Selasa, 27 Oktober 2009

Bantalan risiko likuiditas mendesak Bank perlu lebih siap hadapi krisis ekonomi

Berita Keuangan :

JAKARTA: Bantalan risiko likuiditas mendesak diterapkan pada perbankan guna menghindari gagal operasional yang timbul dari penarikan dana masyarakat secara mendadak. Instrumen itu bisa berupa surat berharga dengan minimum kepemilikan 10%-15% dari aset.

Pendapat tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk The 4th Jakarta Risk Management Convention di Jakarta, kemarin. Sejumlah kalangan juga menyarankan risiko likuiditas itu masuk dalam instrumen permodalan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad menjelaskan yang perlu diperhatikan perbankan adalah pengelolaan likuiditas dalam situasi krisis terutama bagi bank yang memiliki kewajiban besar, tetapi bermodal kecil.

"Itu pada umumnya jadi vurnerable [tingkat kerentan] terhadap kemungkinan terganggunya aspek suplai itu besar, sehingga bank itu harus mampu memiliki kemampuan mengelola risiko likuiditas," ujarnya.

Menurut dia, secara alamiah kelangsungan hidup perbankan sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola likuiditas karena bank bergantung pada sumber dana pihak ketiga.

"Oleh karena itu, kemampuan untuk mendeteksi risiko likuiditas menjadi satu hal yang menjadi perhatian bank termasuk oleh BI," jelasnya.

Deputy Chairman of Australian Prudential Regulation Authority (APRA) Ross Jones mengatakan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan perbankan dalam menghadapi krisis ekonomi. Beberapa di antaranya adalah meningkatkan kemampuan likuiditas, menguji sumber dana, memonitor kualitas kredit dan fokus pada peningkatan permodalan.

Gagal operasi


Menurut dia, dari beberapa aspek itu yang paling mendesak diterapkan adalah risiko likuiditas mengingat kejadian gagal operasional karena ketidakseimbangan antara aset dan liabilitas.

"Manajemen risiko itu penting buat sistem perbankan. Sekarang banyak lembaga keuangan fokus ke manajemen likuididtas," katanya.

APRA saat ini mengusulkan peningkatan persyaratan risiko likuiditas, setelah industri perbankan di Negeri Kanguru itu memenuhi ketentuan risiko kredit, pasar dan operasional. Rencana itu akan diterapkan pada 2010.

Adapun Indonesia sendiri, dalam rangka adopsi Basel Accord II, baru menerapkan risiko kredit dan risiko pasar, meskipun belum secara menyeluruh, sedangkan pada tahun ini risiko operasional mulai diberlakukan.

Adapun, dalam roadmap Arsitektur Perbankan Indonesia terkait dengan manajemen risiko likuiditas belum masuk ke dalam program tersebut.

Ketua Harian Badan Sertifikasi Manajemen Risiko Gandung Troy mengatakan penerapan bantalan risiko likuiditas sangat diperlukan guna mengantisipasi apabila suatu bank terjadi penarikan dana pihak ketiga (DPK).

"Saat ini DPK itu kan menjadi kredit, jadi apabila terjadi penarikan dana bank akan kesulitan memenuhi likuiditas," katanya.

Untuk itu, dia mengusulkan bantalan risiko likuiditas itu diterapkan melalui instrumen surat berharga dengan rasio minimal 10%-15% dari aset.

"Saat ini dalam ketentuan Basel II masih dirumuskan berapa besar batas minimunya, tetapi angka 15% itu cukup ideal." (hendri T Asworo/bisnis. com/s)


Tidak ada komentar: