Senin, 02 November 2009

Membentuk kabinet efektifMenteri harus lapang dada menerima penilaian dan kritik dari koleganya

Pada sidang pertama kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan pertumbuhan 7%. Angka 7% sebenarnya bukan merupakan angka yang fantastis terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang sudah agak tertinggal dari teman bangsa sebayanya.Yang menjadi kendala ialah, apakah resources yang tersedia cukup mendukung pertumbuhan 7% itu. Seperti dalam rumah tangga perusahaan, apabila CEO menetapkan laju pertumbuhan tertentu, dia harus melihat jumlah modal yang tersedia, apakah itu modal kerja ataupun modal investasi, baik itu yang bersumber dari uang sendiri maupun pihak ketiga.Modal yang berasal dari pihak ketiga, sering disebut pinjaman, dapat bersumber dari dalam negeri ataupun luar negeri. Dana dalam negeri mungkin masih lumayan, sayangnya karena inefisiensi perbankan (atau ambisi mencetak laba besar) dan adanya kecenderungan risk averse (tidak berani/mau mengambil resiko), maka dana-dana ini masih relatif mahal.Dana itu ditempatkan di dalam portofolio yang tidak langsung berkaitan dengan pengembangan sektor riil, karena lebih aman dan sangat menguntungkan pula.Inilah yang terjadi pada bank-bank besar seperti BCA, Bank Mandiri, BRI, BNI, dan lainnya. Sumber dana luar negeri kebanyakan berupa hot money yang sangat opportunies sangat bersifat jangka pendek, jadi bukan untuk tujuan-tujuan investasi atau pengembangan sektor riil.Jika demikian apa dasar pertumbuhan 7%, apakah itu bukan sekadar tantangan yang secara logis sebenarnya tidak mungkin tercapai dalam beberapa tahun ke depan ?Saya berpendapat Presiden tentu mempunyai recipe untuk mencapai tingkat kesulitan itu, mungkin ada faktor X yang tidak terlihat dalam barisan-barisan asumsi-asumsi yang dapat terlihat oleh pengamat.Mungkin ada software (faktor-faktor intangible) yang kuat sehingga kelemahan-kelemahan hardware (faktor tangible) seperti diuraikan di atas dapat tertutupi. Presiden Yudhoyono menyebutkan bahwa terdapat tiga semboyan yang diperlukan tim kabinetnya yakni change and continuity, debottlenecking/acceleration/enhancement dan unity, together we can.Penulis ingin mengangkat salah satu dari unsur software atau faktor intangible tersebut, ialah kekuatan atau efektivitas daripada suatu tim, yang berkaitan dengan semboyan ketiga.Banyak perusahaan besar yang mengalami berbagai kendala dalam hal tangible tadi, dapat bersaing bahkan menjadi dominan di pasarnya karena kekuatan suatu tim. Saya ambil contoh perusahaan telekom TDC (Sunrise) di Switzerland yang berjaya karena Kim Frimer dapat mengefektifkan timnya menghadapi pasar yang sangat kompetitif.Suatu tim menjadi efektif kalau terdapat unsur trust, saling percaya dan terbuka di antara anggota tim. Di antara anggota tim tidak ada yang disembunyikan, juga tidak ada keraguan untuk mengutarakan hal-hal yang terburuk pun di dalam tim.Kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan anggota tim diakui terbuka dan juga dapat menerima hal yang menyakitkan (vulnerable).Punya kelemahanBegitu juga tiap orang anggota mesti mempunyai kelemahan. Dari waktu ke waktu Presiden memonitor perbaikan daripada kelemahan ini. Yang terakhir mengenai trust ini adalah yang berkaitan dengan vulnerability yang disebut.Setiap anggota tim harus dengan lapang dada dapat menerima penilaian dan kritik yang konstruktif dari anggota timnya. Ini harus dibiasakan, jangan merasa berada dalam ruang aman (comfort zone) terus.Unsur selain trust, adalah konflik. Adanya perbedaan pendapat (conflict) bahkan ideologi pun, tidak jadi masalah. Yang menjadi masalah ialah apabila konflik tersebut menimbulkan kerusakan yang meluas (collateral damage).Supaya tidak begitu, seorang pemimpin tim harus mengingatkan anggotanya bahwa konflik itu adalah perlu (necessary evil). Mungkin hanya robot yang tidak akan konflik dengan robot lain (kecuali di film).Anggota tim konflik dengan anggota lainnya adalah jamak. Yang tidak jamak adalah kalau karena itu tim pecah. Di sini peran kualitas seorang pemimpin menentukan.Di dalam dunia riset dan akademis, konflik diperlukan untuk mendapatkan suatu sublimasi yang lebih tinggi. Kalau semua selalu yes malah bahaya. Seorang pemimpin harus mampu merumuskan satu model atas tingkah laku konflik yang patut.Unsur ketiga adalah komitmen, di mana setiap anggota tim harus mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang harus dicapai, bagaimana departemen tiap anggota kabinet menyongsong dan mendukung pertumbuhan 7% itu.Pada setiap akhir rapat kabinet, tiap anggota tim kabinet harus merumuskan keputusan-keputusan kunci dari rapat dan mengomunikasikan keputusan-keputusan tersebut kepada bawahannya.Tindak lanjut keputusan harus menetapkan deadline pencapaian. Mereka yang melaksanakan disiplin deadline tersebut harus dihargai, dan itu harus rigid (tidak molor).Di setiap rencana dan keputusan harus ada worst case scenario, disebut contingency plan.Unsur keempat adalah tanggung jawab (accountability). Unsur keempat ini bukanlah sekadar siapa bertanggung jawab, melainkan juga menyangkut dengan suatu standar dan tingkah laku yang tinggi.Dalam menerapkan asas akuntabilitas yang tinggi setiap anggota kabinet harus mengetahui persis (bukan kira-kira) sasaran yang harus dicapai kabinet sebagai tim dan setiap anggota kabinet tersebut.Pola tingkah laku seperti apa yang disyaratkan untuk mencapai sasaran tersebut. Selanjutnya, secara periodik Presiden harus mengomunikasikan hasil-hasil yang dicapai timnya (progress review) dibandingkan dengan rencana.Apabila Presiden akan memberikan penghargaan, yang menerima haruslah tim bukan individu daripada tim. Presiden harus meyakinkan anggota kabinetnya bahwa tanggung jawab kabinet adalah tanggung jawab tim, jadi apabila seorang anggota kabinet tidak mendukung bahkan merongrong sasaran tim tersebut, dia tidak akan segan-segan bertindak, melakukan perubahan, sesuai dengan semboyan yang dicanangkan Presiden itu.Ukuran keberhasilan tim kabinet adalah hasil. Setiap anggota tim harus berfokus pada hasil, jika tim tidak berhasil, tentu tidak ada anggota tim yang berhasil. Oleh sebab itu, ego daripada tim adalah ego kolektif, bukan individual. Apabila penghargaan akan diberikan, itu harus didasarkan pada hasil, dengan perkataan lain yang berhak menerima penghargaan adalah anggota tim yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap berhasilnya pencapaian tim.Penulis ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan bahwa tiadanya trust sesama anggota tim, dapat menciptakan konflik yang merugikan yang selanjutnya melemahkan komitmen anggota terhadap timnya, yang akhirnya mengabaikan pencapaian hasil. Apabila hal itu terjadi niscaya target pertumbuhan ekonomi 7% tinggal sebagai wacana.
Oleh Janpie Siahaan
Dosen IPMI Graduate School of Business

Tidak ada komentar: