Jumat, 06 November 2009

Peritel jual rugi diancam denda KPPU segera rampungkan pedoman UU No.5/1999

JAKARTA: Peritel yang melakukan praktik jual rugi terancam dikenai denda hingga Rp25 miliar, menyusul dirampungkannya aturan pedoman pelaksanaan Pasal 20 UU No. 5/ 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Komisioner KPPU Dedie S. Martadisastra mengatakan praktik jual rugi atau di bawah harga pokok penjualan merupakan salah satu cara ampuh untuk menyingkirkan pesaing.

"Peritel modal kuat menyingkirkan dan menghancurkan pesaing dengan cara menjual produk lebih murah dari harga pasar. Setelah pesaingnya mati, peritel yang menjual rugi itu akan menaikkan harga barangnya," katanya, kemarin.

Untuk menjalankan praktiknya itu, peritel modal besar juga bisa menekan dana sendiri yang dikeluarkan untuk menjual rugi, karena memiliki daya tawar yang tinggi untuk mendapatkan diskon lebih besar.

Pembelian skala besar yang didukung modal kuat membuat peritel mampu mendapat diskon lebih besar, dan menyebabkan pemasok terpaksa menekan keuntungan yang diperolehnya dari penjualan satu produk.

Ketika ditanyakan pengawasan soal jual rugi akan menutup kesempatan bagi konsumen untuk mendapat harga yang jauh lebih murah, Dedie mengatakan setiap industri punya harga pokok.

"Jika ada peritel yang menjual di bawah harga pokok, apa maksudnya?" kata Dedie.

Dalam Pasal 20 UU No. 5/1999 dijelaskan pelaku usaha dilarang memasok barang dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga sangat rendah untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 huruf (f) UU Larangan Praktek Monopoli, KPPU mempunyai tugas menyusun pedoman pelaksanaan UU No.5/ 1999.

Direktur Eksekutif National Meat Processor Association (Nampa) Haniwar Syarif mengharapkan dengan pedoman jual rugi maka ada batasan jelas penetapan harga yang rendah. "Praktik itu bisa menghancurkan struktur harga."

Haniwar menjelaskan praktik jual rugi yang dilakukan peritel juga merepotkan pemasok, seperti pelanggan lain yang kemudian menjadi marah dan akhirnya malas menjual produk yang dihasilkan industri tersebut.

Uang kembalian

Sementara itu, Depdag memerintahkan peritel modern untuk membayarkan uang pengembalian konsumen dalam bentuk uang berapa pun jumlahnya sesuai dengan UU No. 23 tentang Bank Indonesia.

Direktur Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Radu Malem Sembiring mengatakan seluruh peritel modern harus menyerahkan kembalian dalam bentuk uang, bukan permen atau model donasi.

"Uang recehan, BI [Bank Indonesia] menyatakan tersedia, sedangkan pelaku ritel mengaku kesulitan mendapatkan uang recehan. Jadi, hanya masalah komunikasi saja," ujarnya saat rapat koordinasi soal pengembalian uang belanja, kemarin.

Hadir dalam rapat tersebut seperti perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan sejumlah pelaku ritel modern, seperti Alfamart, Indomart, Superindo, Tip Top, Dunkin Donuts, Indomart, Naga Swalayan, Midimart, Alfa Express dan Asoiasi Peritel Indonesia (Aprindo).

Dalam rapat tersebut, seluruh peritel menyepakati untuk tidak membayar kembalian dengan permen atau donasi. (linda.silitonga@bisnis.co.id/mari.benyamin@bisnis. co.id)

Oleh Linda T. Silitonga, MariA Y. Benyamin & Sepudin Zuhri
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: