Rabu, 28 Oktober 2009

Indonesia dalam Pusaran G-20 dan ASEAN

KEINGINAN ASEAN berperan dalam perundingan G-20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand pekan lalu merupakan salah satu langkah maju dalam proses integrasi ekonomi ASEAN. Terbukanya akses dan peluang kerja sama dengan 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan semakin diakuinya peran regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi global. Dalam proses ini, Indonesia memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya negara ASEAN di G-20 dan memiliki posisi strategis sebagai ''penyambung" kepentingan ASEAN dan G-20.

Kekhawatiran negara-negara ASEAN atas kemungkinan Indonesia mengabaikan ASEAN dan lebih fokus ke G-20 sesungguhnya menunjukkan kekhawatiran negara-negara ASEAN bahwa mereka tidak dapat ikut ''ambil bagian" dalam keuntungan yang dimiliki Indonesia ini. Hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya yang harus dikhawatirkan saat ini bukanlah jika Indonesia meninggalkan ASEAN, tapi jika Indonesia ''menggiring" negara-negara ASEAN untuk menganaktirikan sendiri kerja sama ekonomi mereka.

Tidak dapat dimungkiri bahwa keuntungan ekonomi yang ditawarkan G-20 jauh lebih besar daripada yang ditawarkan ASEAN. Jika dibandingkan dengan G-20 yang mencakup 80% total perdagangan dunia dan memiliki 67% penduduk dunia, ASEAN bisa dikatakan hanya merupakan ''anak bawang" dalam ekonomi dunia. Jika harus memilih, rasanya, seluruh negara ASEAN pun akan memilih mencari akses masuk ke organisasi ini kendati harus ''sedikit" mengorbankan kepentingan bersama ASEAN. ASEAN sendiri sejak pertama membentuk integrasi ekonomi terbukti belum mampu meningkatkan peran ekonomi mereka secara signifikan di kancah internasional dan bahkan justru memiliki kecenderungan mengedepankan kepentingan masing-masing negara secara individu dan bukan secara kolektif.

Integrasi Setengah Hati

Dalam ekonomi internasional, penghilangan hambatan dagang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya guna meningkatkan output global. Perdagangan bebas (seharusnya) memungkinkan para konsumen dan produsen memperoleh barang serta jasa dengan harga yang lebih murah sehingga kesejahteraan dapat lebih ditingkatkan. Sayang, hal itu tidak tampak dalam kerja sama ekonomi ASEAN. Kendati telah ada kesepakatan mengenai pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1992, efek penghapusan hambatan tarif terhadap arus perdagangan antarnegara ASEAN belumlah tampak.

Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang menjadi landasan perdagangan bebas ASEAN pun belum terbukti mampu meningkatkan perdagangan antara sesama negara anggotanya (intra-ASEAN trade). Meski telah ada peningkatan intra-ASEAN trade pasca pemberlakuan AFTA, peningkatannya masih jauh jika dibandingkan dengan peningkatan perdagangan dengan non-anggota ASEAN (extra-ASEAN trade).

Data dari ASEAN Affairs pada 2009 menunjukkan bahwa intra-ASEAN trade hanya mencakup kurang lebih 20-30% dari keseluruhan perdagangan ASEAN (kecuali untuk Myanmar) atau dengan kata lain, sekitar 70-80% dari perdagangan negara ASEAN dilakukan dengan negara non-ASEAN. Angka ini sangatlah rendah jika dibandingkan dengan persentase intra-trade blok ekonomi lain semisal Uni Eropa yang intra-trade-nya mencapai lebih dari 60% ataupun North America Free Trade Area (NAFTA) yang mencapai 50%.

Salah satu penyebab rendahnya intra-ASEAN trade adalah beberapa negara anggota juga mengajukan permohonan penundaan penghapusan tarif untuk komoditas tertentu, seperti Malaysia yang mengajukan penundaan penghapusan tarif untuk komoditas otomotifnya karena dirasa belum sanggup mengikuti perdagangan bebas. Beberapa tindakan yang dilakukan negara-negara ASEAN itu memunculkan kesan bahwa sesungguhnya integrasi ekonomi ASEAN adalah integrasi ''setengah hati", di mana keinginan politik dan loyalitas negara-negara anggotanya untuk berintegrasi sebenarnya sangatlah minim.

Terbukanya akses ke G-20 seharusnya disikapi dengan lebih bijak oleh negara anggota ASEAN. Tidak dapat dimungkiri bahwa kerja sama ASEAN dan G-20 akan menjadi prospek yang baik untuk negara anggotanya secara individu karena membuka akses negara mereka ke pasar global.

Namun di satu sisi, harus dipertimbangkan juga beberapa hal. Konsekuensi terbesar kerja sama ASEAN dan G-20 adalah akan semakin terabaikannya proses integrasi ekonomi ASEAN, mengingat banyak anggota G-20 yang merupakan mitra dagang utama negara-negara ASEAN. Dengan peluang kerja sama yang semakin terbuka lebar, sangat besar kemungkinan bahwa banyak negara ASEAN yang akan memilih lebih mengintensifkan kerja sama dagang dengan mitra dagang utamanya melalui kerja sama ASEAN-G20 daripada memperbaiki mekanisme kerja sama intra-ASEAN. Di satu sisi, tidak mungkin bagi negara-negara ASEAN untuk mengorbankan kerja sama ASEAN karena memiliki makna politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi negara anggotanya. Dengan berbagai hambatan teknis dan politis yang sudah ada, "godaan" dalam bentuk G-20 tentu akan menjadi batu sandungan berat bagi integrasi ekonomi negara-negara ASEAN.

Posisi Strategis Indonesia

Dengan posisi yang sedemikian penting dalam penentuan arah kebijakan integrasi ekonomi ASEAN, sudah seharusnya Indonesia lebih berhati-hati dalam bertindak. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Indonesia tidak akan "meninggalkan" ASEAN hendaknya diikuti dengan tindakan nyata. Dengan posisi tawar (bargaining power) yang bagus di ASEAN, Indonesia seharusnya dapat menjadi pelopor dan penggerak utama untuk penguatan kerja sama ekonomi ASEAN. ASEAN sendiri memiliki peran politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi Indonesia sehingga sangat disayangkan jika kerja sama ekonomi yang menjadi salah satu landasan pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) tidak berjalan secara maksimal. Indonesia saat ini ibarat "berada di dua tempat sekaligus" sehingga memungkinkan bagi kita untuk mengatur dan mengontrol dengan tepat posisi serta pergerakan ASEAN dalam skema kerja sama ASEAN-G20. Dengan keuntungan ini, seharusnya Indonesia bisa mengambil inisiatif utama untuk perubahan dan perbaikan mekanisme kerja AFTA saat ini.

*) P.M. Erza Killian, staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya, Malang, dan alumnus University of Queensland, Australia
(jp.com)

Tidak ada komentar: