300.000 km jaringan jalan dengan 40% di antaranya rusak berat dan ringan, diperlukan anggaran 1,5-17 kali lipat dari anggaran saat ini (Danang Parikesit, 2009).

Di sisi lain, masalah infrastruktur bukan hanya soal anggaran. Persoalannya langsung terkait dengan tata ruang wilayah, pertanahan, pembiayaan, dan tata kelola pemerintahan. Dimensinya pun tak hanya dalam ranah pemerintahan, tetapi juga mengait persoalan sosial kemasyarakatan.

Dalam hal tata ruang, hanya empat dari 33 provinsi yang sudah menerbitkan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah berdasarkan UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, yang amat penting tidak saja sebagai kepastian pedoman investasi secara umum, tetapi juga untuk pembangunan infrastruktur.

Mengenai pertanahan, meski kewenangan pemerintah secara nasional, dalam praktiknya terdapat kualitas pelayanan yang amat berbeda antarkantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di satu daerah dengan daerah lainnya (KPPOD-TAF 2007; IFC-KPPOD, 2009).

Soal pembiayaan melalui public-private partnership (PPP) menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Meski pemerintah sudah memiliki dana infrastruktur dan unit manajemen risiko, tata kelola untuk sinergi berbagai potensi pembiayaan tetap sulit, meski banyak pihak menyatakan dana swasta cukup tersedia.

Masalah infrastruktur juga tak lepas dari persoalan umum tata kelola pemerintahan yakni praktik buruk rent seeking. Kementerian lembaga seperti Pekerjaan Umum (PU) yang berdasarkan data Kementerian Keuangan mengelola Rp126 triliun belanja modal infrastruktur untuk jumlah kumulatif 2005-2009, disusul Kementerian Perhubungan (Rp53,5 triliun), dan Kementerian ESDM (Rp25,5 triliun), tentu menghadapi godaan tak kecil untuk menghindari abuse of power.

Soal infrastruktur juga tak lepas dari kecepatan merespons peluang. Dalam PPP Book 2010, dari 100 proyek infrastruktur, hanya satu yang siap ditawarkan (Bisnis Indonesia, 16 April 2010). Ini tentu jauh dari harapan investor.

Berbagai reformasi peraturan dan kebijakan yang diperlukan, serta efisiensi dan efektivitas pemerintahan dalam pengelolaan proyek infrastruktur pemerintah dituntut kecepatannya untuk tidak kehilangan momentum merebut minat investor.

Konteks daerah

Pentingnya infrastruktur untuk peningkatan aktivitas ekonomi juga merupakan perhatian daerah. Besarnya alokasi anggaran di atas mencerminkan hal itu. Di daerah peran infrastruktur juga dipahami sebagai mandat penyediaan pelayanan dasar, yang erat terkait dengan peningkatan akses anak terhadap pendidikan, peningkatan kesehatan ibu, dan penurunan angka kematian (Shakoor et al 2007 dalam Danang Parikesit 2009).

Terkait daya saing infrastruktur untuk menarik investasi, survei KPPOD-BKPM pada 2008 menunjukkan daerah yang berdaya saing infrastruktur tinggi (a.l. Bali, Jateng, Sulut), punya belanja modal infrastruktur cukup tinggi. Sebaliknya daerah berdaya saing infrastruktur rendah (a.l. Papua Barat, Sulbar), punya belanja modal infrastruktur rendah. Ini mengindikasikan komitmen anggaran pemda untuk infrastruktur memberi andil bagi peningkatan daya saing infrastruktur.

Pilihan jenis infrastruktur yang perlu dikembangkan antardaerah tentu berbeda, tergantung kebutuhan spesifik daerah. Secara konseptual ketepatan pilihan ikut menentukan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

Pilihan Kota Solo fokus memperbaiki dan mempercantik jalan-disertai pembenahan pasar tradisional dan objek seni budaya-untuk menjadikan daerahnya sebagai tujuan wisata seni-budaya dan meeting-incentive-conference-exhibition (MICE) tentu punya tujuan dan implikasi berbeda dengan fokus daerah tetangga dekatnya Sragen dalam membenahi infrastruktur perdesaan dan information and communication technology.

Dalam studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada 2005, setiap jenis infrastruktur yang dibangun memberi kontribusi berbeda bagi pertumbuhan ekonomi yakni irigasi (1,26), jalan (0,88), listrik (0,61), telepon (0,61), pelabuhan (0,26), dan air (0,22). Jadi, investasi pemerintah untuk infrastruktur irigasi memberi kontribusi tertinggi. Setiap penambahan infrastruktur irigasi 10% menaikkan produk domestik bruto 1,26%.

Namun, pengaruh infrastruktur berbeda di setiap wilayah. Maka menjadi tugas pemda dan pemerintah pusat untuk menentukan intervensi pembangunan jenis infrastruktur yang paling tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik berbeda setiap daerah.

Itu tak sederhana, mengingat luasnya Indonesia, dana terbatas, otonomi daerah dengan kewenangan luas untuk menentukan arah pembangunan daerah masing-masing-yang mungkin beda dengan prioritas nasional, serta berbagai tantangan efektivitas dan efisiensi pemerintahan berikut peluang penyalahgunaan kekuasaan yang menyertainya.

Di tingkat nasional, meski Kementerian PU mengelola anggaran terbesar untuk infrastruktur, penentuan prioritas harus berdasar kepentingan nasional yang melibatkan kementerian lembaga terkait (Bappenas, Kemenhut, Kementerian ESDM, Kemendagri, dll.), dan pemda.

Mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan infrastructure summit mestinya mampu menghasilkan sinergi pembangunan sektoral dan kewilayahan. Di sisi lain, pemda mestinya meningkatkan kapasitasnya dalam menentukan fokus pembangunan infrastruktur daerahnya, berikut ragam bentuk dan kualitas implementasinya.

Oleh P. Agung Pambudhi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)