Kamis, 02 Juli 2009

Jelang Debat Pemungkas; Menimbang Presiden yang Prootonomi (3-Habis)

Menjawab Tiga Agenda Mendesak Otoda Malam nanti, dalam debat capres putaran terakhir, akan diukur seberapa besar komitmen mereka terhadap kebijakan otonomi daerah (otoda). Masyarakat akan menilai siapa yang lebih prootonomi. Siapa tahu penilaian itu akan signifikan bagi keterpilihan kandidat. Bukankah sebagian besar penduduk Indonesia berada di daerah, bukan di Jakarta? Oleh: Redhi Setiadi--- OTONOMI daerah adalah salah satu buah reformasi 1998. Saat itu berkembang wacana tiga pilihan politik dalam menyikapi hubungan pusat dengan daerah. Yakni, O (otonomi luas), F (federal), dan M (merdeka). Semua daerah di Jawa dan beberapa daerah miskin sumber daya alam di luar Jawa lebih memilih O. Beberapa daerah luar Jawa yang kaya sumber daya alam menghendaki F. Sedangkan tiga daerah yang berada di ujung-ujung negeri ini menghendaki M. Yakni, Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur. Tuntutan federasi diredam dengan tawaran otoda seluas-luasnya. Sedangkan keinginan lepas dengan NKRI hanya dipenuhi bagi Timor Timur. Irian Jaya dan DI Aceh akhirnya diberi otonomi khusus (otsus). Salah satu penyebab ketidakpuasan daerah itu adalah tidak meratanya distribusi pendapatan antara pusat dan daerah. Jakarta, yang tidak mempunyai sumber daya alam, justru lebih maju jika dibandingkan dengan Riau, Kaltim, Papua, Aceh, dan Bali. Ketimpangan ekonomi itu berlangsung puluhan tahun sebagai akibat dari penerapan politik sentralisasi Orde Baru. Kala itu, Jakarta menjadi penentu segala urusan di daerah. Mulai hal yang remeh-temeh hingga politik luar negeri. Misalnya, pusat terlibat mengurusi pembangunan sekolah-sekolah di pedesaan, jalan poros desa, hingga mengelola kekayaan alam yang melimpah dari Sabang sampai Merauke. Pusat terbukti kedodoran mengelola segala urusan itu. Jakarta tidak saja terlalu besar untuk mengurusi masalah kecil, tetapi juga terlalu kecil untuk mengurusi masalah besar. Otoda menawarkan solusi atas kedodoran sentralisasi itu. Namun, bukan berarti ia berjalan tanpa hambatan. Ada beberapa kekurangan (lack) dalam pelaksanaannya yang membutuhkan kejelasan visi dari pimpinan nasional. Karena itu, perlu kiranya menjadi bahan pertanyaan bagi para capres yang akan berkompetisi 8 Juli nanti. Lack of Commitment Setidaknya ada tiga penyebab tidak mulusnya otoda yang sudah memasuki tahun kedelapan ini. Pertama, kurangnya komitmen (lack of commitment) pemerintah pusat. Itu diawali dengan dihapuskannya Kementerian Otoda pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Selanjutnya, otoda hanya ditangani seorang Dirjen di Depdagri. Akibatnya, otoda tidak lagi menjadi batu penjuru bagi kebijakan nasional yang lain. Komitmen itu semakin pudar ketika pusat menarik kembali beberapa kewenangan yang sudah didaerahkan lewat peraturan pemerintah (PP), instruksi presiden (inpres), peraturan menteri (permen), dan surat edaran (SE) menteri. Kemunduran otoda itu terjadi di bidang pertanahan, keuangan, kehutanan, pendidikan, investasi, kesehatan, dsb. Departemen pun masih berpikir sektoral. Akibatnya, beberapa kebijakan justru bertentangan dengan semangat desentralisasi dan UU Otoda. Masih banyak pejabat pusat yang berpikir bahwa otoda hanya menjadi urusan Depdagri. Karena itu, kebijakan yang dikeluarkan sering tumpang tindih dengan otoda. Dalam praktiknya, daerah pun dibuat bingung dengan tidak padunya visi antarinstansi pusat tersebut. Karena itu, para capres harus ditantang apa agenda mereka untuk mengembalikan otoda sebagai penjuru bagi kebijakan nasional lainnya. Lack of Regulation Masalah kedua terkait aturan pelaksanaan yang tidak memadai (lack of regulation). UU Otoda membutuhkan ratusan peraturan pelaksanaan dalam implementasinya. Namun, hingga kini, beberapa aturan tersebut tidak kunjung diterbitkan. Bisa jadi, itu terjadi karena otoda hanya diurus oleh pejabat setingkat Dirjen sehingga tidak mempunyai lobi politik yang memadai. Akibatnya, beberapa peraturan pelaksana yang harusnya segera dibuat untuk mengawal pelaksanaan otoda menjadi terbengkalai. Salah satu yang saat ini mendesak untuk dibuat adalah peraturan pelaksanaan tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Tidak adanya aturan tersebut menyebabkan fungsi gubernur menjadi semu. Meski dipilih langsung oleh rakyat, fungsi gubernur secara praksis sudah diambil alih pemerintah kabupaten-kota. Pemkab-pemkot pun lebih sering berkonsultasi ke pusat daripada ke gubernur.Ketidakjelasan aturan pelaksana itu akhirnya menimbulkan sejumlah praktik buruk (bad practices) otonomi daerah. Misalnya, maraknya korupsi di daerah, terbitnya perda bermasalah, tidak sinkronnya perencanaan antara pusat dan daerah, dan perebutan kewenangan antara kabupaten-kota, provinsi, dan pusat. Karena itu, strategi para capres untuk menyelesaikan ketidakjelasan serta pertentangan aturan itu perlu juga ditanyakan oleh moderator dalam debat nanti malam. Lack of Supervision Maraknya bad practices otoda juga tidak lepas dari lemahnya supervisi (lack of supervision) dari pemerintah pusat. Supervisi meliputi pengawasan, bimbingan, monitoring, dan evaluasi. Kewenangan daerah yang besar secara tiba-tiba tidak diimbangi dengan supervisi yang memadai dari pusat.Akibatnya, pemerintah daerah menggunakan cara trial and error dalam membuat kebijakan. Munculnya perda-perda bermasalah yang bernuansa pungutan menjadi bukti lemahnya supervisi pusat. Bahkan, hingga saat ini pun pemerintah belum melaksanakan monitoring dan evaluasi yang memadai atas pelaksanaan otoda. Pemerintah justru lebih senang mengutak-atik ulang (baca: revisi) UU Otoda daripada melakukan monitoring dan evaluasi terlebih dulu.Contoh paling aktual adalah soal pemekaran daerah. Evaluasi yang dijanjikan tak kunjung dilaksanakan. Padahal, sudah ada dua instrumen hukum untuk melakukan itu. Yakni, PP 78/2007 dan PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Namun, PP tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Baru sepertiga saja dari isi PP 78/2007 yang sudah ditegakkan, yakni soal pembentukan daerah baru. Sedangkan penghapusan dan penggabungan daerah belum ada bukti empiris yang bisa dicatat.Evaluasi itu penting untuk mengukur kemampuan daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hasilnya bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi penghapusan dan penggabungan daerah.Bagaimana solusi para capres soal lemahnya supervisi itu? Dan, bagaimana sikap mereka soal pemekaran daerah? Semoga moderator tidak lupa menanyakan itu. *)
Redhi Setiadi , peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi
sumber : jawapos.com

Pekerja ditindasmainstream kapitalisme Pembenahan kelembagaan ekonomi mikro harus jadi prioritas

Kapitalisme selalu menggunakan indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi untuk menilai perbaikan, tetapi tidak peduli terhadap sumbangan sektoral dan pergeseran dalam distribusi.Sebenarnya tidak seluruh indikator makroekonomi memperlihatkan angka-angka yang menggembirakan. Contoh nyata, kemiskinan dan pengangguran bukanlah variabel yang dapat menerima dampak dari pertumbuhan ekonomi karena lebih bersifat akibat.Angka pengangguran misalnya, belum berhasil ditekan secara berarti oleh adanya pertumbuhan ekonomi. Jumlah orang menganggur masih besar, sebanyak 11 juta orang pada 2006.Berarti, secara persentase pun masih tergolong tinggi, masih sekitar 10,4% dari jumlah seluruh angkatan kerja adalah pengangguran.Perubahan drastis dalam perekonomian dunia yang menghadapkan semua pihak pada fakta tiba-tiba bahwa telah terjadi krisis ekonomi dan keuangan, yang akhirnya membuat keraguan atas mangkusnya sistem kapitalisme-neoliberalisme.Terlebih, hal itu diperkuat oleh kebijakan penyelesaian krisis Amerika Serikat yang dikenal sebagai jantung perekonomian dunia melalui campur tangan pemerintahan Barack Obama dengan paket stimulus US$787 miliar.Maka, secara langsung kebijakan itu telah pula menegaskan kedigdayaan sistem kapitalisme dalam menyelesaikan permasalahannya secara mandiri melalui pasar.Krisis saat ini mengingatkan kita pada kejadian great depression sekitar 1930-an dengan sistem liberalisme, yang mengagungkan pasar ketimbang negara, dikoreksi tajam.Adalah John Maynard Keynes yang menggeledah kesalahan-kesalahan asumsi liberalisme klasik. Pasar yang dibiarkan bebas bergerak tanpa intervensi negara, menurut dia, tidak akan menemukan titik ekuilibrium-nya.Keyakinan kaum liberalis bahwa tanpa campur tangan negara, pasar dalam jangka panjang akan menciptakan titik keseimbangannya sendiri disanggah Keynes.Menurutnya, in the long run we are all dead (dalam jangka panjang kita semua akan mati). Kita akan mati sebelum pasar dapat mewujudkan hukum keseimbangannya.Karena itu, sebelum semua orang tergeletak di liang kubur, negara harus bertindak. Caranya, negara harus membuat proyek yang bisa menyerap tenaga kerja dan menjalankan investasi sosial. Dari peristiwa great depression, pendulum paradigma ekonomi bergeser, dari liberalisme klasik ke manajemen makroekonomi Keyneysian.Bukan tidak mungkin kejadian seperti great depression akan berulang apabila penyelesaian yang digunakan tidak tepat dalam sektor makro- ekonomi dan terutama sekali mikroekonomi.Salah satu cara menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran di sektor industri secara preventif adalah dengan melakukan pembenahan kelembagaan, yaitu hubunngan pekerja-pengusaha (hubungan industrial) dalam organisasi perusahaan.Sejarah perekonomian negara-negara yang menggunakan sistem kapitalisme-liberalisme-Eropa-telah banyak menunjukkan bukti bahwa selalu terdapat konflik yang tersembunyi dan permanen antara pemilik kapital (pengusaha) dan pekerja.Walaupun berbagai definisi menyatakan bahwa perusahaan adalah sebuah organisasi di mana sekelompok orang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (laba). Namun, dalam kenyataannya yang mendapatkan hasil akhir kerja sama itu adalah para pemilik kapital.Dengan demikian, organisasi perusahaan yang kapitalistik sebagaimana prinsip ekonominya, lebih memberikan keleluasaan yang sebesar-besarnya kepada pemilik kapital untuk mengelola hasil keuntungan.Pembenahan kelembagaanUntuk mengatasi permasalahan dalam hal pengelolaan organisasi perusahaan ini dan mengantisipasi merebaknya pengangguran oleh PHK dan berakibat pada kemiskinan, maka pembenahan kelembagaan ekonomi ini perlu diupayakan.Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pembenahan terhadap hubungan pekerja dan pengusaha (pemilik kapital) dalam perusahaan yang memproduksi sebuah produk.Hal ini tidak saja dalam perbaikan upah untuk memenuhi kelayakan hidup pekerja, perlindungan kesehatan dan jaminan sosial kesejahteraan lainnya, tetapi meliputi keseluruhan aspek yang membutuhkan partisipasi pekerja.Tentu saja hal ini tidak terkecuali pada penentuan upah bagi pekerja yang selama ini pengusaha lebih banyak mengikuti ketentuan minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah, walaupun hasil keuntungan perusahaan dapat memberikan jumlah yang lebih baik.Ketimpangan antara pendapatan yang diperoleh pengusaha dan manajemen di satu sisi dan pekerja di sisi yang lain adalah menyangkut persoalan paradigma perusahaan dalam memandang para pekerja sebagai faktor produksi atau disamakan dengan bahan baku dan teknologi, bukan sebagai aset.Perbedaan upah minimum ini semakin timpang apabila pengusaha beroperasi di dalam pasar industri yang monopolistik dan oligopolistik. Di Indonesia, industri tipologi seperti itu pada 1996 masih sekitar 72% dan bergerak di sektor barang dan jasa.Oleh karena itu, tidak heran jika hasil penelitian Verdi pada 1993 menunjukkan rasio upah antara pekerja dan pengusaha adalah 1:250, artinya jika upah pekerja adalah sebesar Rp1 juta, upah pengusaha atau manajemen sebesar Rp250 juta.Ini merupakan sesuatu yang tidak adil dan wajar terjadi di negara Indonesia yang telah menetapkan bahwa pandangan hidup bangsa dan negara adalah Pancasila, di mana sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab dan ke-4 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menegaskan hal itu.Untuk mengatasi permasalahan sektor industri, maka pembenahan kelembagaan ekonomi di tingkat mikro ini harus menjadi prioritas sebelum gelombang PHK terjadi dan menjadi-jadi.Menempatkan partisipasi pekerja dalam organisasi perusahaan secara lebih optimal, tidak saja mengubah mindset pengusaha terhadap pandangan pada posisi sebagai mitra kerja.Terlebih penting adalah munculnya rasa kepemilikan bersama di mana pengusaha dapat mengembangkan prinsip-prinsip partisipasi dan akuntabilitas perusahaan, termasuk melibatkan wakil-wakil pekerja dan hak suaranya dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).Jika ini tidak dibenahi, paket stimulus yang telah disiapkan oleh pemerintahan Obama dan juga disiapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam jumlah yang besar tidak akan efektif, dan mubazir.
Oleh Defiyan CoriPeneliti Bright Indonesia dan tim evaluasi program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan Bappenas
sumber: bisnis indonesia

Minimnya pemanfaat stimulus PPh Pasal 21Insentif pajak bisa meningkatkan daya beli para pekerja

Info di media massa baru-baru ini menyebutkan bahwa perusahaan sebagai pemberi kerja yang memanfaatkan stimulus fiskal berupa PPh Pasal 21 atas pekerja ditanggung pemerintah (DTP) masih minim.Jumlah perusahaan yang memanfaatkan masih jauh dari jumlah yang diharapkan, yakni perusahaan yang ada di 464 subsektor usaha. Hal ini sebenarnya akan merugikan para pekerja Indonesia.Beberapa alasan yang mengemuka, di antaranya, masih banyaknya perusahaan yang belum tahu persis mengenai pemanfaatan fasilitas yang akan meningkatkan daya beli para pekerja tersebut. Demikian juga dengan para pekerja sebagai sasaran stimulus fiskal, yang menerima manfaat.Selain itu, ada juga kesan seolah perusahaan enggan untuk memanfaatkannya. Jika stimulus yang baru pertama kali dalam sejarah perpajakan ini dimanfaatkan, ada kekhawatiran pada masa nanti yakni, pekerja akan menuntut penghasilannya tidak boleh berkurang.Padahal, kenyataannya memang harus berkurang menjadi sama seperti sebelum stimulus dimanfaatkan. Toh PPh Pasal 21 yang selama tahun 2009 ini ditanggung pemerintah kembali menjadi dibayar pekerja.Sekadar mengingat kembali, dengan Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2009 jo No.49/PMK.03/2009, pemerintah memberikan fasilitas pajak berupa PPh Pasal 21 DTP atas penghasilan pekerja di tiga kategori usaha. Pertama, usaha pertanian, termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan sebanyak 73 subsektor usaha. Kedua, usaha perikanan 19 subsektor usaha. Dan ketiga, usaha industri pengolahan 372 subsektor usaha.Apabila seorang pekerja, bekerja di salah satu dari 464 subsektor usaha tersebut memperoleh penghasilan bruto besarnya di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tetapi tidak lebih dari Rp5 juta sebulan, maka PPh Pasal 21-nya DTP. Artinya, si pekerja tidak lagi membayar dan dipotong PPh Pasal 21. Bahkan, dia akan memperoleh tambahan penghasilan sebesar PPh Pasal 21 yang selama ini dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Jumlah tambahan tersebut wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh perusahaan.Tingkatkan daya beliBerbagai pendapat telah mengemuka mengenai kebijakan pajak yang membela pekerja (pro-job) ini di antaranya dari Guru Besar FE-UI, Bambang PS Brodjonegoro, dan ekonom Indef, M. Ikhsan Modjo yang menilai bahwa insentif pajak berupa PPh Pasal 21 DTP ini harus dipertahankan. Bahkan, kalau bisa diteruskan (Bisnis Indonesia, 13 Juni).Pasalnya, hal itu secara langsung mampu memberikan tambahan daya beli para pekerja. Karena penerima adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, umumnya secara riil akan langsung dibelanjakan ke pasar.Berarti, ada dua keuntungan yang diperoleh dalam perekonomian kita. Selain kebutuhan pekerja terpenuhi melalui pembelian barang atau jasa, juga akan menambah produksi di pasar akan barang dan jasa yang dikonsumsi pekerja. Outcome-nya akan mendorong perputaran mesin perekonomian, yang seterusnya pertumbuhan ekonomi.Bila Rp6,5 triliun yang telah dianggarkan tersedia di APBN 2009 sebagai PPh Pasal 21 DTP tersebut dimanfaatkan penuh oleh seluruh perusahaan yang diperkenankan, akan dapat menggeliatkan perekonomian yang menyentuh masyarakat menengah ke bawah.Menurut perhitungan penulis, dengan asumsi multiplier effect 15% hingga akhir 2009 masa berlakunya insentif pajak tersebut, berarti akan tercipta sekitar Rp7,5 triliun permintaan barang dan jasa di pasar.Inilah sasaran pemberian stimulus fiskal melalui PPh Pasal 21 DTP. Sektor riil yang menyentuh masyarakat banyak terus menggeliat. Berarti, kebijakan ini juga pro masyarakat miskin (pro-poor).Mengapa masih banyak perusahaan yang enggan memanfaatkan fasilitas pajak ini? Dan bagaimana kita menyikapinya?Sebagai suatu program nasional yang tujuannya membantu pekerja, sangatlah elok jika para stakeholders pekerja jadi responsif. Artinya, ini saat yang tepat membela kaum pekerja.Jika ternyata masih banyak perusahaan yang masih enggan, atau belum mau memanfaatkan insentif yang menambah penghasilan pekerja dari jumlah yang diterima selama ini, tentu harus menjadi perhatian dari Departemen Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga Kerja di daerah, karena pengelolaan pekerja sektor swasta ini domain mereka.Demikian juga dengan serikat pekerja yang mengayomi para pekerja anggotanya yang ada tersebar di 464 subsektor usaha tersebut.Bila selama ini stakeholders tersebut menginginkan perlunya tambahan penghasilan riil pekerja, inilah saatnya mereka berperan secara nyata bagi pekerja. Tidak sekadar retorika belaka yaitu dengan mendorong perusahaan memanfaatkannya sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan di atas.Mumpung waktu masih ada 5 bulan lagi, Depnaker atau Disnaker bisa berperan banyak berjuang bagi pekerja Indonesia. Caranya, bekerja sama dengan Ditjen Pajak duduk bersama dengan serikat pekerja dan pengusaha sebagai quarte-partiet untuk menyamakan persepsi mengenai bagaimana sebenarnya PPh Pasal 21 DTP.Bisa saja pengusaha enggan memanfaatkan karena beda persepsi. Padahal, satu rupiah pun perusahaan tidak dirugikan.Satu hal yang perlu ditekankan, apabila tiba saatnya nanti insentif PPh Pasal 21 DTP ini berakhir, para pekerja juga harus fair yaitu mau menerima besarnya penghasilan sebagaimana mestinya dan tidak menuntut kepada perusahaan agar penghasilannya tetap sama seperti ketika ada stimulus PPh Pasal 21. Hal itu terjadi karena akan terjadi penurunan riil penghasilan sebesar PPh Pasal 21 yang akan normal dipotong kembali.Caranya bermacam-macam. Di antaranya, sejak awal menempel pengumuman besar-besar di tempat kerja, bahwa stimulus fiskal ini akan berakhir di penghujung 2009 dan gaji kembali ke jumlah semula.Inilah sendi-sendi yang perlu dibangun bersama, sehingga tidak perlu ada kesan kucing-kucingan apalagi saling mencurigai. Ditjen Pajak sudah memberikan tambahan penghasilan bagi pekerja, silakan para pengusaha dan pekerja Indonesia memanfaatkannya.
Oleh Liberti PandianganKepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan, Direktorat Jenderal Pajak
sumber: bisnis indonesia

Dana asing, kepercayaan atau cari untung?Belum ada perbaikan indikator untuk menarik asing

Di tengah maraknya belanja kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, pasar uang Indonesia kebanjiran dana asing. Kecenderungan ini menarik disimak karena memunculkan beberapa pertanyaan.Apakah semua dana asing itu memang masuk ke sejumlah instrumen investasi portofolio di dalam negeri atau diselonongkan ke pos dana kampanye para calon presiden (capres)?Untuk isu yang terakhir ini, sudah ada tim sukses salah satu capres yang segera mengeluarkan bantahan.Arus masuk dana asing ke pasar uang yang tinggi dalam beberapa bulan terakhir ini membangkitkan euforia. Otoritas moneter mengumumkan miliaran dolar AS yang masuk ke berbagai instrumen investasi itu merefleksikan pulihnya kepercayaan pemodal asing terhadap Indonesia.Esensi pernyataan seperti ini sulit dibantah meskipun apa saja yang menjadi dasar pulihnya kepercayaan pemodal asing pada perekonomian bisa membuat kita miris.Euforia ini jangan berlebihan sebab bukan hanya kita yang kebanjiran dana asing, tetapi sejumlah negara berkembang lainnya pun mengalami kecenderungan serupa.Kalau sekarang dana asing berjangka pendek mulai masuk lagi ke pasar uang, pasti karena tempat lain menjanjikan untung kecil. Apa lagi, sudah muncul sinyalemen tentang terjadinya kenaikan volume utang di negara industri maju. Para pemodal pasti mencari tempat baru yang lebih menguntungkan di negara berkembang. Indonesia adalah salah satunya.Suku bunga kita masih terbilang sangat tinggi. Bandingkan BI Rate yang 7% dengan Fed Fund Rate atau LIBOR yang di bawah 1%. Surat utang negara (SUN) pun menjanjikan bunga yang tinggi.Kenaikan harga minyak belakangan ini menyebabkan saham sektor energi di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi target perburuan modal asing. Inilah titik picu masuknya dana asing ke Indonesia, akhir-akhir ini.Pada pertengahan 2009 ini total dana asing yang mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sebesar US$12 miliar atau ekuvalen Rp123 triliun. Credit Suisse melaporkan dari jumlah itu yang masuk ke pasar uang Indonesia per Mei 2009 hanya US$4,145 juta.Secara jumlah, angka itu tidak luar biasa sehingga tak cukup alasan untuk euforia berlebihan. Ada kenaikan dibanding April 2009, yakni US$1,301 juta. Namun, dana asing itu mobile sehingga dengan jumlah yang masuk sekarang dibanding dengan jumlah yang keluar, tren ini menjadi biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa.Ini terbukti dalam tenggang waktu 4 hari, dana asing pada surat utang negara (SUN) berkurang Rp2,12 triliun. Jika per 12 Juni 2009 dana asing di SUN mencapai Rp88,52 triliun, per16 Juni 2009 sudah menjadi Rp86,4 triliun.Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Depkeu pada Kamis (18 Juni) menerbitkan catatan yang memperlihatkan bahwa pada 5 Juni 2009, jumlah dana asing di SUN mencapai level tertinggi sejak November 2008, yaitu Rp89,04 triliun.Lebih beruntungDi tengah ketidakpastian ini, semestinya kita boleh merasa beruntung karena dana asing yang masuk relatif tidak terlalu besar. Bukankah pengalaman mengajarkan kita gerak keluar dana asing yang serentak secara berulang kali telah menghadirkan masalah serius bagi perekonomian kita?Kejatuhan nilai tukar rupiah dan keringnya likuiditas di pasar uang sejak puncak krisis finansial hingga kini sedikit banyak disebabkan kegagalan kita mengelola dana asing di pasar uang kita.Dana-dana tersebut justru ditarik kembali ke negeri asal selama periode krisis finansial tahun lalu. Akibatnya, sektor keuangan nasional limbung dan acak-acakan.Aliran dana asing ke Indonesia umumnya masuk ke instrumen portofolio seperti saham, reksa dana, obligasi, dan pasar uang. Jujur saja, kita selalu cemas ketika dana asing diberi keleluasaan masuk ke sertifikat Bank Indonesia (SBI).Karena tidak ada manfaatnya, publik heran dan bertanya mengapa BI tidak menghambatnya dengan ketentuan yang ekstra ekstrem? Sebab, dana asing yang masuk SBI hanya bertujuan mengais bunga yang besar. Perannya menambah likuiditas valas di pasar uang hanya seumur usianya di SBI.Otoritas moneter harus berani mengatur dana asing di SBI. Sekali lagi, belajarlah dari pengalaman. Selain itu, beralasan bagi kita untuk khawatir jika pemodal asing terlalu leluasa masuk SBI. Jika dibiarkan dominan, mereka bisa saja mendikte.Klaim dana asing mulai masuk karena pulihnya kepercayaan pemodal asing terlalu berlebihan. Mungkin, yang benar adalah keyakinan pemodal asing bahwa pasar uang Indonesia bisa memberikan untung besar dalam waktu singkat sebab, kalau jujur, tak satu pun indikator di dalam negeri yang bisa memulihkan kepercayaan investor asing.Kita harus jujur dulu pada diri sendiri sebelum meraih kepercayaan dari orang lain. Kita akui dulu masih ada 17,1 juta rumah tangga miskin.Konsumsi rumah tangga turun menjadi hanya 4,1%. Sektor riil hancur karena pasar dalam negeri sarat produk selundupan.Suku bunga pinjaman yang tinggi menyebabkan unit-unit ekonomi rakyat (UMKM) tak bisa tumbuh. Indeks Tendensi Bisnis pada Triwulan Idan II/2009 masih di bawah 100, pertanda pesimisme masih menyelimuti komunitas pengusaha.Efektivitas APBN rendah karena beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Tahun ini, utang luar negeri yang jatuh tempo US$6,485.07 juta, hampir 3 kali lipat jumlah utang jatuh tempo per 2008.Pemerintah sama sekali tak pernah berupaya menurunkan beban pembayaran utang dengan inisiatif renegosiasi kepada para kreditur.Tidak masuk akal jika kepercayaan pemodal asing kepada kita mulai pulih. Jadi, dalam konteks dana asing yang mulai masuk lagi ke pasar uang, lebih karena kita berani menjanjikan dan memberi untung besar buat mereka, bukan karena membaiknya kinerja perekonomian kita.Kita harus mendewasakan diri dan bersikap bijak tegas menghadapi pemodal asing sebab sudah puluhan tahun kita berhadapan dengan mereka. Pada era globalisasi sekarang, perilaku kampungan menghadapi asing harus dihilangkan.Kuburkan mental ndeso yang mudah terbuai oleh puja-puji orang atau lembaga multilateral asing. Sama seperti Jepang, Korsel, China, India bahkan Malaysia yang penuh curiga, kita pun harus punya sikap reserve menghadapi pemodal asing.Mereka boleh mencari untung di negara ini, tetapi rakyat Indonesia dapat apa? Harus saling memberi dan menerima. Kalau mereka hanya mau ambil untung, kita harus berani katakan tidak.
Oleh Bambang SoesatyoKetua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin/ Ketua Umum Ardin Indonesia
sumber : bisnis indonesia

Mencari format sharing subsidi listrikPemerintah akan menerapkan tarif dasar listrik regional

Pemerintah bersama-sama DPR tengah membahas RUU ketenagalistrikan. Diharapkan pada Juli atau paling lambat September, RUU ketenagalistrikan tersebut sudah diketok palu alias disahkan.Permasalahan yang masih tersisa untuk dibahas adalah masalah sharing subsidi. Kesepakatan-kesepakatan yang sedang dinegosiasikan dengan Komisi VII terutama adalah masalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten dan kota. Komisi energi akan merumuskannya dan menyinkronisasikan antar pasal dalam RUU ketenagalistrikan.Hal lain yang disepakati adalah regionalisasi tarif, dengan pertimbangan ekonomi, teknis, politik, dan sosial. Regionalisasi tarif ini nantinya bisa dilakukan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) maupun koperasi untuk daerah terpencil yang belum dijangkau PLN.Dengan akan disahkannya RUU ini, maka pemerintah telah berancang-ancang akan menerapkan tarif dasar listrik regional (TDLR) Pada prinsipnya, tarif listrik regional dapat diterapkan sesuai dengan kesiapan dan kemampuan daerah baik dari sisi masyarakatnya, pemerintah daerah, maupun PT PLN sebagai penyedia energi listrik.Penerapan tarif listrik regional diharapkan dapat menjamin penyediaan tenaga lsitrik yang lebih sustainable sekaligus menjamin peningkatan kualitas pelayanan ketenagalistrikan di daerah.Beban pusatSejalan dengan tujuan otonomi daerah, untuk mengurangi beban pemerintah pusat dalam bidang urusan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah juga berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.Hal ini sejalan dengan diberikannya kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengusahakan pemanfaatan potensi daerahnya dan sekaligus untuk mengusahakan pemanfaatan potensi tersebut. Dengan otonomi daerah, daerah harus mampu menyelesaikan permasalahan yang ada termasuk masalah ketenagalistrikan.Perlu diketahui, bahwa listrik merupakan salah satu wewenang yang diserahkan kepada daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan ikut bertanggung jawab menjamin ketersediaan pasokan listrik. Peran tersebut juga dapat diwujudkan dalam bentuk ikut menanggung beban subsidi listrik kepada konsumen di daerahnya yang kurang mampu.Dalam hal itu, maka kesiapan daerah akan menjadi sorotan utama. Kesiapan daerah ini antara lain dapat dilihat dari kondisi keuangan daerah. Di sisi lain, kemampuan masyarakat juga menjadi pertimbangan dalam mengalokasikan belanja daerah dalam rangka pelayanan publik.Kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh kondisi keuangan daerah. Kondisi keuangan daerah ini dapat diukur dari kapasitas fiskal daerah yang merupakan rasio antara total penerimaan daerah (Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan penerimaan lain-lain setelah dikurangi dengan belanja pegawai) terhadap jumlah penduduk.Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini program subsidi listrik dinilai kurang efektif. Permasalahan subsidi yang sering dihadapi adalah: sasaran subsidi adakalanya tidak jelas, pemberian subsidi sering tidak tepat sasaran, besaran subsidi disamaratakan untuk semua konsumen listrik dan kurang adanya sosialisasi kepada masyarakat.Berdasarkan kelemahan-kelemahan pola subsidi ini, maka apabila pemerintah daerah akan dilibatkan dalam memberikan subsidi, subsidi hendaknya mempertimbangkan beberapa hal, yakni: a) golongan konsumen mana yang akan diberi subsidi, b) berapa batasan pemakaian kWh per bulan yang akan disubsidi, c) berapa besaran subsidi yang akan diberikan per kWh, dan d) bagaimana mekanisme subsidi tersebut akan disalurkan kepada konsumen pemakai listrik.Di samping mempertimbangkan beberapa faktor di atas, juga terdapat beberapa hal lainnya, yakni: Pertama, bersifat transparan yang berarti bahwa semua pihak dapat mengakses informasi tentang pelaksanaan dan perkembangan kegiatan. Kedua, akuntabel dalam arti bahwa semua kegiatan subsidi dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.Ketiga, tepat sasaran dan terarah dalam arti bahwa pemberian subsidi harus tepat pada kelompok masyarakat yang kurang mampu (miskin) yang memang berhak menerima.Keempat, desentralisasi dalam arti bahwa pemberian subsidi sedapat mungkin melibatkan pemerintah daerah baik pada level provinsi, kabupaten dan kota, dan kelima, mudah dipahami dalam arti bahwa subsidi tersebut tidak membingungkan bagi masyarakat yang menerima.Tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang sama, ada daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, sedang dan rendah. Begitu pula dari sisi pendapatan per kapita, ada daerah yang rata-rata pendapatan per kapitanya tinggi, sedang dan rendah. Dalam konteks dengan tarif regional, sebaiknya lebih diprioritaskan terlebih dahulu pada daerah-daerah yang pendapatan per kapitanya tinggi.Sementara itu, untuk daerah yang memiliki kapasitas tinggi namun pendapatan masyarakatnya rendah, diperlukan adanya pembagian subsidi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Adapun, fokus subsidi Pemerintah daerah sebaiknya untuk kelompok rumah tangga saja, sedangkan untuk subsidi kepada kelompok bisnis dan industri masih menjadi porsi Pemerintah Pusat.Selanjutnya untuk skim Pemerintah Daerah perlu pula dipertimbangkan kemungkinan pembagian subsidi antara pemerintahan tingkat provinsi dan pemerintahan tingkat kabupaten serta kota.
Oleh Makmun
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu
sumber : bisnis indonesia

Paradoks stimulus infrastrukturPerlu terobosan untuk memancing penyerapan anggaran yang efektif

Awal tahun ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan yang dimaksudkan sebagai stimulus bagi perekonomian. Stimulus fiskal ini senilai lebih dari Rp73 triliun, yang Rp12 triliun di antaranya dikhususkan untuk infrastruktur.Harapannya, stimulus itu bisa mendongkrak pertumbuhan sekaligus menekan efek negatif perlambatan ekonomi akibat krisis global.Pemerintah menyatakan bahwa desain kebijakan stimulus fiskal dilakukan melalui tiga tujuan. Pertama, mempertahankan dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk dapat menjaga laju pertumbuhan konsumsi di atas 4,5%.Kedua mencegah PHK dan meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha menghadapi krisis ekonomi dunia. Ketiga, menambah belanja infrastruktur padat karyaDi sini peran stimulus bidang infrastruktur menjadi sangat penting untuk bias memenuhi tiga tujuan tersebut. Di tengah melemahnya daya serap pasar ekspor, pemerintah harus meningkatkan perhatian pada potensi pasar domestik.Selama ini pasar domestik memainkan peranan yang sangat signifikan dalam penyerapan produk dalam negeri sehingga menurunnya daya serap pasar ekspor bisa diatasi dengan peningkatan daya serap pasar domestik. Ketersediaan infrastruktur bagi kelancaran distribusi barang dan jasa merupakan hal yang esensial.Namun, setelah 2009 berjalan setengahnya, tampaknya kita masih perlu memberikan beberapa catatan kritis terhadap paket stimulus fiskal sektor infrastruktur tersebut.PenyerapanSalah satu masalah mendasar dalam program pembangunan ekonomi Indonesia adalah paradoks antara kebijakan dan implementasi. Setiap tahun pemerintah merilis paket kebijakan yang diharapkan mampu men-stimulus pertumbuhan, namun justru masalahnya ada pada kemampuan dan konsistensi pemerintah dalam mengimplementasi kebijakannya sendiri.Ketika paket stimulus ini dirilis, pemerintah menyatakan bahwa sebagian sumber pendanaan paket stimulus fiskal adalah sisa anggaran yang belum terpakai. Ini merupakan indikasi awal akan adanya masalah terkait implementasi paket ini dimana penyerapan anggaran belanja pemerintah potensial menjadi masalah tersendiri.Sudah menjadi hal yang lazim dalam setiap tahun anggaran, penyerapan anggaran akan terpusat di akhir tahun dan seringkali pemanfaatannya terkesan asal menghabiskan anggaran. Hasil akhirnya adalah anggaran belanja pemerintah tak berhasil menjadi stimulus seperti yang diharapkanKekhawatiran ini tampaknya mulai terbukti. Harian Bisnis Indonesia (22 Juni) menurunkan berita bahwa paket stimulus fiskal bidang infrastruktur baru terserap 2% saja, itu pun merupakan angka rata-rata. Artinya ada kementerian dan lembaga yang sama sekali belum mencairkan paket stimulus ini.Kejadian ini selalu berulang setiap tahun. Sebagai data pembanding, sampai semester pertama tahun 2008, penyerapan anggaran reguler di Departemen Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab terhadap pembuatan dan perbaikan infrastruktur penyerapannya baru mencapai 24,52%.Akibatnya banyak proyek infrastruktur yang tidak berjalan sesuai jadwal dan ini menjadi hambatan bagi perekonomian.Keprihatinan kita pada paradoks kebijakan stimulus ini akan makin bertambah jika kita mengaitkan rendahnya penyerapan anggaran stimulus ini dengan sumber pendanaan stimulus selain sisa lebih penggunaan anggaran (silpa), yakni dari utang luar negeri.Di sini kita melihat 'sia-sia' nya utang luar negeri itu. Dana tersebut tak maksimal dipakai sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi akibat minimnya penyerapan, di sisi lain memberi beban APBN untuk membayar bunga dan cicilan yang jatuh tempo.Padahal, utang itu itu sendiri tidak didapat dengan mudah di tengah keringnya likuiditas internasional. Krisis finansial global telah mengakibatkan aliran dana ke negara berkembang berkurang US$300 miliar-US$350 miliar.Masalah penyerapan ini tampaknya masih akan berlanjut pada triwulan ketiga ini. Elite dan jajarannya masih berkonsentrasi pada pemilihan presiden. Kita tak bisa berharap akan ada terobosan besar atau kebijakan fundamental yang akan diambil untuk memancing penyerapan anggaran yang efektif dan berkualitas. Adalah surprise besar jika ada rangsangan kebijakan fiskal yang atraktif untuk mengangkat pertumbuhan.Pemerintah memang telah mencoba menerapkan konsep reward and punishment bagi kementerian dan lembaga yang gagal menjalankan stimulus fiskal ini. Misalnya dengan memotong anggaran tahun depan bagi mereka yang tak maksimal dalam penyerapan. Namun, itu masih perlu waktu untuk dibuktikan.Evaluasi menyeluruh harus dilakukan bukan hanya dari segi nominal dana yang dicairkan tetapi selayaknya juga evaluasi harus dilakukan atas kulaitas proyek-proyek yang dijadikan ajang pencairan anggaran.Kita berharap pemerintah dan jajarannya dapat tetap fokus menjalankan roda peemerintahan secara efektif, sehingga besarnya ketergantungan perekonomian pada peran pemerintah untuk bisa menjadi stimulan bisa dijalankan dengan memaksimalkan penyerapan stimulus sektor infrastruktur yang bias menjadi lokomotif pertumbuhan.Dengan demikian, peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur yang menjadi urat nadi perekonomian dapat diwujudkan, sehingga, upaya pemerintah dalam men-stimulus pertumbuhan ekonomi tidak lagi dikatakan "sia-sia" dan kita tak perlu melihat adanya paradoks kebijakan lagi.Oleh Novri Irza HidayattullahAssistant VP Scenario Planning & Portfolio Management, SME & Commercial Credit Risk, Bank Danamon Indonesia

Pentingnya kepercayaan dalam penegakan hukum persainganAnggota KPPU butuh waktu untuk mendapatkan pengalaman memadai

Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam penegakan hukum persaingan akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan, baik positif maupun negatif.Tidak ada keraguan publik terhadap KPPU ketika lembaga itu berhasil membongkar praktik antipersaingan yang dilakukan oleh para operator jasa telekomunikasi, di mana praktik antipersaingan tersebut mengakibatkan tingginya tarif SMS yang harus dibayar masyarakat selama ini.Bahkan, sebelumnya juga KPPU sempat dipuji sebagai lembaga penegak hukum persaingan terbaik di Asean oleh Hassan Qaqaya (Chief, Advisory Services and Capacity Building Section Competition Law and Policy Branch UNCTAD) pada 2nd Asean Conference and Competition Policy and Law.Namun, apresiasi dan pujian yang didapat seakan sirna ketika M. Iqbal, salah satu anggota KPPU, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah menerima sejumlah uang dari pihak yang berperkara di KPPU.Pihak yang memberikan uang, Billy Sindoro, telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Iqbal sendiri baru-baru ini dijatuhi hukuman oleh Tipikor.Perkara yang melibatkan Iqbal berawal saat KPPU melakukan investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Astro All Asia Network, Plc., All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC dan PT Direct Vision dengan ESPN STAR Sport berkaitan dengan hak siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) untuk musim 2007-2010 dan memutus perkara tersebut.Dalam putusannya, KPPU memerintahkan All Asia Multimedia Network untuk tetap mempertahankan kelangsungan hubungan usaha dengan PT Direct Vision dan tidak menghentikan seluruh pelayanan kepada pelanggan sampai adanya penyelesaian hukum mengenai status kepemilikan PT Direct Vision (Diktum kelima).Banyak pihak pada waktu itu merasa heran, mengapa majelis KPPU yang menangani perkara ini menjatuhkan putusan yang salah satu diktumnya tidak sesuai dengan pokok permasalahan dalam perkara.Terlebih berdasarkan laporan hasil pemeriksaan lanjutan, Tim Pemeriksa KPPU sendiri berpendapat bahwa tidak terdapat bukti pelanggaran hukum atas masalah hak siar BPL tersebut, tetapi majelis komisi yang menangani masalah ini, entah bagaimana, tetap menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum.Selanjutnya bukti-bukti yang disajikan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) kasus Iqbal dan Billy Sindoro ternyata menguatkan dugaan bahwa diktum kelima dimasukkan atas permintaan dari Billy Sindoro.Melihat bagaimana proses dan fakta yang terkuak di Pengadilan Tipikor terhadap Iqbal dan Billy Sindoro, terlihat bahwa bila KPPU tidak mengikuti pedoman kerja yang berlaku dan pihak luar diizinkan untuk mengintervensi suatu proses penanganan perkara di KPPU, menjadi sangat beralasan untuk kemudian menilai bahwa vonis KPPU itu menjadi diragukan kebenarannya.Uniknya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menangani perkara keberatan kasus ini, turut menguatkan putusan KPPU dan memutuskan bahwa apa yang terjadi pada M. Iqbal dan Billy Sindoro tidak relevan karena bersifat non-yuridis.Padahal dari proses persidangan tipikor Iqbal, nampak bahwa ada pihak luar yang berusaha untuk memengaruhi proses pengambilan putusan KPPU.Krisis kepercayaanPermasalahan yang jauh lebih besar sebagai akibat dari perkara ini adalah dikhawatirkan berkurangnya kepercayaan publik terhadap KPPU, yang sudah dengan bersusah payah dibangun selama ini. Padahal kepercayaan publik terhadap KPPU merupakan modal utama yang menjadi dasar pembentukan dan berdirinya lembaga ini.Perkara hak siar liga Inggris ini membuktikan bahwa ternyata lembaga seperti KPPU juga tidak kebal terhadap kontaminasi dari pihak luar, yang kemudian membuat publik khawatir bahwa kasus ini bukanlah kasus yang pertama dan terakhir. Bahkan hal ini kemudian mengundang banyak pihak kembali mempertanyakan beberapa putusan yang telah dihasilkan KPPU sebelumnya.Pentingnya peran pengawas persaingan usaha tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, sebagai institusi dengan wewenang yang luas-termasuk kekuasaan untuk mengatur dan memengaruhi keseluruhan sektor ekonomi Indonesia, masyarakat Indonesia berhak menuntut agar kewenangan KPPU dijalankan dan terlihat dijalankan dengan benar.Sekarang, menjadi tugas Mahkamah Agung untuk mengoreksi putusan KPPU dalam kasus Hak Siar Liga Inggris. Mudah-mudahan ini akan dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri televisi berbayar yang sedang berkembang, dan lebih menggairahkan investasi dalam bisnis konten di Indonesia, serta pada akhirnya menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat.Terlebih sekarang di Mahkamah Agung telah duduk hakim agung Samsul Maarif, seorang ahli hukum persaingan yang juga merupakan mantan ketua KPPU. Posisi beliau yang sekarang diharapkan dapat memberikan arah yang lebih baik bagi penegakan hukum persaingan di Indonesia untuk ke depannya.Sebagaimana pernah dikatakan oleh Franz Juergen Saecker, seorang ahli hukum persaingan dari Jerman, The German Cartel Monitoring Commission (KPPU Jerman) saja memerlukan lebih kurang waktu 10 tahun untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk menjalankan tugasnya secara baik.Indonesia dapat dikatakan sekarang masih pada tahap belajar dalam menegakkan hukum persaingan. Oleh karena itu, kita sekarang perlu mengawal KPPU untuk memastikan bahwa KPPU menegakkan hukum persaingan dengan benar dengan proses yang transparan, untuk memastikan bahwa keadilan bukan hanya ditegakkan namun juga terlihat sudah ditegakkan.Apabila ini terjadi, maka KPPU sudah barang tentu akan mendapatkan kepercayaan dari publik kembali.
Oleh Ditha Wiradiputra
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan UsahaFakultas Hukum Universitas Indonesia

Utang dan neoliberalismePersoalan cenderung direduksi menjadi masalah keuangan belaka

Masalah utang kembali mencuat menjadi isu besar. Pemicunya adalah membengkaknya volume utang pemerintah dari Rp1.275 triliun pada akhir 2004, menjadi Rp1.704 triliun saat ini.Artinya, 5 tahun terakhir, utang pemerintah meningkat rata-rata Rp97 triliun per tahun. Jika disimak berdasarkan jenisnya, peningkatan terbesar terjadi pada utang dalam negeri. Utang luar negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp637 triliun, belakangan naik menjadi Rp732 triliun. Utang dalam negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp662 triliun, meningkat menjadi Rp973 triliun.Padahal, utang dalam negeri adalah utang mahal. Artinya, bunganya lebih tinggi daripada bunga utang luar negeri. Akibatnya, beban pembayaran bunga utang di APBN cenderung membengkak. Jika dalam APBN 2004 beban pembayaran bunga utang berjumlah Rp65 triliun, dalam APBN 2009 membengkak menjadi Rp110 triliun.Yang menarik untuk disimak adalah sikap pemerintah. Walaupun secara nominal volume utang pemerintah meningkat gila-gilaan, pemerintah cenderung menganggap hal itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan pemerintah cenderung menepuk dada.Menurut pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang perlu disimak bukanlah jumlah utang secara nominal, melainkan perkembangannya secara relatif terhadap masa lalu dan terhadap negara-negara lain.Menurut hitungan pemerintah, perbandingan antara utang pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004 mencapai 57%. Saat ini, walaupun volume utang meningkat menjadi Rp1.704 triliun, tetapi volume PDB juga meningkat menjadi sekitar Rp5.295 triliun. Akibatnya, perbandingan utang dan PDB turun menjadi 32%.Demikian halnya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada AS, Jepang, dan Inggris. Volume utang AS, Jepang, dan Inggris terhadap PDB mereka masing-masing adalah 202%, 68%, 50%.Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume pembayaran bunga utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada Turki dan Filipina. Beban pembayaran bunga utang Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 2,1% sedangkan di Turki dan Filipina, angkanya jauh lebih besar.Sepintas lalu, argumen pemerintah memang tampak masuk akal. Namun, apabila disimak lebih jauh, dengan mudah dapat diketahui bahwa kesalahan terbesar pemerintah terletak pada pendekatan yang digunakannya dalam memahami persoalan utang.Dalam pandangan pemerintah, persoalan utang cenderung direduksi menjadi persoalan keuangan dan manajemen belaka. Dengan cara itu, pemerintah tidak hanya menyamakan utang pemerintah dengan utang perusahaan dan utang perseorangan, tetapi juga cenderung mereduksi keberadaan pemerintah sebagai institusi politik yang, tidak dapat tidak, wajib mempertanggungjawabkan semua keputusan politiknya kepada rakyat.Sebagaimana diketahui, utang pemerintah tidak hanya berkaitan dengan hubungan antarnegara, tetapi berkaitan pula dengan hubungan antara Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, dan dengan para investor mancanegara. Sebab itu, alih-alih mereduksinya sebagai masalah keuangan dan manajemen, masalah utang pemerintah terutama harus didekati berdasarkan konsekuensi ekonomi-politiknya.Sebagai misal, mengenai hubungan antara Indonesia dan AS, Jepang, serta Inggris. Walaupun ketiga negara tersebut memiliki persoalan utang masing-masing, tetapi ketiganya tidak berutang kepada Indonesia. Indonesia lah yang berutang kepada ketiga negara itu. Akibatnya, sebagai kreditur, negara-negara itulah yang berpeluang mendikte Indonesia. Sebagai debitur, sekadar untuk menyatakan ‘tidak’ pun Indonesia sulit melakukannya.Demikian halnya dengan hubungan antara Indonesia dan IMF, Bank Dunia serta ADB. Hak suara AS, Jepang, dan Inggris pada lembaga-lembaga tersebut jauh lebih besar daripada Indonesia.Akibatnya, sebagai kreditur, ketiga negara itulah yang berpeluang memperalat lembaga-lembaga tersebut untuk mendikte Indonesia. Sebagai debitur, Indonesia terpaksa bersikap ramah terhadap lembaga-lembaga tersebut.Bagaimana halnya dengan hubungan Indonesia dengan para investor mancanegara? Sudah menjadi pengetahuan umum, modal asing yang dipakai para investor itu untuk membeli surat utang pemerintah, dapat berpindah dengan mudah ke negara lain.Akibatnya, untuk mempertahankan rating utang Indonesia, pemerintah terpaksa bersikap ramah kepada para investor, termasuk dengan menawarkan suku bunga tinggi.Yang paling konyol adalah perbandingan Indonesia dengan Turki dan Filipina. Turki sedang dalam perawatan IMF, sedangkan Filipina, selama ini dikenal sebagai contoh negara gagal. Membandingkan Indonesia dengan kedua negara tersebut tidak memiliki makna apa-apa, kecuali kita memang ingin mengikuti jejak mereka.Kesimpulannya sangat sederhana. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana diperintahkan AS, Inggris, Jepang, IMF, Bank Dunia, dan ADB, serta pengorbanan rakyat banyak demi keramahtamahan kepada para investor asing, tampaknya tidak dilihat oleh pemerintah sebagai masalah yang berkaitan dengan persoalan utang.Penyebabnya bisa macam-macam. Di satu sisi, pemerintah mungkin tidak berdaya, tetapi tidak mau mengakui ketidakberdayaan tersebut secara terus terang.Di sisi lain, pemerintah sendiri memang ‘mengimani’ pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana telah berlangsung satu dekade belakang ini. Jika yang terakhir ini yang benar, saya bisa maklum.
Oleh Revrisond BaswirTim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

'3 Capres tak miliki program di migas dan tambang'

JAKARTA: Ketiga kandidat calon presiden dinilai tak memiliki komitmen dalam transparansi pengelolaan dana migas dan pertambangan menyusul tidak adanya program operasional terkait dengan hal tersebut.Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Ridaya Laodengkowe mengatakan ketiga calon presiden memiliki visi dan misi yang sangat lemah terkait pengelolaan sumber daya alam. Apalagi, sambungnya, minimnya transparansi di sektor migas dan pertambangan tak lantas membuat ketiganya melakukan perubahan soal ini"Kami mempertanyakan bagaimana komitmen ketiganya soal pengelolaan sektor ekstraktif. Semuanya tidak memiliki agenda operasional dalam hal ini," ujar Ridaya kepada pers di Jakarta, kemarin.Dia mencontohkan buruknya pengelolaan industri itu dengan adanya perbedaan data produksi perusahaan migas asing dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral maupun Badan Pengelola Migas.Bahkan, dia menambahkan, susahnya mendapatkan informasi dan data terkait dengan produksi maupun pendapatan negara merupakan persoalan berikutnya. Padahal, produksi minyak nasional terus mengalami penurunan dalam 15 tahun terakhir. Namun, hal itu tidak menjadikan para kandidat menyadari persoalan itu sehingga kini tak memiliki tawaran strategi yang tajam.“Sektor ini seharusnya memiliki daya tarik politik yang serius. Pemberian izin kepada swasta maupun asing masih menimbulkan sentimen serta prasangka politik. Prasangka ini juga dibangun oleh tata kelola pendapatan nasional yang tidak transparan dan akuntabel,” kata Ridaya.Peneliti Pattiro Maryati Abdullah mengatakan publik tak pernah mengetahui mengenai penerimaan negara dari sektor migas karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Selain itu, tidak diketahuinya biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hingga tidak diberikannya data ke pemerintah daerah, menjadi salah satu persoalan pula.“Transparansi penerimaan sektor migas selama ini hanya menjadi agenda elitis. Hanya segelintir orang saja yang tahu dan berkutat di isu tersebut, sehingga kebijakan migas cenderung tertutup,” kata Maryati. “Ini bisa jadi sarat dengan kepentingan dan intervensi politik.”Transparansi dan akuntabilitas menjadi penting, demikian Maryati, untuk memastikan sejumlah hal macam penerimaan negara di pusat dan daerah, pencatatan aliran dana kontraktor untuk pemerintah dan pembagian hasil.Dia mengungkapkan sejumlah daerah penghasil migas seperti Bekasi, Blora dan Indramayu menyatakan ketidakpuasannya karena tak adanya transparansi.Walaupun menjadi hal yang sangat krusial, Maryati menambahkan, pasangan calon presiden dan wakilnya pada Pemilu kali ini sangat jarang menyinggung soal transparansi.Oleh Anugerah PerkasaBisnis Indonesia

'Tambang emas agar digarap investor nasional'

KENDARI: Wapres Jusuf Kalla meminta Pemprov Sulawesi Tenggara memberikan peluang kepada perusahaan nasional untuk menggarap investasi tambang emas di sembilan lokasi dengan perkiraan cadangan terendah mencapai 1,12 juta ton atau senilai Rp303,75 triliun.Menurut Wapres, soal pertambangan emas hanya ada dua pilihan. Pertama, bila mau ada pemerataan, tambang diserahkan kepada tambang rakyat.Namun, tambah Wapres, efeknya lingkungan hancur. Kedua, memberikan hak kepada tambang besar atau asing tetapi efeknya tak ada pemerataan.“Kita punya pengalaman memberikan tambang emas kepada perusahaan asing, ternyata kemudian kita marah [kecewa]. Tambang di Papua diberikan kepada Freeport dan Nusa Tenggara diberikan kepada Newmont. Ternyata kita menerima royalti sambil marah,” katanya dalam acara pemaparan potensi ekonomi Sulawesi Tenggara oleh Gubernur Nur Alam di Kendari, kemarin.Menurut Wapres, memang berdasarkan UU para kepala daerah tingkat II atau bupati yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin. Oleh karena itu, tambah Kalla, jika ingin negara mengelola, diperlukan revisi UU.“Bupati jangan kasih izin untuk asing. Sulitnya itu kalau mau pilkada izin keluar terus,” tegasnya.Untuk menghindari terjadinya pola yang sama, Wakil Presiden meminta Pemprov Sulawesi Tenggara supaya bisa mengelola potensi tambang emas itu untuk kepentingan ekonomi daerah dan masyarakat.Untuk itu, lanjutnya, jangan mudah tergoda untuk menawarkan tambang itu kepada perusahaan asing karena hasilnya tidak akan sebaik dalam pengelolaan perusahaan nasional.“Saya juga minta agar usaha tambang tradisional yang dikelola oleh sekitar 60.000 penambang individu untuk dibina dan bukan dihancurkan,” tegasnya.Menurut dia, pengelolaan tambang semacam itu telah ikut menumbuhkan ekonomi rakyat kecil dan memberikan prospek pertumbuhan ekonomi lebih di tingkat bawah.Oleh Irsad SatiBisnis Indonesia

Kadin dukung divestasi saham 20%

JAKARTA: Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung penetapan kawajiban divestasi saham sebesar 20% terhadap investor asing pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).Wakil Ketua Komite Tetap Pertambangan dan Bahan Galian Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Juangga Mangasi mengatakan kewajiban divestasi minimal 20% itu sudah dipertimbangkan secara intensif sehingga tetap menciptakan iklim usaha pertambangan yang kondusif.“Divestasi sebesar 20% itu adalah angka paling minimum dan sudah di-setting oleh Undang-Undang Minerba No.4/2009. Itu artinya harus dilaksanakan. Cuma dalam pelaksanaannya jangan sampai menjadi ajang pat-gulipat dari kelompok tertentu sehingga menghambat investasi. Yang jelas kewajiban itu tidak akan membuat investor menjadi takut dan lari terbirit-birit,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.Menurut dia, besaran minimum divestasi 20% saham itu lebih kecil dibandingkan dengan ketentuan divestasi untuk usaha pertambangan yang mengikuti rezim kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang mencapai 51%.Bahkan, Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pemerintah memperbolehkan kepemilikan saham 100% asing.Dia mengatakan ketentuan divestasi paling sedikit 20% saham itu juga sudah mempertimbangkan ketentuan yang tertuang dalam UU PMA itu.“Saya yakin dengan angka 20% itu tidak akan memberatkan dunia usaha. Dengan catatan juga harus dalam kerangka b to b [business to business]. Negara tidak hanya ngemplang saja, tetapi tetap membayar.”Menurut dia, divestasi itu harus dilaksanakan secara transparan dan kesepakatan yang diambil selama proses divestasi harus mengikuti kaidah bisnis.Dengan demikian, lanjutnya, kelompok bisnis yang mempunyai power tertentu tidak bisa memaksa kelompok lain yang dapat menimbulkan kerugian.Dia memaparkan fungsi pemerintah dalam pelaksanaan divestasi itu hanya sebagai fasilitator, meskipun pemerintah diberikan peluang untuk mengambil saham divestasi.“Kalaupun pemerintah tidak mengambilnya sehingga menjadi kesempatan bagi swasta nasional untuk mengambil divestasi itu, pemerintah harus tetap menjadi fasilitator yang netral.”Juangga menegaskan tujuan divestasi itu hanya sebagai transparansi berusaha sehingga nasional juga bisa ikut mengambil peran dalam pengembangan sektor pertambangan di dalam negeri. (12)Bisnis Indonesia

'Proyek properti di daerah harus sesuai tata ruang'

MALANG: Pengembangan perumahan di daerah-daerah banyak yang masih belum mengacu pada tata ruang rencana pembangunan, pengembangan, perumahan, dan permukiman (R4P), melainkan semata mengacu pada pertimbangan pasar, seperti ketersediaan dan harga tanah.
Siti Budihartati, Kepala Bidang Perencanaan Kawasan Asdep Sistem Pengembangan Kawasan Kantor Kemenpera, menga-takan tidak seperti pengembangan kawasan lain, misalnya kawasan komersial, daerah tidak mempunyai perencanaan kawasan perumahan yang sistematis.
"Kalau pejabat yang berwenang di daerah ditanya berapa kebutuhan rumah di daerah tersebut per tahunnya, saya yakin mereka tidak bisa menjawab dengan jelas dan tepat." kata Siti, di selasela sosialisasi R4P, di Malang, kemarin.
Dampak tidak adanya perencanaan tata ruang perumahan di daerah, lanjut dia, maka pengembang seenaknya dalam membebaskan tanah. Mereka biasanya membeli tanah dengan pertimbangan harga yang murah, tanpa memperdulikan apakah tanah tersebut tanah persawahan atau tanah yang justru yang diplot untuk kawasan permukiman.
Dengan dibangunnya kawasan pertanian menjadi kawasan permukiman, menurut dia, maka dampak selanjutnya pengembangan infrastruktur juga diarahkan ke sana. Kawasan pertanian pun berubah menjadi kawasan permukiman, kawasan terbangun.
R4P, menurut dia, sebenarnya diatur oleh Kepmenperkim No. 9/1999 yang menyebutkan pembangunan perumahan harus disesuaikan dengan tata ruang yang ada. Namun, dia akui, Kepmen tidak berjalan efektif.
Hal itu terjadi karena kementrian perumahan di dalam kabinet tidak selalu ada, sehingga kontinuitas program tidak berjalan.
Ke depan, pemerintah akan menerapkan disinsentif dan insentif terkait pelaksanaan R4P. Intinya, pengembang yang mematuhi R4P akan diberikan kemudahan berupa perizinan maupun insentif lain, seperti subsidi bunga KPR untuk rumah tipe rumah sehat sederhana (RSh).
Untuk saat ini, dia akui, kebijakan disentif dan insentif tersebut belum bisa dilaksanakan, termasuk soal subsidi bunga KPR. Kemenpera belum membedakan pengembang membangun rumah sesuain tata ruang atau tidak.
"Pemerintah dihadapkan pada dilema.
Kalau pengembang tidak diberi subsidi, kasihan user-nya, di sisi lain diberi sanksi juga sulit, karena daerah belum menyusun R4P." (k24)
BISNIS INDONESIA

KUR ditargetkan Rp4,43 triliunBank ajukan syarat bebas BI Checking

JAKARTA: Enam bank peserta program kredit usaha rakyat (KUR) berkomitmen merealisasikan target penyaluran pinjaman Rp4,43 triliun, dengan catatan Bank Indonesia membebaskan calon debitur usaha mikro dari sistem BI Checking.Choirul Djamhari, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan UKM, mengatakan kesediaan bank memasang target penyaluran itu merespons permintaan dari berbagai pihak agar bank ikut menggerakkan sektor riil.Sebagai imbalan keseriusan bank memperluas jangkauan kredit yang dijamin oleh pemerintah itu, mereka minta Bank Indonesia membebaskan calon debitur kredit kurang dari Rp5 juta dibebaskan dari sistem BI Checking."Bank saat ini menunggu keputusan dari komite kebijakan KUR di bawah koordinasi Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian untuk memenuhi permintaan pembebasan BI Checking," kata Choirul Djamhari, kemarin.Bank penyalur KUR menilai BI Checking yang diterapkan dalam penyaluran kredit membatasi ruang gerak mereka mencari calon debitur baru. BI Checking merupakan salah satu dari instrumen perbankan untuk mengamankan penyaluran kredit.Menurut Choirul, kesulitan bank memperluas penyaluran KUR, di antaranya karena pemegang kartu kredit ataupun yang memiliki kredit kendaraan roda dua tidak bisa lagi mengakses KUR karena sudah terdata oleh Bank Indonesia sebagai kreditur.Akan tetapi, meski sistem itu dipandang perlu dalam penyaluran KUR bukan berarti menjadi segalanya, karena yang memiliki dana adalah perbankan. "Oleh karena itu permintaan mereka perlu direspons."Choirul, yang menjadi salah satu anggota Komite Kebijakan KUR, berjanji memfasilitasi pertemuan anggota komite dengan instansi lain yang berkepentingan untuk mengambil keputusan, setelah peringatan Hari Koperasi pada 12 Juli 2009.Kredit bermasalahSelain pembebasan BI Checking, persoalan lain yang dipandang serius dan mengkhawatirkan dalam penyaluran KUR saat ini adalah meningkatnya risiko kemacetan pengembalian kredit yang sudah melampaui ambang batas 5%.Tingkat kegagalan pengembalian kredit atau non performing loan (NPL) dari keenam bank saat ini rata-rata 5,39%, terhitung 31 Mei 20090, adapun NPL terakhir per 30 April pada tingkat 4,41%.Kenaikan NPL dalam monitoring Kementerian Koperasi dan UKM merupakan bagian dampak dari krisis finansial global, tetapi belum bisa dipastikan tingkat kegagalan itu bersumber dari level usaha mikro dan kecil atau pada skala usaha menengah.Direktur UMKM BRI Sulaiman Arif Aryanto menjelaskan fenomena peningkatan NPL KUR sama dengan program kredit lain di perbankan. Namun, ada perbedaan dalam penyelesaiannya."Untuk mengatasi NPL program KUR untuk UMKM terlebih dahulu dilakukan pola 3 R, yakni restrukturisasi, rescheduling dan reconditioning. Artinya jika debitor masih kooperatif dan usahanya masih prospektif, akan terus berjalan" papar Sulaiman Arif.Jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi debitur, bank akan melaksanakan klaim kepada perusahaan asuransi yang menjamin KUR. Kedua perusahaan tersebut adalah Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo).
Oleh Mulia Ginting Munthe
Bisnis Indonesia

Capres dinilai abaikan industri pariwisata Dampak berantai pengembangan sektor pariwisata dilupakan

JAKARTA: Pengembangan sektor pariwisata nasional dinilai kurang mendapatkan perhatian dari seluruh pasangan calon presiden/wakil presiden yang akan bertarung dalam pemilihan presiden 8 Juli mendatang.Para capres/cawapres cenderung mengabaikan sektor pariwisata yang sebenarnya merupakan bagian dari ekonomi kerakyatan yang selama ini diandalkan dalam upaya mendulang suara rakyat."Jujur saja, kami belum melihat komitmen ketiga capres bicara soal pariwisata. Belum ada yang secara spesifik menyinggung soal infrastruktur pariwisata dan pengembangan sektor ini nantinya," ujar Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Jakarta Rudiana kepada Bisnis, baru-baru ini.Orang-orang yang menjadi tim sukses capres/cawapres juga sebagian besar merupakan pakar politik dan ekonomi yang tidak terlalu memahami industri pariwisata. "Padahal ada banyak orang-orang berpengalaman di bidang itu yang bisa memberikan pandangan soal sektor ini."Menurut dia, pariwisata merupakan salah satu pilar untuk dapat mengurangi angka kemiskinan. Seperti diketahui, masalah kemiskinan merupakan topik utama yang sering dijadikan bahan kampanye para capres/cawapres.Pariwisata mempunyai dampak berantai pada sejumlah sektor usaha mulai dari restoran atau penjual makanan, hotel, hingga penjual cendera mata (souvenir)."Seharusnya pariwisata merupakan isu yang sangat seksi untuk dibawa dalam masalah ekonomi. Untuk masyarakat yang sudah mapan, pariwisata itu bukan lagi want [keinginan], tetapi sudah menjadi need [kebutuhan]," katanya.Program capres/cawapres dalam pengembangan daerah tujuan wisata merupakan hal penting yang ingin diketahui oleh para pelaku industri pariwisata. Hingga saat ini, objek wisata yang berkembang masih sangat terbatas, padahal Indonesia memiliki banyak daerah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi favorit wisatawan.Hingga saat ini, menurut Rudiana, fokus pengembangan industri pariwisata nasional belum dilakukan dengan optimal. "Pendapatan dari sektor pariwisata itu cukup signifikan kok. Memang mungkin belum terlalu sebanding dengan pemasukan dari sektor TKI. Untuk itu perlu digarisbawahi bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak turis asing masuk ke sini," jelas Rudiana.Pemasukan menyebarBen Sukma, Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asita, juga memberikan penilaian senada. Menurut dia, capres/cawapres yang akan berebut suara rakyat pada 8 Juli mendatang telah melupakan sektor pariwisata."Sampai dengan saat ini, tidak ada satu capres pun yang bicara soal pariwisata, padahal itu yang paling cepat menyejahterakan rakyat. Uang yang masuk dari sektor pariwisata ini kan menyebar, tidak hanya masuk ke orang-orang tertentu. Itulah mungkin sebabnya tidak ada yang tertarik bicara soal ini," ujarnya.Menurut Ben, masyarakat dapat merasakan langsung dampak dari pengembangan sektor pariwisata karena belanja turis yang datang akan menyebar, tidak hanya masuk ke kantong-kantong golongan tertentu.Dia menambahkan kebijakan pengembangan pariwisata nasional sebenarnya hanya membutuhkan kebijakan yang tepat untuk bisa mendongkrak pendapatan dari sektor tersebut. "Sebenarnya tidak perlu kapital, tetapi cukup dengan kebijakan. Pemerintah cukup membuat kebijakan yang bisa mendorong sektor ini, tanpa harus mengeluarkan anggaran yang besar," katanya.Sebelumnya, Direktur Pengembangan Potensi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Wiediarni mengatakan salah satu kendala penanaman modal di bidang pariwisata adalah pemerintah daerah yang kurang fokus dalam menawarkan potensi yang ada kepada calon investor.
Oleh Yeni H. SimanjuntakBisnis Indonesia

Peta industri biro iklanNasib jadi agensi 'gratisan'

Sejak beberapa bulan terakhir, iklan semakin 'akrab' di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Lihat saja beragam iklan para calon presiden yang kian rajin berseliweran di semua acara televisi, nampang di media cetak dan papan iklan (billboard), serta beragam bentuk media promosi lainnya.Namun, hingga kini tak ada yang mengetahui persis berapa banyak uang yang telah dibelanjakan untuk beragam iklan politik tersebut. "Hanya mereka [pengiklan] dan Tuhan yang tahu," ujar seorang pelaku di industri periklanan, setengah bercanda.Pantauan yang dilakukan The Nielsen Company Indonesia, perusahaan yang aktif melakukan survei terkait dengan iklan, agaknya juga tidak cukup dijadikan acuan. Nielsen menghitung nilai belanja iklan berdasarkan volume iklan yang dipantau dan tarif resmi (gross rate card) yang dipublikasikan media.Saat nilai belanja versi Nielsen yang ditanyakan kepada para pengiklan politik, mereka selalu berkelit bahwa itu bukan nilai sebenarnya. Dalil mereka, media memberikan potongan harga."Untuk iklan politik, mereka hanya mendapatkan diskon standar yakni 20%. Mereka juga harus pay before broadcast [membayar sebelum ditayangkan] atau paling tidak ada tenggat waktu pembayaran," ujar Narga Shakri Habib, Chairman PT Cabe Rawit, perusahaan biro iklan.Namun, pelaku industri periklanan lainnya membisikkan ada juga diskon besar-besaran yang diberikan media kepada pengiklan politik tertentu. "Ada iklan yang tampil sebanyak empat kali di satu halaman penuh koran, tetapi yang dibayar hanya untuk satu kali tampil," ujarnya.Kendati demikian, Narga yakin media tetap menjadi pihak yang diuntungkan dari hajatan politik lima tahunan tersebut. Namun, tidak demikian halnya dengan nasib pelaku industri biro iklan.Persaingan yang kian ketat antarbiro iklan, membuat akal sehat terkadang tak lagi dikedepankan. Praktik saling sikut telah membuat sejumlah biro iklan mengabaikan unsur kehati-hatian."Pada Pemilu 2004 saja masih ada [biro iklan] yang belum bayar, apalagi kalau partainya kalah," kata Narga.Narga yang sebelumnya menjabat Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), mengetahui persis masalah yang menimpa salah satu anggotanya tersebut. Perusahaan biro iklan yang tak kunjung menerima pembayaran atas jasanya membuat dan menempatkan iklan dari partai politik salah satu calon presiden pada Pemilu 2004 tersebut, sempat mengadukan masalahnya kepada PPPI.Namun, tak banyak yang bisa dilakukan. Biro iklan yang ketiban sial itu terlalu 'lugu' karena mengerjakan semuanya tanpa kontrak hitam di atas putih. Akibatnya, uang senilai kurang lebih Rp500 miliar tak kunjung diterima hingga pemilu kembali digelar kali ini."Ini akibat dari agency membutuhkan bisnis. Karena terlalu putus asa, mereka mengenyampingkan security [keamanan]," jelas Narga.Mengatur atau diatur?Idealnya, biro iklan berperan bak seorang manajer bagi sang pengiklan yang membayar mereka. Biro iklan sejatinya bukan hanya sebagai penyambung lidah antara pengiklan dan media."Idealnya, kalau profesional, semua strategi datang dari biro iklan. Jadi, seharusnya biro iklannya yang memberikan advice [saran kepada klien]," ujar FX. Ridwan Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan PPPI.Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Tak jarang biro iklan didikte oleh kliennya. Ketatnya persaingan membuat biro iklan tak bisa maksimal memainkan perannya.Berdasarkan data PPPI, saat ini tercatat setidaknya 400 perusahaan biro iklan yang tergabung dalam asosiasi tersebut. Itu belum termasuk perusahaan biro iklan di luar PPPI.Menurut Narga, tak selamanya biro iklan harus 'menghamba' pada pengiklan demi mendapatkan margin yang kian menipis."Kalau cuma mengandalkan komisi, itu calo namanya. Kami ini bukan tukang, tapi bagian dari expert," tegasnya.Kalau benar demikian, bukankah biro iklan yang seharusnya mengatur pengiklan? Apabila hal ideal ini terwujud, tak akan ada biro iklan yang jasanya dimanfaatkan secara 'cuma-cuma' oleh klien nakal yang hanya ingin gratisan.
Oleh Yeni H. Simanjuntak
Bisnis Indonesia

'Kriteria daerah pengakses dana darurat harus diperinci'

JAKARTA: Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah menyusun secara terperinci tentang kriteria daerah yang dapat mengakses dana darurat yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Dana Darurat.Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengatakan hal itu penting dilakukan karena dalam UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanya menyebutkan bahwa dana darurat hanya diperuntukkan bagi daerah yang terkena bencana dan yang mengalami krisis solvabilitas."Aturan penggunaan dana darurat harus memiliki kriteria teknis yang jelas, untuk apa dana darurat itu? Karena dalam UU misalnya, hanya untuk daerah yang kena bencana atau force majeur lainnya dan yang mengalami krisis solvabilitas," katanya di Jakarta, kemarin.Hary menjelaskan kriteria mengenai krisis solvabilitas di daerah harus diterangkan secara terperinci. "Kriterianya seperti apa di setiap daerah yang gagal melakukan krisis solvabilitas, agar DPR juga mudah melakukan penilaian," jelasnya.Alokasi dana darurat, tambahnya, dalam mekanisme APBN diambilkan dari pos belanja lain-lain.Pemerintah sebelumnya berencana mengalokasikan dana darurat sebagai instrumen untuk memberikan insentif bagi daerah yang melakukan penggabungan atau merger dengan daerah lain, selain bagi daerah yang mengalami bencana atau krisis solvabilitas.Menurut Direktur Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo, dana darurat sebagai insentif tersebut akan dimasukkan dalam RPP yang kini dalam proses pembahasan di Depkeu."RPP tentang Dana Darurat merupakan amanat dari UU No. 33/2004 Pasal 46 dan 47 yang menyebutkan lingkup dana darurat diberikan untuk keadaan yang digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang ditetapkan oleh Presiden, dan diberikan pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas," jelasnya.Pembahasan RPP tersebut ditargetkan selasai tahun ini sehingga dapat diberlakukan mulai tahun depan.Menanggapi rencana itu, Harry mengatakan apabila pemerintah pusat menghendaki daerah yang gagal dalam melakukan pemekaran daerah untuk melakukan merger, dasar hukumnya harus jelas."Karena saat suatu daerah melakukan pemekaran merupakan aspirasi rakyat daerah setempat."Meski demikian, Harry mengakui akibat maraknya pemekaran daerah mengakibatkan makin sempitnya ruang fiskal APBN. Itu terjadi, lanjutnya, karena dalam UU tentang Perimbangan Keuangan pusat dan daerah, penerimaan pemerintah pusat harus ditransfer ke daerah sebesar 26%."Kalau daerah bertambah banyak, pembagian bagi daerah akan makin kecil."Deputi Pengembangan Otonomi Daerah Bappenas Max Pohan mengaku pihaknya belum dilibatkan dalam pembahasan RPP tersebut oleh Depkeu. "Sepertinya PP itu masih in house Depkeu, kami belum diajak bicara untuk memberikan masukan," ungkapnya.Menurut dia, penggunaan istilah dana darurat untuk insentif bagi daerah yang melakukan merger dinilai kurang tepat karena dalam UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, istilah itu hanya dikenal untuk daerah yang terkena bencana.
Oleh Achmad ArisBisnis Indonesia

RUU pemakaian utang disiapkan

JAKARTA: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) siap memfasilitasi pemerintah untuk menyodorkan kembali RUU tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Utang Pemerintah kepada DPR.Syahrial Loetan, Sekretaris Utama Meneg PPN/Sestama Bappenas, mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan konsep mengenai pengaturan utang. Konsep ini telah disiapkan sejak 2000 dalam bentuk kajian akademis dan draf RUU sehingga bisa dijadikan rujukan."Kalau RUU itu memang dikehendaki oleh masyarakat secara luas, dan demi kepentingan bangsa, kami tinggal menyiapkannya," katanya kemarin.DPR baru-baru ini mendesak pemerintah menyodorkan RUU tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Utang Pemerintah untuk mengatasi masalah pengelolaan dan pemanfaatan utang. (Bisnis/dea)