Selasa, 05 Mei 2009

Krisis sebagai simpul perubahan

Krisis ekonomi 11 tahun silam telah menjadi momentum untuk mendesakkan reformasi, walaupun hasilnya sampai kini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Akankah krisis yang menjemput kita kali ini akan menjadi momentum untuk menuntaskan cita-cita reformasi? Ada baiknya kita menengok kisah reformasi paling sukses di muka Bumi: Restorasi Meiji.
Kisah reformasi yang terjadi di Jepang di bawah Kaisar Mutsuhito ini tercatat sebagai reformasi paling sukses sepanjang sejarah. Sebagai negara kepulauan, sampai pertengahan abad ke-19 Jepang masih merupakan monarki yang sangat kaku dan terisolasi. Saat itu, kaisar melaksanakan kebijakan isolasi (isolationis) yang cenderung xenophobia.
Meiji yang berpikiran maju merombak kebekuan dengan mengakhiri kebijakan mengisolasi diri dan antiasing. Tidak berhenti dengan itu saja, dia juga memprakarsai sebuah program untuk memodernisasi Jepang dengan mengimpor mesin-mesin dari negara yang paling maju dalam revolusi industri.
Berkat gerakan itu, dalam waktu seperempat abad Jepang sudah mampu mengadakan industrialisasi hingga sebanding dengan Eropa dan Amerika Serikat di bidang teknologi. Meiji dalam hal ini tidak lain berperan sebagai sosok pemimpin yang reformatif. Dia mampu melihat kebuntuan (deadlock) yang terjadi dan melihat ada yang tidak beres serta dengan tepat melakukan diagnosis akar permasalahannya.
Selanjutnya dia membuka cakrawala pemikiran rakyat Jepang melalui para penguasa setempat (Shogun) yang dipersatukan untuk membuka diri sekaligus melakukan modernisasi. Di sini, dia memengaruhi orang lain, mengajak, dan mengarahkan. Dia secara efektif menggerakkan orang-orang yang potensial dalam lokomotif perubahan yang dikemudikannya.
Satu peran menonjol yang menentukan dalam kesukesan perubahan itu adalah saat dia menanamkan sistem nilai dalam modernisasi. Dalam kesempatan itu ia menekankan bahwa modernisasi bukanlah sekadar alih teknologi, melainkan sebuah sistem nilai.
Dengan menanamkan sistem nilai, Meiji juga berhasil melakukan modernisasi tanpa terjebak kepada westernisasi. Nilai-nilai dan akar budaya yang positif dipertahankan dan bahkan diperkuat. Sementara nilai-nilai modern seperti penghargaan terhadap waktu dan keterbukaan diadopsi. Dengan demikian, dia tidak mengharapkan abu dari modernisasi, tetapi api, jiwa dan semangat modernisasi itu sendiri.
Untuk perubahan
Krisis merupakan tantangan bagi seorang pemimpin, karena keandalan seorang pemimpin justru diuji pada saat-saat sulit. Pemimpin besar sering dilahirkan dalam situasi krisis. Sejatinya keandalan seorang pemimpin justru diuji pada saat-saat sulit. Pemimpin besar sering dilahirkan dalam situasi krisis. Soekarno, Gandhi, dan Churchil sebagai pemimpin bangsa, serta Ghosn dan Iaccoca dari dunia bisnis menjadi besar karena kepemimpinan yang menonjol dalam situasi krisis.
Prinsip utama dalam kepemimpinan pada masa krisis adalah mengajak untuk menerima realitas tanpa diikuti kecemasan yang berlebihan. Di satu sisi mempunyai kepekaan terhadap krisis, di sisi yang lain mempunyai sikap yang positif sehingga tidak kehilangan harapan dan larut dalam kecemasan.
Seorang pemimpin dan organisasi yang dipimpinnya dapat diibaratkan seorang nakhoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan. Dalam perjalanannya, sang nakhoda senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan yang strategis, baik dalam kondisi normal, kritis karena diserang badai, maupun stagnan.
Seorang pemimpin harus selalu mengingatkan tentang 'pulau harapan' yang menjadi tujuan semua yang berada di kapal dan memelihara semangat untuk berusaha mencapainya dengan mengatasi badai 'krisis' yang menerjang.
Krisis acap dipersepsikan negatif. Dalam perspektif sejarah krisis diartikan sebagai turning point in history/life, suatu titik balik dalam kehidupan yang dampaknya memberikan pengaruh yang signifikan, bisa ke arah positif dan bisa pula negatif, bergantung pada reaksi yang ditunjukkan oleh individu, kelompok masyarakat atau suatu bangsa.
Ahli strategi menyatakan bahwa krisis adalah zero hour yang berarti tidak ada waktu lagi untuk berdiam diri, tetapi harus segera melakukan tindakan tertentu. Ada desakan waktu terkait dalam definisi ini, di mana penundaan suatu tindakan akan membawa konsekuensi negatif.
Bagi ahli keuangan, krisis didefinisikan sebagai time of difficulty atau danger yang diartikan kondisi sulit yang sifatnya 'berbahaya' atau mengancam kelangsungan hidup atau normalitas kehidupan individu, kelompok tertentu atau perusahaan. Dalam ketiga definisi ini, tercermin suatu kecemasan, sehingga konotasi krisis menjadi lebih banyak dikaitkan dengan keruntuhan dan konsekuensi negatifnya.
Sebaliknya, seorang pemimpin tidak menganggap krisis sebagai kendala semata, tetapi harus mencari peluang di balik sebuah krisis. Memang di dalam krisis selalu terdapat adanya ancaman (threats), tetapi yang harus digali adalah peluang-peluang (opportunity) yang sebenarnya terbuka justru karena adanya krisis.
Seorang pemimpin selayaknya mempunyai sudut pandang positif terhadap krisis, sudut pandang optimistis, sehingga krisis dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meraih puncak keberhasilan yang tinggi.
Krisis adalah simpul perubahan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembaharuan. Dalam kehidupan organisasi sehari-hari, kita selalu berhadapan dengan ketidakpastian dan perubahan. Pemimpin membuat prediksi di atas ketidakpastian dan mengelola sumber daya di tengah perubahan.
Situasi kritis menempatkan organisasi pada titik tertentu, sehingga perubahan harus dilakukan agar tetap bertahan hidup sekaligus melakukan ancang-ancang untuk menunggu momentum yang tepat agar kembali berkembang. Krisis yang terjadi membuka peluang bagi perbaikan sistem yang telah usang untuk kemudian diciptakan model dan seperangkat prosedur yang dapat berfungsi lebih efisien demi mendukung berbagai aktivitas organisasi pada masa depan. Oleh karena itu, semangat pembelajaran selama masa krisis menjadi penting.
oleh : A. B. SusantoManaging Partner The Jakarta Consulting Group/bisnis.com

Tidak ada komentar: