Jumat, 08 Mei 2009

Problematika peningkatan tax ratio

Harian Bisnis Indonesia 18 Desember 2007 memberitakan kritikan atas kinerja administrasi pajak yang dinilai belum berhasil menaikkan tax ratio (perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dan jumlah produk domestik bruto), yang belum beranjak dari kisaran 13,5% atau selevel dengan Laos.Angka tax ratio ini boleh jadi akan menurun lagi apabila kita membaca headline Bisnis 28 Desember 2007, yang mengabarkan bahwa berdasarkan data MPN, penerimaan pajak sampai 26 Desember masih sekitar Rp320,48 triliun atau 81% dari APBNP (di luar PPh migas). Dengan proyeksi penerimaan Desember dua kali dari penerimaan bulanan rata-rata (sampai November Rp300 triliun), ditambah dengan pajak ditanggung pemerintah dan lainnya (versi Bisnis 28 Desember) akan diperoleh angka penerimaan pajak sekitar Rp377,5 triliun. Selanjutnya, kalau ditambah dengan penerimaan perpajakan lainnya (versi Bisnis 18 Desember Rp94,7 triliun) akan diperoleh total penerimaan perpajakan Rp472,2 triliun. Dengan PDB sebesar Rp3.804 triliun akan diperoleh tax ratio sebesar 12,41%. Karena tax ratio 2005 sebesar 12,5% dan 2006 sebesar 12,3%, tampaknya capaian tax ratio 2007 ya sekitar itu-itu juga. Tax ratio menunjukkan sejauhmana kemampuan pemerintah mengumpulkan pendapatan pajak atau menyerap kembali PDB dari masyarakat dalam bentuk pajak. Rendahnya tax ratio atau penyerapan pajak oleh pemerintah dapat dimaknai sebagai masih besarnya porsi PDB yang dapat secara bebas dibelanjakan masyarakat untuk konsumsi dan keperluan lainnya. Dalam buku Lessons of Tax Reform, Bank Dunia (1991) menyatakan bahwa walaupun sistem pemajakan di tiap negara dapat berbeda selaras dengan kondisi ekonomi, sosial, kultur dan historis, level kemampuan pemajakan dapat diukur dari tax ratio yang secara umum berkisar 15%-20% di negara berkembang dan 30% atau lebih di negara maju. Berdasarkan kriteria ini, maka level pemajakan kita secara internasional tampaknya masih di bawah negara berkembang. Oleh karena itu, di tahun mendatang kita semua (pemerintah dan masyarakat pembayar pajak) harus bekerja lebih keras dan cerdas untuk meningkatkan capaian tax ratio agar dari kemampuan pemajakan, Indonesia dapat termasuk level negara berkembang.Kenapa rendah?Fungsi utama sistem pajak adalah pengumpulan penerimaan negara dalam jumlah yang cukup, stabil, elastis dan berkesinambungan (Silvia A. Madeo et all dalam Sommerfeld's Concepts of Taxation, 1995). Seberapa baik dan canggihnya sistem pajak serta efektivitas administrasi pelaksanaannya selalu diukur dengan capaian target penerimaan. Bank Dunia menyatakan sistem pajak yang kurang baik disainnya dan kurang pas pengadministrasiannya sehingga kurang berhasil memberikan penerimaan perlu direformasi.Sekarang ini kita lagi berada dalam upaya reformasi regulasi pajak (UU PPh dan UU PPN). Oleh karena itu, semua pihak yang terkait dengan reformasi tersebut layak mempertimbangkan untuk berhasil menyusun regulasi handal sehingga mampu meningkatkan penerimaan, tanpa melupakan sama sekali motivasi lain dari sistem pajak. Harapan peningkatan tax ratio semakin diperbesar lagi dengan upaya reformasi administrasi (modernisasi kantor pajak dengan mengedepankan paradigma excellent services untuk mendorong kepatuhan pembayar pajak) dan sekaligus dilengkapi dengan reformasi birokrasi untuk lebih mengefektifkan kinerja aparat pelaksana sistem pajak. Selain belum mampunya pemerintah meningkatkan pengumpulan pajak, rendahnya capaian tax ratio boleh jadi disebabkan oleh beberapa unsur (Ikhsan dan Solomo, 2002): (1) rendahnya pendapatan perkapita masyarakat, (2) belum memadai tersedianya dan berfungsinya sarana dan prasarana perekonomian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, (3) belum majunya perekonomian dan bahkan masih banyak sektor informal, underground dan cash economy (tanpa record memadai) yang pada umumnya sulit pemajakannya (hard-to-tax society), (4) terpusat dan belum tersebar meratanya kegiatan perekonomian sehingga kurang mengembangkan potensi pemajakan, dan (5) pola pengeluaran masyarakat yang umumnya masih terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak mungkin dipajaki dan bahkan malah harus disubsidi. Di negara berkembang, kalau kelompok miskin tak layak dikenakan pajak, kelompok kaya juga tak mudah dikenakan pajak karena selain mereka secara politis berpe-ngaruh, juga tidak adanya single identity number mempersulit melokalisasi subjek pajaknya, tidak adanya basis data yang baik dan kemampuan akses data juga mempersulit pengecekan kebenaran dan kelengkapan objek pajak. Walaupun, misalnya, majalah Forbes mengidentifikasi 40 orang kaya Indonesia dengan aset sekitar US$5,4 miliar, dan majalah atau media lain memublikasi daftar beberapa konglomerat serta perusahaan dengan keuntungannya, saya kira juga masih memerlukan proses untuk mencetak data publikasi tersebut menjadi surat ketetapan pajak yang collectible. Modernisasi kantorSelain beberapa unsur penyebab tersebut, kepatuhan para pembayar pajak juga ikut menentukan kinerja penerimaan sistem pajak. Semakin patuh wajib pajak memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan, semakin tinggi penerimaan pajak.Tiga pendorong kepatuhan meliputi: (1) stringent enforcement, (2) excellent services, dan (3) services dan selective enforcement. Dengan modernisasi kantor dan reformasi birokrasi (dengan perbaikan remunerasi dan kode etik), sebenarnya pemerintah sudah mengubah paradigma mendorong kepatuhan dari enforcement ke excellent services yang berdasar teori trade-off transactions dengan asumsi bahwa apabila kepada pembayar pajak diberikan pelayanan prima atas hak dan kewajiban pajaknya mereka akan patuh memenuhi kewajibannya. Memang terdapat pendapat lain yang menyatakan sebagai pengeluaran yang membebani usaha atau mengurangi disposable income masyarakat, peningkatan pelayanan pajak tidak serta merta meningkatkan kepatuhan dan bahkan keduanya sepertinya merupakan hal yang berbeda (Wischnevsky dan Damanpour: 2006). Dari sebuah penelitian seorang kandidat doktor di UGM mengonfirmasikan bahwa modernisasi kantor pajak sejak 2002 belum memberi pengaruh perbaikan kinerja penerimaan yang signifikan. Menurut teori ekologi populasi, perubahan drastis organisasi menghadapi risiko recycling organisasi dimaksud sepertinya menjadi pemula kembali dan berakibat menurunnya kinerja. Apalagi kalau model perubahan bersifat mimetic isomorphisme (meniru sepenuhnya praktik yang berlaku di negara lain), DiMaggio dan Powel (1983) menyatakan bahwa perbedaan level pendidikan (masyarakat dan aparat), perkembangan ekonomi, kultur serta penguasaan teknologi dapat memengaruhi capaian kinerja. Apabila kinerja penerimaan merupakan tujuan utama administrasi pajak, ketika kinerja belum seperti yang diharapkan, maka harus dicari strategi baru dan sekaligus memotivasi aparat untuk menerapkan strategi dan praktik baru. Dalam strategi baru tersebut misalnya termasuk selective enforcement yang memberikan deterrent effect yang efektif sehingga kepatuhan (melapor dan membayar) meningkat, pemilihan tax handles (instrumen dan sistem pemungut pajak) yang aman, murah, nyaman, tetapi efektif pada seluruh titik-titik pengenaan dan pemungutan pajak, pembentukan data base yang komprehensif dan akses data yang efektif untuk check-recheck kewajiban pajak secara handal, dan sebagainya. Kurang signifikannya pengaruh modernisasi kantor terhadap kinerja penerimaan pajak, perlu mendapat perhatian kita bersama untuk reorientasi agar juga bisa menjawab tantangan dan problematika umum administrasi pajak dewasa ini.

Tidak ada komentar: