Menjawab Tiga Agenda Mendesak Otoda Malam nanti, dalam debat capres putaran terakhir, akan diukur seberapa besar komitmen mereka terhadap kebijakan otonomi daerah (otoda). Masyarakat akan menilai siapa yang lebih prootonomi. Siapa tahu penilaian itu akan signifikan bagi keterpilihan kandidat. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia berada di daerah, bukan di Jakarta? Oleh: Redhi Setiadi--- OTONOMI daerah adalah salah satu buah reformasi 1998. Saat itu berkembang wacana tiga pilihan politik dalam menyikapi hubungan pusat dengan daerah. Yakni, O (otonomi luas), F (federal), dan M (merdeka). Semua daerah di Jawa dan beberapa daerah miskin sumber daya alam di luar Jawa lebih memilih O. Beberapa daerah luar Jawa yang kaya sumber daya alam menghendaki F. Sedangkan tiga daerah yang berada di ujung-ujung negeri ini menghendaki M. Yakni, Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur. Tuntutan federasi diredam dengan tawaran otoda seluas-luasnya. Sedangkan keinginan lepas dengan NKRI hanya dipenuhi bagi Timor Timur. Irian Jaya dan DI Aceh akhirnya diberi otonomi khusus (otsus). Salah satu penyebab ketidakpuasan daerah itu adalah tidak meratanya distribusi pendapatan antara pusat dan daerah. Jakarta, yang tidak mempunyai sumber daya alam, justru lebih maju jika dibandingkan dengan Riau, Kaltim, Papua, Aceh, dan Bali. Ketimpangan ekonomi itu berlangsung puluhan tahun sebagai akibat dari penerapan politik sentralisasi Orde Baru. Kala itu, Jakarta menjadi penentu segala urusan di daerah. Mulai hal yang remeh-temeh hingga politik luar negeri. Misalnya, pusat terlibat mengurusi pembangunan sekolah-sekolah di pedesaan, jalan poros desa, hingga mengelola kekayaan alam yang melimpah dari Sabang sampai Merauke. Pusat terbukti kedodoran mengelola segala urusan itu. Jakarta tidak saja terlalu besar untuk mengurusi masalah kecil, tetapi juga terlalu kecil untuk mengurusi masalah besar. Otoda menawarkan solusi atas kedodoran sentralisasi itu. Namun, bukan berarti ia berjalan tanpa hambatan. Ada beberapa kekurangan (lack) dalam pelaksanaannya yang membutuhkan kejelasan visi dari pimpinan nasional. Karena itu, perlu kiranya menjadi bahan pertanyaan bagi para capres yang akan berkompetisi 8 Juli nanti. Lack of Commitment Setidaknya ada tiga penyebab tidak mulusnya otoda yang sudah memasuki tahun kedelapan ini. Pertama, kurangnya komitmen (lack of commitment) pemerintah pusat. Itu diawali dengan dihapuskannya Kementerian Otoda pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Selanjutnya, otoda hanya ditangani seorang Dirjen di Depdagri. Akibatnya, otoda tidak lagi menjadi batu penjuru bagi kebijakan nasional yang lain. Komitmen itu semakin pudar ketika pusat menarik kembali beberapa kewenangan yang sudah didaerahkan lewat peraturan pemerintah (PP), instruksi presiden (inpres), peraturan menteri (permen), dan surat edaran (SE) menteri. Kemunduran otoda itu terjadi di bidang pertanahan, keuangan, kehutanan, pendidikan, investasi, kesehatan, dsb. Departemen pun masih berpikir sektoral. Akibatnya, beberapa kebijakan justru bertentangan dengan semangat desentralisasi dan UU Otoda. Masih banyak pejabat pusat yang berpikir bahwa otoda hanya menjadi urusan Depdagri. Karena itu, kebijakan yang dikeluarkan sering tumpang tindih dengan otoda. Dalam praktiknya, daerah pun dibuat bingung dengan tidak padunya visi antarinstansi pusat tersebut. Karena itu, para capres harus ditantang apa agenda mereka untuk mengembalikan otoda sebagai penjuru bagi kebijakan nasional lainnya. Lack of Regulation Masalah kedua terkait aturan pelaksanaan yang tidak memadai (lack of regulation). UU Otoda membutuhkan ratusan peraturan pelaksanaan dalam implementasinya. Namun, hingga kini, beberapa aturan tersebut tidak kunjung diterbitkan. Bisa jadi, itu terjadi karena otoda hanya diurus oleh pejabat setingkat Dirjen sehingga tidak mempunyai lobi politik yang memadai. Akibatnya, beberapa peraturan pelaksana yang harusnya segera dibuat untuk mengawal pelaksanaan otoda menjadi terbengkalai. Salah satu yang saat ini mendesak untuk dibuat adalah peraturan pelaksanaan tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Tidak adanya aturan tersebut menyebabkan fungsi gubernur menjadi semu. Meski dipilih langsung oleh rakyat, fungsi gubernur secara praksis sudah diambil alih pemerintah kabupaten-kota. Pemkab-pemkot pun lebih sering berkonsultasi ke pusat daripada ke gubernur.Ketidakjelasan aturan pelaksana itu akhirnya menimbulkan sejumlah praktik buruk (bad practices) otonomi daerah. Misalnya, maraknya korupsi di daerah, terbitnya perda bermasalah, tidak sinkronnya perencanaan antara pusat dan daerah, dan perebutan kewenangan antara kabupaten-kota, provinsi, dan pusat. Karena itu, strategi para capres untuk menyelesaikan ketidakjelasan serta pertentangan aturan itu perlu juga ditanyakan oleh moderator dalam debat nanti malam. Lack of Supervision Maraknya bad practices otoda juga tidak lepas dari lemahnya supervisi (lack of supervision) dari pemerintah pusat. Supervisi meliputi pengawasan, bimbingan, monitoring, dan evaluasi. Kewenangan daerah yang besar secara tiba-tiba tidak diimbangi dengan supervisi yang memadai dari pusat.Akibatnya, pemerintah daerah menggunakan cara trial and error dalam membuat kebijakan. Munculnya perda-perda bermasalah yang bernuansa pungutan menjadi bukti lemahnya supervisi pusat. Bahkan, hingga saat ini pun pemerintah belum melaksanakan monitoring dan evaluasi yang memadai atas pelaksanaan otoda. Pemerintah justru lebih senang mengutak-atik ulang (baca: revisi) UU Otoda daripada melakukan monitoring dan evaluasi terlebih dulu.Contoh paling aktual adalah soal pemekaran daerah. Evaluasi yang dijanjikan tak kunjung dilaksanakan. Padahal, sudah ada dua instrumen hukum untuk melakukan itu. Yakni, PP 78/2007 dan PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Namun, PP tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Baru sepertiga saja dari isi PP 78/2007 yang sudah ditegakkan, yakni soal pembentukan daerah baru. Sedangkan penghapusan dan penggabungan daerah belum ada bukti empiris yang bisa dicatat.Evaluasi itu penting untuk mengukur kemampuan daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hasilnya bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi penghapusan dan penggabungan daerah.Bagaimana solusi para capres soal lemahnya supervisi itu? Dan, bagaimana sikap mereka soal pemekaran daerah? Semoga moderator tidak lupa menanyakan itu. *)
Redhi Setiadi , peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi
sumber : jawapos.com