Senin, 02 November 2009

Semangat mewirausahakan BUMNMeneg BUMN berhadapan dengan kenyataan beragamnya kondisi BUMN

Berbeda dengan pengangkatan Menteri Kesehatan yang sarat kontroversi, baik sebelum maupun pascapelantikan Endang Rahayu Sedyaningnish, penunjukan Menteri Negara BUMN Mustafa Abukabar relatif steril dari pemberitaan publik.Kematangan berorganisasi sejak usia muda, pengalaman panjang di jalur birokrasi hingga mengantarkannya sebagai Penjabat Gubernur Aceh, dan posisinya sebagai eksekutif puncak BUMN, merupakan modal dasar untuk mendapatkan tingkat penerimaan publik (accessibility) lebih baik. Nyaris tanpa sentimen negatif diberikan kepadanya meskipun kinerja BUMN yang lebih baik masih harus dibuktikan dalam beberapa hari mendatang.Keberadaan profesional sebagai Menteri Negara BUMN memang menjadi dambaan publik. Publik khawatir kalau BUMN dikendalikan fungsionaris partai, aset besar yang ada di dalamnya digunakan untuk kepentingan politik tertentu yang tidak terkait kemaslahatan orang banyak.Besarnya biaya politik di Indonesia pascareformasi membuat kerisauan massal terhadap keberadaan aset negara. Fakta empirik menunjukkan makin banyaknya politisi dan penyelenggara terjerat masalah penyalahgunaan wewenang dan korupsi.Sebagai profesional, Mustafa Abubakar tentu sangat paham liku-liku dimaksud, sehingga di pundaknyalah upaya peningkatan daya saing BUMN secara terprogram dan terstruktur harus diagendakannya secara objektif dan realistis. Tentu dalam aplikasinya harus tetap memperhatikan kesantunan berpolitik sehingga dapat berjalan lebih mulus.Masalahnya, pada era legislative heavy seperti sekarang, tidak ada satu pun kebijakan penyelenggaraan negara luput dari pengawasan parlemen. Dengan kata lain, bagaimanapun baik dan jempolnya program, kalau tidak dapat dikomunikasikan secara lugas dan santun dengan parlemen, pastilah menimbulkan interpretasi beragam dan benturan kepentingan.Kalaupun tidak, jalan menuju tujuan dan sasaran minimal terhambat. Program kerja ramah politik menjadi instrumen penting.Secara internal, Mustafa Abubakar berhadapan dengan kenyataan beragamnya kondisi BUMN, mulai dari kelas gajah dengan aset besar hingga teri beromzet kecil yang nyaris terlupakan.Salah satu petunjuk besar-kecilnya peran BUMN tadi adalah isu menyangkut penggantian manajemen atau direksi yang selalu menjadi sorotan publik dari berbagai penjuru. Belakangan faktor internal tadi ditambah kecenderungan menguatnya bargaining position serikat pekerja.Dalam banyak kasus, serikat pekerja potensial menjadi kelompok penekan (pressure group). Begitu diketahui kalau manajemen BUMN lemah dalam membaca tanda-tanda zaman, upaya apa pun yang dilakukan untuk membawa kebangkitan dan kejayaan korporasi bakal menemui sandungan.Demikian pula, meskipun kewenangan mengangkat direksi sepenuhnya berada di kementerian negara selaku kuasa pemegang saham, masuknya orang luar ke dalam jajaran BUMN yang diskenariokan mampu mengakselerasi kinerja, sering pada awalnya menimbulkan benturan dengan serikat pekerja.Publik sering salah duga. BUMN diidentikkan dengan kultur feodal, sulit merespons perubahan, prosedur berbelit-belit, karier pegawai tidak jelas, terjebak formalitas semu, sarang KKN, tidak transparan, dan sejumlah atribut negatif lain berkonotasi menyesatkan.Orang lupa bahwa saat badai krisis finansial menghantam Indonesia dan ditandai banyaknya perusahaan swasta terjebak utang-utang berkepanjangan dan bahkan sebagian di antaranya pailit, BUMN tampil dengan perkasa.Selamat dari krisisSikap lamban BUMN dalam beberapa hal justru membuatnya selamat dari prahara krisis. Bahwa untuk meningkatkan kinerja dan menjadikannya korporasi berkelas dunia melalui restrukturisasi, re-engineering, dan rekonstruksi peran sejalan berubahnya tuntutan publik, tentu semua pihak tidak menolaknya.Orang-orang luar yang paham perilaku organisasi (organizational behavior) BUMN, terutama kalangan akademisi, melihat bahwa dalam BUMN sendiri terdapat banyak orang berkualifikasi profesional dan capable.Kompetensi leadership dan manajerialnya pun tidak kalah dengan pengusaha swasta. Pendidikan formal pekerja BUMN juga tak terlalu jelek amat. Di samping pelatihan intensif dengan melibatkan sejumlah institusi kompeten, tidak sedikit di antara mereka mendapatkan kesempatan studi lanjut di negeri-negeri kapitalis dan sekolah bisnis terkemuka dunia yang melahirkan banyak eksekutif andal.Persoalannya, mengapa mereka tidak dapat berbuat banyak ketika berada di lingkungan internal? Dari sejumlah inventarisasi, ternyata kondisi internal lah yang kurang mendukung, sementara mereka tidak mampu tampil sebagai pengambil insiatif dalam menggerakkan kemajuan.Prosedur lamban sengaja dibiarkan karena mereka tidak ingin menyalahi aturan. Beda pendapat dalam pengambilan keputusan kurang berkembang lantaran dipersepsikan secara salah sebagai bibit konflik yang menyulitkan aplikasi dan eksekusinya di lapangan.Tidak mengherankan kalau akhirnya sejumlah keputusan manajerial diambil secara musyawarah. Pendelegasiannya ke bawah demikian rigid dan berjenjang, sering tidak terjadi integrasi antara yang diharapkan manajemen dan bawahan di lapangan.Orang-orang muda beridealisme tinggi mengeluh dan frustrasi setelah sejumlah ide dilontarkan tidak mendapat respons positif, sementara kalangan lebih senior melihat anak-anak muda kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dan daya juangnya payah.Lebih runyam lagi karena penetapan jajaran komisaris dan direksi lebih banyak ditentukan pertimbangan politik dibandingkan dengan profesionalisme. Tidak ada masalah karena pengangkatan tersebut murni kewenangan pemerintah selaku pemegang saham BUMN, tetapi ketika yang diberi amanah pada posisi tersebut tidak tepat, akuntabilitasnya pun dipertanyakan.Gurauan tentang kinerja manajemen tidak kompeten di kalangan pekerja menguras energi yang sebenarnya dapat ditransmisikan ke kinerja unggul untuk menghadapi kompetitor.BUMN dan perusahaan swasta pada dasarnya hanyalah beda dalam konteks kepemilikan sahan. Saham swasta dimiliki perorangan atau banyak orang, sedangkan BUMN dimiliki negara.Persoalan lain terkait tata kelola, peningkatan kinerja, seleksi pekerja dan jajaran manajemen, serta sasaran yang harus dicapai pada dasarnya tidaklah terlalu signifikan berbeda. Hanya saja semangat wirausaha (entrepreneurship) swasta lebih menonjol dibanding BUMN.Ini semua terkait besarnya rasa bangga dan memiliki terhadap perusahaan yang jauh lebih baik. Karena itu yang harus dilakukan Mustafa Abubakar dan para petinggi BUMN di bawahnya adalah mengagendakan transformasi, antara lain dengan mengusung semangat kewirausahaan ke dalam BUMN. Selamat bekerja Pak Mustafa Abubakar.
Oleh Adig Suwandi
Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI (Persero)

Tidak ada komentar: