Senin, 19 April 2010

Infrastruktur bukan hanya soal anggaran

Senin, 19/04/2010

Di Asia Timur, peringkat ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik Indonesia jauh tertinggal. Begitu juga dari negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia, kita kalah di semua indikator.

Bahkan juga lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam. Untuk indeks total, kita sedikit lebih baik dalam hal pelabuhan udara, jalan kereta api, dan listrik, namun kalah dalam hal jalan, pelabuhan, dan telepon (ADB, 2007).

Dalam hal daya saing versi IMD World Competitiveness Yearbook 2009, meski indeks total Indonesia naik hampir di seluruh indikator (performa ekonomi, efisiensi pemerintahan, dan efisiensi bisnis), dalam hal infrastruktur justru menurun dalam 5 tahun terakhir.

Itu wajar, mengingat proporsi alokasi dana untuk infrastruktur terhadap PDB hanya sekitar 4% dibandingkan dengan China, Thailand, dan Vietnam yang di atas 7%.

Meski demikian, alokasi APBN untuk infrastruktur terus naik. Pada 2009 alokasi anggaran dua kali lipat dibandingkan dengan 2005 dengan total anggaran Rp321,8 triliun pada 2005-2009 (Kemenko Perekonomian, 2009).

Alokasi anggaran infrastruktur dari pusat ke daerah melalui instrumen dana alokasi khusus juga melonjak, misalnya untuk jalan, irigasi, dan air minum dari semula sedikit di atas Rp1 triliun pada 2004 menjadi hampir Rp7 triliun pada 2008, meski turun jadi Rp6 triliun pada 2009 (Kemenkeu, 2009).

Di tingkat daerah, proporsi dana infrastruktur terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara nasional juga tinggi (36%), di mana secara spesifik 37% di tingkat provinsi, dan 35% APBD kabupaten/kota.

Mencermati angka itu, dari sisi anggaran, komitmen pemerintah dan pemda sudah tinggi. Namun, mengapa persoalan infrastruktur masih dinilai sebagai penghambat utama kinerja usaha, setidaknya menurut penilaian 35% dari 12.187 pelaku usaha di 243 kabupaten/kota yang disurvei KPPOD (2007-2008)?

Dari sisi alokasi anggaran, memang sudah ada peningkatan anggaran, tetapi itu masih kurang, sebagaimana ilustrasi dengan mengambil basis hitungan atas 300.000 km jaringan jalan dengan 40% di antaranya rusak berat dan ringan, diperlukan anggaran 1,5-17 kali lipat dari anggaran saat ini (Danang Parikesit, 2009).

Di sisi lain, masalah infrastruktur bukan hanya soal anggaran. Persoalannya langsung terkait dengan tata ruang wilayah, pertanahan, pembiayaan, dan tata kelola pemerintahan. Dimensinya pun tak hanya dalam ranah pemerintahan, tetapi juga mengait persoalan sosial kemasyarakatan.

Dalam hal tata ruang, hanya empat dari 33 provinsi yang sudah menerbitkan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah berdasarkan UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, yang amat penting tidak saja sebagai kepastian pedoman investasi secara umum, tetapi juga untuk pembangunan infrastruktur.

Mengenai pertanahan, meski kewenangan pemerintah secara nasional, dalam praktiknya terdapat kualitas pelayanan yang amat berbeda antarkantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di satu daerah dengan daerah lainnya (KPPOD-TAF 2007; IFC-KPPOD, 2009).

Soal pembiayaan melalui public-private partnership (PPP) menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Meski pemerintah sudah memiliki dana infrastruktur dan unit manajemen risiko, tata kelola untuk sinergi berbagai potensi pembiayaan tetap sulit, meski banyak pihak menyatakan dana swasta cukup tersedia.

Masalah infrastruktur juga tak lepas dari persoalan umum tata kelola pemerintahan yakni praktik buruk rent seeking. Kementerian lembaga seperti Pekerjaan Umum (PU) yang berdasarkan data Kementerian Keuangan mengelola Rp126 triliun belanja modal infrastruktur untuk jumlah kumulatif 2005-2009, disusul Kementerian Perhubungan (Rp53,5 triliun), dan Kementerian ESDM (Rp25,5 triliun), tentu menghadapi godaan tak kecil untuk menghindari abuse of power.

Soal infrastruktur juga tak lepas dari kecepatan merespons peluang. Dalam PPP Book 2010, dari 100 proyek infrastruktur, hanya satu yang siap ditawarkan (Bisnis Indonesia, 16 April 2010). Ini tentu jauh dari harapan investor.

Berbagai reformasi peraturan dan kebijakan yang diperlukan, serta efisiensi dan efektivitas pemerintahan dalam pengelolaan proyek infrastruktur pemerintah dituntut kecepatannya untuk tidak kehilangan momentum merebut minat investor.

Konteks daerah

Pentingnya infrastruktur untuk peningkatan aktivitas ekonomi juga merupakan perhatian daerah. Besarnya alokasi anggaran di atas mencerminkan hal itu. Di daerah peran infrastruktur juga dipahami sebagai mandat penyediaan pelayanan dasar, yang erat terkait dengan peningkatan akses anak terhadap pendidikan, peningkatan kesehatan ibu, dan penurunan angka kematian (Shakoor et al 2007 dalam Danang Parikesit 2009).

Terkait daya saing infrastruktur untuk menarik investasi, survei KPPOD-BKPM pada 2008 menunjukkan daerah yang berdaya saing infrastruktur tinggi (a.l. Bali, Jateng, Sulut), punya belanja modal infrastruktur cukup tinggi. Sebaliknya daerah berdaya saing infrastruktur rendah (a.l. Papua Barat, Sulbar), punya belanja modal infrastruktur rendah. Ini mengindikasikan komitmen anggaran pemda untuk infrastruktur memberi andil bagi peningkatan daya saing infrastruktur.

Pilihan jenis infrastruktur yang perlu dikembangkan antardaerah tentu berbeda, tergantung kebutuhan spesifik daerah. Secara konseptual ketepatan pilihan ikut menentukan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

Pilihan Kota Solo fokus memperbaiki dan mempercantik jalan-disertai pembenahan pasar tradisional dan objek seni budaya-untuk menjadikan daerahnya sebagai tujuan wisata seni-budaya dan meeting-incentive-conference-exhibition (MICE) tentu punya tujuan dan implikasi berbeda dengan fokus daerah tetangga dekatnya Sragen dalam membenahi infrastruktur perdesaan dan information and communication technology.

Dalam studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada 2005, setiap jenis infrastruktur yang dibangun memberi kontribusi berbeda bagi pertumbuhan ekonomi yakni irigasi (1,26), jalan (0,88), listrik (0,61), telepon (0,61), pelabuhan (0,26), dan air (0,22). Jadi, investasi pemerintah untuk infrastruktur irigasi memberi kontribusi tertinggi. Setiap penambahan infrastruktur irigasi 10% menaikkan produk domestik bruto 1,26%.

Namun, pengaruh infrastruktur berbeda di setiap wilayah. Maka menjadi tugas pemda dan pemerintah pusat untuk menentukan intervensi pembangunan jenis infrastruktur yang paling tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik berbeda setiap daerah.

Itu tak sederhana, mengingat luasnya Indonesia, dana terbatas, otonomi daerah dengan kewenangan luas untuk menentukan arah pembangunan daerah masing-masing-yang mungkin beda dengan prioritas nasional, serta berbagai tantangan efektivitas dan efisiensi pemerintahan berikut peluang penyalahgunaan kekuasaan yang menyertainya.

Di tingkat nasional, meski Kementerian PU mengelola anggaran terbesar untuk infrastruktur, penentuan prioritas harus berdasar kepentingan nasional yang melibatkan kementerian lembaga terkait (Bappenas, Kemenhut, Kementerian ESDM, Kemendagri, dll.), dan pemda.

Mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan infrastructure summit mestinya mampu menghasilkan sinergi pembangunan sektoral dan kewilayahan. Di sisi lain, pemda mestinya meningkatkan kapasitasnya dalam menentukan fokus pembangunan infrastruktur daerahnya, berikut ragam bentuk dan kualitas implementasinya.

Oleh P. Agung Pambudhi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Tidak ada komentar: