Jatuhnya C-130 Hercules di Magetan, Jawa Timur, tentu menimbulkan duka yang mendalam bagi TNI-AU. Dalam rentang waktu sekitar dua bulan, TNI-AU harus kehilangan dua pesawat angkut dan awak-awak terbaiknya. Dalam operasi militer selain perang, tentu kehilangan mesin perang sevital pesawat angkut merupakan kehilangan yang sangat besar. Bahkan, dalam operasi perang pun, kehilangan pesawat angkut sevital Hercules merupakan hal yang cukup merugikan.Kecelakaan di Magetan kemarin (20/5) merupakan kecelakaan Hercules yang fatal dalam sepuluh tahun terakhir. C-130 Hercules milik Indonesia sendiri memang dari segi usia dapat dikatakan uzur. Hal ini diperparah dengan kondisi maintenance yang terbatas. Akibatnya, readiness (tingkat kesiagaan) pesawat menjadi rendah. Jika ditilik dari sejarah, tercatat sudah enam kali (termasuk kejadian Magetan) Hercules mengalami kecelakaan sejak dioperasikan oleh TNI-AU pada dekade 60-an. Kecelakaan pertama terjadi saat Operasi Dwikora, menimpa Hercules dengan nomor registrasi T-1307 yang dipiloti Letkol Djalaludin Tantu. Ketika itu, korban sedikitnya 47 orang. Pasukan Gerak Tjepat (sekarang Korpaskhas) yang dipimpin Kolonel S. Sukani dinyatakan hilang, gugur dalam tugas.Musibah kedua terjadi juga ketika Operasi Dwikora. Diduga, pesawat tertembak oleh kawan sendiri (friendly fire) di Long Bawang, Kalimantan, 17 September 1965. Pesawat dengan nomor registrasi T-1306 itu dipiloti oleh Mayor Soehardjo dan Kapten Erwin Santoso.Musibah ketiga terjadi pada pesawat dengan nomor AI-1322 yang merupakan pesawat intai maritim. Pesawat ini jatuh di Pegunungan Sibayak, Sumatera Utara, dalam rute Medan-Padang. Musibah keempat terjadi pada 5 Oktober 1991. Inilah kecelakaan yang mungkin sangat dikenang. Kecelakaan pesawat yang menewaskan 11 kru, 119 penumpang, dan dua penduduk sipil itu terjadi di Condet setelah pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. Pesawat yang dipiloti oleh Mayor Syamsul tersebut bernomor registrasi A-1324. Musibah kelima terjadi pada 20 Desember 2001 di Lhokseumawe karena overshoot di landasan. Untung, dalam kejadian itu, tidak ada korban jiwa. Kecelakaan keenam adalah kecelakaan di Magetan kemarin.Hercules Masih Layak? Mempertanyakan kelaikan pesawat tentu adalah hal yang paling mendasar dalam penyelidikan kecelakaan sebuah pesawat. Hal ini sesuai dengan ANEX 13 ICAO (panduan internasional tentang standar penyelidikan kecelakaan penerbangan). Hal ini penting karena menerbangkan pesawat yang tidak laik sama saja dengan menerbangkan peti mati.Pertanyaannya kemudian adalah apakah pesawat Hercules yang dimiliki Indonesia laik terbang? Jawabannya bergantung pada perawatan atau maintenance-nya. Perawatan yang minim tentu saja merupakan sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi, Hercules sebagai pesawat angkut merupakan sarana yang vital, baik dalam operasi militer perang maupun operasi militer selain perang.Misi rutin yang biasa dilakukan Hercules adalah misi pengangkutan bahan kebutuhan pokok ke daerah-daerah yang sulit dijangkau dan misi angkutan penumpang umum militer (PAUM). Dari sekian misi rutin itu, tentu kelaikan terbang adalah hal yang sangat mutlak dimiliki Hercules. Sebagai pesawat angkut yang legendaris, Hercules merupakan pesawat yang sangat dapat diandalkan oleh hampir seluruh angkatan udara di dunia.Hercules memang memiliki banyak kehandalan. Selain dapat digunakan dalam landasan yang relatif pendek, Hercules juga memiliki sistem navigasi yang andal. Selain itu, sebagai pesawat kargo, kapasitas angkutnya luar biasa. Tentu itulah alasan utama Hercules masih dipertahankan oleh TNI-AU. Hampir di seluruh dunia tidak ada Hercules yang dipensiunkan, melainkan di-upgrade kapabilitasnya.Tanggung Jawab TNI-AU Tentu ada sebuah pertanyaan mendasar, kenapa kecelakaan pesawat TNI-AU justru "dominan" di tahun 2009 ini? Apa yang salah dengan sistem keselamatan terbang Angkatan Udara kita? Untuk menjawabnya, tentu kita mesti menilik semua faktor mengenai sebab kecelakaan dan sistem yang digunakan.Kurang dari sebulan lalu, Fokker 27 TNI-AU mengalami crash di Bandung. Hampir bisa dipastikan bahwa penyebab crash tersebut adalah buruknya cuaca. Beberapa waktu lalu, saat mendarat di Timika, Hercules juga mengalami "lepas ban" dan kini Hercules jatuh di sekitar Magetan. Insiden dan aksiden itu tentu tidak lepas dari sistem yang diterapkan TNI-AU dalam menyelidiki setiap aksiden dan insiden.TNI-AU dalam menyelidiki kecelakaan atau insiden mengandalkan Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat (PPKP) yang sifatnya internal. Hal ini memang punya dua sisi yang bertolak belakang, positif dan negatif. Positifnya bisa jadi penyebab kecelakaan adalah hal yang masuk kategori "harus dirahasiakan" sehingga jika ada hal yang mungkin tidak boleh diketahui awam, maka itu akan aman. Negatifnya, rakyat tidak pernah tahu secara detail apa sebenarnya yang terjadi dalam kecelakaan pesawat yang dibeli dan dipelihara dengan uang mereka itu.Tentu, dalam penyelidikan oleh PPKP yang sifatnya internal, kita tidak bisa tahu lebih dalam detilnya suatu kecelakaan pesawat TNI-AU. Rakyat hanya tahu kesimpulan penyebab jatuhnya, apakah cuaca, awak, ataukah mesin. Nah, di situlah perlu ada sebuah tanggung jawab yang secara tulus dijelaskan oleh pimpinan TNI-AU selaku penanggung jawab operasi Hercules.Alasan TNI-AU mungkin akan sangat rasional atas semua insiden dan aksiden yang terjadi. Dan itu mudah ditebak: masalah anggaran. Memang anggaran yang minim bagi TNI, khususnya TNI-AU, mengakibatkan kesulitan dalam pengadaan suku cadang. Imbasnya, perawatan hampir semua pesawat TNI-AU menjadi terbatas. Hal ini sangat tidak sebanding dengan beban operasi yang harus ditanggung TNI-AU yang harus melaksanakan operasi militer perang dan operasi militer selain perang.Jika memang itu penyebabnya, kini kita hanya berharap, kecelakaan Hercules itu adalah yang terakhir dalam sejarah pengoperasiannya di Indonesia. Namun, harapan itu tidak akan pernah bisa jadi kenyataan kalau perawatan "si Anak Dewa'' itu dilakukan secara terbatas.
Oleh : M. Wiman Wibisana, peminat penerbangan, mantan ketua Saka Dirgantara Lanud Ngurah Rai
Sumber : Jawa Pos.com
Politik Pragmatis Partai Islam
Dari tiga pasangan capres-cawapres yang akan bertarung dalam pilpres mendatang, hanyalah pasangan SBY-Boediono yang mendapatkan dukungan secara struktural dari partai-partai Islam. Dua pasangan lain hanya didukung oleh partai masing-masing (Golkar-Hanura untuk JK-Win dan PDIP-Gerindra untuk Mega-Pro). Pertanyaannya adalah seberapa signifikan dukungan suara yang dapat diberikan oleh partai-partai Islam kepada pasangan SBY-Boediono? Penulis cenderung menjawab pertanyaan di atas secara negatif. Dengan kata lain, partai-partai Islam di kubu SBY-Boediono tidak akan mampu memberikan dukungan suara secara signifikan bagi pasangan itu.Meski demikian, pasangan SBY-Boediono tetap berpeluang menang dalam pilpres mendatang. Sejauh ini popularitas SBY tetap tinggi, bahkan paling berpeluang menang jika dibandingkan dengan dua pasangan lain. Bila hal itu benar-benar terjadi, citra SBY bisa dipastikan sebagai faktor utama kemenangan pasangan SBY-Boediono.Tiga Faktor Setidak-tidaknya, ada tiga faktor utama bagi "keroposnya" suara partai-partai Islam. Pertama, perpecahan di internal partai-partai Islam, seperti PKS, PPP, dan PAN. Walaupun terkesan ditutup-tutupi, perpecahan di tiga partai berbasis Islam itu kian "menganga" belakangan ini, terutama sesudah pemilihan Boediono sebagai cawapres SBY. Satu-satunya partai berbasis Islam yang solid dalam mendukung SBY-Boediono adalah PKB. Sayang, dalam pemilu kali ini perolehan suara PKB anjlok, terutama jika dibandingkan dengan perolehan PKB pada Pemilu 2004. Harus diakui, Gus Dur adalah faktor penentu bagi PKB. Anjloknya suara PKB dalam pemilu sekarang tidak lepas dari pengaruh Gus Dur yang praktis tidak ada dalam pemilu sekarang. Kedua, pengalaman Pilpres 2004. Hasil pilpres secara langsung pada 2004 menghadirkan makna baru di jagat perpolitikan tanah air. Mesin politik partai acap hancur-lebur di hadapan kekuatan citra capres-cawapres. Kemenangan pasangan SBY-JK pada Pilpres 2004 cukup menjadi bukti bagi kuatnya citra capres-cawapres. Padahal, pasangan SBY-JK saat itu tidak didukung oleh partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP.Lebih dari itu, kekuatan citra capres-cawapres mampu melepaskan ikatan-ikatan primordial yang selama ini berlaku dalam percaturan politik, baik ikatan primordial dalam arti ormas, partai, aliran, atau bahkan agama sekalipun. Pilpres secara langsung memangkas "jembatan-jembatan" politik kepada masyarakat. Pada era sebelumnya, "jembatan-jembatan" politk itu dikuasai oleh partai-partai politik ataupun ormas. Dalam pilpres secara langsung, masyarakat dapat menilai dan memutuskan pilihan politiknya secara lebih "merdeka".Ketiga, kecilnya perolehan suara partai-partai Islam, terutama jika dibandingkan dengan perolehan suara partai-partai naionalis. Di era reformasi, partai-partai Islam praktis tidak pernah menang, seperti dalam Pemilu 1998 dan Pemilu 2004. Prestasi paling gemilang yang dicapai partai-partai Islam di era reformasi hanyalah mampu mengisi jajaran kelas menengah seperti dalam pemilu sekarang.Sudah sepantasnya partai-partai Islam mengambil pelajaran berarti dari fakta di atas. Bukan semata-mata karena kekalahan yang diderita partai-partai Islam dalam pemilu sekarang, lebih dari itu, karena perolehan suara partai-partai Islam terus turun dari pemilu ke pemilu.Makna Lain Dalam konteks pilpres mendatang, tiga hal di atas mempunyai makna penting yang harus dicermati bersama. Intinya, partai-partai Islam tidak akan mampu menambah dukungan suara secara signifikan bagi pasangan SBY-Boediono. Hampir mustahil kubu SBY-Boediono tidak memahami makna itu. Lebih mustahil lagi bila kalangan partai Islam tidak memahami makna di atas.Karena itu, bisa dipastikan ada ''makna lain" di balik bergabungnya partai-partai Islam ke kubu SBY-Boediono. Sebagaimana kubu SBY-Boediono juga dipastikan menghendaki "makna lain" (di luar dukungan suara) dari partai-partai Islam.Bagi partai-partai Islam, makna lain tersebut adalah mendapatkan jatah kekuasaan dalam pemerintahan SBY-Boediono. Berdasar prediksi pelbagai macam lembaga survei, SBY masih diunggulkan untuk menjadi pemenang pilpres mendatang. Hal itu berarti kepentingan politik pragmatis jauh lebih baik disandarkan kepada kubu SBY ketimbang ke dua kubu lain (JK dan Mega).Bila prediksi di atas benar, sikap politik partai-partai Islam yang "berbondong-bondong" merapat ke kubu SBY semakin mempertajam nuansa politik pragmatis mereka. Bila itu yang terjadi, partai-partai Islam sebenarnya telah menjual sesuatu yang sangat mahal (ideologi) dengan harga yang sangat murah (jabatan). Secara jangka panjang, "transaksi" di atas sangat merugikan. Partai-partai Islam akan kehilangan kepercayaan masyarakat yang secara fanatik mendukung mereka. Partai-partai Islam yang dianggap bertumpu pada nilai-nilai religius akan kehilangan "ciri khasnya" itu.Bagi kubu SBY-Boediono, makna lain di atas adalah menciptakan kekuatan politik di parlemen yang akan sangat menentukan bagi laju pemerintahan mendatang (tentu saja bila SBY-Boediono memenangkan pertarungan pilpres mendatang). Itulah yang membuat kubu SBY tetap berkoalisi dengan partai-partai Islam. Mengingat gabungan kursi partai-partai Islam di parlemen sangat menentukan bagi terbentuknya kekuatan politik yang akan siap "pasang badan" untuk memuluskan kinerja pemerintahan SBY-Boediono di "meja parlemen".Kubu SBY, tampaknya, tidak mau terjebak pada jurang yang sama. Sebab, berdasar pengalaman pemerintahan SBY selama ini, sikap politik parlemen acap "merong-rong" kebijakan pemerintah. Cukup ironis karena ''rong-rongan" seperti itu juga dilakukan oleh anggota dewan yang berasal dari partai pendukung SBY.Pertanyaannya adalah apakah partai-partai Islam pendukung SBY-Boediono saat ini tidak akan melakukan hal yang sama di masa-masa mendatang? Hanya waktu-waktu ke depan yang akan memberikan jawaban pasti.
Hasibullah Satrawi, Peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Sumber : Jawa Pos.com
Satpol PP Zalimi Orang Kecil
Kasus arogansi petugas satpol PP harus menjadi perhatian kita semua. Sebab, sudah berkali-kali petugas satpol PP melakukan tindakan yang berlawanan dengan hak asasi manusia. Kasus seorang bayi yang tersiram kuah bakso karena razia penertiban PKL di Surabaya belum lama ini merupakan contoh konkret ''kezaliman'' satpol PP. PKL yang selalu diidentikkan sebagai kelompok sosial bermasalah terkait dengan pembentukan ''wajah kota'' itu juga manusia. Mereka harus dimanusiakan. Aktivitas mereka sebagai PKL adalah untuk ''memanusiakan'' diri, istri, dan anak-anaknya.Sebagai kelompok ''pekerja kekuasaan'' di lingkungan pemerintahan daerah (pemda), satpol PP tidak seharusnya mengobral kezaliman. Mereka harus mengendalikan emosi atau mencerdaskan nalar ketika berhubungan dengan PKL yang notabene adalah masyarakat kecil.Nur Farida, pegawai UIN Malang, Jl MT Harjono 193, FH Unisma, Malang
Pendidikan Gratis dan Nasib Sekolah Swasta
Kampanye pendidikan gratis melalui slogan ''sekolah harus bisa'' yang dicanangkan pemerintah benar-benar menyisakan persoalan serius bagi sekolah swasta. Sebab, sekolah swasta banyak mengandalkan donasi pendidikan dari masyarakat, termasuk wali siswa. Tegasnya, pertumbuhan dan perkembangan pendidikan swasta selama ini sangat bergantung pada komitmen kelompok-kelompok di masyarakat yang menjadi stakeholder sekolah. Sejarah perkembangan sekolah swasta juga selalu tumbuh dari masyarakat. Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta yang kini menjelma menjadi besar dan mapan berasal dari wakaf seseorang yang kemudian dikelola dan dikembangkan dengan baik oleh pengurusnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa eksistensi sekolah swasta sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh militansi perjuangan guru, kepala sekolah, serta para pengurusnya.Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi bagian dari bidang yang dapat dikelola secara profit. Fenomena itu dapat diamati melalui beberapa sekolah swasta yang tumbuh dan berkembang dengan dimodali sekelompok orang kaya yang bergabung dalam suatu yayasan pendidikan. Segala kebutuhan operasional pendidikan sekolah itu ditanggung yayasan. Sebagai timbal balik, yayasan mewajibkan siswa membayar donasi pendidikan yang telah ditentukan. Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta tersebut berhasil menjadi lembaga pendidikan berkategori besar dan mapan. Sekolah berkategori itu kemudian berani menentukan biaya pendidikan dalam jumlah sangat tinggi. Yang dijual sekolah swasta berkategori itu adalah layanan akademik dan nonakademik yang memuaskan. Bahkan, dapat dikatakan layanan yang diberikan telah melebihi standar yang ditentukan pemerintah. Bagi sekolah swasta berkategori besar dan mapan, kampanye pendidikan gratis barangkali tidak banyak berpengaruh. Sebab, sekolah berkategori itu biasanya telah memiliki pelanggan tersendiri. Mayoritas pelanggan sekolah tersebut adalah kelompok menengah ke atas.Persoalan donasi pendidikan bagi stakeholder sekolah swasta berkategori besar dan mapan tentu tidak lagi menjadi masalah. Bahkan, sebagian besar stakeholder sekolah itu meyakini bahwa lembaga pendidikan yang berkualitas memang seharusnya dijual dengan harga mahal. Sebaliknya, lembaga pendidikan yang dijual murah biasanya berkualitas rendah. Karena itu, mereka tidak pernah mempersoalkan mahalnya biaya pendidikan. Sebab, bagi mereka, yang penting adalah kepuasan siswa dan orang tua karena mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Tapi, rasanya masih sangat sedikit sekolah swasta yang berkategori besar dan mapan. Kebanyakan sekolah swasta yang ada saat ini berkategori menengah ke bawah. Bahkan, bisa dikatakan mayoritas sekolah swasta berkategori kecil dengan fasilitas seadanya. Biasanya, donasi pendidikan sekolah bertipe itu bersumber dari masyarakat dan pemerintah. Dana dari masyarakat dihimpun melalui tarikan dalam bentuk SPP, dana pembangunan, sumbangan kegiatan pembelajaran intra dan ekstra kurikuler, serta donatur stakeholder. Sedangkan dana bantuan pemerintah diterima dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS) dan beberapa block grant untuk pengembangan sarana-prasarana. Akibat adanya kampanye pendidikan gratis, mayoritas sekolah swasta berkategori kecil harus membebaskan siswa dari segala bentuk tarikan. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah menganggap telah banyak memberikan bantuan operasional pendidikan, termasuk kepada seluruh sekolah swasta. Yang menjadi persoalan sekolah swasta berkategori kecil adalah jika bantuan pemerintah tidak diterima secara rutin. BOS memang diberikan setiap bulan berdasar jumlah siswa. Tapi, berdasar pengalaman beberapa sekolah, BOS tidak pasti keluar setiap bulan. Bahkan, terkadang pencairan dana BOS mengikuti jadwal pemerintah dalam pencairan anggaran dalam setiap tahun. BOS juga menghadirkan persoalan bagi sekolah swasta yang memiliki jumlah rombongan belajar kecil. Jika mengandalkan BOS, tentu tidak mencukupi kebutuhan menggaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Belum lagi dana operasional sekolah yang secara berkala harus dikeluarkan. Fakta itu jelas menunjukkan problem riil yang dihadapi sekolah swasta ketika berhadapan dengan kampanye pendidikan gratis.Tantangan terbesar yang segera dihadapi sekolah swasta berkaitan dengan kampanye pendidikan gratis adalah musim pendaftaran siswa baru (PSB) yang kini sedang dilaksanakan. Saat PSB ini, sekolah swasta harus bersaing memperebutkan siswa baru dengan sekolah pemerintah dan sekolah swasta lain. Sekolah pemerintah dengan daya tarik SPP gratis, buku pelajaran gratis, dan seragam sekolah gratis akan tetap menjadi primadona bagi masyarakat.Dengan posisi seperti ini, sekolah pemerintah akan berada di atas angin. Bahkan, sekolah pemerintah bisa dengan mudah memperoleh siswa baru yang berkualitas melalui sistem seleksi yang sangat ketat. Sedangkan sekolah swasta harus mau menerima kenyataan mendapatkan siswa baru dengan kualitas seadanya.Bagi sekolah swasta, memperoleh siswa baru sesuai kuota yang ditetapkan tentu harus disyukuri. Sebab, ada banyak sekolah swasta yang harus menerima kenyataan tidak memperoleh jumlah siswa sebagaimana yang diharapkan.Bagi sekolah swasta, jumlah siswa akan sangat menentukan besaran dana operasional yang dapat dihimpun. Jika jumlah siswa berlebih, dipastikan pemasukan dana akan cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Bahkan, sebagian dana bisa dimanfaatkan untuk berinvestasi guna mengembangkan sekolah. Tapi, jika jumlah siswa berkurang, pengurus harus berusaha mencari kekurangan dana. Kondisi terakhir itulah yang dialami mayoritas sekolah swasta berkategori menengah ke bawah. Fakta tersebut telah menyebabkan banyak sekolah swasta mempertaruhkan eksistensinya saat musim PSB tiba.Berkaitan dengan kampanye pendidikan gratis, yang perlu dilakukan sekolah pemerintah adalah berempati pada sekolah swasta ketika melakukan PSB. Sekolah pemerintah dengan fasilitas sekolah gratis harus bisa menahan diri untuk tidak terlalu bernafsu memperoleh siswa sebanyak mungkin. Yang perlu dilakukan adalah menerima siswa sesuai fasilitas yang tersedia. Calon siswa yang tidak diterima di sekolah pemerintah bisa memilih sekolah swasta sesuai yang dikehendaki.Sikap berempati ini perlu dikembangkan. Sebab, tidak mungkin fasilitas sekolah pemerintah mampu menampung seluruh siswa. Di sinilah fungsi sekolah swasta sebagai partner sekolah pemerintah bisa bersinergi melakukan tugas mulia yang diamanahkan konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih dari itu, yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah mendistribusikan anggaran 20 persen pendidikan secara lebih proporsional dan berkeadilan bagi sekolah pemerintah dan sekolah swasta. Jika sikap berempati itu tidak dijalankan, berarti pemerintah telah membunuh kiprah sekolah wasta.
Oleh : Biyanto, dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen PWM Jatim
Sumber : Jawa Pos.com