27 Maret 2009 • 11:11 am
Indonesia tanah air betaPusaka abadi nan jayaIndonesia sejak dulu kalaTetap dipuja puja bangsa
Di sana tempat lahir betaDibuai dibesarkan bundaTempat berlindung di hari tuaTempat akhir menutup mata
(Indonesia Tanah Pusaka, Ismail Marzuki)
Lagu itu begitu pelan, lembut dan bikin merinding. Diciptakan seorang seniman yang dulu di sekelilingnya terlibat panasnya pertempuran, dentuman senjata, hujan bom, teriakan kesakitan, peluh, darah dan air mata. Namun, masa itu sudah lewat berpuluh-puluh tahun silam. Para pahlawan sudah mati, jasadnya melebur dengan tanah dan nisannya mengharap-harap memori dari mereka yang lewat untuk sekedar membersih-bersihkannya. Mereka sudah mati.
Nasionalisme adalah sebuah omong kosong bagi kekuasaan. Yang paling realistis dari hampir seluruh konsep kekuasaan adalah L’etat c’est moi, negara adalah aku. Kekuasaan adalah aku, akulah pemiliknya semua-muanya dan kepada akulah semua yang ada di luar aku menurut-nurut, membungkuk-bungkuk, menjatuhkan dahinya di ujung jempok kakiku. Kekuasaan adalah aku.
Kekuasaan adalah satu, tidak pernah dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, hingga sembilan. Aku adalah negara, aku adalah peraturan, aku adalah hukum. Kubiarkan kalian mendirikan panggung legislatif, toh aku juga yang menyutradarainya. Kubiarkan kalian mempermak bilik yudikatif, toh aku juga yang menjadi pemutus akhir. Kubebaskan kalian untuk menulis apapun di koran-koran, toh aku juga yang membelinya. Aku adalah negara, dan negara adalah aku. Karena akulah kalian hidup, karena akulah kalian bisa mengais-ngais roti untuk perutmu itu.
Aku tak peduli kehidupan kalian, karena bagi aku, hidup kalian bak remah-remah nasi yang akan ditelan kucing. Ini soal siapa yang kuat, siapa yang lemah: akulah yang kuat dan kalianlah yang lemah. Sudah hukum alam, yang lemah menjadi makanan yang kuat. Aku adalah penguasa yang duduk di posisi paling atas dari rantai makanan. Saling memakanlah kalian, karena nantinya kalian-kalianlah yang berbaris kaku di usus-ususku.
Aku adalah kekuasaan.
* * *
Indonesia adalah sebuah ruang yang menangis keras laksana bayi pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, Indonesia itu tidak ada. Dia entah di mana, entah dimasukkan dalam saku Tuhan yang di sebelah mana. Dia cuma gentayangan dalam harapan-harapan pejuang yang tak mau ditindas, tak mau hidup dalam perintah dan kungkungan orang lain. Dia adalah bara yang terus menyala-nyala dalam darah-darah orang yang dijajah. Karena, hanya orang yang dijajahlah yang paling tahu bagaimana rasanya merdeka itu. Kalau dia tidak pernah merasa terjajah, maka matilah sudah hasratnya untuk merdeka.
Indonesia lahir dari kondisi dan pahitnya rasa penjajahan itu. 65 tahun sudah, usia yang bila disematkan di umur manusia, bak tua renta dan sebentar lagi hendak bangka. Maka benarlah Rendra ketika menulis, “Orang-orang harus dibangunkan.”
Maka yang membuat ibu pertiwi menangis adalah selama 65 tahun itu, ternyata anak-anaknya mesti mengantri minyak tanah dan mengharapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hanya seratus ribu perak itu. 65 tahun itu, Indonesia tak ke mana-mana, tak ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, ke depan, atau malah ke belakang. Indonesia terjebak dalam kungkungan kaum-kaum kolonial baru, yang berwajah “Indo” dan punya senyum “Nesia”.
Dalam alam pikirannya, berbaris-baris plot kolonialisasi pada bangsanya sendiri, seperti seorang tuan tanah dan lintah darat. Dulu, Indonesia itu ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Sekarang, mereka yang mengemis rimah-rimah nasi telah terbujur kaku di atas permukaan tanah milik mereka, yang di bawahnya mengalir deras sungai-sungai minyak, gas, emas, batubara, intan dan berlian. Mereka mati di lumbung padi. Mereka mati di sebuah negeri yang tak ubahnya bak lukisan surga: “Mengalir sungai-sungai di bawahnya…”
Ibu Pertiwi telah diperkosa oleh anak-anaknya sendiri, yang dulu diajarkannya bait-bait Pancasila dan nasionalisme. Ibu yang cantik jelita, berparas rupawan, bertubuh molek nan bergairah, telah membuat anak-anaknya lupa daratan dan menganggapnya sebagai seorang gadis yang harus digarap dan digilir dalam buasnya hasrat seksual kekuasaan.
Dan ketika anak-anaknya itu mati, kurang ajar! Mereka-mereka itu ingin diselimutkan sang saka merah putih dan diturunkan dalam kawalan letusan-letusan salto. Kurang ajar!
Dan di sana, di alam yang belum pernah dilihat mata itu, mereka berkata: “Ampunilah kami. Kami telah khilaf, Tuhan. Bukankah Engkau Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun…”
Filed under: All News, Ekonomi, Esai, Islam, Kebudayaan, Lapak, Politik, Sastra dan Seni , demokrasi, Esai, indonesia, ismail marzuki, Kebudayaan, kekuasaan, nasionalisme, Politik, proklamasi, reformasi, sosial, tuhan
14 Responses
hastu mengatakan:
27 Maret 2009 pukul 1:44 pm
ini kritik sosial pa ungkapan frustasi pribadi ya? hehe…
apapun jadi …
jamalsmile mengatakan:
27 Maret 2009 pukul 6:43 pm
ya beginilah jadi wong cilik…..
didengarnya cuma pada saat kampanye tok…
gimana ya rasanya jadi wong besar…?
almascatie mengatakan:
28 Maret 2009 pukul 2:53 am
engggg jadi ke inget diskusi dengan pendukung R*S beberapa waktu lalu yang menghujat indonesia sekaligus mengajak keluar.. bagi aku.. seburuk2nya indonesia masih lebih buruk jika kita ga pernah mencoba untuk memperbaikinya…
reformasi!
Mahendra mengatakan:
28 Maret 2009 pukul 5:44 pm
REVOLUSI !!!
andynasution mengatakan:
28 Maret 2009 pukul 6:18 pm
Ar-Rum 41:Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Al-Baqarah:
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.
10. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
11. Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.
12. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Itu dululah Wan, pening…,pening…pening….
mereka dengan sangat sadar membuat kerusakan, bang. peninglah bang. warkop yok …
reallylife mengatakan:
29 Maret 2009 pukul 10:59 pm
Yang jelas apapun keadaannyaIndonesia tetap menjadi tempat berlindungku, dan juga warga Indonesia lainnyaYang jelas mari tumbuh kembangkan kebanggaan akan INDONESIA
mundur terus pantang maju! (lho?)
Kania mengatakan:
30 Maret 2009 pukul 8:36 am
setuju mas, jangan banyak mengeluh, lebih baik berbuat saja, semampu kita.
senyum dan semangat ya semua!
hihihihi…macam mo difoto aja ya
Jamal Angry mengatakan:
30 Maret 2009 pukul 11:20 am
Tempat berlindung dihari tuuaa sampai akhir menutup mataaaaaaaaaa
ya cuman hari tua soalnya masa muda nggak ada yang melindungi hihihhihi
wajib prihatin
parhobass mengatakan:
30 Maret 2009 pukul 10:02 pm
orang maccam sri bintang pamungkas ngga laku madh di indonesia…
intinya….sebenarany orang kita masih terlalu berani memiliki pemimpin2 yang “Tolol”kenapa bisa begitu:1. Ikatan darah masih melekat di kita, bukankah kalau sodara sebelah lebih dibela secara dia lebih bloon dari sodara orang lain ?
2. Ikatan hegemoni agama yang lebih kental…mana ada ide indonesia memiliki presiden seorang non muslim misalnya, yang toh non muslim juga banyak yang mantap2…
http://parhobass.wordpress.com
ide presiden indonesia dari non muslim itu mengendap dan terus hidup. dan mungkin saja hampir berhasil kalau saja LB Moerdani tak keburu jatuh dari Panglima TNI.
Mulai Suka mengatakan:
31 Maret 2009 pukul 11:31 am
hai pemuda singsingkan lengan bajumuharapan negeri tersemat di pundakmutuntut ilmu giat berjuang bersamakita songsong masa depan nan mulia
masa muda jangan terbuang percumapastikan langkah untuk wujudkan asatiada guna berpangku tangan sematabangkitkah negeriku harapan itu masih ada
ibu pertiwi menanti langkah sucimusatu niat satu tekad kita majubikin karya, langkah nyata, melangkah bersamakita bangun Indonesia berkeadilan sejahtera
parhobass mengatakan:
31 Maret 2009 pukul 4:13 pm
ide presiden indonesia dari non muslim itu mengendap dan terus hidup. dan mungkin saja hampir berhasil kalau saja LB Moerdani tak keburu jatuh dari Panglima TNI
Sri Bintang ? gimana ? anda suka ?Dia seorang muslim tulen… kenapa muslim totol lainnya yang lebih laku dari beliau ini ?
http://parhobass.wordpress.com
muslim totol? apa maksudnya itu… Sri Bintang itu gak punya basis massa.
buJaNG mengatakan:
2 April 2009 pukul 4:18 pm
Moga dengan adanya pemilu besok bisa merubah keadaan indonesia yang lebih maju dari pada sekarang ini…
amien
eka mengatakan:
5 April 2009 pukul 3:54 pm
@parhobbas
hal yg wajar jika indonesia dipimpin seorang muslim. Indonesia mayoritas warganya adalah muslim.Dan sangat mmungkin jika seorang muslim ingin dipimpin oleh seorang muslim bukan seorang non muslim.Kalau yg muslim masih ada,ngapain juga pilih yg non muslim,kecual kalau rakyat indonesia yg muslim dah pada mampus semua atau sudah menjadi minoritas. Maksud anda apa ya,kok sampai bilang muslim tolol lainnya?jangan anda adu domba antar muslim,seolah2 sri bintang muslim paling pintar di indonsia, Haram hukumnnya mencelakai sesama muslim.
Londoner mengatakan:
6 April 2009 pukul 12:52 am
Setelah ini lama gak bikin tulisan lagi? Kemana aja Wan?
Ginilah kalo dapat proyek, langsung menghilang, bagi-bagilah abang Wan, hahaha…
Ngomong2 aga yang menarik untuk dilihat, bahasannya 7 jagoan, intip lah…
http://www.harian-aceh.com/analisi/2259-tujuh-jagoan.html
Sumber Tulisan ini : http://nirwansyahputra.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar