Jumat, 06 November 2009

UU No. 30/2009 dan penghapusan subsidi BBM Pemerintah kurang yakin kepada PLN untuk mengatasi krisis listrik

Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan baru saja disahkan. Seperti halnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, undang-undang ini beraroma liberal.

Apabila kita tengok Pasal 11 Ayat 1 undang-undang tersebut tampak bahwa pemerintah membuka peluang bagi BUMN (di luar PLN), swasta, koperasi, bahkan LSM untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Munculnya (kembali) ayat ini menunjukkan (sekali lagi) kekurangyakinan pemerintah pada kemampuan PLN untuk mengatasi krisis tenaga listrik. Dengan berbagai keterbatasan, khususnya finansial, memang berat bagi PLN untuk melakukannya seorang diri.

Jadi, sesungguhnya, Undang-undang No. 30 Tahun 2009 bertujuan menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mengatasi krisis tenaga listrik secara bersama-sama.

Namun, banyak diantara kita sudah mahfum bahwa menyediakan tenaga listrik butuh investasi luar biasa besar. Oleh karena itu, sejumlah kalangan mengkhawatirkan adanya kenaikan tarif listrik yang cukup signifikan sebagai kompensasi atas investasi yang telah ditanamkan, khususnya oleh swasta.

Mengapa swasta yang ditakutkan? Pertama, karena swastalah dengan modal besarnya yang paling berpeluang masuk ke bisnis ini. Kedua, berbeda dengan BUMN, koperasi dan LSM, swasta memiliki motif murni untuk mencari keuntungan.

Keuntungan maksimal dapat diraih utamanya dengan menjual listrik dengan harga tinggi. Toh, mau tidak mau, masyarakat akan membeli karena memang membutuhkan.

Sesungguhnya tingginya tarif listrik dapat dihindari seandainya swasta yang masuk lebih dari satu dan KPPU tegas menjaga agar tak terjadi kartel di antara mereka. Lalu, kita juga masih punya PLN yang menjaga tarif agar tetap terjangkau.

Apabila masih ada pembaca yang menganggap kedua hal tersebut hanya ditemukan di Republik Mimpi, ada kebijakan yang lebih konkret tapi kontroversial, yaitu penghapusan subsidi BBM bagi penyediaan tenaga listrik.

Bukankah itu malah membuat tarif dasar listrik (TDL) jadi lebih mahal? Tentu saja tidak karena subsidi kemudian dialihkan ke energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Mengapa ke energi ini?

Pertama, energi ramah lingkungan dan terbarukan telah ditetapkan sebagai tulang punggung penyediaan tenaga listrik 10.000 MW tahap kedua. Lalu, dengan mengalihkan subsidi ke energi ini, pemerintah tidak saja memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita (menekan polusi) tapi juga tak perlu khawatir akan kehabisan energi seperti halnya energi berbasis fosil. Di samping itu, energi ramah lingkungan dan terbarukan umumnya lebih efisien. Salah satu contohnya adalah energi panas bumi.

Kuasai 40%

Mungkin belum banyak pembaca yang mengetahui bahwa Indonesia merupakan penyimpan energi panas bumi terbesar di dunia, yaitu 40% dari seluruh cadangan dunia. Biaya penyediaan tenaga listriknya pun (jauh) lebih murah dibandingkan BBM (8 sen versus 65 sen).

Meski belum termasuk subsidi, dengan biaya sebesar itu, PLN masih bisa bertahan dengan TDL yang berlaku sekarang. Harga panas bumi tak akan sefluktuatif harga BBM karena tak seperti BBM, panas bumi tak dapat diekspor sehingga tak bisa menjadi objek spekulasi.

Selain itu, selama ini besaran harga panas bumi diatur dengan kontrak jangka panjang dengan eskalasi harga sesuai inflasi. Dari sisi pasokan, ketersediaan energi panas bumi pun relatif lebih teratur karena seluruhnya disalurkan melalui pipa dari sumbernya menuju ke pembangkit listrik. Jadi, tak mungkin tiba-tiba menghilang seperti halnya BBM.

Walau begitu, perlu disadari bahwa dewasa ini pengembangan energi ramah lingkungan dan terbarukan masih (jauh) tertinggal dibandingkan dengan pengembangan energi berbasis fosil.

Energi panas bumi, misalnya, dari 27.140 MW cadangan tersimpan (reserves= 13.070 MW, resources= 14.070 MW), baru 1052 MW yang termanfaatkan (total installed capacity) atau pemanfaatannya masih kurang dari 5%.

Data ini menunjukkan bahwa pemanfaatan energi panas bumi untuk membangkitkan tenaga listrik menjadi sebuah PR besar negara kita. Adanya kebijakan subsidi bagi kedua macam energi tersebut dapat mendorong percepatan pengembangannya.

Subsidi dapat menjadi insentif bagi para investor karena membuat harga jual listrik berbasis energi ramah lingkungan dan terbarukan menjadi (jauh) lebih murah, sehingga akan meningkatkan daya beli masyarakat akan tenaga listrik.

Cuma, sekali lagi, kebijakan penghapusan subsidi BBM bagi tenaga listrik adalah sebuah kebijakan kontroversial karena aroma politik yang amat kental. Akankah pemerintah berani melakukannya? Kita tunggu saja.

Oleh Budi W. Soetjipto
Dosen FE UI

Tidak ada komentar: