Jumat, 08 Mei 2009

NU dari Pilpres ke Pilpres

[ Jum'at, 08 Mei 2009 ]
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada SU MPR 1999 adalah puncak capaian NU alam kehidupan politik. Para pendukung Gus Dur di gedung MPR menangis haru dan bersyukur, salawat badar pun berkumandang. Semua warga dan tokoh NU merasa bangga.Tahun 2000, Pesantren Tebuireng mengalami lonjakan santri baru lebih dari 50 persen. Itu mungkin juga terjadi di pesantren lain. Khitah NU 1926, tampaknya, terlupakan. Terasa seakan politik adalah tugas utama NU dan juga seperti menjadi alasan utama NU didirikan. Banyak sekali aktivis dan SDM terbaik dalam kalangan NU terserap ke partai politik. Sayang, Gus Dur tidak lama menjabat presiden RI. Lengsernya Gus Dur itu memang menimbulkan pro-kontra, tetapi sudah menjadi kenyataan. Hampir semua warga NU tidak bisa menerima pelengseran tersebut.Titian di Pilpres 2004 Pada Pilpres 2004, banyak sekali warga NU berpendapat bahwa NU layak mempunyai presiden lagi. Pertama, karena merasa bahwa Gus Dur diperlakukan dengan tidak fair sehingga tidak bisa menjabat sampai akhir masa jabatan. Kedua, karena menganggap jumlah jamaah NU besar sehingga layak kalau presiden RI adalah tokoh NU. Hal yang sama, tampaknya, juga dirasakan warga Muhammadiyah.Struktur NU, tampaknya, juga merasa bahwa jamaah dan jam'iyyah NU layak mempunyai capres atau cawapres. Dalam Konferensi Besar NU 2002, sudah terdengar suara untuk mengajukan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi sebagai cawapres. Pada 2003, sejumlah ketua PW NU mengajukan usul serupa. Pada Desember 2003, Presiden dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Pesantren Al Hikam Malang, milik ketua umum PB NU. Di sana, Megawati berjumpa sejumlah kiai NU berpengaruh di Jawa Timur. Media menganggap kunjungan itu bagian dari pendekatan Megawati terhadap jamaah NU untuk melamar ketua umumnya. PDIP, rupanya, berpendapat bahwa dengan menggandeng ketua umum PB NU, sebagian besar warga NU akan memilih Megawati.Sementara itu, Gus Dur tetap ingin maju sebagai capres dari PKB walaupun kondisi kesehatannya tidak mendukung. Akhirnya, keinginan itu tidak terpenuhi karena Tim Ahli Kedokteran IDI menyatakan bahwa dari sudut pandang kesehatan, Gus Dur tidak layak.Tanpa direncanakan dan tanpa meminta, ternyata saya menjadi cawapres pendamping Wiranto. Karena itu, suara warga NU terbelah dan kedua tokoh NU tidak berhasil menang. Warga NU ternyata tidak semua memilih dua tokoh NU tersebut, bahkan pada putaran kedua lebih banyak yang memilih SBY-JK. Presiden Tidak Memihak Saat ini jamaah dan jam'iyyah NU menghadapi realitas yang menyedihkan dan tidak terbayangkan sebelumnya. Tidak ada seorang pun tokoh NU yang meramaikan bursa capres/cawapres. Memang ada mantan ketua umum PMII yang menjadi ketua umum dua partai papan tengah, tetapi tampaknya ketokohan mereka belum membuat mereka menjadi cawapres yang potensial. Sebenarnya ada tokoh NU potensial, yaitu Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah, tetapi pamornya meredup setelah kalah dalam pilgub Jatim. Potensinya besar karena warga Muslimat NU berjumlah belasan juta dan loyal terhadap organisasi. Muslimat NU adalah satu-satunya badan otonom NU yang eksis sampai ke bawah. Keberhasilannya mengimbangi Soekarwo dalam pilgub Jatim adalah berkat dukungan warga Muslimat NU Jatim.Republika 27/4/09 memuat pernyataan ketua umum PB NU: ''Nahdliyyin harus memilih presiden Indonesia yang mau berjuang dan berdakwah untuk Islam. Sebab, akidah Islam saat ini sedang dalam ancaman, terutama aliran-aliran sesat, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL)''. Selanjutnya dikatakan: ''Jadi, ini adalah tugas negara untuk menumpasnya. Selama ini, seperti apa penanganannya? Maka itu, PB NU hanya mengarahkan nahdliyyin agar memilih presiden yang ikut berdakwah memerangi ajaran-ajaran yang menyesatkan.'' Pernyataan tersebut memancing reaksi banyak sekali tokoh muda NU melalui milis "bahtsul-masail-nu". Memang banyak keluhan kiai NU berpengaruh terhadap maraknnya perkembangan JIL. Tidak jelas apakah sudah ada keputusan resmi dari organisasi NU tentang sesatnya Islam liberal. Yang sudah jelas, PB NU belum bisa mencapai kesepakatan tentang Ahmadiyah itu sesat walaupun disepakati ajaran itu salah. Apakah presiden RI harus berdakwah untuk kepentingan salah satu agama, apalagi sampai terlibat dalam masalah internal seperti memerangi ajaran-ajaran sesat? Tugas presiden adalah menegakkan UUD dan UU secara adil serta melindungi seluruh tumpah darah dan rakyat, tidak boleh memihak kepada salah satu agama.Pernyataan ketua umum PB NU (''Jadi, ini adalah tugas negara untuk menumpasnya. Selama ini, seperti apa penanganannya?'') dan pernyataan banyak tokoh Islam menyiratkan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak membubarkan Ahmadiyah. Dalam masalah Ahmadiyah, MUI dan ormas Islam bisa menyatakannya sebagai aliran sesat, tetapi dalam masalah pembubarannya, (kita) harus mengacu kepada UUD dan UU. UU No 1/PNPS/1965 yang menjadi landasan kebijakan pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD oleh sejumlah tokoh dan organisasi pendukung HAM. Tetapi, kenyataannya, tidak ada satu pihak pun yang mengajukan uji materiil UU tersebut ke MK.
Oleh : KH Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang

Tidak ada komentar: