Jumat, 08 Mei 2009

Topeng Politik dan Kaburnya Ideologi

Meski pengumuman hasil pemilu belum selesai, kini sudah dapat ditebak siapa kira-kira yang menang dalam pemilu saat ini. Dari hasil penghitungan sementara yang diekspos berbagai media, baik elektro maupun surat kabar, Partai Demokrat (PD) yang paling unggul dalam perolehan suara jika dibandingkan dengan partai-partai yang lain. Kemudian, disusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan seterusnya. Setelah melihat tren hasil suara seperti itu, sekarang seluruh partai sibuk berkoalisi demi masa depan partai tersebut (berkuasa). Selain itu, koalisi partai tersebut dilakukan untuk mengegolkan capres dan cawapres. Para elite politik pada saat ini sibuk mencari siapa yang pantas menjadi temannya dan siapa yang akan ''dimusuhinya''. Pada titik ini, dalam dunia politik, persahabatan dan permusuhan dalam waktu sesaat menjadi sangat rentan terjadi. Itu dibuktikan Partai Golkar yang pada awalnya diramalkan tetap berkoalisi dengan PD, namun dalam waktu relatif singkat Golkar memutuskan hubungan dengan PD. Kemudian, Golkar sibuk mencari teman partai lain yang bisa diajak koalisi. Dalam kondisi seperti itu, partai bisa berkoalisi dengan partai yang sebelumnya dimusuhi, misalnya Golkar bisa berkoalisi dengan PDIP yang sebelumnya menjadi oposisi pemerintah. Fenomena koalisi yang tak menentu dan serbamungkin pada saat ini akan mendekonstruksi nilai-nilai idealitas dalam ideologi yang diusung partai. Nilai-nilai ideologis menjadi kabur, program-program yang didagangkan partai-partai pada saat kampanye menjadi tak jelas, semuanya ingin dilampaui dalam koalisi. Tentu semua itu demi mencapai kekuasaan. Dari sini muncul topeng-topeng politik yang banyak dipakai para elite partai politik untuk mencapai kekuasaan. Suara rakyat yang bermuatan ideologis dan harapan dibengkokkan, ditarik ke sana kemari oleh para elite partai untuk mencapai kekuasaan. Konsekuensinya, suara rakyat kehilangan muatan dan esensi. Suara rakyat hanya dijadikan dagangan oleh elite partai untuk mencapai kekuasaan yang akan mereka nikmati.Dengan demikian, secara tidak langsung elite partai telah membohongi dan menyakiti rakyat yang memberikan kepercayaan kepada partai untuk membawakan aspirasi, ideologi, dan harapan mereka. Kini para elite partai yang ingin berkuasa dan memakai topeng dalam rangka mencari teman untuk berkoalisi demi mencapai kekuasaan, menggunakan intrik-intrik, strategi ilmu politik bertopeng. Dalam ilmu komunikasi politik bertopeng, pertemuan antarsesama elite politik bisa saja memasang muka yang ramah, penuh dengan senyum dan tawa, namun menyimpan duri sekaligus madu yang akan diejewantahkan pada saat mereka berpisah. Dalam waktu singkat, bisa saja tampang ramah itu akan hilang karena pada saat pertemuan tidak menghasilkan kesepakatan untuk berkoalisi. Di sini, topeng akan dipakai dalam waktu sesaat, namun bisa saja dipakai selamanya bila memungkinkan. Tentu semua itu dimainkan untuk mencapai kekuasaan. Dalam ilmu politik bertopeng tersebut, yang menjadi motivasi hanyalah hasrat untuk mencapai kesenangan dalam kekuasaan. Para elite politik yang seperti ini, menurut Soren Kierkegaard (1813-1855), hanya menggunakan nilai-nilai estetikus dan melupakan nilai-nilai etis dan religius. Nilai-nilai estetikus itu bisa diejewantahkan lewat bentuk tingkah laku bertopeng untuk mengelabui orang-orang lain agar bisa diperalat untuk dijadikan tangga mencapai kekuasaan. Topeng tersebut bisa berbentuk wajah yang manis, panuh senyum dan tawa, janji yang menggiurkan, dan seabrek tingkah laku yang sebenarnya palsu dan membohongi diri sendiri serta orang lain. Orang yang memakai topeng demi tujuan politik oportunis itu sebenarnya telah menghilangkan eksistensi dan mengaburkan ideologinya. Kehilangan eksistensi dan mangaburnya ideologi akan menjadikan manusia hipokrit yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang diembannya dan menjadikan dirinya teralienasi dari dirinya yang sebenarnya.Nilai-nilai etis yang berupa hubungan dengan orang lain mereka buang, dan parahnya, orang seperti ini akan juga kehilangan kepercayaan atau keyakinan (religiusitas) terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dibangunnya (baca: ideologi). Orang yang berada dalam ranah estetis, menurut Kirkegaard, adalah manusia paling rendah yang sangat pragmatis. Teori filsafat eksistensialis sepeti ini tak ubahnya teori psikologi yang diusung Sigmund Freud, di mana jiwa manusia itu terdiri atas id, ego, dan superego. Orang yang hidup dalam kategori estetikusnya Kirkegaard sama dengan hidup dalam dunia id-nya Freud. Mereka yang hidup dalam dunia estetikus atau id itu adalah mereka yang hanya menuruti hawa nafsunya dan melupakan rasionalisasi (ego) yang menjadi polisis sebuah keinginan dan nilai-nilai yang dibangun dari pengetahuan agama, ideologi, tradisi, adat, pemikiran, dan lain-lain yang datang dari luar (superego). Sebagian besar elite politik pada saat ini telah terperangkap dalam dunia estetikus Kierkegaard dan id Freud. Demi kekuasaan, mereka lupa terhadap eksistensinya dan ideologi yang dibangun bersama dengan masyarakat yang menaruh harapan dan kepercayaan besar kepadanya. Para elite politik telah menjerumuskan dirinya dalam jurang kemanusiaan yang paling rendah dan mengaburkan eksistensinya. Alih-alih ingin mengaktualisasikan diri dalam kekuasaan, sebenarnya mereka telah menenggelamkan diri mereka dalam lumpur hawa nafsu serakah yang hina. Sebab, yang tampak adalah bagaimana mereka bisa duduk di kursi kekuasaan meski dengan memakai topeng kemunafikan.
*). Masykur Arief Rachman, pnasihat politik The Hasyim Asy'arie Institute Jogjakarta

Tidak ada komentar: