Kamis, 29 Oktober 2009

Dekadensi Politik Kiai

KIAI itu bukan cendekiawan yang -seperti ditamsilkan Arief Budiman-berumah di angin. Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam perihidup kiai, tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisanga, sosok kiai hadir terutama sebagai misionaris.

Dalam perkembangan kiprahnya, kiai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen -oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur, di mana kiai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkus-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari, dan sering harus mengonsolidasikan mereka untuk ''menghadapi dunia luar".

Dalam konteks ini, jelaslah bahwa kiai pada dasarnya juga pemimpin politik. Sepanjang sejarah, kiai senantiasa menjadi pengimbang (counterfailing-elite) terhadap para penguasa keraton. Catatan Sartono Kartodirdjo bahkan lebih menegaskan lagi fungsi kepemimpinan politik kiai itu: pada sekitar 600 kali pemberontakan petani melawan VOC selama abad ke-19, hampir seluruhnya diprakarsai oleh gerakan-gerakan tarekat, dimotivasi dengan seruan-seruan agama, dan dipimpin oleh kiai! Ketika komunitas di sekitar kiai mengalami tekanan dari luar, fungsi kepemimpinannya menuntut dia untuk tidak tinggal diam.

Semua analisis sosiologis dan ekonomis menyatakan bahwa di bawah rezim kapitalis modern, komunitas-komunitas lokal semakin tertekan. Politik ekonomi negara justru cenderung mempersempit ruang gerak mereka. Lebih-lebih setelah globalisasi, di mana negara itu sendiri tertekan oleh kekuatan-kekuatan raksasa global, komunitas-komunitas lokal kian lantak. Di tengah situasi ini, bukankah peran politik kiai sebagai pemimpin lokal semakin relevan? Bahkan, cukup banyak kiai masa kini yang semangat berpolitiknya tumbuh justru karena masih diliputi ''romantisme peran kepemimpinan masa lalu" itu.

Hanya, kiprah politik kiai dewasa ini memang menunjukkan tanda-tanda ''dekaden". Pengaruhnya memudar, langkah-langkahnya rombeng dan tumpul, pilihan-pilihannya ceroboh, serta sasaran-sasarannya remeh. Tak heran jika sebagian orang menjadi jemu dibuatnya, kemudian menyerukan agar kiai-kiai itu berhenti saja dari mengurusi politik. Dekadensi tersebut berakar pada sekurang-kurangnya sejumlah faktor berikut:

Pertama, wawasan politik kiai belum juga beranjak dari wacana kitab kuning. Dalam wacana kepustakaan klasik pesantren itu, kekuasaan hanya dikaitkan dengan jabatan (imaamah). Maka, yang dibicarakan hanya seputar kriteria normatif calon pejabat (imaam), tata-cara mendaulat pejabat (nashbul imaam), dan etika kepejabatan atau panduan akhlak untuk pejabat. Politik memang soal kekuasaan. Tak ada politik tanpa keterkaitan dengan kekuasaan. Masalahnya, sebagian besar kiai belum menyadari adanya wujud-wujud kekuasaan selain jabatan. Yang tampak dari kiprah politik mereka nyaris seluruhnya berkutat di seputar dukung-mendukung calon pejabat di berbagai cabang dan tingkat pemerintahan.

Kiai belum cukup memahami kekuasaan dalam wujud kekuatan kelompok penekan, dalam wujud penguasaan sumber daya-sumber daya ekonomi, alam, dan manusia, dalam wujud jaringan kepentingan, dan sebagainya. Memahami saja belum, apalagi memainkannya secara kreatif.

Kedua, gerusan peradaban global telah meruntuhkan batas-batas komunitas independen yang menjadi keratonnya kiai pada masa lalu. Kini, praktis kerajaan kiai hanya sebatas pagar batas pesantrennya. Intensitas pergulatannya dengan masyarakat di luar pagar itu berkurang. Kalaupun masih ada ikatan khusus dengan kelompok-kelompok tertentu, posisi-pusat kiai lebih berwatak selebritas ketimbang kepemimpinan langsung. Dengan sendirinya, penghayatan kiai terhadap kepentingan komunitas lokal pun berkurang.

''Kepentingan sempit" dari lembaga pondok pesantren miliknya sendiri semakin mendominasi motivasi politik kiai. Kalaupun ada agitasi tentang kepentingan yang luas, tema dan argumennya malah bersifat abstrak seperti: membela agama, antikomunis, antiliberal, anti-Ahmadiyah, antiporno, dan sebagainya. Kepentingan riil komunitas lokal terlewati. Celakanya, gagasan-gagasan abstrak yang akhir-akhir ini digemari sejumlah kiai itu -walaupun mungkin populer di media massa- justru oleh rakyat banyak tak dirasakan relevansinya dengan masalah-masalah nyata kehidupan mereka. Kiprah politik kiai pun kian teralienasi dari lingkungannya.

Ketiga, kemiskinan yang merajalela dan kehidupan ekonomi yang semakin sulit telah merontokkan nilai luhur dan ideologi dari daftar motivasi politik rakyat. Masa depan yang terasa gelap membuat mereka tak acuh kepada kepentingan jangka panjang. Barangsiapa memberikan sedikit kenyamanan untuk hari ini -bukan janji besok, apalagi masa depan yang jauh-kepadanyalah mereka berpihak.

Bahkan, agama itu sendiri kian tersingkir dari pusat pergulatan hidup mereka. Jangan-jangan, merebaknya minat terhadap agama dewasa ini bukan demi agama itu sendiri. Yang terasa justru kesan bahwa masyarakat memburu agama seperti orang sakit mencari pengobatan alternatif: jalan pintas untuk keluar dari kesulitan. Sambutan antusias terhadap seruan bersedekah tidak didorong oleh rasa keagamaan dan solidaritas sosial yang menguat, tapi oleh motivasi untuk memperoleh ganjaran rezeki yang berlipat dari yang telah dikeluarkan. Kiai dihayati sebagai dukun, politik uang diterima dengan riang-gembira.

Jelas bahwa yang menjadi masalah bukan keterlibatan kiai dalam politik, tapi kualitasnya. Menyerah dan menarik diri dari politik justru berarti putus asa. Tantangan kiai adalah bagaimana memperkaya wawasan, memperdalam intensitas keterlibatan terhadap kepentingan-kepentingan kaum lemah, serta mengasah kreativitas dan keterampilan dalam memberdayakan dan memanfaatkan instrumen-instrumen politik yang lebih beragam.

*) Yahya C. Staquf, Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang

(jp.com)

Tidak ada komentar: