Kamis, 29 Oktober 2009

Wakil Menteri dan Politik Akomodasi

MASIH ada partai politik yang belum puas dengan kursi menteri yang mereka terima. Pos wakil menteri yang diwacanakan SBY juga bakal menjadi rebutan. Tampaknya, pos orang nomor dua di dapartemen itu membuat politisi berancang-ancang agar bisa mendapat jatah.

Golkar, misalnya, sudah kebelet. Bahkan, seperti yang dikatakan Priyo Budi Santoso, pihaknya sudah menyetor nama. Dan, Golkar sangat yakin mendapat jatah untuk menambah perbendaharaan kadernya di eksekutif.

Padahal, rambu-rambu untuk pos wakil menteri itu sudah terang benderang dalam UU Kementerian Negara. Wakil menteri harus dari pejabat karir titik. Kalau kita berada dalam terminologi dikotomi parpol dan karir, sudah seharusnya para politisi tahu diri untuk tidak perlu menetes air liurnya melihat pos yang bakal diadakan di sekitar enam hingga tujuh departemen itu.

Kita tidak bisa membayangkan, kalau kemudian pos wakil menteri juga menjadi bancakan partai politik. Misalnya, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat yang merupakan representatif Golkar diberi wakil dari partai lain. Bisa-bisa satu saat, bila terkait kepentingan parpol masing-masing antara menteri dan wakil menteri berbeda pendapat. Si menteri bilang "yes'', jangan-jangan wakilnya menyebut ''tidak.''

Jabatan wakil menteri ini benar-benar membuat partai politik tergoda. Apalagi, bila tugas wakil menteri sebagai operator. Posisinya yang sangat strategis bisa memberi keuntungan bagi partai politik.

Sekarang tinggal SBY sebagai pemegang hak tunggal untuk menentukan personal menteri dan wakilnya. Sebab, bisa saja SBY memberikan pintu masuk ke kader parpol dengan cara memperluas pengertian "karir" yang menjadi rambu di undang-undang itu.

Umpamanya, pengertian "karir" menjadi multitafsir. Karir adalah orang yang sedikit tidaknya: pernah bersentuhan dengan masalah departemen bersangkutan. Nah, misalnya untuk pos wakil Departemen Perdagangan, orang yang pernah menjadi pengusaha bergerak di bidang perdagangan boleh masuk. Padahal, kader parpol yang berpredikat seperti itu berjibun. Mereka pun masuk sebagai wakil menteri dengan cara baju parpolnya dilapisi mantel sebagai pengusaha tadi itu.

Kita juga berharap pos wakil menteri bukan tempat mengakomodasi kelompok tertentu. Mungkin ada grup yang tidak terakomodasi dalam kabinet lantas diberi panggung wakil menteri. Umpamanya, menjadi wadah kelompok yang merasa ikut menjadi tim sukses SBY-Boediono, namun hingga kini merasa belum mendapat dividen politik. Bisa saja kelompok ini ditampung dengan dalih kaum profesional.

Kita benar-benar berharap niat pembentukan wakil menteri itu untuk memberi dampak yang sangat positif untuk mendorong kinerja kabinet. SBY sebaiknya mengangkat orang profesional serta mempunyai kompetensi dengan tugas yang diberikan. Bukan menjadi instrumen politik akomodasi. (*/jp.com/sfl)

Tidak ada komentar: