19 Maret 2009 • 1:23 pm
Siapa partai yang paling banyak cakap?
Ini asumsi penelitiannya: Partai dan elitnya yang paling sering muncul di media massa, mulai dari koran, majalah, tabloid, radio, internet dan seterusnya. Partai yang paling banyak selebaran, baleho dan billboardnya. Partai yang paling sering kampanye terbuka mengerahkan seluruh massanya ke jalan-jalan.
Karena dia asumsi, naikkan dia ke derajat hipotesis baru kemudian disimpulkan. Habis itu, generalisasikan saja. Soal salah atau benar, urusan kedua, yang penting metode sudah benar.
* * *
Elit parpol makin lincah mencari duit di sela-sela kampanye. Ini gejala internasional bukan lokal, nasional, maupun regional. Pemilu di Amerika Serikat saja, yang dikatakan sebagai mbahnya demokrasi, mesti mengerahkan ratusan ribu massanya dalam pertemuan akbar. Mulai dari gymnasium, lapangan olahraga, convention hall dan seterusnya. Siapa bilang untuk melakukan itu tak perlu duit? Siapa pula bilang orang Amerika tak mata duitan?
Untuk kampanye terbuka memerlukan energi dan dana yang luar biasa. Karena karakternya begitu, maka dia merupakan lubang uang bagi elit-elit politik maupun para tim sukses. Para TS akan sangat bersemangat untuk mendorong-dorong partai melakukan itu. Padahal, apa tujuannya?
Ya, cuma satu: show of force alias unjuk gigi. “Inilah kekuatan kami!”
Kampanye terbuka itu paling sedikit manfaatnya bagi pendidikan politik. Tidak ada nalar dan logika di sana, melainkan hanya emosi dan fanatisme saja. Juru kampanye bilang, “Hidup parpol!” Ya sudah, cukup sampai di situ.
Nah, bedanya dengan di Amerika, ketika calon presiden mereka ngomong, audience-nya pada diam. Itu makanya, dari kebanyakan kampanye rapat umum yang dilakukan, lebih banyak dilangsungkan di dalam gedung, bukannya di lapangan terbuka. Sound akan lebih terdengar. Itu untuk mengurangi noise communication hingga ke titik paling minimal.
Indonesia tidak. Dulu, memang pernah ada orang seperti Soekarno atau Bung Tomo yang mampu menggerakan orang dari atas podium. Syarat utamanya adalah dibutuhkan orang yang mampu menyihir peserta, tidak hanya dengan kata-kata, intonasi, tapi lebih luas lagi menggunakan retorika secara mendalam. Sekarang, politisi memang lebih banyak cakap tapi tak tahu dia apa yang dicakapkannya. Anda tak perlu belajar banyak untuk berteriak; “Hidup Parpol!”
Yang dipancing adalah emosi peserta. Emosi bukan kemarahan. Tapi mungkin kegembiraan, kesedihan, haru dan semacamnya. Tapi ingat, kalau si peserta sampai bisa menangis, itu baru tahap awal. Karena belum tentu nanti mereka akan memilih si yang bersangkutan. Sifat sebuah crowded (kerumunan) adalah tentatif lokal; artinya berlaku pada waktu tertentu dalam tempat yang tertentu pula. Itulah mengapa ketika dilakukan “zikir akbar” dan kemudian banyak orang menangis-nangis, tapi ketika pulang dan berjumpa pengemis meminta sedekah, matanya langsung melotot.
Untuk itu diperlukan kampanye tahap dua dan ini sebenarnya jauh lebih penting untuk menyehatkan iklim kampanye kita yang bobroknya luar biasa. Kampanye ini adalah common campaign.
Common artinya sama, sejajar dan semacamnya. Artinya, si juru kampanye, caleg, capres dan yang lain-lain, mesti menempatkan diri dulu sejajar dengan dengan masyarakat. Jadi kalau ketemu petani ya jangan pakai dasi. Mungkin si petani nanti akan terpana (karena ada variabel kelas dalam masyarakat yang masih feodal), namun keterpanaan tidak akan efektif karena justru dengan adanya jurang kesenjangan itu, si petani tadi menjadi antipati.
Dampak jelek yang kedua, karena “dasi” itu nanti dilambangkan dengan tingkat yang lebih tinggi, maka yang lebih rendah akan berada dalam posisi “meminta”. Dari situ bisa ketahuan, mengapa banyak orang yang berkampanye harus menyediakan duit banyak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ditemuinya. Dan itu jelas money politic. Money politic tak melulu uang, tapi juga paket sembako, iming-iming kupon sembako murah dan seterusnya.
Parpol tak ada urusannya dengan pembagian sembako, itu urusannya Bulog, mekanisme pasar, Deperindag, dan kawan-kawannya. Partai politik ya urusannya politik saja, jangan sampai bawa-bawa baju yang lain. Parpol urusannya bagaimana mekanisme itu berjalan adil dalam dataran kebijakan, pressing ke eksekutif dan seterusnya. Jadi kalau parpol sampai membagi kupon sembako, sekali lagi itu namanya “jual beli”, dan itu money politic.
Nah, konsep kesejajaran ini pun sebenarnya tak ideal. Pasalnya, eksekutif itu sejatinya “pelayan”, dan legislatif itu “wakil”. Jadi, posisinya hakikatnya lebih rendah dari masyarakat. Dengan begini, sebenarnya ditinjau posisi komunikasi, para caleg, capres atau kandidat dalam pilkada, itu adalah “komunikan”; pihak yang menjadi objek komunikasi. Karena dia objek, maka posisinya lebih banyak menerima dan mendengarkan. Tidak bisa dipakai sistem dua arah, karena posisinya sudah berbeda. Apapun cerita sebuah “diskusi” antara “guru” dan “murid”, tetap saja substansinya adalah guru sedang mengajarkan ilmu kepada murid, bukan sebaliknya.
Konsekuensi ini menyuratkan banyak hal. Pertama, rakyat mesti diperkuat dalam seluruh dimensinya. Bagaimana memperkuat posisi rakyat? Kalau dalam konteks pemilu, biarkan rakyat yang memilih, jangan partai lagi yang menentukan. Itu makanya, ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) keluar, itu disebut sebagai kemenangan rakyat.
Kalau partai-partai diberi kewenangan penuh untuk memilih siapa calon yang berhak mendapatkan kursi, maka itu adalah kemunduran dan itu penipuan kepada rakyat. Partai-partai yang masih bersandar pada sistem prioritas kader partai berdasarkan mekanisme nomor urut dan “malu-malu” serta terpaksa menerapkan sistem suara terbanyak, adalah partai hipokrit. Kepada mereka-mereka ini, tak layak untuk diberikan suara.
Dengan begini, maka adalah pekerjaan setiap rakyat memelototi Daftar Caleg Tetap (DCT) sedetil-detilnya. Dari DCT akan ketahuan, siapa-siapa partai yang meletakkan kadernya hanya untuk melengkapi administrasi di KPU. Artinya, banyak caleg yang hancur-hancuran –dan ini biasanya di urutan-urutan bawah- dalam daftar itu. Yang diprioritaskan bagi partai-partai yang semula pakai nomor urut ya jelas di nomor satu.
Lihat juga faktor kelahiran dan domisili. Soal kelahiran bikinlah faktor nomor dua, tapi domisilinya ini harus berada di tengah-tengah masyarakat pemilihnya langsung. Karena kalau orang itu tak lahir di lingkungan kita, tapi sangat concern dengan lingkungan kita karena dia tinggal bersama-sama kita, maka dia layak pilih. Nah, kalau dua-duanya tidak terpenuhi, ya, tak usah dipilih. Karena orang-orang seperti itulah penjual-penjual rakyat.
Pertanyaannya, apakah masyarakat kita sudah sekritis itu? Ya, belum, wong masih banyak yang “tanda tangan” itu pakai cap jempol kok! Yakinlah Anda, di Indonesia ini, rumus untuk berkuasa adalah membuat rakyat terus bodoh. Orang bodoh ya bisa dibodoh-bodohi.
Adalah tugas setiap orang yang pernah sekolah atau sedang sekolah untuk menyebarkan pengetahuannya kepada seluruh masyarakat. Ilmu jangan dinikmati sendiri. Itu tugas-tugas cendekiawan muslim, kata Ali Shariati. Dan itu nanti yang akan ditanya di akhirat kelak. Kalau Anda masih percaya sama akhirat! (*)
Filed under: All News, Politik , demokrasi, indonesia, parpol, pemilu, Politik, reformasi
22 Responses
A15200 Luqman mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 1:33 pm
nah itulah masalahnya. salah satu ciri negara yang terkena krisis multi dimensi, kompleks, dan berakibat komplikasi yang fatal. Parpol yang kerjanya akhirnya mbleber kemana2 ATAU karena kita yang belum paham dengan skenario sebenarnya????
Danang mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 2:49 pm
setuju!banyak parpol gaya kampanye nya norakmengerahkan masa, dangdutan, berakhir rusuhmereka datang bukan karena paham ideologi atau platform
tapi karena artis, karena duit,ya itulah realitanya.
partai2 banyak yang bodoh dan membodohi rakyat, seperti lingkaran setan.
pilu jadinya…
engeldvh mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 4:33 pm
Betul bos, gw aja uda muak ma partai banyak bacot……Oiya gabung aja di http://www.janganbikinmalu2009.com buat ngdukung jangan sampe wakil kita di senayan dodol2 semua…..hehe (artikel:http://engeldvh.wordpress.com/2009/03/11/frustasi-dengan-partai-calegnya/)
http://engeldvh.wordpress.com
ok . langsung ke sana ni…
Cotto Makassar mengatakan:
20 Maret 2009 pukul 8:20 am
banyak parpol koar2 kampanye massal, mendatangkan permen manis bernama artis, musik dangdutan, hingar bingar orasi pro-rakyat.
mereka cuma bicara wacana bukan fakta. parah-parah…
mereka memanfaatkan kebodohan rakyat dengan permen-permen manis berupa duit, artis dangdut, doorprize, orasi-orasi… tak peduli massa-nya paham atau tidak akan ideologi, platform, kebijakan, dsb.
silahkan pilih partai-partai yang begitu, kalau anda juga memang gak rasional.
Mahendra mengatakan:
21 Maret 2009 pukul 1:05 pm
Pseudo demokrasi….
Kanya Dinda mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 2:46 pm
saya suka sama sebuah partai yang gaya kampanye nya beda dari yang lain…
ada program galibu (gerakan lima ribu sampai lima puluh ribu) dari para kader dan simpatisannya untuk membiayai kampanye mereka.
Rp5000 x 1 juta kader dan simpatisan saja sudah lumayan.
jadi semua merasa memiliki partai tersebut.
bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada!
mikekono mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 5:10 pm
partai banyak cakapmasih mending…..daripada teman awak tucakap aja pun tak becushehehe
wakakakakkkkkkkk …. ampon katuo … wakakakakkkkk
Mansyur mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 6:33 pm
yup yup yup…biaya partai emang mahal bro! sis!
keknya partai2 lain perlu mencontoh PKSpake dana patungan buat meringankan sedikit
tiap minggu nyumbang GALIBURp5000 x sejuta kader ato simpatisan udah berapa tuh tiap minggu, kali 12 bulan berapa tuh setahun
jadinya semua merasa memiliki bersamayo maju semua partai yang rukun yahsukseskan pemilujayalah Indonesia
Abi mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 2:01 am
Menyumbang partai? duh kalau saya pikir2 dulu.
Sekarangkan sistem pemilihannya para caleg keluar biaya sendiri2. Ya biarlah mereka kerja sendiri.Partai kan tidak campur tangan lagi.Kalau mau nyumbang ya saya akan langsung saja ke caleg siapa yang saya pilih.
Hati2 jangan sampai kita dibodohi oleh pengurus2 partai lho.
jamalsmile mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 8:06 am
memang dgn suara terbanyak,agaknya persaingan antar nomor urut dlm partai itu sendiri menjadi lebih cair.
sst…. jgn mau dibohongi oleh partai… apalagi nyumbang ke-partai…waduh jd keenakan tuh partai, mending duit tersebut kasih aja kefakir miskin lebih bermanfaat….atau dipakai modal usaha untuk orang yang membutuhkan…
tanpa nama mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 9:12 am
begini salah, begitu salah…semua salah, aku, kamu, dia, mereka, kalian, kita semua salah…
bingung kan?
Lintang mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 5:08 am
PARTAI YG BANYAK OMONG NGGAK BAKAL MENANG …!!!
Marcel mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 8:10 am
semua partai banyak omong!
berarti yang menang adalah partai-partai guremkarena mereka nggak banyak omong
so, 5 besar partai yang bakal menang adalah:KEDAULATAN, MERDEKA, PPIB, PPI, PKDI
Tulkiyem mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 12:20 pm
@ JamalsmileHalo Bang Jamal………?Kalo komentar bang Jamal yang ini aku setuju banget deh……..! mending sumbangkan aja ke Fakir Miskinokey banget.
buron mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 8:42 pm
si tulkiyem…hhhahha…udah jelek,miskin,bodoh pula……….hhhhaha
Mandraguna mengatakan:
25 Maret 2009 pukul 4:42 pm
Siapa partai yang paling banyak cakap?
Jawabnya adalah GERINDRA, GOLKAR, PDIP, PPP, PAN, PKB, PKS, HANURA, PBB, PDS, PKPI, DEMOKRAT
Semuanya gak ada yang bagus, PKS juga termasuk gak bagus!!!
eka mengatakan:
26 Maret 2009 pukul 5:32 am
ah gpp deh sumbang ke partai…..uang2 kita…suka2 kita donk mau nyumbang kemana hehhehe
Buron Edan mengatakan:
27 Maret 2009 pukul 1:40 pm
Numpang lewat booooS
lanjut …
GOLPUT mengatakan:
29 Maret 2009 pukul 1:26 am
MELEK…..MELEK…..MELEK……Buka Mata lebar2……Masyarakat kita masih memerlukan partai yang obral janji, bagi2 duit, pintar ngomong (walaupun bohong).Sampai kapanpun itu tidak bisa diubah. Wong sudah turun temurun.Baru nyaleg udah dituntut aspirasi lah, kontrak politik lah, visi misi lah.kita jgn selalu menyalahkan caleg atau partai. Rakyat sendirilah yang menciptakan itu.
Kania mengatakan:
30 Maret 2009 pukul 8:26 am
ada banyak kok partai yang tidak banyak cakap, yaitu partai2 kecil yang masih baru ikut serta…
partai2 besar semuanya banyak cakap
yahya basa mengatakan:
1 April 2009 pukul 1:18 am
Yang jelas masyarakat kita masih suka yang begitu, dipimpin orang jujur gamau, dipimpin orang pintar ga mau , maunya yang suka pada omong doang, ngumbar janji ga takut klo besok dimintai pertangungan jawabannya oleh sang Maha Pencipta
Rajeta mengatakan:
4 April 2009 pukul 3:03 am
Partai TIDAK PERNAH bisa bicara.Partisan banyak bicara, Komentatorpun bahkan lebih banyak bicara; kompetisi 20″ - komentar 30″; kompetisi 90″ - komentar 120″; Nyoblos 1 hari - kampanye 12 bulan dimuka!
Itulah gaya hidup bangsa kita diawali dengan ajaran “Musyawarah untuk mufakat”. Dalam musyawarah, bicaralah yang diandalkan. Dalam mufakat, kedipan matalah yang diandalkan.
Itulah ajaran bangsa kita, Musyawarah yang terkadang diawali dengan Pembentukan Panitia.
Siapa partai yang paling banyak cakap?
Ini asumsi penelitiannya: Partai dan elitnya yang paling sering muncul di media massa, mulai dari koran, majalah, tabloid, radio, internet dan seterusnya. Partai yang paling banyak selebaran, baleho dan billboardnya. Partai yang paling sering kampanye terbuka mengerahkan seluruh massanya ke jalan-jalan.
Karena dia asumsi, naikkan dia ke derajat hipotesis baru kemudian disimpulkan. Habis itu, generalisasikan saja. Soal salah atau benar, urusan kedua, yang penting metode sudah benar.
* * *
Elit parpol makin lincah mencari duit di sela-sela kampanye. Ini gejala internasional bukan lokal, nasional, maupun regional. Pemilu di Amerika Serikat saja, yang dikatakan sebagai mbahnya demokrasi, mesti mengerahkan ratusan ribu massanya dalam pertemuan akbar. Mulai dari gymnasium, lapangan olahraga, convention hall dan seterusnya. Siapa bilang untuk melakukan itu tak perlu duit? Siapa pula bilang orang Amerika tak mata duitan?
Untuk kampanye terbuka memerlukan energi dan dana yang luar biasa. Karena karakternya begitu, maka dia merupakan lubang uang bagi elit-elit politik maupun para tim sukses. Para TS akan sangat bersemangat untuk mendorong-dorong partai melakukan itu. Padahal, apa tujuannya?
Ya, cuma satu: show of force alias unjuk gigi. “Inilah kekuatan kami!”
Kampanye terbuka itu paling sedikit manfaatnya bagi pendidikan politik. Tidak ada nalar dan logika di sana, melainkan hanya emosi dan fanatisme saja. Juru kampanye bilang, “Hidup parpol!” Ya sudah, cukup sampai di situ.
Nah, bedanya dengan di Amerika, ketika calon presiden mereka ngomong, audience-nya pada diam. Itu makanya, dari kebanyakan kampanye rapat umum yang dilakukan, lebih banyak dilangsungkan di dalam gedung, bukannya di lapangan terbuka. Sound akan lebih terdengar. Itu untuk mengurangi noise communication hingga ke titik paling minimal.
Indonesia tidak. Dulu, memang pernah ada orang seperti Soekarno atau Bung Tomo yang mampu menggerakan orang dari atas podium. Syarat utamanya adalah dibutuhkan orang yang mampu menyihir peserta, tidak hanya dengan kata-kata, intonasi, tapi lebih luas lagi menggunakan retorika secara mendalam. Sekarang, politisi memang lebih banyak cakap tapi tak tahu dia apa yang dicakapkannya. Anda tak perlu belajar banyak untuk berteriak; “Hidup Parpol!”
Yang dipancing adalah emosi peserta. Emosi bukan kemarahan. Tapi mungkin kegembiraan, kesedihan, haru dan semacamnya. Tapi ingat, kalau si peserta sampai bisa menangis, itu baru tahap awal. Karena belum tentu nanti mereka akan memilih si yang bersangkutan. Sifat sebuah crowded (kerumunan) adalah tentatif lokal; artinya berlaku pada waktu tertentu dalam tempat yang tertentu pula. Itulah mengapa ketika dilakukan “zikir akbar” dan kemudian banyak orang menangis-nangis, tapi ketika pulang dan berjumpa pengemis meminta sedekah, matanya langsung melotot.
Untuk itu diperlukan kampanye tahap dua dan ini sebenarnya jauh lebih penting untuk menyehatkan iklim kampanye kita yang bobroknya luar biasa. Kampanye ini adalah common campaign.
Common artinya sama, sejajar dan semacamnya. Artinya, si juru kampanye, caleg, capres dan yang lain-lain, mesti menempatkan diri dulu sejajar dengan dengan masyarakat. Jadi kalau ketemu petani ya jangan pakai dasi. Mungkin si petani nanti akan terpana (karena ada variabel kelas dalam masyarakat yang masih feodal), namun keterpanaan tidak akan efektif karena justru dengan adanya jurang kesenjangan itu, si petani tadi menjadi antipati.
Dampak jelek yang kedua, karena “dasi” itu nanti dilambangkan dengan tingkat yang lebih tinggi, maka yang lebih rendah akan berada dalam posisi “meminta”. Dari situ bisa ketahuan, mengapa banyak orang yang berkampanye harus menyediakan duit banyak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ditemuinya. Dan itu jelas money politic. Money politic tak melulu uang, tapi juga paket sembako, iming-iming kupon sembako murah dan seterusnya.
Parpol tak ada urusannya dengan pembagian sembako, itu urusannya Bulog, mekanisme pasar, Deperindag, dan kawan-kawannya. Partai politik ya urusannya politik saja, jangan sampai bawa-bawa baju yang lain. Parpol urusannya bagaimana mekanisme itu berjalan adil dalam dataran kebijakan, pressing ke eksekutif dan seterusnya. Jadi kalau parpol sampai membagi kupon sembako, sekali lagi itu namanya “jual beli”, dan itu money politic.
Nah, konsep kesejajaran ini pun sebenarnya tak ideal. Pasalnya, eksekutif itu sejatinya “pelayan”, dan legislatif itu “wakil”. Jadi, posisinya hakikatnya lebih rendah dari masyarakat. Dengan begini, sebenarnya ditinjau posisi komunikasi, para caleg, capres atau kandidat dalam pilkada, itu adalah “komunikan”; pihak yang menjadi objek komunikasi. Karena dia objek, maka posisinya lebih banyak menerima dan mendengarkan. Tidak bisa dipakai sistem dua arah, karena posisinya sudah berbeda. Apapun cerita sebuah “diskusi” antara “guru” dan “murid”, tetap saja substansinya adalah guru sedang mengajarkan ilmu kepada murid, bukan sebaliknya.
Konsekuensi ini menyuratkan banyak hal. Pertama, rakyat mesti diperkuat dalam seluruh dimensinya. Bagaimana memperkuat posisi rakyat? Kalau dalam konteks pemilu, biarkan rakyat yang memilih, jangan partai lagi yang menentukan. Itu makanya, ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) keluar, itu disebut sebagai kemenangan rakyat.
Kalau partai-partai diberi kewenangan penuh untuk memilih siapa calon yang berhak mendapatkan kursi, maka itu adalah kemunduran dan itu penipuan kepada rakyat. Partai-partai yang masih bersandar pada sistem prioritas kader partai berdasarkan mekanisme nomor urut dan “malu-malu” serta terpaksa menerapkan sistem suara terbanyak, adalah partai hipokrit. Kepada mereka-mereka ini, tak layak untuk diberikan suara.
Dengan begini, maka adalah pekerjaan setiap rakyat memelototi Daftar Caleg Tetap (DCT) sedetil-detilnya. Dari DCT akan ketahuan, siapa-siapa partai yang meletakkan kadernya hanya untuk melengkapi administrasi di KPU. Artinya, banyak caleg yang hancur-hancuran –dan ini biasanya di urutan-urutan bawah- dalam daftar itu. Yang diprioritaskan bagi partai-partai yang semula pakai nomor urut ya jelas di nomor satu.
Lihat juga faktor kelahiran dan domisili. Soal kelahiran bikinlah faktor nomor dua, tapi domisilinya ini harus berada di tengah-tengah masyarakat pemilihnya langsung. Karena kalau orang itu tak lahir di lingkungan kita, tapi sangat concern dengan lingkungan kita karena dia tinggal bersama-sama kita, maka dia layak pilih. Nah, kalau dua-duanya tidak terpenuhi, ya, tak usah dipilih. Karena orang-orang seperti itulah penjual-penjual rakyat.
Pertanyaannya, apakah masyarakat kita sudah sekritis itu? Ya, belum, wong masih banyak yang “tanda tangan” itu pakai cap jempol kok! Yakinlah Anda, di Indonesia ini, rumus untuk berkuasa adalah membuat rakyat terus bodoh. Orang bodoh ya bisa dibodoh-bodohi.
Adalah tugas setiap orang yang pernah sekolah atau sedang sekolah untuk menyebarkan pengetahuannya kepada seluruh masyarakat. Ilmu jangan dinikmati sendiri. Itu tugas-tugas cendekiawan muslim, kata Ali Shariati. Dan itu nanti yang akan ditanya di akhirat kelak. Kalau Anda masih percaya sama akhirat! (*)
Filed under: All News, Politik , demokrasi, indonesia, parpol, pemilu, Politik, reformasi
22 Responses
A15200 Luqman mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 1:33 pm
nah itulah masalahnya. salah satu ciri negara yang terkena krisis multi dimensi, kompleks, dan berakibat komplikasi yang fatal. Parpol yang kerjanya akhirnya mbleber kemana2 ATAU karena kita yang belum paham dengan skenario sebenarnya????
Danang mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 2:49 pm
setuju!banyak parpol gaya kampanye nya norakmengerahkan masa, dangdutan, berakhir rusuhmereka datang bukan karena paham ideologi atau platform
tapi karena artis, karena duit,ya itulah realitanya.
partai2 banyak yang bodoh dan membodohi rakyat, seperti lingkaran setan.
pilu jadinya…
engeldvh mengatakan:
19 Maret 2009 pukul 4:33 pm
Betul bos, gw aja uda muak ma partai banyak bacot……Oiya gabung aja di http://www.janganbikinmalu2009.com buat ngdukung jangan sampe wakil kita di senayan dodol2 semua…..hehe (artikel:http://engeldvh.wordpress.com/2009/03/11/frustasi-dengan-partai-calegnya/)
http://engeldvh.wordpress.com
ok . langsung ke sana ni…
Cotto Makassar mengatakan:
20 Maret 2009 pukul 8:20 am
banyak parpol koar2 kampanye massal, mendatangkan permen manis bernama artis, musik dangdutan, hingar bingar orasi pro-rakyat.
mereka cuma bicara wacana bukan fakta. parah-parah…
mereka memanfaatkan kebodohan rakyat dengan permen-permen manis berupa duit, artis dangdut, doorprize, orasi-orasi… tak peduli massa-nya paham atau tidak akan ideologi, platform, kebijakan, dsb.
silahkan pilih partai-partai yang begitu, kalau anda juga memang gak rasional.
Mahendra mengatakan:
21 Maret 2009 pukul 1:05 pm
Pseudo demokrasi….
Kanya Dinda mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 2:46 pm
saya suka sama sebuah partai yang gaya kampanye nya beda dari yang lain…
ada program galibu (gerakan lima ribu sampai lima puluh ribu) dari para kader dan simpatisannya untuk membiayai kampanye mereka.
Rp5000 x 1 juta kader dan simpatisan saja sudah lumayan.
jadi semua merasa memiliki partai tersebut.
bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada!
mikekono mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 5:10 pm
partai banyak cakapmasih mending…..daripada teman awak tucakap aja pun tak becushehehe
wakakakakkkkkkkk …. ampon katuo … wakakakakkkkk
Mansyur mengatakan:
22 Maret 2009 pukul 6:33 pm
yup yup yup…biaya partai emang mahal bro! sis!
keknya partai2 lain perlu mencontoh PKSpake dana patungan buat meringankan sedikit
tiap minggu nyumbang GALIBURp5000 x sejuta kader ato simpatisan udah berapa tuh tiap minggu, kali 12 bulan berapa tuh setahun
jadinya semua merasa memiliki bersamayo maju semua partai yang rukun yahsukseskan pemilujayalah Indonesia
Abi mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 2:01 am
Menyumbang partai? duh kalau saya pikir2 dulu.
Sekarangkan sistem pemilihannya para caleg keluar biaya sendiri2. Ya biarlah mereka kerja sendiri.Partai kan tidak campur tangan lagi.Kalau mau nyumbang ya saya akan langsung saja ke caleg siapa yang saya pilih.
Hati2 jangan sampai kita dibodohi oleh pengurus2 partai lho.
jamalsmile mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 8:06 am
memang dgn suara terbanyak,agaknya persaingan antar nomor urut dlm partai itu sendiri menjadi lebih cair.
sst…. jgn mau dibohongi oleh partai… apalagi nyumbang ke-partai…waduh jd keenakan tuh partai, mending duit tersebut kasih aja kefakir miskin lebih bermanfaat….atau dipakai modal usaha untuk orang yang membutuhkan…
tanpa nama mengatakan:
23 Maret 2009 pukul 9:12 am
begini salah, begitu salah…semua salah, aku, kamu, dia, mereka, kalian, kita semua salah…
bingung kan?
Lintang mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 5:08 am
PARTAI YG BANYAK OMONG NGGAK BAKAL MENANG …!!!
Marcel mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 8:10 am
semua partai banyak omong!
berarti yang menang adalah partai-partai guremkarena mereka nggak banyak omong
so, 5 besar partai yang bakal menang adalah:KEDAULATAN, MERDEKA, PPIB, PPI, PKDI
Tulkiyem mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 12:20 pm
@ JamalsmileHalo Bang Jamal………?Kalo komentar bang Jamal yang ini aku setuju banget deh……..! mending sumbangkan aja ke Fakir Miskinokey banget.
buron mengatakan:
24 Maret 2009 pukul 8:42 pm
si tulkiyem…hhhahha…udah jelek,miskin,bodoh pula……….hhhhaha
Mandraguna mengatakan:
25 Maret 2009 pukul 4:42 pm
Siapa partai yang paling banyak cakap?
Jawabnya adalah GERINDRA, GOLKAR, PDIP, PPP, PAN, PKB, PKS, HANURA, PBB, PDS, PKPI, DEMOKRAT
Semuanya gak ada yang bagus, PKS juga termasuk gak bagus!!!
eka mengatakan:
26 Maret 2009 pukul 5:32 am
ah gpp deh sumbang ke partai…..uang2 kita…suka2 kita donk mau nyumbang kemana hehhehe
Buron Edan mengatakan:
27 Maret 2009 pukul 1:40 pm
Numpang lewat booooS
lanjut …
GOLPUT mengatakan:
29 Maret 2009 pukul 1:26 am
MELEK…..MELEK…..MELEK……Buka Mata lebar2……Masyarakat kita masih memerlukan partai yang obral janji, bagi2 duit, pintar ngomong (walaupun bohong).Sampai kapanpun itu tidak bisa diubah. Wong sudah turun temurun.Baru nyaleg udah dituntut aspirasi lah, kontrak politik lah, visi misi lah.kita jgn selalu menyalahkan caleg atau partai. Rakyat sendirilah yang menciptakan itu.
Kania mengatakan:
30 Maret 2009 pukul 8:26 am
ada banyak kok partai yang tidak banyak cakap, yaitu partai2 kecil yang masih baru ikut serta…
partai2 besar semuanya banyak cakap
yahya basa mengatakan:
1 April 2009 pukul 1:18 am
Yang jelas masyarakat kita masih suka yang begitu, dipimpin orang jujur gamau, dipimpin orang pintar ga mau , maunya yang suka pada omong doang, ngumbar janji ga takut klo besok dimintai pertangungan jawabannya oleh sang Maha Pencipta
Rajeta mengatakan:
4 April 2009 pukul 3:03 am
Partai TIDAK PERNAH bisa bicara.Partisan banyak bicara, Komentatorpun bahkan lebih banyak bicara; kompetisi 20″ - komentar 30″; kompetisi 90″ - komentar 120″; Nyoblos 1 hari - kampanye 12 bulan dimuka!
Itulah gaya hidup bangsa kita diawali dengan ajaran “Musyawarah untuk mufakat”. Dalam musyawarah, bicaralah yang diandalkan. Dalam mufakat, kedipan matalah yang diandalkan.
Itulah ajaran bangsa kita, Musyawarah yang terkadang diawali dengan Pembentukan Panitia.
Tulisan ini bersumber pada :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar